Berita buruk datang bersama berita gembira. Setelah dua tahun menganggur, akhirnya akupun mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah kilang minyak di kalimantan. Sebuah surat datang ke rumah kecil ini. Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Aku anak tunggal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sebagai tamatan STM jurusan mesin, aku memaklumi nasib ini. Perusahan lebih senang mencari lulusan sarjana yang memiliki gelar. Namun aku bersyukur surat ini datang di saat aku mulai lelah dan hampir menyerah.
Keesokan harinya Ibuku tercinta masuk rumah sakit akibat penyakit jantung yang di deritanya. Dan itu merupakan berita buruk bagiku. Selama ini aku sudah banyak membuat Ibu menderita. Ibulah yang membesarkanku sendiri. Dari hasil jualan gorengan, Ibu menyekolahkanku meski hanya sampai STM. Sebenarnya aku ingin melanjutkan kuliah namun aku kasihan pada Ibuku.
Hampir setiap malam Ibuku menangis dalam sholat Tahajudnya. Entah apa yang didoakannya atau masalah apa yang dia adukan pada Allah. Sejak ditinggal Papa yang menceraikan Ibu dan menelantarkan kami, Ibu tidak pernah menyerah dan mengeluh dalam membesarkanku. Dia memberiku banyak nasehat bijaksana agar Saya selalu mensyukuri apa yang ada. Agar Saya mensyukuri apa yang diberi dan tak menuntut hal-hal duniawi.
Ya Allah, Saya mohon jangan ambil Ibuku sebelum aku membuatnya bahagia. Sebelum dia melihatku berhasil. Dan sebelum dia menggendong cucunya dari buah hatiku...
***
“Ibu saudara harus segera dioperasi. Jika tidak, Saya khawatir kondisinya akan bertambah parah.” Nasehat dokter.
“Kalau begitu segera laksanakan Dok.” Pintaku.
“Tapi rumah sakit ini tak punya fasilitas untuk Operasi. Saya akan berikan surat rujukan ke rumah sakit lain.” Ucap dokter.
“Iya Dok. Asal Ibuku selamat Saya akan lakukan apa saja.” Ucapku.
“Kemungkinan biaya operasinya... sangat mahal. Tapi Saya akan coba mencari keringanan biaya untukmu.”
“Berapa biayanya Dok?” tanyaku.
Aku tercenang melihat angka yang ditujukan dokter. Aku bingung mau cari dimana uang sebanyak itu?
Aku tidak punya jaminan untuk sebuah pinjaman. Meski dokter bilang aku bisa mencicil biaya operasinya, namun aku ragu bisa melunasinya atau tidak. Jika aku diterima di kilang minyak itu, mungkin dua tahun gajiku baru bisa melunasi biaya itu.
Aku harus tetap fokus dan berpikir positif. Minggu depan aku harus wawancara dan tidak boleh gagal. Aku akan berusaha di wawancara itu, karena itu Ibu... bertahanlah. Anakmu akan berusaha mencari biaya pengobatanmu. Doakan aku meski matamu sedang terpejam tapi aku yakin hati Ibu masih bisa berdoa. Dan akupun akan mendoakan Ibu, semoga Allah memberi nikmat umur dan kesehatan.
Ya Allah sayangilah Ibuku seperti dia menyayangi diriku diwaktu ku kecil hingga besar. Berikanlah kemudahan rejeki untukku untuk mengobati Ibuku yang sakit. Maafkanlah segala kesalahan hamba yang tak pernah bisa membahagiakan Ibuku. Di saat aku mengenal cinta dan mulai melupakan Ibu, dia tak pernah melupakanku. Rasa sayangnya padaku tak pernah berkurang. Aku menyesal pernah membantah, berteriak bahkan memakinya.
Ampunilah aku. Biarkanlah aku mengabdi pada Ibuku sekali lagi. Hanya Engkaulah yang Maha mendengar dan Maha mengabulkan doa hambanya...
***
Seminggu telah berlalu. Ibu masih terbaring lemah meskipun dia sudah sadar. Suaranya seperti desahan dan melemah. Namun aku harus berusaha tersenyum di hadapannya.
“Syukurlah. Hari ini Ibu mau dioperasi. Semoga operasinya lancar dan sakit Ibu bisa segera sembuh. Saya yakin Dokter bisa menyembuhkan Ibu.” Ucapku menyemangati.
