Rabu, 16 Maret 2011

Maafkan Aku Sasya...


Namanya Salsabila. Aku biasa memanggilnya Sasya. Lidahku agak aneh saat mengucap huruf “L”, sehingga “Salsa” ku ucap jadi “Sasa”. Dia adik sepupuku yang berusia 6 tahun. Meskipun dia kadang sangat menjengkelkan, namun aku tetap menyayanginya. Dia adalah malaikat penolongku yang menolongku dari kematian. Sayang aku sudah terlambat menyadari nasihat darinya...
***
Aku adalah seorang wanita bebas dan tak terikat apapun. Karena masalah keluarga, aku kabur dari rumah dan memutuskan kuliah di Singapura. Di saat liburan semester, aku tinggal di rumah Bu’de di Batam. Sebagai rasa terima kasih karena sudah diijinkan numpang, aku selalu menjaga Butik Bu’de. Meskipun sering sunyi, tapi aku tak pernah bosan dan jenuh.
Aku bersyukur bisa mendapatkan beasiswa di sebuah universitas di Singapura. Dari 880 kompetitor nasional, aku berhasil terjaring sebagai 20 mahasiswa yang mendapatkan beasiswa penuh. Aku mengambil jurusan psikologi dan aku berkonsentrasi pada psikologi remaja.
Aku juga punya seorang pacar yang sangat tampan dan perhatian terhadapku. Namanya Ricky Indra Prasetya dan orangnya sangat cool. Pokoknya tipe-tipe pangeran lah. Kakak ku, sering menyingkat namanya menjadi RIP. Saat pertama kali mendengarnya, aku tertawa dan agak jengkel juga. RIP alias Rest In Place, adalah sebuah tulisan yang tertera pada batu nisan kuburan.

Rabu, 09 Maret 2011

Cerpen | Tak Termiliki

Cinta itu tak harus memiliki. Syukurilah rasa cinta yang diberikan tuhan kepadamu. Tak semua orang pernah merasakan kisah cinta yang indah. Jika kamu mencintainya, cintailah dia dalam hatimu. Meski mulut tak dapat mengungkapkannya namun hatimu dapat menyampaikannya. Kebanyakan sulit dan sering berkata bohong tentang mengikhlaskan cinta. Mereka tak rela bila cinta mereka tak termiliki. Well, dengarkanlah kisahku ini...

Malam ini aku tak bisa tidur karena pertengkaranku dengan sahabat yang telah kuanggap adik sendiri. Aku merasa sangat menyesal dan ingin segera meminta maaf. Akupun segera ke warnet di dekat tempat kos yang memang buka hingga jam 2 malam. Akupun mulai mengetik email...

Dear Shinta
Mungkin kakak memang tak pantas menjadi kakak yang baik bagimu. Bukan pula sahabat yang baik bagimu. Namun aku selalu menganggapmu sebagai orang yang sangat berharga di hidupku.

Masih ingat nggak? Saat hatiku terluka dan bersedih, kamu slalu datang menyemangati dan menghiburku. Saat aku sakit, kamu seperti orang panik saja. Saat aku ingin curhat kamu selalu mau mendengarkanku. Hatiku tentram dan damai saat berada di dekatmu.

Maafkanlah kakakmu ini. Tak seharusnya aku menghindari dan marah padamu. Maaf ya...
Seharusnya aku bisa mengerti dirimu namun aku egois dan hanya mementingkan diriku. Aku merasa dirimu yang menderita sedangkan aku hanya berdiam diri.

Kamu adik dan sahabat terbaikku. Dan aku tak ingin membuatmu bersedih. Aku ingin kamu bahagia dan aku akan mencoba menjadi seseorang yang dapat mengerti dirimu.
Entahlah... email ini dibaca atau tidak. Tapi, aku selalu memaafkanmu... maukah kamu terima permintaan maafku? Tidak diterima juga nggak apa-apa kok...

See ya!

Enter dan email pun terkirim. Semoga dia mau membacanya dan memaafkanku. Seharusnya aku tidak cuek padanya disaat dia ingin curhat dan meminta sesuatu dariku.
Sebenarnya aku cemburu dan marah padanya karena dia jadian sama Tomi. Padahal aku sangat menyayanginya namun dia hanya menganggapku seorang kakak dan sahabat curhatnya. Aku lebih dahulu mengenalnya daripada Tomi. Sudah dua tahun aku menjalani waktu bersamanya dan telah banyak kenangan tlah tercipta.

Kira-kira setahun yang lalu rasa sayang sebagai sahabat telah berubah menjadi rasa cinta. Namun aku tidak pernah mengungkapkan rasa ini. Entah mengapa sulit rasanya mengungkapkan cinta lewat bibir ini. Aku memang pengecut...

Selama ini, kami sering saling curhat tentang kehidupan masing-masing. Bintang dan Bulan menjadi saksi perbincangan kami. Dia adalah bulan dan akulah bintang. Kami saling terbuka dan karena dia tidak punya seorang kakak laki-laki, maka dia pun menganggapku kakak. Meskipun sebenarnya sikapku padanya terlihat lebih manja. Aku jadi merasa dialah yang pantas menjadi kakak karena dia lebih tegar dariku dan lebih sering diandalkan daripada aku.

Beberapa bulan lalu dia mengenal Tomi. Sebelumnya dia pacaran dengan Adit namun sudah lama putus. Saat pacaran dengan Adit, aku belum memiliki rasa cinta padanya. Dia sering curhat tentang Adit padaku. Namun kali ini dia pacaran sama Tomi disaat aku telah mencintai dia sebagai seorang gadis. Aku cemburu dan mulai menjauhinya.

Dia menanyakan alasan dan akupun memberikannya. Aku tidak menyetujui dia pacaran dengan Tomi karena berbeda keyakinan. Namun, aku tak memberitahukan alasan sebenarnya. Alasan yang sebenarnya adalah karena aku telah mencintainya. Dan aku cemburu, sangat cemburu.
Akhirnya kami saling diam selama beberapa hari ini. Namun aku tak tahan bila dia membenciku. Aku tak ingin dia membenciku. Biarlah kupendam rasa cinta ini dan merelakan dia. Biarlah aku mengalah dan kalah dalam percintaan ini. Meski rasanya sungguh sangat menyakitkan hatiku. Mencintai itu tak harus memiliki, karena itu aku akan belajar untuk tidak memiliki.

Saat memikirkan tentang itu... rasanya hati ini tak ikhlas. Ada rasa egois untuk memilikimu seutuhnya namun aku akan mencoba untuk tetap tegar. Aku tak ingin dilupakan...

Aku bagaikan ada disaat yang terindah
Menjadi bagian kisah terhempas dari cinta
Tersiksa cintamu yang tlah dinikmati orang lain
Menjadi bagian tawa dan cemooh semua orang

Dengarlah lagu dari orang yang tak mau putus asa
Dengarlah lagu dari orang yang tak ingin dilupakkan

Menepis hari yang sedih membuatku lupa akan arti harga diri
Caci makilah atau kau buat ku tersenyum tuk hadapi kenyataan
Menepis hari yang sedih bagaikan berdiri ditepi jurang batinku
Doronglah aku atau kau raih tangan ini tuk hadapi kenyataan
(Dirly - Tak Ingin Dilupakan)

Lagu ini menemani tidurku malam ini. Air mataku pun tak berhenti mengalir menghadapi kenyataan cinta ini. Oh Tuhan! Mengapa cinta itu menyakitkan? Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku tersenyum? Dan bisakah aku tersenyum saat bertemu dengannya?

