Kisah di Lagu Itu…
Diva Larasati, itulah
namaku. Aku baru saja naik kelas 2 SMA dan akhirnya aku bisa sekelas dengan
sahabatku Dila dan Riska. Saat itu, banyak teman sekelasku yang sedang
berbunga-bunga dengan kisah cinta mereka. Namun tidak denganku yang sibuk
dengan kegiatan PMR dan Mading Sekolah. Bukannya tidak laku sih, banyak
cowok-cowok yang cari muka dan nembak aku namun aku masih pikir-pikir dulu
untuk pacaran.
Siang itu aku kaget melihat
isi pesan SMS yang masuk ke HPku. Bukan isinya yang membuat kaget, melainkan
pengirimnya. Vian alias Alvian, kakak Kelas ku di Sekolah. Aku sangat kagum
padanya bahkan boleh dibilang suka. Aku bingung mau menjawab apa? Padahal Isi
pesan itu hanya berbunyi “Hi Diva! Gimana kabarmu? Lagi ngapain nih?”
Aku mendiskusikan isi pesan
itu dengan sahabatku, Dila. Aku pun membalasnya sambil berharap-harap cemas.
Menit berlalu berganti jam namun tak ada balasan darinya. Sepertinya aku
terlalu berharap banyak nih.
Esoknya kami tak sengaja
berpapasan saat akan masuk gerbang sekolah. Dia memberikan senyuman dan kubalas
dengan senyuman pula. Namun setelah itu tak sepatah kata terucap dari kami. Aku
malu menyapa karena takut dikira kege-eran.
Sementara itu dikelas, aku
menceritakan kejadian itu sama Dila. Namun belum puas bercerita, Ibu Guru sudah
masuk kelas dengan mata melotot kepada kami. Terpaksa harus nunggu istirahat
untuk melanjutkannya.
Saat istirahat…
“Dila! Jadi gimana
menurutmu?” ucapku saat kami berdua tengah duduk di sudut kantin Sekolah.
“Yah, itu cuma kebetulan
saja. Gak perlu ge-er!” ejeknya. Aku cemberut sambil memelototinya dengan
pandangan sinis.
“Ada apa sih?” Riska datang
dengan semangkok Bakso dan pertanyaannya.
“Ininih! Ada yang lagi jatuh
hati sama Kak Vian.” Jelas Dila tanpa basa-basi.
“IH! DILA! Siapa yang
ngomong begitu?” sergahku.
“Oh, jadi Diva ya?” ucap
Riska dengan nada menggombal padaku.
“Wah, beneran nih? Suit
suit!” tiba-tiba Erick nyeruduk dengan gombalannya dari belakang. Kebetulan dia
duduk di meja di belakang kami dan mencuri dengar.
“Apaan sih! Aku balik aja
deh. Jengkel aku disini!” aku menggerutu sambil meninggalkan kerumunan
teman-temanku yang mulai menggosip.
Dan acara gosip pun semakin
ramai karena dua orang tersangkanya sama-sama hadir di Kantin bahkan hampir
tabrakan. Aku memandang wajah Kak Vian sejenak lalu pergi dengan tampang
jutekku. Entah apa yang akan dipikirkan oleh Kak Vian, aku tak perduli.
***
Jika aku sedang dirundung
masalah aku biasanya curhat padanya. Dia adalah kakak kelasku juga, namanya
Gilang. Namun entah mengapa akhir-akhir ini kami seperti sedang marahan.
Biasanya dia selalu membalas semua SMS ku, membantuku mengerjakan PR dan
mendengarkan curhatku. Aku mencoba mengirim pesan sekali lagi padanya.
Lama pesan itu kukirim namun
sang tujuan tak kunjung menyambut dan membalasnya. Aku mulai merasa gundah dan
air mataku pun jatuh. Aku merasa seperti semua orang menjauhiku bahkan
memusuhiku. Aku hanya dapat mencurahkan isi hatiku lewat facebook yang
ditanggapi dengan asal-asalan oleh orang-orang yang nggak aku kenal. Entah
mengapa aku memasukkan mereka ke dalam daftar temanku. Mungkin satu-satunya
komentar yang masuk akal adalah komentar Riska yang meminta maaf atas tragedi
di kantin tadi, dan mereka hanya bercanda.
Sebuah pesan masuk di saat
mataku hampir terpejam. Siapa sih yang menginterupsiku untuk masuk ke alam
mimpi. Aku pun membuka isi pesan itu dan membacanya.
“Ada apa? Sepertinya ada masalah ya?
Nggak usah bersedih coz everything gonna be OK!”
Sebuah senyuman mengembang
di pipiku. Aku melupakan dia dari daftar curhatku hari ini. Sebuah kalimat yang
sangat ingin ku dengar akhirnya datang juga. Dia adalah orang yang kuanggap
kakakku. Namanya Arham dan ia sedang kuliah tahun ke tiga di Jepang. Akupun
menceritakan semuanya dengan manja dan agak lebay. Aku tidak punya kakak
laki-laki, makanya dia kuanggap sebagai kakak laki-lakiku tempatku untuk
bermanja. Aku mengenalnya saat dia menjadi guru privat Bahasa Inggris saat aku
masih SMP dulu. Kebetulan dia masih bersepupu dengan tetangga ku juga.
Akhirnya malam itu aku
mendapatkan nasihat, ceramah dan sanjungan darinya. Sedihku hilang dan aku
dapat tidur lelap dengan mimpi indah malam ini. Aku tak takut hari esok semua
orang mencemohku, bahkan bila itu Kak Vian sekalipun.
***
Pagi ini aku mendapatkan
kejutan SMS dari Kak Vian. Sebuah salam sapa dan pertanyaan centil darinya
muncul dari layar HPku. Ia bertanya aku sudah makan? Makan apa?
Aku menjawabnya dengan
jujur. Nggak usah dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangkan. Aku juga heran
dengan pertanyaannya. Apakah dia mau numpang makan di rumahku? Gak mungkin lah.
Semenit setelah aku
membalas, keajaiban pun datang. Ia langsung membalas SMSku. Padahal aku sudah
siap dan ikhlas bila dia tak membalas SMSku. Akhirnya pagi itu kami saling
SMSan dengan pertanyaan-pertanyaan gombal. Hingga akhirnya aku sadar kalo Dila
sudah berada di depan rumah untuk mengajakku ke sekolah. Aku melihat piringku
yang masih penuh dengan nasi goreng sedangkan jarum jam dinding di dapur sudah
menunjukkan angka 7 kurang lima menit. Aku harus menyudahi acara SMS dan
makanku, terpaksa aku menyisakan makananku pagi ini. Mama pasti marah lihat
piringku yang masih rame dengan hasil jerih payahnya memasak. I’m sorry Mom!
Untung saja sekolah kami
dekat dari rumah sehingga 5 menit berjalan kaki, aku dan Dila sudah berada di
depan gerbang sekolah. Sementara itu dibelakang kami, Kak Vian baru saja turun
dari angkutan Umum. Ia menyapa kami berdua dan bercerita sedikit mengenai
kejadian di terminal kepada kami, sambil berjalan menuju kelas.
Saat di kelas, Dila terus
memandangku dengan tatapan curiga. Padahal sudah seminggu berlalu dari tuduhan
“Aku Suka Kak Vian” saat di kantin. Sepertinya sebentar lagi suasana akan
heboh. Dan aku akan jadi korban acara gosip dadakan yang diadakan oleh Dila dan
Erick. Sungguh malang nasibku punya teman cerewet seperti mereka. Dan saat
mereka sudah memulai kegiatan itu, aku hanya pasrah dan bersembunyi dalam
pelukan Riska.
Akhirnya prediksiku benar
dan hari ini terasa sangat panjang dan melelahkan. Aku harus terus menerus
mengelak dari pertanyaan aneh mereka berdua. Untung saja pelajaran Matematika
setelah istirahat akan ulangan harian sehingga aku tidak terlalu ditekan saat
istirahat.
Sorenya…
Aku sedang asyik menonton
kartun ditemani segelas sirup jeruk dan wafer kesukaanku. Tiba-tiba Hpku
bergetar minta diangkat. Siapa sih yang tega mengganggu ketenanganku sore ini.
Aku melihat layar di HP terpampang nama Vian memanggil…
Aku sempat ragu untuk
mengangkat namun tatapan curiga Mama membuatku terpaksa menjawab panggilan itu.
Aku berjalan menuju kamarku sambil menelepon. Kalau di Kamar, Mama tidak bisa
mendengar pembicaraan kami.
“Hallo!” sapaku.
“Hallo, Diva! Mengganggu
tidak?” tanyanya.
“Tidak! Memangnya ada apa
nih? Tumben telepon?” jawabku. Sebenarnya ingin sekali memarahinya karena
mengganggu rutinitas sore hariku.
“Hmmm! Begini… sebenarnya…
aku suka sama Diva. Mau nggak jadi pacarku?” ucapnya yang membuat jantungku
berdegup makin kencang.
Aku bingung mau menjawab apa,
dan tak sengaja aku memutuskan telepon itu. Namun beberapa menit kemudian dia
mengirimkan SMS berisi ucapan yang sama. Aku jadi bingung, ingin menjawab apa.
Aku hanya meminta waktu beberapa hari untuk berpikir. Dan syukurlah dia pun
tidak ngotot menuntut jawaban.
Kak Vian, cowok keren di
sekolah yang selalu masuk 10 besar. Cewek-cewek banyak yang mengaguminya dan
dia pun punya seorang pacar bernama Dian. Bahkan ceweknya pernah membentak kami
hanya karena kami kebetulan berjalan bersama. Memang sih dulu aku sempat
menyimpan rasa padanya. Tapi sekarang ini, entahlah aku hanya menganggapnya
seperti kakakku yang lain.
Aku teringat Kak Arham. Aku
mau minta pendapatnya. Akupun mengirimkan sebuah pesan singkat padanya.
Mudah-mudahan jawabannya dapat menenangkan hatiku.
Akhirnya balasan darinya pun
datang beberapa menit kemudian. Ia malah bertanya balik padaku, dan menyuruhku
bertanya pada Kak Vian, apa yang ia sukai dari diriku.
Akupun menjelaskan segala
situasiku, isi hatiku pada Kak Vian dan juga tentang Dian sang mantan yang
jutek plus judes.
Kak Arham menyarankanku
untuk tidak menerimanya, sebaiknya aku berkonsentrasi pada sekolah dahulu
karena cita-citaku sangat tinggi, yaitu menjadi seorang Dokter. Ia pun
memberikan sedikit nasihat dan kata-kata yang menenangkan hatiku. Kata-kata
untuk menolak pernyataan Kak Vian dengan sopan tanpa merasa bersalah. Akupun
mempraktikannya kepada Kak Vian, namun baru beberapa hari kemudian barulah aku
bisa mengatakan itu padanya.
***
Seminggu telah berlalu setelah
penolakkanku terhadap Kak Vian. Kini, aku telah resmi menyandang status sebagai
pacar baru Kak Vian. Heran kan?
Sebenarnya saat menolaknya,
dia terus-menerus mendesakku dengan berbagai macam rayuan hingga akhirnya tadi
malam akupun menerimanya. Namun aku bilang padanya untuk merahasiakan hubungan
ini dan jangan sampai teman-teman sekolah ada yang tahu. Aku masih malu
menyandang status ini, apalagi kalau Erick dan Dila tahu. Bisa-bisa satu
sekolah dipasangi pengumuman hubungan kami. Aku juga tak mengatakannya pada Kak
Arham. Aku takut dia kecewa kepadaku karena tak menuruti nasihatnya, meskipun
dia bilang aku boleh memutuskan sendiri.
Setiap pagi, Kak Vian selalu
menyapaku dengan kata-kata yang membuatku terseyum. Dia juga membantuku dengan
PR. Inilah untungnya punya pacar seorang jenius. Sesekali dia mengantarku
pulang sekolah atau menemaniku membeli sesuatu. Yah, namanya juga pasangan baru.
Di hari ketiga jadian kami,
akupun mulai menerima hubungan ini dan menceritakan semuanya pada Riska dan
Dila. Sebaiknya aku jujur pada mereka, karena mereka pun sudah menaruh curiga
padaku yang makin dekat dengan Kak Vian. Tak lupa aku memohon mereka untuk
menjaga rahasiaku ini. Riska sih sudah tahu duluan karena dia juga anggota OSIS
seperti Kak Vian.
Baru beberapa hari jadian,
akhirnya aku bertemu dengan Dian secara tidak sengaja. Kebetulan Dian tinggal
di dekat kompleks rumahku. Saat itu Kak Vian pun sedang jalan denganku. Dia menggenggam
tanganku saat berpapasan dengan Dian. Aku pun jadi gelisah melihatnya, aku
takut Dian mengamuk dan menyerangku.
Untung saja nyawaku hari itu
selamat. Aku tak berani membuka facebook karena takut komentar-komentar pedis
darinya di status maupun inboxku.
Besoknya aku terkejut
melihat SMS yang datang dari Kak Vian. SMS yang mengatakan kalau dia masih
mencintai Dian dan dia menjadikanku pacar hanya untuk membuat Dian cemburu.
Hatiku langsung hancur lebur berantakan. Aku tidak pernah membalas SMS itu sama
sekali. Aku marah, aku sedih, aku hancur, aku menyesal. Aku jadi teringat
sebuah lagu dari Afgan berjudul “Sadis”. Aku menyanyikan lagu itu sambil
menitihkan air mataku. Ternyata kisah di lagu itu… menjadi kisahku.
Terlalu sadis caramu menjadikan diriku
Pelampiasan cintamu agar dia kembali
padamu
Tanpa perduli sakitnya aku…
Tega niannya caramu menyingkirkan diriku
Dari percintaan ini agar dia kembali
padamu
Tanpa perduli sakitnya aku…
Aku tak menyanyikan lagu
Reff. Karena aku tak ingin dia kembali dan tak ingin dijadikan tempat kembali
sebagai cintanya. Aku juga tak berharap semoga tuhan membalas semua yang
terjadi. Seperti kata Kak Arham, kita harus saling memaafkan juga jalani semua
ini dengan sabar dan tegar.
Malam itu aku bersedih
sendiri namun aku tidak terlalu sedih juga. Karena memang dari awalnya aku tidak
berniat pacaran sama dia. Mungkin memang terlalu cepat bagiku untuk merasakan
kehidupan cinta. Namun ini bukanlah akhir dari segalanya. Aku masih punya
teman-teman yang selalu setia mendukungku di saat senang dan susah. Aku juga
masih memiliki Kakak yang selalu mendengarkan curhatku dengan sabar.
Aku menceritakan kisah ini
kepada sahabatku Riska dan Dila. Juga kepada Kakakku Arham. Mungkin terlalu
berlebihan jika kisah di lagu itu kujadikan kisah ku. Namun aku ingin menulis
sendiri kisahku, mimpiku dan harapanku. Agar secerah bintang yang bersinar paling
terang itu. Agar menjadi Kisah yang berakhir bahagia. Sehingga orang-orang kan
tersenyum menyanyikan lagu tentang kisahku. ^o^
Tidak ada komentar:
Posting Komentar