“Nak... yang bisa menyembuhkan itu hanya Allah. Dokter hanyalah perantara saja.” Ucap Ibu.
Saya terharu. Di saat seperti ini dia masih teguh dan memberi nasehat. “Semoga Allah memberikan kesembuhan pada Ibuku tersayang.” Ucapku sambil tersenyum.
“Nak... Hari ini kamu ada wawancara kerja kan?” tanya Ibu.
“Iya. Tapi tenang saja. Saya akan di sini sampai Operasi Ibu selesai.” Jelasku.
“Ibu tidak apa-apa. Ada si Efi yang jagain Ibu. Kamu pergilah wawancara nak! Kesempatan belum tentu datang dua kali.” Ucap Ibu.
Efi yang sejak tadi duduk diam mulai berbicara. “Tenang saja Kak! Efi jagain Bu’de!”
Efi adalah sepupuku. Kebetulan dia bersama Paman datang menemani kami.
Hatiku agak ringan. Baiklah, Saya akan pergi wawancara dan berjuang karena Ibuku juga sedang berjuang. Kita sama-sama berjuang ya Bu!
Aku pun mengangguk setuju.
Dokter dan para perawat dengan pakaian hijaunya mulai datang. Hatiku kembali diliputi kegelisahan. Semoga Allah memberi pertolongan pada mu Ibuku...
“Nak...” ucap Ibu.
“Iya Bu!” jawabku.
“Jangan takut, jawablah pertanyaan mereka dengan jujur. Semoga kamu bisa diterima ya nak...” nasehat ibu sebelum akhirnya Dokter mendorongnya ranjangnya masuk menuju ruang Operasi.
Pintu itu pun tertutup rapat. Sebuah lampu merah yang terletak di atas pintu menyala dan kesunyian pun hadir. Setetes air mata jatuh di pipiku. Hanya doa yang dapat kupanjatkan...
Aku jadi teringat sebuah lagu. Sebuah lagu yang sangat menyentuh hatiku. Dan kunyanyikan lagu itu dalam hatiku. Diiringi sebuah doa tulus hanya untukmu. Dan Aku pun meninggalkan rumah sakit dengan membawa bekal nasehat dari bunda...
Kasih yang tak terhenti
Kasih murni abadi
Kurasakan dalam denyut jantungmu
Kudengar dalam doa mu
Oh Tuhan penyayang berikan rahmatmu
Untuk Ibuku seorang
(Kasih yang abadi – Tasya)
***
Aku duduk gelisah di antara barisan orang-orang yang sedang menunggu antrian wawancara. Aku bukan gelisah karena masalah wawancara itu, namun Aku gelisah karena mencemaskan Ibuku.
Giliranku untuk diwawancara pun tiba. Rasa cemas dan gelisah semakin menjadi. Saya takut memperlihatkan kondisi ini di dalam sana. Saya akan coba bertahan dan menghadapi wawancara ini. Saya menghela napas panjang sebelum memasuki ruang interview.
“Assalamualaikum!” Aku mengucap salam lalu berdiri di hadapan dua orang pewawancara.
“Silahkan duduk!” salah seorang pewawancar mempersilahkanku untuk duduk.
Dua orang yang mewawancaraiku ini, yang satu berbadan gemuk dan masih muda. Sedangkan yang satunya terlihat sudah beruban. Yang gemuk bernama Rudi dan pria beruban itu bernama Rahmat. Saya tau nama mereka dari kartu pengenal yang tergantung di dada mereka. Mereka berdua memeriksa berkas-berkasku.
“Saudara kenapa? Kurang sehat?” tanya Pak Rahmat.
“Saya tidak apa-apa Pak.” Jawabku.
“Gugup ya? Santai saja.” Ucap Pak Rudi.
Aku tersenyum lalu berucap terima kasih. Dan aku upun mulai diberikan berbagai pertanyaan. Namun karena gelisah dan cemas, jawabanku terlihat mengecewakan bagi mereka.
“Saudara akan ditempatkan di Kalimantan jika diterima, apakah siap untuk jauh dari kampung halaman?” tanya Pak Rudi.
“Pak, saya selalu siap ditempatkan dimana saja. Itu resiko yang memang harus diambil. Meskipun saya tak tega meninggalkan Ibuku seorang diri.” Jawabku dengan tegas.
