Part 4
Si Super Cuek!
Bel sudah lima belas menit berbunyi tapi Ibu Sri belum juga
muncul. Aku menengok ke belakang, Tuti sedang asyik menyalin tugas Pak Haris
yang deadline setelah pelajaran pertama ini selesai. Sementara Erni sedang
asyik melamun dengan tampangnya yang masih merah akibat pembantaian tadi.
Aku dan Tuti memutuskan menghukum Erni dengan menggelitiknya
habis-habisan sampai mukanya merah banget. Kulitnya yang begitu putih membuat
wajahnya terlihat begitu jelas kalo sedang memerah.
“Ni!” sapaku.
Erni agak tersentak. “Hah! Ada apa?”
“Lagi ngelamunin apa? Boleh gabung? Soalnya bete nih?”
tanyaku.
“Nggak ada. Lagi bengong aja. Bete juga nih!” Keluhnya. “Oh ya! Aku kan bawa teenlit.”
Kini Erni sedang terpaku di depan sebuah novel, aku menengok
ke sebelahku. Arya masih setia ngelanjutin tidurnya di kelas. Sungguh sangat
beda dengan cowok-cowok lain yang biasanya ngumpul-ngumpul sambil ngobrolin apa
aja.
Beberapa saat berlalu, Windy si ketua kelas datang membawa
sebuah buku tebal serta tumpukan kertas fotokopi.
“Ibu Sri nggak masuk jadi hari ini mencatat saja. Kalo ada
yang mau fotokopi, sudah ada yang jadi tuh. Cuma lima ratus, tapi kalo nggak
mau ya udah silahkan catat sana empat
halaman sampe bengkok tuh tangan.” Ucap Windi sambil mempromosi fotokopiannya.
Emang si ketua kelas ini punya bakat bisnis dari SD.
Tanpa dikomando seisi kelas langsung berebut fotokopian itu.
Di tengah kehebohan itu, Arya masih sempat-sempatnya tidur pulas.
Dua jam berlalu begitu cepat. Arya kini sudah bangun dari
tidur panjangnya, Erni sudah hampir selesai membaca Teenlit nya, Tuti sudah
selesai menyalin PR, sedangkan aku sudah selesai dengan lamunanku.
Saat Arya tebangun, banyak cewek-cewek yang saling berebut
memberikan fotokopiannya kepada Arya. Dengan tampang bingungnya dia nerima aja
semua fotokopian itu tanpa tanya-tanya. Setelah itu pergi ke kantin atau
mungkin ke toilet buat nyuci muka.
“Ti! Kemarin kamu selesaiin berapa?” tanyaku pada Tuti
sebelum dia nyerempet duluan ke kantin.
“Satu. Seorang satu kan ?”
Tanya Tuti memastikan.
“Hah! Ya ampun lima
lho. Sekelompok lima tau.” Jelasku.
“Hah! Banyak skaleee. Mau buka tempat karokean yah!” omel
Tuti.
“Akhirnya! Selesai juga.” Ucap Erni yang udah nyelesaiin
bacanya. “Ke kantin yuk?” ajaknya.
“Kamu nggak dengar pembicaraan kita ya?” tanya Tuti mengancam.
Erni menggeleng dengan tampang polos.
“Tugas bahasa inggris kemarin, kamu kerjain berapa lagu?”
tanyaku.
“Satu. Tapi Tuti juga buat satu.” Jawabnya.
“Duh, kamu nggak baca tulisan di papan tulis waktu itu?
Minimal lima
lirik.” Tegasku.
“Ah! Nggak apa-apa, kan
besok dikumpul jadi masih sempat. Cuma tinggal tiga lirik lagi kan . Gimana?” ucap Tuti
yang langsung diiyakan oleh Erni.
“Ya udah terserah kalian.” Ucapku.



Sore yang begitu tenang dan damai ini, aku bingung mau
melakukan apa. Karena tak ada yang bisa dikerjakan aku memutuskan untuk
menyalin fotokopian Ibu Sri. Sebelumnya harus disiapkan dulu cemilan dan sirup.
Aku bergegas menuju dapur dan menyiapkan segalanya.
“Lho! Bukannya kemarin sakit perut gara-gara minum sirup,
sekarang malah nambah. Nggak kapok-kapok ya kamu.” Omel mama.
“Kemarin kan
minumnya kebanyakan jadi sakit perut, ini cuma satu doang.” Ucapku membela
diri.
“Ya sudah jangan terlalu banyak es batunya.” Ucap Mama,
setelah itu pergi ke halaman dan menyapu daun-daun yang berguguran.
Sirup udah, sekarang tinggal cemilannya. Biskuit jatah
cemilanku udah dihabisin sih sama si Arya. Tapi biasanya ada sesuatu di lemari
es yang bisa dijadikan cemilan. Akupun membuka lemari es dan mulai mengecek
isinya dari atas sampe bawah. Hanya ada buah, susu, sayur, ikan, telur, dan
bumbu-bumbu dapur. Aku mengambil apel lalu membawanya ke kamar bersama dengan
sirup mangga yang sudah kubuat.
Baru satu halaman tersalin dan segigit apel plus seteguk
sirup kunikmati, Mama sudah teriak-teriak memanggil. Aku segera meninggalkan
meja belajar menuju ke arah suara Mama yang berada di teras.
“Ada
teman kamu nyariin tuh.” Ucap Mama.
Aku segera keluar ke teras depan rumah. Siapa sih yang rese datang sore-sore ngerusak acaraku. Kalo nggak
penting aku marahin aja. Apa Tuti atau Erni ngajakin jalan sore? Aku
membatin.
Aku tertegun begitu melihat sosok dihadapan Mama. “Arya? Ada apa?” tanyaku tanpa
menyapa atau basa-basi.