Mungkin aku harus bohong padanya dan mengatakan kalau jantungku kumat. Biasanya berhasil membuatnya khawatir dan memaafkan aku. Namun aku tak ingin membohonginya. Aku malah akan membuatnya bersedih karena selama setahun ini dia telah bekerja keras mengobati sakit jantungku. Jika aku berbohong, maka dia akan merasa usahanya selama ini akan sia-sia.

***

Ikhlas dan tersenyum. Itulah yang coba kulakukan hari ini. Semoga dia bisa membahagiakanmu dan kisahmu tidak berakhir seperti dengan Adit. Adit yang memutuskan kisah cinta kalian dan membuatmu rapuh. Saat itulah aku hadir dan menguatkan kamu. Meskipun aku pun tahu kamu masih menyimpan cinta pada Adit. Mungkin itu alasan mengapa aku tidak berani mengungkapkan cinta ini.

Aku membelikan dia cokelat sebagai tanda permintaan maafku. Dia telah membaca email itu dan dia pun telah memaafkan aku. Rasanya agak lega namun masih ada rasa sakit saat dia bersama Tomi.

Untuk menghilangkan rasa sedihku, aku mulai serius bermain basket. Aku mengajar anak-anak kompleks bermain basket dan hampir setiap sore kami bermain. Rasa sedihku sedikit berkurang dengan kegiatannya ini. Namun rasa sedih itu sering datang saat dia mengirim sms tentang kisahnya dan Tomi.

Ya Allah! Jangan jadikan rasa cintaku padanya melebihi rasa cintaku pada Mu! Ikhlaskanlah aku dan tegarkanlah aku.

Hampir setiap malam aku berdoa memohon ketegaran di dalam hati ini. Aku tak ingin menjadi penghalang bagi hubungan mereka dan tak ingin sakit hati. Biarlah rasa cinta ini tak termiliki. Aku lebih bahagia bila dia menganggapku sahabat dan kakaknya. Aku lebih bahagia saat dia mau berbagi kisahnya padaku tanpa ragu.

Hari demi hari telah kulalui dengan menahan rasa sakit ini. Akhirnya aku pun bisa mengikhlaskan dan bisa tersenyum saat mereka berdua berjalan bersama. Kadang-kadang dia mengajakku makan bersama Tomi, dan kami pun bercanda dengan akrab.

Kadang-kadang aku menumpang mobil Tomi jika mereka akan pergi ke suatu tempat yang aku tuju. Aku tak bisa membenci Shinta. Yang harus kulakukan adalah memastikan bahwa dia bahagia. Akan aku lakukan apapun untuk membuatnya bahagia. Meskipun semua itu akan menyakiti hatiku. Tak apalah... karena saat melihatnya tersenyum, hatiku pun akan kembali tentram.

Kehidupan kampusku pun semakin kupadati untuk melupakan rasa cintaku padanya. Aku menjadi asisten dosen dan mulai mengajari mahasiswa. Saat menjadi asisten dosen ini aku bertemu banyak cewek cantik yang mau membuka hatinya padaku. Namun entah mengapa rasa cintaku pada Shinta masih menguasai hatiku sehingga mereka tak kuanggap.

Dikala senggang, aku sering berkumpul bersama teman-teman kos dan saling curhat. Kadang-kadang aku menciptakan lagu atau cerpen untuk mengusir pikiranku tentang shinta. Aku pun membuka hatiku pada beberapa cewek. Mungkin saja aku bisa mencintai mereka seperti rasa cintaku pada Shinta.

Ada Isma, seorang cewek religius. Dia teman kos adikku dan biasa datang ke tempat kosku untuk meminjam komputer atau untuk ngeprint tugas. Ada Nina, adiknya Shinta. Dia sering meminta bantuanku untuk tugas TIK atau hal-hal yang berhubungan dengan komputer. Ada Sri, seorang cewek yang sabar dan juga pintar. Namun dia hanya menganggapku sebagai kakak begitupun perasaanku padanya. Aku malah comblangin dia dengan temanku.

Akhirnya, aku pun tak punya pengganti Shinta hingga saat ini. Tapi tak apalah, karena Shinta masih menganggapku sahabatnya dan masih menjalin komunikasi denganku.

Dia akan ke Bandung bulan depan bersama Tomi. Dia meminta pendapatku sebelum berangkat ke Bandung. Kebetulan dia juga mendapatkan pekerjaan di sana. Sebenarnya hatiku tidak rela bila dia pergi ke sana. Aku tak bisa melihat wajahnya yang tersenyum lagi. Namun, aku menyetujuinya karena sepertinya dia amat bersemangat. Apa sih yang tidak buatmu Shin! Gumamku dalam hati.

Aku membuat banyak kenangan dengannya selama ini. Kami masih bisa saling kontak lewat email atau sms. Anehnya, aku tak merasa sakit hati lagi saat melihatnya berjalan bersama Tomi. Namun rasa cintaku padanya tak pernah pudar. Ingin sekali rasanya mengatakan dan mengungkapkan perasaan ini padanya...

Aku tidak tahu kehidupan cintaku seperti apa jadinya. Mungkin Tuhan tidak menakdirkan kehidupan cinta untukku. Namun aku tidak pernah menyerah. Aku yakin suatu saat nanti akan ada cinta sejati untukku. Cinta yang membahagiakan dan abadi selamanya. Seperti puisi cinta yang kutulis ini...

Cinta itu membingungkan
Apakah benar aku mencinta?
Atau hanya nafsu yang bicara?
Atau hanya kekaguman sesaat saja?

Cinta itu…
Harus diungkapkan
Harus dibuktikan
Harus dipertahankan
Harus membahagiakan

Akankah datang cinta sejati untukku?
Yang mencinta tanpa memandang masa lalu.
Yang mencintai aku tanpa ragu
Yang mencintai aku apa adanya.

Walaupun dia harus pergi
Meninggalkan semua yang dimiliki
Mengabaikan semua caci maki
Mencintai aku kini dan nanti


Akhirnya, hari kepergian Shinta ke Bandung pun tiba. Dia melambaikan tangannya dengan senyuman terindahnya. Yah, dalam persahabatan tak pernah ada kata berpisah. Yang ada adalah kata “Kita pasti akan bertemu lagi”.

Terimakasih telah mengajari aku perasaan mencinta. Mengajariku mengikhlaskan dan arti sebuah ketegaran. Darimu aku telah mendapat pengalaman dan pelajaran berharga. Ya, aku telah melewati masa-masa sedih itu, sehingga aku dengan bangga bisa mengatakan bahwa “Cinta itu tak harus memiliki.”