“Hmm! Baiklah, kami akan menghubungi anda. Nah, anda boleh meninggalkan ruangan ini.” Ucap Pak Rahmat.
“Pak... boleh saya berbicara sebelum meninggalkan ruangan ini?” pintaku.
“Silahkan.” Pak Rahmat mempersilahkan.
“Sebenarnya... saya tidak ingin pergi. Jauh dari Ibuku...” ucapku.
“Maksud anda apa?” Pak Rudi terlihat agak kecewa.
“Saat ini, di saat saya sedang wawancara. Ibuku sedang dioperasi di rumah sakit.” Ucapanku tertahan desahan nafasku. Air mataku mulai jatuh karena tak tertahankan. Namun aku tak menangis...
“Lanjutkan...” ucap Pak Rahmat.
“Sebelum masuk ruang operasi, Ibu bilang... jawablah pertanyaan dengan jujur. Semua pertanyaan yang bapak berikan saya jawab dengan jujur. Tapi pertanyaan terakhir tadi... itu bukan jawaban jujur. Saya tidak ingin jauh dari Ibuku. Saya ingin saat dia membuka matanya, ada saya dalam pandangannya. Saya tidak ingin meninggalkan Ibuku.” Jelasku.
“Kamu akan kehilangan kesempatan. Kami tak bisa menerima pegawai cengeng yang tidak bisa mandiri seperti anda. Namun jika anda bisa tegas menentukan sikap. Kami akan terima saudara.” Tegas Pak Rahmat.
“Pak... saya akan merasa lebih menyesal jika kehilangan Ibuku. Masalah pekerjaan... saya bisa mencarinya lagi jika Allah membukakan pintu rezki untukku. Tapi Ibuku Cuma ada satu. Aku lebih memilih Ibuku. Maafkan saya pak. Jangan masukan ucapan saya di hati. Maaf saya sudah mengganggu wawancara ini. Perusahaan bapak adalah perusahaan hebat dan saya memang tidak pantas menjadi bagian dari kalian. Saya tidak akan dendam bila ditolak, saya tidak apa-apa. Silahkan bapak bekerja dan saya akan tetap pada pendirian saya. Terima kasih atas waktunya.” Jelasku lalu beranjak dari ruangan ini.
“Tunggu dulu nak!” ucap Pak Rahmat.
Aku pun menghentikan langkahku.
“Perusahaan ini. Dibangun dengan tangan dingin dan kerja keras. Kami mencari orang yang pekerja keras dan ulet. Tapi kami lebih senang menerima orang yang jujur...” Ucap Pak Rahmat.
“Pak?” aku kebingungan.
“Kamu sudah jujur. Dan itu modal berharga bagi kami. Kami akan membayar biaya operasi Ibumu. Jadi, bekerjalah dengan semangat. Ibumu pasti bangga punya anak yang sangat berbakti seperti kamu.” Jelas Pak rahmat.
Aku menangis terharu sambil memeluk Pak Rahmat. Dalam hatiku aku bersyukur atas karunia Allah dan juga nasehat Ibuku. Aku tak sabar ingin mengabarkan berita ini pada ibuku.
***
Aku kembali ke rumah sakit. Sudah tiga jam berlalu sejak aku meninggalkan rumah sakit. Efi terlihat tertunduk lesu sambil menangis. Aku jadi cemas.
“Efi? Ibu kenapa?” tanyaku.
“Tadi Dokter bilang, ada komplikasi. Dia hanya menyuruhku berdoa tapi sudah dua jam berlalu...” Efi menggantung kata-katanya.
Kakiku tiba-tiba lemas.
Ya Allah! Selamatkanlah Ibuku... aku janji akan selalu berbakti padanya. Kumohon jangan ambil dia sebelum aku sempat membahagiakannya.
“Kak! Maaf ya...” ucap Efi.
“Maaf kenapa dek? Kamu tidak salah apa-apa kan?” tanyaku.
Efi terdiam. Dia juga cemas sepertiku dan Paman.
Tiba-tiba seorang perawat datang mendekati kami. “Terjadi pendarahan serius. Kami kehabisan darah dan PMI belum datang. Siapa yang golongan darah ‘O’?” tanya perawat itu.
Aku mengacungkan tanganku. Efi masih kecil untuk mendonorkan darah sedangkan paman bergolongan darah “A”.