“Lanjutin yang kemarin. Minimal lima
kan ?”
ucapnya.
“Oh itu! Aku sudah buat semuanya jadi…. Oh ya masuk dulu.”
Ucapku lalu mempersilahkannya karena mata mama sudah memberikan aba-aba.
“Silahkan duduk.” Sambungku setelah kami berada di ruang tamu.
Arya pun duduk tanpa basa-basi. Dia masih mengenakan celana
seragam abu-abu dengan atasan baju kaos hitam.
“Kamu mau salin? Tunggu dulu ya, aku ambil dulu buku tugasku.
Oh ya mau minum apa?” tanyaku.
“Terserah.” Jawab Arya.
Simpel banget jawabnya. Kalo orang yang baru pertama kali
kenal dia, ucapannya sungguh agak kasar. Tapi nada suaranya datar-datar aja
nggak ada tekanan sama sekali seperti orang lagi marah.
Aku memberinya segelas es sirup setelah itu pergi ke kamar
untuk mengambil buku tugas. Fotokopian di atas meja membuatku teringat Arya.
Kira-kira apa yang dia lakukan dengan setumpuk fotokopian yang diterimanya tadi
pagi.
Setelah mengambil buku tugas, aku segera keluar menuju ruang
tamu. Takut kalo dia bosen trus kabur seperti kemarin.
“Nih! Besok jangan lupa bawa ya.” Aku menyodorkan buku ku.
Dia menerimanya lalu diam sambil memandangi isi buku itu.
Sepertinya lagi memeriksa apakah jawabannya sudah benar atau belum. Nggak sopan
banget, sudah dikasih contekan masih aja pake acara periksa-periksa.
Beberapa saat kemudian dia sudah selesai memeriksanya dan
tidak memberikan komentar apa-apa. Itu harus, kalo sampai dia ngomentarin hasil
kerja aku yang sudah begadang sampai larut, nggak bakalan aku pinjemin. Tapi
setelah selesai memeriksa, kok dia malah diam sambil memandangi penjuru ruang
tamu ini. Sesekali pandangannya terhenti pada sebuah bingkai foto atau lukisan
gantung bahkan patung pun dipelototin. Jadi bingung nih gimana ngusirnya,
supaya dia nggak tersinggung. Tapi kayaknya dia nggak bakalan tersinggung sebab
indra perasa dia sudah rusak berat sehingga nggak bakalan muncul ekspresi
apapun dari dia.
“Ng… kamu nggak latihan basket? Udah jam lima
kan ?” aku
mencoba mengusirnya dengan halus.
Arya menggeleng, “lapangannya lagi dipakai.” Ucapnya dengan
tampang lesu. Sepertinya dia pengen main basket.
“Oh. Memang tiap sore kamu main basket?” tanyaku.
Tiba-tiba pandangannya terpaku padaku. Apa dia sudah bosen
ngelihatin seluruh ruangan makanya dia ngeliatin aku. Ups apa aku salah ngomong
ya. Aku mengkerutkan keningku sambil menunggu jawaban darinya.
“Nggak tiap hari.” Jawabnya setelah sekitar 30 detik menatap
wajahku hingga membuat aku agak salting.
“Trus hari apa liburnya?” Ups! Saking senangnya jadi nggak
sengaja tanya macam-macam.
“Hari sabtu sampe senin.” Jawabnya, kali ini responnya
meningkat hanya 5 detik saja.
“Oh gitu ya.” Ucapku. Kali ini aku mencoba menahan diri untuk
tidak bertanya terlalu jauh tentang kehidupan pribadinya. Soalnya tampangnya
makin cemberut saja.
Kami berdua terdiam lagi. Nggak ada topik yang bisa diomongin
sih. Sementara aku sedang berpikir keras untuk mencari cara mengusirnya, dia
kembali lagi ke rutinitas semula. Memandangi satu per satu perabot yang ada di
ruang tamu. Tumben nih anak jadi sedikit udik, atau dia mau ngerampok?
Nggak mungkin! Ngaco deh aku. Dia nggak bete duduk diam
begitu? Duh gimana caranya mengusirmu Arya. Pulang sana ! Gangguin aku belajar.
Ah! Ini dia! Aku kan
lagi belajar. Lebih baik ngomong terus
terang saja.
“Aku sekarang lagi nyalin fotokopian tadi pagi. Kamu nggak
nyalin punyamu?” tanyaku.
“Yang mana?” tanya Arya.
“Bukannya kamu dapat dari cewek-cewek sekelas?” aku takjub.
“Memang itu apaan sih? Aku sudah buang.” Ucapnya dengan
polos.
“Hah? Kamu nggak tau ya. Itu catatan Ibu Sri yang udah di
fotokopi sama anak-anak. Minggu depan periksa catatan loh.” Ucapku.
Aku jadi suka lupa diri kalo ada temanku yang ketinggalan
informasi. Maunya ngomel terus nggak peduli dia cowok atau cewek.
“Soalnya aku tidak tahu.” Ucap nya polos.
Aku langsung terbahak-bahak nggak sadar kalo di depanku saat
ini adalah Arya. “Makanya jangan tidur terus. Jadi ketinggalan informasi kan …” aku segera
menghentikan kata-kataku karena saat ini Arya sedang menatapku dengan pandangan
yang penuh tanda tanya.
“Sori. Aku salah ngomong ya?” ucapku.
“Nggak. Kamu…lucu.” Ucapnya dengan sedikit senyum mengembang
di bibirnya sehingga membuat aku jadi agak tersipu.
“Eng anu, kamu mau pinjam fotokopian juga?” tawarku.
“Boleh.” Jawabnya.
To Be continued...