Suatu hari nanti aku ingin bertemu dengan orang yang mirip denganmu. Orang yang bisa membuatku jatuh cinta seperti rasa cintaku padamu. Dan aku berjanji... aku akan mengungkapkannya... aku akan membuktikannya... aku akan mempertahankannya dan akan membahagiakannya...

Dan bila saat itu tiba, aku berharap drama kisah itu akan berakhir bahagia. Apapun yang akan terjadi nanti, hanya Tuhan yang tahu. Hamba hanya ingin hidup bahagia dan tak ingin berakhir sedih seperti cerpen-cerpen yang aku tulis itu.

^o^

Cerpen | Puisi Untuk Ibu




Berita buruk datang bersama berita gembira. Setelah dua tahun menganggur, akhirnya akupun mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah kilang minyak di kalimantan. Sebuah surat datang ke rumah kecil ini. Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Aku anak tunggal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sebagai tamatan STM jurusan mesin, aku memaklumi nasib ini. Perusahan lebih senang mencari lulusan sarjana yang memiliki gelar. Namun aku bersyukur surat ini datang di saat aku mulai lelah dan hampir menyerah.
Keesokan harinya Ibuku tercinta masuk rumah sakit akibat penyakit jantung yang di deritanya. Dan itu merupakan berita buruk bagiku. Selama ini aku sudah banyak membuat Ibu menderita. Ibulah yang membesarkanku sendiri. Dari hasil jualan gorengan, Ibu menyekolahkanku meski hanya sampai STM. Sebenarnya aku ingin melanjutkan kuliah namun aku kasihan pada Ibuku.
Hampir setiap malam Ibuku menangis dalam sholat Tahajudnya. Entah apa yang didoakannya atau masalah apa yang dia adukan pada Allah. Sejak ditinggal Papa yang menceraikan Ibu dan menelantarkan kami, Ibu tidak pernah menyerah dan mengeluh dalam membesarkanku. Dia memberiku banyak nasehat bijaksana agar Saya selalu mensyukuri apa yang ada. Agar Saya mensyukuri apa yang diberi dan tak menuntut hal-hal duniawi.
Ya Allah, Saya mohon jangan ambil Ibuku sebelum aku membuatnya bahagia. Sebelum dia melihatku berhasil. Dan sebelum dia menggendong cucunya dari buah hatiku...
***
“Ibu saudara harus segera dioperasi. Jika tidak, Saya khawatir kondisinya akan bertambah parah.” Nasehat dokter.
“Kalau begitu segera laksanakan Dok.” Pintaku.
“Tapi rumah sakit ini tak punya fasilitas untuk Operasi. Saya akan berikan surat rujukan ke rumah sakit lain.” Ucap dokter.
“Iya Dok. Asal Ibuku selamat Saya akan lakukan apa saja.” Ucapku.
“Kemungkinan biaya operasinya... sangat mahal. Tapi Saya akan coba mencari keringanan biaya untukmu.”
“Berapa biayanya Dok?” tanyaku.
Aku tercenang melihat angka yang ditujukan dokter. Aku bingung mau cari dimana uang sebanyak itu?
Aku tidak punya jaminan untuk sebuah pinjaman. Meski dokter bilang aku bisa mencicil biaya operasinya, namun aku ragu bisa melunasinya atau tidak. Jika aku diterima di kilang minyak itu, mungkin dua tahun gajiku baru bisa melunasi biaya itu.
Aku harus tetap fokus dan berpikir positif. Minggu depan aku harus wawancara dan tidak boleh gagal. Aku akan berusaha di wawancara itu, karena itu Ibu... bertahanlah. Anakmu akan berusaha mencari biaya pengobatanmu. Doakan aku meski matamu sedang terpejam tapi aku yakin hati Ibu masih bisa berdoa. Dan akupun akan mendoakan Ibu, semoga Allah memberi nikmat umur dan kesehatan.
Ya Allah sayangilah Ibuku seperti dia menyayangi diriku diwaktu ku kecil hingga besar. Berikanlah kemudahan rejeki untukku untuk mengobati Ibuku yang sakit. Maafkanlah segala kesalahan hamba yang tak pernah bisa membahagiakan Ibuku. Di saat aku mengenal cinta dan mulai melupakan Ibu, dia tak pernah melupakanku. Rasa sayangnya padaku tak pernah berkurang. Aku menyesal pernah membantah, berteriak bahkan memakinya.
Ampunilah aku. Biarkanlah aku mengabdi pada Ibuku sekali lagi. Hanya Engkaulah yang Maha mendengar dan Maha mengabulkan doa hambanya...
***
Seminggu telah berlalu. Ibu masih terbaring lemah meskipun dia sudah sadar. Suaranya seperti desahan dan melemah. Namun aku harus berusaha tersenyum di hadapannya.
“Syukurlah. Hari ini Ibu mau dioperasi. Semoga operasinya lancar dan sakit Ibu bisa segera sembuh. Saya yakin Dokter bisa menyembuhkan Ibu.” Ucapku menyemangati.
“Nak... yang bisa menyembuhkan itu hanya Allah. Dokter hanyalah perantara saja.” Ucap Ibu.
Saya terharu. Di saat seperti ini dia masih teguh dan memberi nasehat. “Semoga Allah memberikan kesembuhan pada Ibuku tersayang.” Ucapku sambil tersenyum.
“Nak... Hari ini kamu ada wawancara kerja kan?” tanya Ibu.
“Iya. Tapi tenang saja. Saya akan di sini sampai Operasi Ibu selesai.” Jelasku.
“Ibu tidak apa-apa. Ada si Efi yang jagain Ibu. Kamu pergilah wawancara nak! Kesempatan belum tentu datang dua kali.” Ucap Ibu.
Efi yang sejak tadi duduk diam mulai berbicara. “Tenang saja Kak! Efi jagain Bu’de!”
Efi adalah sepupuku. Kebetulan dia bersama Paman datang menemani kami.
Hatiku agak ringan. Baiklah, Saya akan pergi wawancara dan berjuang karena Ibuku juga sedang berjuang. Kita sama-sama berjuang ya Bu!
Aku pun mengangguk setuju.
Dokter dan para perawat dengan pakaian hijaunya mulai datang. Hatiku kembali diliputi kegelisahan. Semoga Allah memberi pertolongan pada mu Ibuku...
“Nak...” ucap Ibu.
“Iya Bu!” jawabku.
“Jangan takut, jawablah pertanyaan mereka dengan jujur. Semoga kamu bisa diterima ya nak...” nasehat ibu sebelum akhirnya Dokter mendorongnya ranjangnya masuk menuju ruang Operasi.
Pintu itu pun tertutup rapat. Sebuah lampu merah yang terletak di atas pintu menyala dan kesunyian pun hadir. Setetes air mata jatuh di pipiku. Hanya doa yang dapat kupanjatkan...
Aku jadi teringat sebuah lagu. Sebuah lagu yang sangat menyentuh hatiku. Dan kunyanyikan lagu itu dalam hatiku. Diiringi sebuah doa tulus hanya untukmu. Dan Aku pun meninggalkan rumah sakit dengan membawa bekal nasehat dari bunda...
Kasih yang tak terhenti
Kasih murni abadi
Kurasakan dalam denyut jantungmu
Kudengar dalam doa mu
Oh Tuhan penyayang berikan rahmatmu
Untuk Ibuku seorang
 (Kasih yang abadi – Tasya)