“Baik, kita akan melakukan transfusi darah. Tapi saya akan periksa bapak dulu. Mari ikut ke lab.” Ucap si perawat.
Setelah pemeriksaan itu, mereka tidak menganjurkanku melakukan transfusi darah. Akhir-akhir ini aku kurang istirahat sehingga tekanan darahku lemah. Aku jadi terkena anemia dan tidak dianjurkan untuk mendonor. Namun aku tetap bersikeras.
Akhirnya aku pun masuk ke ruang operasi. Aku bisa melihat sosok ibuku dari dekat. Kami dipisahkan oleh tirai hijau dan aku pun taksadarkan diri...
***
Entah sudah berapa lama aku pingsan. Kepalaku masih pusing dan sepertinya ruangan di sekitarku berubah. Di sebelahku ada Paman yang duduk menjagaku.
“Paman?” ucapku lemah.
“Ya!” jawabnya.
“Bagaimana Ibu?” tanyaku.
Paman terdiam sejenak. “Ibumu ada di dalam hatimu. Dia tidak kemana-mana. Darahnya mengalir dalam darahmu.”
Ucapan paman membuatku bingung. “Apa Ibu selamat?” tanyaku.
“Nak... maaf ya! Ibumu selamat dan karena menyelamatkanmu dia rela mengorbankan nyawanya.” Jelas Paman.
Aku segera bangkit dari ranjang ini namun kepalaku tiba-tiba pusing. Paman menahanku dan aku mulai terisak. Air mataku tumpah dan hatiku perih. Dalam hati aku bertanya pada Tuhan. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Apa Kau tak mendengar doaku?
“Sabar nak! Istigfar...” Paman mencoba menenangkanku.
Aku mulai beristigfar dan menenangkan hatiku. Ya Allah sabarkan aku, Kuatkan aku...
“Tadi... Ibumu sempat siuman saat transfusi darah. Dia senang saat matanya terbuka, kamulah orang pertama yang dia lihat. Tapi, kondisimu parah dan kamu bisa mati karena kehabisan darah. Karena itu ibumu memberimu darahnya. Dokter tak dapat berbuat apa-apa.” Paman mulai menjelaskan.
Air mataku tak berhenti mengalir. Aku hanya mencoba menahan batinku yang ingin berteriak. Ibuku mengorbankan nyawanya demi aku. Dia rela memberikan segalanya demi anaknya yang tak berguna ini.
“Tapi Paman... Saya belum sempat membahagiakan Ibuku, kenapa Allah mengambilnya?” keluhku.
“Hei... jangan bicara begitu nak! Kamu tahu? Saat ibumu bercerai dengan bapakmu, waktu itu umur kamu baru dua tahun. Ibumu pernah bilang pada Paman, kalau kebahagiaan terbesarnya adalah memiliki kamu. Jika tidak ada kamu, mungkin ibumu sudah bunuh diri. Dia senang kamu diterima kerja. Dia sangat bahagia saat tahu kamu rela berkorban demi dia. Ibumu sangat bahagia dan memilikimu adalah kebahagiaannya. Kelak saat menjadi orang tua, kamu bisa mengerti kebahagiaan menjadi orang tua. Dia tidak mengharap kamu membalas kebaikannya, karena dengan adanya dirimu yang hadir dalam hidupnya... itu sudah cukup untuk membuatnya bahagia.” Jelas paman.
“Paman... saya ingin bertemu ibu. Bisa bawa saya kesana?” pintaku.
Paman pun menuntunku berjalan. Ke sebuah ruangan yang terlihat merah akibat pantulan senja sore yang kemerahan. Di ruangan itu ada sebuah ranjang dan di atas ranjang itu terbaring sosok itu.
Aku berjalan mendekat dengan segenap kekuatan yang ku punya. Aku berdiri meski linglung dan pusing. Aku memandang wajahnya yang tenang dan damai. Wajahnya bahagia dan tersenyum. Tak terlihat rasa sakit, rasa sesal di wajahnya. Dia bahagia telah menolong anaknya...
Aku menyeka air mataku yang tak berhenti mengalir. Ku kumpulkan segenap kekuatan dan mencoba berbicara. Sebuah puisi kulantunkan sebagai rasa hormat, sebagai rasa sayang dan sebagai ungkapan rasa sayang dan terimakasih yang sangat mendalam. Meski kata-kata ini tak dapat membalas segala kebaikan yang telah ibuku tanamkan kepadaku. Kasih yang abadi...
Puisi Untuk Ibu
Ibu...
Kamu hebat
Kasih sayang mu tak terlukis dengan kata-kata
Namun izinkanlah ananda melantunkan puisi untukmu...
Ibu...
Sungguh besar pengorbananmu padaku
Dan semua itu tak dapat kubalas
Sungguh besar kasih sayang yang engkau beri
Namun kau tak pernah meminta balas
Ibu...
Semoga engkau tenang dan damai di sana
Aku akan slalu merindukan nasehat-nasehatmu
Aku akan slalu mengantarkan doa untukmu
Ibuku sayang...
Aku amat sayang padamu
Engkaulah pelitaku dalam kegelapanku
Maafkan aku yang tak bisa berbakti kepadamu
Ibuku...
Disaat kau sakit, engkau menahannya dan berusaha tersenyum padaku
Engkau selalu bersyukur dan tak pernah mengeluh dengan keadaan
Dulu...
Ibu selalu menyiapkan sarapan pagi untukku ketika ku berangkat ke sekolah
Ibu selalu mendongengkan aku kisah para nabi sebelum aku tidur
Ibu selalu melebihkan makananku bahkan ibu rela tak makan agar bisa melihatku makan
Ibu selalu bekerja keras membanting tulang untukku
Ibu selalu memaafkan setiap kesalahan dan kenakalanku
Kini...
Ibu bahkan rela memberikan darahmu untukmu
Ibu bahkan sempat memberi nasehat untukku
Ibu bahkan sempat memberi dukungan padaku
Meski harus menghadapi operasi ini
Terima kasih telah melahirkan aku bu...
Terima kasih atas nyawa yang kau berikan padaku
Terima kasih atas segala pelajaran berharga ini
Ya Allah, tempatkanlah Ibuku di surga Mu
Seperti Surga yang Kau letakkan dibawah kaki Ibuku...
Setelah membaca puisi ini, aku mencium kening Ibuku dengan lembut. Aku mencium tangannya yang dingin dan aku mencium telapak kakinya. Surga itu di bawah telapak kaki Ibu. Dan aku sangat bangga punya Ibu seperti kamu...
Dalam benakku, terngiang sebuah lagu yang pernah kunyanyikan waktu SD dulu. Sebuah lagu anak-anak, saat itu aku menyanyikannya tanpa perasaan apa-apa. Aku bahkan malu saat Ibu guru menyuruhku bernyanyi. Namun jika saat ini, Ibu guru menyuruhku menyanyikan lagu itu. aku tak akan malu dan akan kunyanyikan dengan lantang.
Memang benar kasih Ibu kepadaku tak terhingga sepanjang masa. Dia selalu memberi tanpa mengharap balasan. Tak harap kembali... Bagai sang surya yang menyinari dunia...
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayat ku
Kata mereka diriku slalu dimanja…
Kata mereka diriku slalu ditimang…
Nada-nada yang indah
Slalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritamu
Tangan halus dan suci
Tlah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Telah dia berikan...
Kata mereka diriku slalu dimanja…
Kata mereka diriku slalu ditimang…
Oh Bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku...
(Bunda – Melly Goeslaw)
Ibu adalah pahlawan kehidupan, pahlawan kasih sayang yang tak mengharap balas jasa. Saat dia melahirkan kita dengan pertarungan nyawa. Dia tak perduli kelak kita akan jadi seperti apa. Yang dia perduli adalah bagaimana kita bisa keluar dan menghirup udara dunia ini. Meskipun dia akan mati, tapi dia tidak takut.
Kadang kita sering membantah, kadang kita sering ngambek, bahkan kita sering memaki. Namun Ibu selalu memaafkan kita. Berbaktilah pada Ibu, sayangilah dia saat ini meskipun kamu sekarang sedang marahan dengan ibumu. Meskipun Ibumu baru saja memukul kita, namun sebenarnya dalam hatinya dia menangis. Meskipun Ibu selalu mengekang dan membatasi kebebasan kita namun itu semua demi kebaikan kita. Tersenyumlah pada Ibu karena kebahagiaan terbesarnya adalah melihat kita bahagia.
Karena kelak kita akan menyesal disaat dia tak dapat membalas senyuman kita lagi...