Minggu, 15 April 2012

Novel | Wajah Kedua (Part 2)

Part 2
Belajar Kelompok Yang Menghebohkan


“Pagi Ren! Gimana renacana sore ini.” Sapa Erni, sobatku yang duduk di belakangku.
“Rencana apaan?” Tanya ku.
“Nggak usah berlagak blo’on deh. Enak banget ya jadi kamu, aku juga pingin belajar bareng sama Arya!” Erni memperlihatkan wajah cemberut plus ngirinya.
“Oh itu toh. Enak apaan, bakalan ngebosenin tau. Kamu sendiri tau kan gimana sifatnya. Jangan-jangan nanti cuma aku aja yang ngerjain tugas, trus dia hanya dengerin discmannya.” Keluh ku.
“Nggak mungkin dia secuek itu Ren.” Ucap Erni membela.
“Tapi…” aku segera menghentikan ucapanku karena orang yang lagi diomongin sudah nongol dari pintu kelas. Erni segera balik lagi ke bangkunya di belakang bersama Tuti.
Seperti biasanya, ini cowok nggak pake sapa-sapa kalo masuk. Langsung duduk dan melamun sampai ada guru datang. Tiba-tiba ada ide menarik terlintas dalam pikiranku.
“Umm. Arya!” Aku agak ragu-ragu menyapanya.
Arya menoleh padaku lalu mengangkat alisnya. Ini orang nggak bisa ngomong apa, pake bahasa tubuh segala. Tapi tampangnya jadi lucu kalo lagi begitu. Sementara itu Erni mulai memperhatikan pembicaraanku, mungkin karena takjub aku mau ngajak ngobrol Arya atau cuma mau dengar kata-kata Arya yang langka.
“Entar sore kan belajar kelompok. Santi dan Rasni gak bisa kalau sore ini. Jadi boleh nggak Erni sama Tuti ikutan juga.” Pinta ku.
Aneh juga sebenarnya, soalnya aku kan sang tuan rumah bukan si Arya, jadi nggak perlu minta ijin padanya. Tapi, aku takut menyinggung perasaannya. Aku takut dia berpikiran aku tidak mau berdua saja dengannya karena dia ngebosenin.
“Terserah.” Ucapnya dengan nada datar.
Aku tidak bisa membedakan apakah itu nada marah, keluh, atau pasrah. Ucapanya sungguh tidak berekspresi seperti juga orangnya. Aku tersenyum saja mendengar jawabannya.
“Makasih!” Ucapku, lalu membalikkan badan ke belakang dan mengacungkan jari jempol pada Erni yang langsung tersenyum gembira.

  