***
Aku duduk gelisah di antara barisan orang-orang yang sedang menunggu antrian wawancara. Aku bukan gelisah karena masalah wawancara itu, namun Aku gelisah karena mencemaskan Ibuku.
Giliranku untuk diwawancara pun tiba. Rasa cemas dan gelisah semakin menjadi. Saya takut memperlihatkan kondisi ini di dalam sana. Saya akan coba bertahan dan menghadapi wawancara ini. Saya menghela napas panjang sebelum memasuki ruang interview.
“Assalamualaikum!” Aku mengucap salam lalu berdiri di hadapan dua orang pewawancara.
“Silahkan duduk!” salah seorang pewawancar mempersilahkanku untuk duduk.
Dua orang yang mewawancaraiku ini, yang satu berbadan gemuk dan masih muda. Sedangkan yang satunya terlihat sudah beruban. Yang gemuk bernama Rudi dan pria beruban itu bernama Rahmat. Saya tau nama mereka dari kartu pengenal yang tergantung di dada mereka. Mereka berdua memeriksa berkas-berkasku.
“Saudara kenapa? Kurang sehat?” tanya Pak Rahmat.
“Saya tidak apa-apa Pak.” Jawabku.
“Gugup ya? Santai saja.” Ucap Pak Rudi.
Aku tersenyum lalu berucap terima kasih. Dan aku upun mulai diberikan berbagai pertanyaan. Namun karena gelisah dan cemas, jawabanku terlihat mengecewakan bagi mereka.
“Saudara akan ditempatkan di Kalimantan jika diterima, apakah siap untuk jauh dari kampung halaman?” tanya Pak Rudi.
“Pak, saya selalu siap ditempatkan dimana saja. Itu resiko yang memang harus diambil. Meskipun saya tak tega meninggalkan Ibuku seorang diri.” Jawabku dengan tegas.
“Hmm! Baiklah, kami akan menghubungi anda. Nah, anda boleh meninggalkan ruangan ini.” Ucap Pak Rahmat.
“Pak... boleh saya berbicara sebelum meninggalkan ruangan ini?” pintaku.
“Silahkan.” Pak Rahmat mempersilahkan.
“Sebenarnya... saya tidak ingin pergi. Jauh dari Ibuku...” ucapku.
“Maksud anda apa?” Pak Rudi terlihat agak kecewa.
“Saat ini, di saat saya sedang wawancara. Ibuku sedang dioperasi di rumah sakit.” Ucapanku tertahan desahan nafasku. Air mataku mulai jatuh karena tak tertahankan. Namun aku tak menangis...
“Lanjutkan...” ucap Pak Rahmat.
“Sebelum masuk ruang operasi, Ibu bilang... jawablah pertanyaan dengan jujur. Semua pertanyaan yang bapak berikan saya jawab dengan jujur. Tapi pertanyaan terakhir tadi... itu bukan jawaban jujur. Saya tidak ingin jauh dari Ibuku. Saya ingin saat dia membuka matanya, ada saya dalam pandangannya. Saya tidak ingin meninggalkan Ibuku.” Jelasku.
“Kamu akan kehilangan kesempatan. Kami tak bisa menerima pegawai cengeng yang tidak bisa mandiri seperti anda. Namun jika anda bisa tegas menentukan sikap. Kami akan terima saudara.” Tegas Pak Rahmat.
“Pak... saya akan merasa lebih menyesal jika kehilangan Ibuku. Masalah pekerjaan... saya bisa mencarinya lagi jika Allah membukakan pintu rezki untukku. Tapi Ibuku Cuma ada satu. Aku lebih memilih Ibuku. Maafkan saya pak. Jangan masukan ucapan saya di hati. Maaf saya sudah mengganggu wawancara ini. Perusahaan bapak adalah perusahaan hebat dan saya memang tidak pantas menjadi bagian dari kalian. Saya tidak akan dendam bila ditolak, saya tidak apa-apa. Silahkan bapak bekerja dan saya akan tetap pada pendirian saya. Terima kasih atas waktunya.” Jelasku lalu beranjak dari ruangan ini.
“Tunggu dulu nak!” ucap Pak Rahmat.
Aku pun menghentikan langkahku.
“Perusahaan ini. Dibangun dengan tangan dingin dan kerja keras. Kami mencari orang yang pekerja keras dan ulet. Tapi kami lebih senang menerima orang yang jujur...” Ucap Pak Rahmat.
“Pak?” aku kebingungan.
“Kamu sudah jujur. Dan itu modal berharga bagi kami. Kami akan membayar biaya operasi Ibumu. Jadi, bekerjalah dengan semangat. Ibumu pasti bangga punya anak yang sangat berbakti seperti kamu.” Jelas Pak rahmat.
Aku menangis terharu sambil memeluk Pak Rahmat. Dalam hatiku aku bersyukur atas karunia Allah dan juga nasehat Ibuku. Aku tak sabar ingin mengabarkan berita ini pada ibuku.
***
Aku kembali ke rumah sakit. Sudah tiga jam berlalu sejak aku meninggalkan rumah sakit. Efi terlihat tertunduk lesu sambil menangis. Aku jadi cemas.
“Efi? Ibu kenapa?” tanyaku.
“Tadi Dokter bilang, ada komplikasi. Dia hanya menyuruhku berdoa tapi sudah dua jam berlalu...” Efi menggantung kata-katanya.
Kakiku tiba-tiba lemas.
Ya Allah! Selamatkanlah Ibuku... aku janji akan selalu berbakti padanya. Kumohon jangan ambil dia sebelum aku sempat membahagiakannya.
“Kak! Maaf ya...” ucap Efi.
“Maaf kenapa dek? Kamu tidak salah apa-apa kan?” tanyaku.
Efi terdiam. Dia juga cemas sepertiku dan Paman.
Tiba-tiba seorang perawat datang mendekati kami. “Terjadi pendarahan serius. Kami kehabisan darah dan PMI belum datang. Siapa yang golongan darah ‘O’?” tanya perawat itu.
Aku mengacungkan tanganku. Efi masih kecil untuk mendonorkan darah sedangkan paman bergolongan darah “A”.
“Baik, kita akan melakukan transfusi darah. Tapi saya akan periksa bapak dulu. Mari ikut ke lab.” Ucap si perawat.
Setelah pemeriksaan itu, mereka tidak menganjurkanku melakukan transfusi darah. Akhir-akhir ini aku kurang istirahat sehingga tekanan darahku lemah. Aku jadi terkena anemia dan tidak dianjurkan untuk mendonor. Namun aku tetap bersikeras.
Akhirnya aku pun masuk ke ruang operasi. Aku bisa melihat sosok ibuku dari dekat. Kami dipisahkan oleh tirai hijau dan aku pun taksadarkan diri...
***
Entah sudah berapa lama aku pingsan. Kepalaku masih pusing dan sepertinya ruangan di sekitarku berubah. Di sebelahku ada Paman yang duduk menjagaku.
“Paman?” ucapku lemah.
“Ya!” jawabnya.
“Bagaimana Ibu?” tanyaku.
Paman terdiam sejenak. “Ibumu ada di dalam hatimu. Dia tidak kemana-mana. Darahnya mengalir dalam darahmu.”
Ucapan paman membuatku bingung. “Apa Ibu selamat?” tanyaku.
“Nak... maaf ya! Ibumu selamat dan karena menyelamatkanmu dia rela mengorbankan nyawanya.” Jelas Paman.
Aku segera bangkit dari ranjang ini namun kepalaku tiba-tiba pusing. Paman menahanku dan aku mulai terisak. Air mataku tumpah dan hatiku perih. Dalam hati aku bertanya pada Tuhan. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Apa Kau tak mendengar doaku?
“Sabar nak! Istigfar...” Paman mencoba menenangkanku.
Aku mulai beristigfar dan menenangkan hatiku. Ya Allah sabarkan aku, Kuatkan aku...
“Tadi... Ibumu sempat siuman saat transfusi darah. Dia senang saat matanya terbuka, kamulah orang pertama yang dia lihat. Tapi, kondisimu parah dan kamu bisa mati karena kehabisan darah. Karena itu ibumu memberimu darahnya. Dokter tak dapat berbuat apa-apa.” Paman mulai menjelaskan.
Air mataku tak berhenti mengalir. Aku hanya mencoba menahan batinku yang ingin berteriak. Ibuku mengorbankan nyawanya demi aku. Dia rela memberikan segalanya demi anaknya yang tak berguna ini.
“Tapi Paman... Saya belum sempat membahagiakan Ibuku, kenapa Allah mengambilnya?” keluhku.
“Hei... jangan bicara begitu nak! Kamu tahu? Saat ibumu bercerai dengan bapakmu, waktu itu umur kamu baru dua tahun. Ibumu pernah bilang pada Paman, kalau kebahagiaan terbesarnya adalah memiliki kamu. Jika tidak ada kamu, mungkin ibumu sudah bunuh diri. Dia senang kamu diterima kerja. Dia sangat bahagia saat tahu kamu rela berkorban demi dia. Ibumu sangat bahagia dan memilikimu adalah kebahagiaannya. Kelak saat menjadi orang tua, kamu bisa mengerti kebahagiaan menjadi orang tua. Dia tidak mengharap kamu membalas kebaikannya, karena dengan adanya dirimu yang hadir dalam hidupnya... itu sudah cukup untuk membuatnya bahagia.” Jelas paman.
“Paman... saya ingin bertemu ibu. Bisa bawa saya kesana?” pintaku.
Paman pun menuntunku berjalan. Ke sebuah ruangan yang terlihat merah akibat pantulan senja sore yang kemerahan. Di ruangan itu ada sebuah ranjang dan di atas ranjang itu terbaring sosok itu.
Aku berjalan mendekat dengan segenap kekuatan yang ku punya. Aku berdiri meski linglung dan pusing. Aku memandang wajahnya yang tenang dan damai. Wajahnya bahagia dan tersenyum. Tak terlihat rasa sakit, rasa sesal di wajahnya. Dia bahagia telah menolong anaknya...
Aku menyeka air mataku yang tak berhenti mengalir. Ku kumpulkan segenap kekuatan dan mencoba berbicara. Sebuah puisi kulantunkan sebagai rasa hormat, sebagai rasa sayang dan sebagai ungkapan rasa sayang dan terimakasih yang sangat mendalam. Meski kata-kata ini tak dapat membalas segala kebaikan yang telah ibuku tanamkan kepadaku. Kasih yang abadi...
Puisi Untuk Ibu
Ibu...
Kamu hebat
Kasih sayang mu tak terlukis dengan kata-kata
Namun izinkanlah ananda melantunkan puisi untukmu...

