Minggu, 22 April 2012

Cerpen | Kisah di Lagu Itu…


Kisah di Lagu Itu…

Diva Larasati, itulah namaku. Aku baru saja naik kelas 2 SMA dan akhirnya aku bisa sekelas dengan sahabatku Dila dan Riska. Saat itu, banyak teman sekelasku yang sedang berbunga-bunga dengan kisah cinta mereka. Namun tidak denganku yang sibuk dengan kegiatan PMR dan Mading Sekolah. Bukannya tidak laku sih, banyak cowok-cowok yang cari muka dan nembak aku namun aku masih pikir-pikir dulu untuk pacaran.
Siang itu aku kaget melihat isi pesan SMS yang masuk ke HPku. Bukan isinya yang membuat kaget, melainkan pengirimnya. Vian alias Alvian, kakak Kelas ku di Sekolah. Aku sangat kagum padanya bahkan boleh dibilang suka. Aku bingung mau menjawab apa? Padahal Isi pesan itu hanya berbunyi “Hi Diva! Gimana kabarmu? Lagi ngapain nih?”

Aku mendiskusikan isi pesan itu dengan sahabatku, Dila. Aku pun membalasnya sambil berharap-harap cemas. Menit berlalu berganti jam namun tak ada balasan darinya. Sepertinya aku terlalu berharap banyak nih.
Esoknya kami tak sengaja berpapasan saat akan masuk gerbang sekolah. Dia memberikan senyuman dan kubalas dengan senyuman pula. Namun setelah itu tak sepatah kata terucap dari kami. Aku malu menyapa karena takut dikira kege-eran.
Sementara itu dikelas, aku menceritakan kejadian itu sama Dila. Namun belum puas bercerita, Ibu Guru sudah masuk kelas dengan mata melotot kepada kami. Terpaksa harus nunggu istirahat untuk melanjutkannya.
Saat istirahat…
“Dila! Jadi gimana menurutmu?” ucapku saat kami berdua tengah duduk di sudut kantin Sekolah.
“Yah, itu cuma kebetulan saja. Gak perlu ge-er!” ejeknya. Aku cemberut sambil memelototinya dengan pandangan sinis.
“Ada apa sih?” Riska datang dengan semangkok Bakso dan pertanyaannya.
“Ininih! Ada yang lagi jatuh hati sama Kak Vian.” Jelas Dila tanpa basa-basi.
“IH! DILA! Siapa yang ngomong begitu?” sergahku.
“Oh, jadi Diva ya?” ucap Riska dengan nada menggombal padaku.
“Wah, beneran nih? Suit suit!” tiba-tiba Erick nyeruduk dengan gombalannya dari belakang. Kebetulan dia duduk di meja di belakang kami dan mencuri dengar.
“Apaan sih! Aku balik aja deh. Jengkel aku disini!” aku menggerutu sambil meninggalkan kerumunan teman-temanku yang mulai menggosip.
Dan acara gosip pun semakin ramai karena dua orang tersangkanya sama-sama hadir di Kantin bahkan hampir tabrakan. Aku memandang wajah Kak Vian sejenak lalu pergi dengan tampang jutekku. Entah apa yang akan dipikirkan oleh Kak Vian, aku tak perduli.

***

Jika aku sedang dirundung masalah aku biasanya curhat padanya. Dia adalah kakak kelasku juga, namanya Gilang. Namun entah mengapa akhir-akhir ini kami seperti sedang marahan. Biasanya dia selalu membalas semua SMS ku, membantuku mengerjakan PR dan mendengarkan curhatku. Aku mencoba mengirim pesan sekali lagi padanya.
Lama pesan itu kukirim namun sang tujuan tak kunjung menyambut dan membalasnya. Aku mulai merasa gundah dan air mataku pun jatuh. Aku merasa seperti semua orang menjauhiku bahkan memusuhiku. Aku hanya dapat mencurahkan isi hatiku lewat facebook yang ditanggapi dengan asal-asalan oleh orang-orang yang nggak aku kenal. Entah mengapa aku memasukkan mereka ke dalam daftar temanku. Mungkin satu-satunya komentar yang masuk akal adalah komentar Riska yang meminta maaf atas tragedi di kantin tadi, dan mereka hanya bercanda.
Sebuah pesan masuk di saat mataku hampir terpejam. Siapa sih yang menginterupsiku untuk masuk ke alam mimpi. Aku pun membuka isi pesan itu dan membacanya.
“Ada apa? Sepertinya ada masalah ya? Nggak usah bersedih coz everything gonna be OK!”
Sebuah senyuman mengembang di pipiku. Aku melupakan dia dari daftar curhatku hari ini. Sebuah kalimat yang sangat ingin ku dengar akhirnya datang juga. Dia adalah orang yang kuanggap kakakku. Namanya Arham dan ia sedang kuliah tahun ke tiga di Jepang. Akupun menceritakan semuanya dengan manja dan agak lebay. Aku tidak punya kakak laki-laki, makanya dia kuanggap sebagai kakak laki-lakiku tempatku untuk bermanja. Aku mengenalnya saat dia menjadi guru privat Bahasa Inggris saat aku masih SMP dulu. Kebetulan dia masih bersepupu dengan tetangga ku juga.
Akhirnya malam itu aku mendapatkan nasihat, ceramah dan sanjungan darinya. Sedihku hilang dan aku dapat tidur lelap dengan mimpi indah malam ini. Aku tak takut hari esok semua orang mencemohku, bahkan bila itu Kak Vian sekalipun.

***

Pagi ini aku mendapatkan kejutan SMS dari Kak Vian. Sebuah salam sapa dan pertanyaan centil darinya muncul dari layar HPku. Ia bertanya aku sudah makan? Makan apa?
Aku menjawabnya dengan jujur. Nggak usah dilebih-lebihkan atau dikurang-kurangkan. Aku juga heran dengan pertanyaannya. Apakah dia mau numpang makan di rumahku? Gak mungkin lah.
Semenit setelah aku membalas, keajaiban pun datang. Ia langsung membalas SMSku. Padahal aku sudah siap dan ikhlas bila dia tak membalas SMSku. Akhirnya pagi itu kami saling SMSan dengan pertanyaan-pertanyaan gombal. Hingga akhirnya aku sadar kalo Dila sudah berada di depan rumah untuk mengajakku ke sekolah. Aku melihat piringku yang masih penuh dengan nasi goreng sedangkan jarum jam dinding di dapur sudah menunjukkan angka 7 kurang lima menit. Aku harus menyudahi acara SMS dan makanku, terpaksa aku menyisakan makananku pagi ini. Mama pasti marah lihat piringku yang masih rame dengan hasil jerih payahnya memasak. I’m sorry Mom!
Untung saja sekolah kami dekat dari rumah sehingga 5 menit berjalan kaki, aku dan Dila sudah berada di depan gerbang sekolah. Sementara itu dibelakang kami, Kak Vian baru saja turun dari angkutan Umum. Ia menyapa kami berdua dan bercerita sedikit mengenai kejadian di terminal kepada kami, sambil berjalan menuju kelas.
Saat di kelas, Dila terus memandangku dengan tatapan curiga. Padahal sudah seminggu berlalu dari tuduhan “Aku Suka Kak Vian” saat di kantin. Sepertinya sebentar lagi suasana akan heboh. Dan aku akan jadi korban acara gosip dadakan yang diadakan oleh Dila dan Erick. Sungguh malang nasibku punya teman cerewet seperti mereka. Dan saat mereka sudah memulai kegiatan itu, aku hanya pasrah dan bersembunyi dalam pelukan Riska.
Akhirnya prediksiku benar dan hari ini terasa sangat panjang dan melelahkan. Aku harus terus menerus mengelak dari pertanyaan aneh mereka berdua. Untung saja pelajaran Matematika setelah istirahat akan ulangan harian sehingga aku tidak terlalu ditekan saat istirahat.

Sorenya…
Aku sedang asyik menonton kartun ditemani segelas sirup jeruk dan wafer kesukaanku. Tiba-tiba Hpku bergetar minta diangkat. Siapa sih yang tega mengganggu ketenanganku sore ini. Aku melihat layar di HP terpampang nama Vian memanggil…
Aku sempat ragu untuk mengangkat namun tatapan curiga Mama membuatku terpaksa menjawab panggilan itu. Aku berjalan menuju kamarku sambil menelepon. Kalau di Kamar, Mama tidak bisa mendengar pembicaraan kami.
“Hallo!” sapaku.
“Hallo, Diva! Mengganggu tidak?” tanyanya.
“Tidak! Memangnya ada apa nih? Tumben telepon?” jawabku. Sebenarnya ingin sekali memarahinya karena mengganggu rutinitas sore hariku.
“Hmmm! Begini… sebenarnya… aku suka sama Diva. Mau nggak jadi pacarku?” ucapnya yang membuat jantungku berdegup makin kencang.
Aku bingung mau menjawab apa, dan tak sengaja aku memutuskan telepon itu. Namun beberapa menit kemudian dia mengirimkan SMS berisi ucapan yang sama. Aku jadi bingung, ingin menjawab apa. Aku hanya meminta waktu beberapa hari untuk berpikir. Dan syukurlah dia pun tidak ngotot menuntut jawaban.
Kak Vian, cowok keren di sekolah yang selalu masuk 10 besar. Cewek-cewek banyak yang mengaguminya dan dia pun punya seorang pacar bernama Dian. Bahkan ceweknya pernah membentak kami hanya karena kami kebetulan berjalan bersama. Memang sih dulu aku sempat menyimpan rasa padanya. Tapi sekarang ini, entahlah aku hanya menganggapnya seperti kakakku yang lain.
Aku teringat Kak Arham. Aku mau minta pendapatnya. Akupun mengirimkan sebuah pesan singkat padanya. Mudah-mudahan jawabannya dapat menenangkan hatiku.
Akhirnya balasan darinya pun datang beberapa menit kemudian. Ia malah bertanya balik padaku, dan menyuruhku bertanya pada Kak Vian, apa yang ia sukai dari diriku.
Akupun menjelaskan segala situasiku, isi hatiku pada Kak Vian dan juga tentang Dian sang mantan yang jutek plus judes.
Kak Arham menyarankanku untuk tidak menerimanya, sebaiknya aku berkonsentrasi pada sekolah dahulu karena cita-citaku sangat tinggi, yaitu menjadi seorang Dokter. Ia pun memberikan sedikit nasihat dan kata-kata yang menenangkan hatiku. Kata-kata untuk menolak pernyataan Kak Vian dengan sopan tanpa merasa bersalah. Akupun mempraktikannya kepada Kak Vian, namun baru beberapa hari kemudian barulah aku bisa mengatakan itu padanya.

***

Seminggu telah berlalu setelah penolakkanku terhadap Kak Vian. Kini, aku telah resmi menyandang status sebagai pacar baru Kak Vian. Heran kan?
Sebenarnya saat menolaknya, dia terus-menerus mendesakku dengan berbagai macam rayuan hingga akhirnya tadi malam akupun menerimanya. Namun aku bilang padanya untuk merahasiakan hubungan ini dan jangan sampai teman-teman sekolah ada yang tahu. Aku masih malu menyandang status ini, apalagi kalau Erick dan Dila tahu. Bisa-bisa satu sekolah dipasangi pengumuman hubungan kami. Aku juga tak mengatakannya pada Kak Arham. Aku takut dia kecewa kepadaku karena tak menuruti nasihatnya, meskipun dia bilang aku boleh memutuskan sendiri.
Setiap pagi, Kak Vian selalu menyapaku dengan kata-kata yang membuatku terseyum. Dia juga membantuku dengan PR. Inilah untungnya punya pacar seorang jenius. Sesekali dia mengantarku pulang sekolah atau menemaniku membeli sesuatu. Yah, namanya juga pasangan baru.
Di hari ketiga jadian kami, akupun mulai menerima hubungan ini dan menceritakan semuanya pada Riska dan Dila. Sebaiknya aku jujur pada mereka, karena mereka pun sudah menaruh curiga padaku yang makin dekat dengan Kak Vian. Tak lupa aku memohon mereka untuk menjaga rahasiaku ini. Riska sih sudah tahu duluan karena dia juga anggota OSIS seperti Kak Vian.
Baru beberapa hari jadian, akhirnya aku bertemu dengan Dian secara tidak sengaja. Kebetulan Dian tinggal di dekat kompleks rumahku. Saat itu Kak Vian pun sedang jalan denganku. Dia menggenggam tanganku saat berpapasan dengan Dian. Aku pun jadi gelisah melihatnya, aku takut Dian mengamuk dan menyerangku.
Untung saja nyawaku hari itu selamat. Aku tak berani membuka facebook karena takut komentar-komentar pedis darinya di status maupun inboxku.
Besoknya aku terkejut melihat SMS yang datang dari Kak Vian. SMS yang mengatakan kalau dia masih mencintai Dian dan dia menjadikanku pacar hanya untuk membuat Dian cemburu. Hatiku langsung hancur lebur berantakan. Aku tidak pernah membalas SMS itu sama sekali. Aku marah, aku sedih, aku hancur, aku menyesal. Aku jadi teringat sebuah lagu dari Afgan berjudul “Sadis”. Aku menyanyikan lagu itu sambil menitihkan air mataku. Ternyata kisah di lagu itu… menjadi kisahku.

Terlalu sadis caramu menjadikan diriku
Pelampiasan cintamu agar dia kembali padamu
Tanpa perduli sakitnya aku…

Tega niannya caramu menyingkirkan diriku
Dari percintaan ini agar dia kembali padamu
Tanpa perduli sakitnya aku…

Aku tak menyanyikan lagu Reff. Karena aku tak ingin dia kembali dan tak ingin dijadikan tempat kembali sebagai cintanya. Aku juga tak berharap semoga tuhan membalas semua yang terjadi. Seperti kata Kak Arham, kita harus saling memaafkan juga jalani semua ini dengan sabar dan tegar.
Malam itu aku bersedih sendiri namun aku tidak terlalu sedih juga. Karena memang dari awalnya aku tidak berniat pacaran sama dia. Mungkin memang terlalu cepat bagiku untuk merasakan kehidupan cinta. Namun ini bukanlah akhir dari segalanya. Aku masih punya teman-teman yang selalu setia mendukungku di saat senang dan susah. Aku juga masih memiliki Kakak yang selalu mendengarkan curhatku dengan sabar.
Aku menceritakan kisah ini kepada sahabatku Riska dan Dila. Juga kepada Kakakku Arham. Mungkin terlalu berlebihan jika kisah di lagu itu kujadikan kisah ku. Namun aku ingin menulis sendiri kisahku, mimpiku dan harapanku. Agar secerah bintang yang bersinar paling terang itu. Agar menjadi Kisah yang berakhir bahagia. Sehingga orang-orang kan tersenyum menyanyikan lagu tentang kisahku. ^o^

Tidak ada komentar:

Posting Komentar