Jadi! sore itu Erni dan Tuti lebih dulu ke rumah sementara Arya belum nongol padahal sudah hampir jam empat sore. Kami menunggunya di teras rumah. Apakah dia marah? Tapi apa hak dia marah? Pacar bukan, sodara bukan, apalagi sohib.
Erni datang dengan dandanan modis seperti mau ke mall aja. Baju tank pink dan rok jeans pendek plus make up yang agak menonjol. Sedangkan Tuti dandanannya biasa-biasa aja. Kaos abu-abu dan celana pendek kargo tanpa make up. Kalo aku juga tampil sederhana. Celana puntung hitam dan kaos oranye bermotif beruang.
Kok jadi membicarakan dandanan sih. Yang jadi permasalahan sekarang adalah Arya. Kok belum datang sih. Sudah hampir setengah jam menunggu. Janjinya kan jam setengah empat.
Akhirnya orang yang ditunggu muncul juga. Hah! Apa itu arya? Ia datang dengan sepeda yang ada keranjangnya di depan seperti sepeda penjual koran. Dalam keranjang itu ada bola basket dan sebuah buku. Arya memakai celana kargo pendek berwarna coklat dan sweater biru tua bertuliskan nike dan logonya. Rambutanya acak-acakan seperti baru bangun tidur.
Tuti tersenyum lalu tertawa sementara Erni menahan tawanya, padahal ingin sekali ia tertawa. Aku hanya tersenyum menatapnya lalu membukakan pagar.
“Kenapa terlambat?” tanya ku setelah ia menuntun sepedanya masuk ke halaman rumahku.
“Ketiduran.” Jawabnya singkat tanpa rasa bersalah sama sekali.
Ia terlihat polos sekali seperti bayi. Ingin rasanya mencubit pipinya dan mengacak-acak rambutnya.
“Muka mu kusut sekali. Belum cuci muka ya.” Aku mencoba bercanda padanya.
Dia menatapku dengan tanpa ekspresi lalu tersenyum kecil. Duh makin cute aja, memang cewek-cewek di sekolah nggak hanya melebih-lebihkan orang ini.
“Yuk, kita udah nungguin dari tadi lho!” Aku mengajaknya masuk ke rumah.
“Sori.” Ucapnya.
Aku agak tertegun mendengarnya. Ini pertama kalinya aku mendengar kata itu dari mulutnya. Tapi, nada suaranya datar-datar saja seperti biasa. Seperti bukan meminta maaf dan tidak juga terdengar seperti nada kemarahan. Aku jadi bingung, dia mau bilang sori atau sore. Menyapa atau memohon?
Setibanya di kamar, aku mempersilahkan mereka bertiga untuk duduk. Arya duduk di bangku, sedangkan Erni dan Tuti duduk di atas ranjang. Sementara itu aku pergi ke dapur dan menyiapkan minuman serta cemilan.
Sepuluh menit kemudian aku datang membawa empat gelas sirup orange dan sepiring biskuit. Aku meletakkannya di atas lantai. Soalnya kamarku hanya terdiri dari sebuah lemari pakaian, meja belajar beserta kursinya, dan sebuah ranjang, dan semuanya diletakkan di sudut-sudut dinding. Jadi lantainya cukup luas untuk dijadikan ruang tamu.
“Sori! Cuma ada ini.” Ujarku mempersilahkan.
“Duh, gak perlu repot-repot Ren!” Ucap Erni.
Arya langsung duduk di lantai dan mengambil sebuah biskuit dan dimakan perlahan. Kami bertiga langsung kaget melihat sikapnya. Bukan karena sikapnya nggak sopan mengambil makanan tanpa dipersilahkan tuan rumah. Tapi karena Arya yang biasanya cuek dengan keadaan sekitarnya atau bisa dibilang pasif, menjadi agak aktif.
Keep focus girl! Aku mencoba memperingatkan diri untuk tidak terlalu lama bengong. “Umm, kamu lagu apa?” Tanyaku pada Erni.
“Apa ya? Coba lihat koleksi lagumu?”
“Aku nggak terlalu suka sih dengerin musik, jadi… lihat aja tuh di atas lemari.” Ucapku  lalu menunjuk ke sebuah lemari di sudut ruangan.
“Aku ini aja deh.” Ucap Erni sambil menunjuk kaset Christian Bautista.
Kata-kata pada lagu itu cukup simpel jadi mudah untuk diartikan, pilihan yang bagus. Sekarang back to my choice. Yup pilihan ku sendiri, karena Arya masih menikmati biskuit dihadapannya.
Setelah lama memilih, akhirnya pilihanku jatuh pada lagu Imagine dari The Beatles. Yup, lagu lama yang liriknya berisi kritik dan harapan dari sang penyanyi. Lirik-liriknya pun sangat simpel. Sebenarnya, kaset The Beatles ini bukan salah satu koleksi lagu-lagu ku. Sepertinya punya kak Farid yang entah kenapa bisa nyasar ke kamar ku.

Imagine there's no heaven, it’s easy if you try
No hell below us, above us only sky
Imagine all the people living for today...

Imagine there’s no country, it isn’t hard to do
Nothing to kill or die for, No religion too
Imagine all the people, living life in peace...

You may say I’m a dreamer
But I’m not the only one
I hope someday you'll join us
And the world will live as one

Imagine no possessions, I wonder if you can
No need for greed or hunger, a brotherhood of man
Imagine all the people sharing all the world...                        

Aku mulai menyalin lirik dari sampul kaset ke bukuku. Setelah selesai, aku mulai mencari kata-kata yang sulit di dalam kamus. Tiba-tiba suara teriakan Mama terdengar. Ada seseorang yang menelepon mencari ku.
Aku mengangkat telepon yang tergeletak di atas meja dapur dan segera mencari tahu siapa sih yang ganggu jam belajar aku.
“Hallo? Siapa nih?”
“Reni ya? Helen nih. Tadi siang sepulang sekolah, Erni bilang mau belajar kelompok bareng Arya. Belajarnya di rumah kamu apa rumah Arya? Aku boleh gabung nggak?” ucapan Helen seperti semburan air yang keluar begitu derasnya dari speaker phone.
“Duh. Satu-satu dong. Sekarang kita lagi belajar bareng.” Ujar ku. Dasar Erni tukang pamer, kenapa dia ngomong ke orang lain.
“Hah! Erni bilang entar malam belajarnya. Huh mau enakan sendirian. Ya udah, kamu lagi dimana nih?” Helen berkoar dengan suara jengkelnya.
“Emang kamu lagi nelpon kemana non. Ke rumah ku kan.” Ucapku.
“Ya ampun. Sori, penyakit lama aku kambuh. Ya udah aku ke sana yah?
Duh! Gawat nih dia mau datang juga, bisa heboh nih rumah. Ah pura-pura aja Arya nya pulang. “Eh Arya! Udah mau pulang ya? Oh mau latihan basket…”
“Eh Ren, itu Arya ya? Aku boleh ngomong sama dia?” Helen langsung nyeluduk begitu mendengar aku berbicara sama Arya.
“Wah! Aryanya udah keburu pergi tuh?” jelasku (bohong).
“Yah, bisa nahan dia, sebentar aja. Aku udah masuk kompleks rumah kamu nih.”
What? Dia udah di sini? Nggak mauuuuu.