Ibu...
Sungguh besar pengorbananmu padaku
Dan semua itu tak dapat kubalas
Sungguh besar kasih sayang yang engkau beri
Namun kau tak pernah meminta balas

Ibu...
Semoga engkau tenang dan damai di sana
Aku akan slalu merindukan nasehat-nasehatmu
Aku akan slalu mengantarkan doa untukmu

Ibuku sayang...
Aku amat sayang padamu
Engkaulah pelitaku dalam kegelapanku
Maafkan aku yang tak bisa berbakti kepadamu

Ibuku...
Disaat kau sakit, engkau menahannya dan berusaha tersenyum padaku
Engkau selalu bersyukur dan tak pernah mengeluh dengan keadaan

Dulu...
Ibu selalu menyiapkan sarapan pagi untukku ketika ku berangkat ke sekolah
Ibu selalu mendongengkan aku kisah para nabi sebelum aku tidur
Ibu selalu melebihkan makananku bahkan ibu rela tak makan agar bisa melihatku makan
Ibu selalu bekerja keras membanting tulang untukku
Ibu selalu memaafkan setiap kesalahan dan kenakalanku


Kini...
Ibu bahkan rela memberikan darahmu untukmu
Ibu bahkan sempat memberi nasehat untukku
Ibu bahkan sempat memberi dukungan padaku
Meski harus menghadapi operasi ini

Terima kasih telah melahirkan aku bu...
Terima kasih atas nyawa yang kau berikan padaku
Terima kasih atas segala pelajaran berharga ini

Ya Allah, tempatkanlah Ibuku di surga Mu
Seperti Surga yang Kau letakkan dibawah kaki Ibuku...

Setelah membaca puisi ini, aku mencium kening Ibuku dengan lembut. Aku mencium tangannya yang dingin dan aku mencium telapak kakinya. Surga itu di bawah telapak kaki Ibu. Dan aku sangat bangga punya Ibu seperti kamu...
Dalam benakku, terngiang sebuah lagu yang pernah kunyanyikan waktu SD dulu. Sebuah lagu anak-anak, saat itu aku menyanyikannya tanpa perasaan apa-apa. Aku bahkan malu saat Ibu guru menyuruhku bernyanyi. Namun jika saat ini, Ibu guru menyuruhku menyanyikan lagu itu. aku tak akan malu dan akan kunyanyikan dengan lantang.
Memang benar kasih Ibu kepadaku tak terhingga sepanjang masa. Dia selalu memberi tanpa mengharap balasan. Tak harap kembali... Bagai sang surya yang menyinari dunia...
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayat ku

Kata mereka diriku slalu dimanja…
Kata mereka diriku slalu ditimang…

Nada-nada yang indah
Slalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritamu
Tangan halus dan suci
Tlah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Telah dia berikan...

Kata mereka diriku slalu dimanja…
Kata mereka diriku slalu ditimang…
Oh Bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku...
(Bunda – Melly Goeslaw)

Ibu adalah pahlawan kehidupan, pahlawan kasih sayang yang tak mengharap balas jasa. Saat dia melahirkan kita dengan pertarungan nyawa. Dia tak perduli kelak kita akan jadi seperti apa. Yang dia perduli adalah bagaimana kita bisa keluar dan menghirup udara dunia ini. Meskipun dia akan mati, tapi dia tidak takut.
Kadang kita sering membantah, kadang kita sering ngambek, bahkan kita sering memaki. Namun Ibu selalu memaafkan kita. Berbaktilah pada Ibu, sayangilah dia saat ini meskipun kamu sekarang sedang marahan dengan ibumu. Meskipun Ibumu baru saja memukul kita, namun sebenarnya dalam hatinya dia menangis. Meskipun Ibu selalu mengekang dan membatasi kebebasan kita namun itu semua demi kebaikan kita. Tersenyumlah pada Ibu karena kebahagiaan terbesarnya adalah melihat kita bahagia.
Karena kelak kita akan menyesal disaat dia tak dapat membalas senyuman kita lagi...

Senin, 07 Maret 2011

Cerpen | Dixie

Dixie

Saat itu aku baru saja selesai dari klinik THT di sebuah rumah sakit di pinggiran kota. Aku menelusuri lorong-lorong panjang rumah sakit sambil memperhatikan suasana. Wajah-wajah pasien lain yang menghuni rumah sakit ini karena penyakit mereka, juga para perawat dan dokter. Karena besok akupun akan menjadi bagian dari mereka. Dokter menyarankanku untuk dirawat di rumah sakit akibat sinusitis yang kuderita. Suaraku parau bahkan hampir lenyap saat berbicara panjang.
Aku pun kembali ke kantor dan meminta cuti selama seminggu untuk berobat. Mereka mengerti kondisiku dan memberiku izin. Sebenarnya hanya butuh 4 hari masa pengobatan dan penyembuhan. Namun aku memikirkan kemungkinan terburuk, makanya aku mengambil cuti lebih panjang.
Hari operasi pun tiba, mereka akan menyedot isi lendir di hidungku yang mengental dan mengeras. Ini yang selalu kukeluhkan. Flu berkepanjangan namun lendir di dalam tak mau keluar. Sungguh menyiksa dan mengganggu pekerjaanku.
***
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Aku terbangun dari mimpi hampaku dan mencoba mengenali diriku. Syukurlah sepertinya aku masih hidup dan hidungku juga tidak apa-apa. Operasi sore kemarin sukses dan aku tertidur hingga hari ini, tepat pukul 10 pagi. Yang aku tahu, hidungku terasa kosong dan ringan.
Seorang suster datang dan memberitahukan bahwa waktunya minum obat. Empat jenis obat? Banyak sekali? Aku tak pernah meminum obat sebanyak itu dalam sekali dosis. Ditambah lagi injeksi jarum suntik yang bikin lenganku nyut-nytut. Badanku masih lemah untuk protes apalagi berontak.
Saat itu aku mulai memperhatikan sekelilingku. Aku berada di sebuah bangsal rumah sakit. Di dalam sini ada 4 ranjang dan dipisahkan oleh tirai-tirai berwarna hijau. Di sebelahku ada seorang gadis kecil, umurnya sekitar 8 tahun. Di dekat jendela, seorang wanita mungkin umurnya sekitar 40an. Dan di ranjang satunya lagi tak berpenghuni.
Sore ini, aku sudah mulai bergerak bebas tanpa merasakan nyeri. Selang-selang infus pun sudah dicabut. Lega rasanya diriku ini. Akupun berjalan-jalan menikmati udara sore hari. Kebetulan tadi siang hujan dan aku suka suasana sehabis hujan.
Gedung demi gedung, lantai demi lantai telah kulalui. Akupun berhenti sejenak di beranda lantai 3 sambil menunggu matahari terbenam. Kebetulan beranda ini menghadap ke barat. Di sudut beranda, kulihat gadis kecil tadi. Dia pun memandangi langit sepertiku. Dia duduk dikursi roda dan di belakangnya ada suster yang menjaganya. Namun sang suster hanya menelepon sambil duduk di kursi panjang itu.
“Hei! Selamat sore!” sapaku, meskipun suaraku masih agak serak.
Gadis cilik itu menatapku dengan tatapan kosong tanpa ekspresi. Sementara sang suster hanya tersenyum padaku, lalu melanjutkan perbincangannya di telepon.
“Oh ya, namaku Alam. Kita bersebelahan ranjang kan?” tanyaku memastikan.
Dia kembali menatapku dengan tatapan kosong sehingga membuatku agak merinding. Namun beberapa saat dia mengangguk mengiyakan pertanyaanku.
“Lihat matahari terbenam ya? Paling asyik kalo dinikmati bersama-sama. Boleh aku duduk di sini suster?” pintaku pada suster.
“Mari silahkan!” ucap sang suster.
Aku mencondongkan badanku ke depan agar sejajar dengan gadis cilik itu. Dia masih terpaku menatap matahari yang mulai tenggelam diujung cakrawala. Aku hanya tersenyum kecil padanya yang menatapku dengan wajah polos dan bingungnya.
“Wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Dia mungil sepertimu, dia berambut ikal dan agak kecoklatan sepertimu. Kulitnya putih pucat sepertimu. Tapi dia sudah pergi…” aku menggantung kata-kataku.
Wajah gadis cilik itu menoleh padaku dengan tatapan heran. Sepertinya dia menikmati ceritaku. Dan penasaran ingin mendengar lanjutan ceritaku.
“Dia tidak meninggal. Hahahaha. Kamu pikir begitu ya.” Ucapku.
Sebuah senyuman terukir diwajahnya. Mungkin dia ingin berkata, “Syukurlah”.
“hehehehe! Sebuah senyuman bisa mempercepat kesembuhan kita loh!” ucapku.
Kali ini wajahnya terlihat lebih berekspresi. Dan memandangku dengan senyuman tulus.
“Nama kamu siapa?” tanyaku pada gadis cilik.
“Pita suaranya… putus saat operasi amandel. Dia tidak dapat berbicara lagi.” Jelas suster.
Aku terhentak sesaat, kulihat kembali wajah gadis cilik itu. Ia tertunduk lesu, kembali lagi ke ekspresinya semula. Ekspresi penuh kekosongan. Aku tak punya kata-kata selain maaf. Dan matahari terbenam menjadi saksi perjumpaan kami.
Malamnya aku harus merasakan makanan yang sama yang kumakan tadi pagi dan siang.
“Suster! Kok menunya sama sih? Tadi pagi trus siangnya juga begitu. Apa ini makanan sisa tadi pagi ya? Kok bubur sih? Trus Ibu         Yuni bisa makan sate kenapa saya tidak?” protesku.
Sang suster hanya menatap dengan pelototan kepadaku. “Kamu kan baru selesai operasi. Makan bubur dulu.” Ucap sang suster sewot.
“Iya!” ucapku pasrah. Ini sih bukan makanan. Bubur berwarna kuning yang entah terbuat dari apa. Rasanya pun hambar.
Sementara itu di sampingku si gadis cilik itu tersenyum kecil melihat pertengkaran kecil kami. Dia pun memakan makanan yang sama denganku namun tak protes apa-apa. Aku belum tahu namanya sedangkan pasien yang satunya lagi bernama Ibu Yuni. Aku tertarik dengan bungkus obat yang diminum gadis cilik itu. Terpampang tulisan Dixtren bla bla bla. Tulisan itu gak jelas bacanya.
“Gak minum dixiemu?” tanyaku sambil menunjukk obat itu.
Gadis cilik itu hanya menggeleng. Sepertinya dia tak ingin minum obat itu. Mungkin rasanya sangat pahit. Akupun menanyakan hal itu padanya dan dijawabnya dengan anggukan.
Malam itu kami bertiga penghuni bangsal THT saling mengakrabkan diri. Besok Ibu Yuni akan pulang dan meninggalkan aku dan gadis kecil itu yang kupanggil Dixie. Aku masih 3 hari lagi disini hingga dokter mengijinkanku pulang. Tapi aku tak tahan berlama-lama disini, aku tidak terbiasa dengan suasana rumah sakit apalagi makanannya. Hoeeek! Kalo besok makanannya masih bubur tawar, sy kabur dari rumah sakit saja deh.
Akhirnya esok pun tiba dan Ibu Yuni pun pamit meninggalkan kami. Siang itu, teman-teman dan familiku datang menjenguk. Aku bisa makan makanan enak sepuasnya. Mereka membawakanku apel, anggur, kue-kue, air dan juga majalah untuk mengusir suntuk dan kebosanan.
Sorenya, aku dan dixie berjalan-jalan mengitari rumah sakit. Aku mendorong kursi rodanya sambil bercerita untuk menghilangkan kebosanannya. Dia hanya tersenyum mendengarku. Seandainya suaranya tidak hilang, ingin rasanya mendengarnya menyanyi. Dia hobinya nyanyi, aku tahu dari suster yang menjaganya. Ayahnya saat ini sedang ditahan karena dugaan korupsi. Makany aku tak pernah melihat orang-orang menjenguknya. Dia hanya tinggal dengan ayahnya, namun 1 bulan yang lalu dia mengalami peradangan dan harus segera dioperasi. Seminggu kemudian ayahnya ditahan dan dibawa ke Jakarta untuk persidangan. Makanya ia dititipkan sampai masalah selesai. Sebenarnya Dixie punya perawat pribadi yang merawatnya di rumahnya. Namun si suster libur setiap hari jumat, jadi hari ini saya yang ngajak Dixie jalan-jalan sampai matahari terbenam.
Malam ini kami tidur berdua saja, eh kalian jangan berpikir macam-macam loh. Aku bukan tipe-tipe lolicon. Lagipula tempat tidur kami terpisah, dan suster penjaga slalu lewat tiap saat. Apalagi suster yang biasa kami sebut Mami Icha. Makanan yang dibawa buatku diembat semuanya. Hanya tersisa beberapa potong apel saja.
***
Aku terbangun jam 3 subuh untuk ke toilet. Saat aku kembali dari toilet, aku mendengar suara isak tangis. Aku sampai merinding mendengar desahan napas tak beraturan itu. Namun aku kesampingkan rasa takutku dan memperhatikan sekelilingku.
Dixie? Bahunya bergetar dan sumber suara desahan itu dari arahnya. Aku melihat air matanya mengalir hingga membuat bantalnya basah. Dia belum tidur? Apa yang ditangisinya.
“Dixie? Kamu kenapa?” tanyaku sambil memegang bahunya yang bergetar.
Dia membalikkan badannya, menatapku sekilas dengan linangan air matanya. Kemudian memelukku dan menangis di bahuku. Aku mengelus pundaknya mencoba menenangkannya.
Setelah ia tenang, aku mengambil HPku lalu menyuruhnya menjelaskan apa yang membuatnya sedih. Ia pun mulai mengetik kata-kata menggantikan suaranya. Wajahnya serius mencari huruf-huruf pada keypad QWERTY di HPku. Meskipun baru 8 tahun, dia sudah mahir menggunakan HP. Cukup lama aku menunggu kata-katanya, akhirnya selesai juga dia mengetik.
“Aku rindu Papa. Kenapa sebulan ini papa tidak menjengukku?” ucap Dixie lewat HP.
“Hmm! Dixie tau nomor telepon Papa? Tulis disitu, nanti kakak telponkan.” Tanyaku dan dibalas dengan sebuah gelengan kepala.
Dia kembali mengambil HPku. “Aku tidak hapal nomornya. Dan namaku Veronika Kak!” begitulah kata-kata yng terpampang di layar HPku.
“Hahaha! Maaf panggil kamu Dixie. Itu kan nama obat. Eh, orang yang kakak ceritakan dan mirip denganmu Inisialnya juga’ V’ loh! Akhirannya juga ‘ka’. Mau tahu…….?” Aku menghentikan ucapanku karena Dixie sudah terlelap.
Dalam hati aku pun merasa kasihan padanya. Dia pasti kesepian di sini tanpa seorang pun menengok atau menghiburnya selama ini. Apalagi besok lusa aku pun keluar jika dokter mengijinkan.
***
Pagi yang sungguh membosankan di rumah sakit. Namun aku dapat berita gembira bahwa selaput lendir hidungku sudah normal. Selanjutnya tinggal pemulihan dan besok boleh pulang. Berarti aku pulang lebih cepat dari prediksi dokter. Dan aku pun harus meninggalkan Dixie sendiri di ruangan itu.
Akhirnya pagi itu aku nekat kabur dari rumah sakit, setelah itu pulang ke rumah dan beraksi dengan motorku di jalan. Tujuan pertama ku adalah warnet untuk mencari informasi mengenai Ayah Dixie. Aku mengakses rekeningnya dan menelusuri sms dan emailnya. Kebetulan aku pernah belajar sedikit tentang Hacking. Ternyata benar, ia telah korupsi di PT X pada tahun ini. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Satu-satunya jalan adalah mencari keluarga Dixie lewat kartu Ayahnya. Sepertinya nomor HP orang itu di blokir. Terpaksa aku harus mengaktifkan lagi dari operator. Hari sabtu ini mereka buka hingga pukul 12, oleh sebab itu aku harus bergegas.
Aku ke tempat fotokopi dan menemukan murid-muridku sedang fotokopi tugas sejarah mereka. Akhirnya ketahuan kalau aku sudah keluar dari rumah sakit. Jadi sebentar siang harus ke sekolah mengajar lagi. Tapi aku harus menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu.
***
Aku kembali ke rumah sakit dengan disambut omelan dari Mami Icha. Dixie hanya tersenyum memandangku yang tertunduk lesu. Setelah puas mengomel, sang suster pun berlalu. Aku membawa hadiah untuk Dixie, sebuah whiteboard kecil dan spidol untuk berkomunikasi. Dia terlihat gembira dengan hadiah itu.
“Terima kasih Kak!” ia langsung menulis kata pertamanya di situ.
Aku tersenyum memandangnya. Malam ini, merupakan malam terakhir aku disini. Entah apa yang terjadi padanya, apakah dia akan bertahan sendiri disini?
“Kakak tidak keluar malam minggu?” Dixie memperlihatkan tulisan di papannya.
“Tidak. Kakak tidak punya pacar. Lagian Mami Icha nanti marah loh!” jelasku. Aku jadi malu harus mengakui hal itu padanya. “Tapi tidak apa-apa kok. Malam ini kan ada Veronika yang nemani.” Gombalku.
“Kakak boleh panggil aku Dixie.” Dixie memamerkan papannya sambil tersenyum. Dia kemudian menghapus kembali tulisan di papannya itu. “Tapi Mama Ica baik koq. Iya, Dixie senang bisa temani kakak.” Ia kembali menunjukkan papan itu dengan seyuman polosnya.
“Hahaha! Justru Kakak yang senang malam minggu ini ditemani cewek imut dan cantik seperti Dixie. Mami Icha baiknya sama Dixie saja. Kalo sama pasien lain, dia suka marah-marahin. Habis dimarahin, makanan kita disikat lagi.” Ucapku yang disambut dengan tawanya yang tak bersuara.
Kami terdiam dengan kesibukan masing-masing. Dixie sibuk menggambar di papannya sambil sesekali memamerkannya padaku. Sedangkan aku sibuk menerima SMS dari murid-muridku.
“Kak! SMS dari siapa? Kelihatannya senang?” tanya Dixie melalui papan pesannya.
“Oh. Ini dari orang yang mirip sama kamu. Yang pernah Kakak ceritakan waktu itu. Hehehehe! Namanya juga mirip koq. V dengan akhiran ka. Akhirnya dia balas SMS Kakak. Soalnya beberapa hari ini dia tidak pernah balas SMS Kakak. Dia sudah sampai di Manado. Dixie mau lihat SMSnya?”
Dia mengiyakan dengan sebuah anggukan. Aku pun menghampiri ranjangnya lalu memperlihatkan isi pesan itu.
Slmt malam..
K’alam..
Bgamana keadaan kelz Tnpa kt?..
Aku pun memperlihatkan fotonya pada Dixie hingga membuatnya keheranan. Wajahnya memang agak mirip, apalagi rambutnya.
“Kak! Dixie ingin menyanyi. Dixie suka menyanyi.” Dia menunjukkan tulisan baru lagi pada papannya.
“Oh ya? Kalau Kakak sih suka main piano. Hmm! Kakak pingin dengar suara Dixie yang merdu itu. Dixie mau nyanyi lagu apa?” tanyaku.
“DMasiv. Jangan menyerah” papan putih itu kembali tercoreti.
“Hehehehe! Iya, Kakak mau dengar lagu itu.” Ucapku. Kebetulan lagu itu ada di HPku. Akupun memutarkannya supaya dia bisa mengikutinya. Sebuah lagu tentang semangat tuk jalani hidup meski dalam ketidaksempurnaan.
Bibir mungilnya mulai mengikuti lirik lagu namun suaranya tak terdengar. Tapi dia terlihat sangat menikmatinya. Aku menutup mataku dan membayangkan suaranya menggema di telingaku. Baru setengah lagu berlalu, pintu kamar telah terbuka dan munculah Mami Icha.
“Hey! Cepat tidur. Sekarang sudah jam 10. Pasien lain sedang istirahat.” Tegur Mami Icha.
Aku pun segera bergegas ke ranjangku dan Dixie pun menutupi wajahnya dengan selimutnya. Mungkin dia tidak ingin melihat wajah Mami Icha sebelum tidur, supaya tidak mimpi buruk.
***
Hari ini aku kan meninggalkan rumah sakit. Sedih rasanya meninggalkan Dixie. Ia memeluk punggungku mencoba menahanku untuk tidak pergi. Namun tubuh mungilnya tak dapat mengimbangi kekuatankku. Aku menoleh padanya sambil berkata “Aku nanti jenguk.”
Dia menatapku dengan tatapan sedih, dia berbicara namun tak keluar suara apa-apa. Mungkin dia ingin mengatakan sesuatu yang lebih pantas diucapkan dengan lisan.
Aku pun berlalu meninggalkannya. Seharusnya aku keluar dari rumah sakit besok sih, namun  aku bersyukur pulang hari ini. Aku bisa main basket sebentar sore dan menghindari murid-muridku yang akan menjengukku hari ini. Untung saja mereka tidak jadi datang dan melihat Dixie. Kira-kira apa yang akan mereka bilang bila melihat Dixie? Soalnya Dixie mirip sekali dengan sahabat mereka yang baru saja pindah sekolah.
***
Hampir tiap hari aku menemui Dixie. Aku selalu membawakannya Es Krim, dan tidak lupa Es krim cadangan untuk Mami Icah kalau dia lagi sewot. Biasanya sebelum mengajar siang, aku menemuinya terlebih dahulu. Kami bercerita banyak hal meski lewat sebuah papan.
Sudah 3 minggu berlalu dan minggu ini, aku mulai sibuk dengan berbagai laporan dan ketikan sehingga lupa menjenguk Dixie. Hampir seminggu aku tidak menjenguknya. Aku jadi tak enak hati padanya karena tiba-tiba menghilang darinya.
Akhirnya kuputuskan untuk menjenguknya hari ini. Aku membawa 2 buah es krim seperti biasanya. Namun hari ini suasana ruangan kosong, mungkin dia sedang berjalan-jalan. Akupun mengelilingi rumah sakit untuk mencarinya. Pencarianku terhenti setelah melihat Mami Icha, akupun menanyakan tentang Dixie.
Aku sungguh terkejut mendengar jawaban itu. Dixie si gadis cilik berkepang itu telah meninggalkan rumah sakit. Ada keluarganya dari Surabaya datang menjemputnya. Dokter pun menyetujuinya karena disana dia bisa memulihkan pita suaranya dan dapat berbicara lagi. Dua hari yang lalu mereka berangkat dengan pesawat ke Surabaya. Sebelum berangkat dia menulis surat padaku. Akupun membacanya.
Kakak! Maaf Dixie pergi tidak pamit.
Terima kasih ya sudah temanin Dixie selama di rumah sakit. Dixie mau ke surabaya sama Paman. Katanya kalo disini Dixie bisa sembuh. Kalo Dixie sudah sembuh, Dixie mau menyanyi buat Kakak. Kakak dengerin suara Dixie ya?
Paman bilang nama Dixie bagus. Kalo sudah masuk sekolah lagi, Dixie mau dipanggil Dixie saja sama teman-teman. Papannya Dixie bawa. Doain Dixie supaya sembuh ya?
Dixie sayang Kakak!

Setelah membaca surat itu… aku bersyukur hujan turun. Sehingga bisa menyembunyikan air mataku yang menetes. Dixie adikku sayang… Iya, Kakak ingin dengar suara Dixie. Makanya, Dixie harus sembuh dan percaya bahwa Dixie bisa sembuh. Kakak akan selalu menunggumu di sini, sampai Dixie datang dan meneriakkan nama Kakak dengan suaramu yang indah.
TAMAT
Alamz