Beberapa menit setelah aku menutup telepon, terdengar suara mesin mobil yang berhenti di depan rumah. Aku melirik ke jendela, di sana telah parkir Honda Jazz merah. Aku segera berlari menuju kamar untuk melaporkan keadaan sekarang, sekalian meminta pertanggung jawaban Erni yang seenaknya saja mengundang orang.
“GAWAT!!! Lho Arya mana?”
“Udah pulang, katanya ada latihan basket.” Jelas Tuti.
“Apa?” aku agak tersentak. Kok bisa sama ya dengan skenario ku.
“Emang dia nggak ngomong sama kamu ya?” tanya Erni penasaran. Aku mengangguk.
“Hah! Jadi langsung keluar aja. Nggak sopan banget tuh anak, nggak tau adat istiadat, tata krama…”
“Sopan santun, budi pekerti dan bla bla bla. Penyakit boros kata kamu masih belum sembuh.” Erni segera memotong cemohan Tuti. “Lagian dia sudah mengerjakan tugasnya kok.” Sambungnya sambil menunjuk tumpukan buku tugas ku yang berserakan di atas lantai.
Aku segera menghampiri buku catatanku dan mengecek hasil kerjaan Arya.
“Ren, Tadi kamu bilang ada yang gawat. Apanya yang gawat?” tanya Erni hingga membuatku tersadar kembali dari tulisan-tulisan di buku ini.
“Ah ya, gawat banget. Helen…” aku menghentikan ucapanku sejenak karena mendengar suara teriakan Mama. “ada di sini.” Sambung ku kemudian setelah teriakan Mama selesai.
“APA!” Tuti dan Erni kompak berteriak. Sementara aku keluar dari kamar sambil melotot tajam pada Erni yang agak pucat.

Mama langsung menyambarku dan mencegatku setelah keluar kamar. “Ada teman mu tuh, kenapa nggak bilang kalo yang datang banyak begitu. Mama kan bisa masakin kue yang banyak.”
“Hah! Emang si Helen bawa berapa pasukan?” aku sedikit mengintip ke ruang tamu. Di sana ada Helen, Adel, Indah, Sari, Dewi dan Lola.
“Yah sudah, ajak masuk sana. Mama mau buatkan sirup dulu.” Ucap Mama.
Aku segera melangkahkan kakiku yang terasa malas menuju ruang tamu.
“Sore Ren!” Helen menyapaku, kemudian yang lainpun ikutan menyapa.
“Sore.” Aku menjawab agak malasan. “Kok semuanya bisa ada di sini?” tanyaku.
“Mau belajar bareng.” Jawab kelimanya kompak sambil cengar-cengir.
“Ren! Aryanya ada kan?” tanya Lola.
Ini nih jawaban sebenarnya. Mereka berlima datang ke sini bukan buat belajar kelompok, tapi buat nyari Arya. Kenapa nggak langsung ke rumahnya sih. Aku menggeleng. “Sudah pulang dari tadi.”
“Hah! Kenapa nggak ditahan dulu.” Ucap Helen dengan nada kecewa.
“Memang dia sudah selesai kok. Lagian dia baru aja keluar pakai sepeda. Trus celana pendek ama sweater warna biru. Emang kalian nggak ketemu di jalan?” jelas ku.
“Hah! Yang benar Ren? Kalo gitu kita cabut dulu. Emang dia jalan ke arah mana?” tanya Helen.
“Nggak tau. Waktu dia pergi, kamu lagi nelpon aku kan. Tapi, tadi waktu datang, dia dari arah kanan. Mungkin pulangnya ke arah situ juga kali.” Jelas ku secara terperinci, soalnya ini orang punya bakat jadi wartawan. Pertanyaannya nggak bakalan selesai-selesai kalo cuma jawab asal-asalan.
“Makasih ya Ren. Yuk!” Helen mengomandani anak buahnya untuk segera meninggalkan rumahku. Suara deru mesin mobil Helen pun terdengar, semakin lama-semakin pelan suaranya, tanda ia telah menjauh.
Mama muncul membawa nampan dan langsung terpana melihat ruang tamu yang tiba-tiba menjadi sunyi.
“Ren. Teman-teman kamu mana?” tanya Mama.
“Udah pulang Ma. Mereka cuma mau nyari sesuatu.” Jawab ku.
“Waduh! Padahal Mama udah buatin sirup nih.” Keluh Mama.
“Sini, biar Reni habisin Ma.” Ucapku kesal.

To be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar