Jumat, 30 Desember 2011

CERPEN | SHABAT UNTUK SELAMANYA (Chapter 1)

Najma Stories – Pohon Persahabatan
Hari ini adalah hari pertamaku mengenakan seragam putih abu-abu. Wow, Najma kau terlihat sangat cantik dengan seragam ini. Hihihihi! Tak henti-hentinya aku memuji diriku di depan cermin. Aku bangun jam 5 subuh saking tidak sabarnya memulai hari ini.
Masa-masa SMA ku pun dimulai...
Masa orientasi siswa hari ini. Oh My God! Kakak-kakak kelasku banyak yang ganteng. Astagfirullah Najma! Kok jadi centil bengini sih?
Seorang anggota OSIS menyuruhku membawa sebuah bibit pohon. Aku dan seorang cewek murid baru mengangkatnya bersama. Tema Masa Orientasi Siswa kali ini adalah Go Green. Jadi kebanyakan kegiatan kita adalah kegiatan melestarikan lingkungan seperti membersihkan pekarangan, mengecat, menanam pohon dan lain sebagainya. Meskipun ada juga siswa yang mengisi MOS dengan ajang cari cowok/cewek alias ajang mencari cinta. Ckckckck!
“Namaku Najma, aku dari SMP 9. Kamu?” ucapku sambil memperkenalkan diri sama cewek yang membantuku mengangkat bibit ini.
“Frisilia. Aku dari SMP 4.” Ucapnya sambil tersenyum.
Hari ini, seharian aku jalan bareng sama Frisilia. Aku dan dia sama-sama berasal dari luar kota sehingga tidak ada teman SMP kami di sini. Sepertinya kami berdua saling cocok. Hobinya menyanyi, sama denganku. Tapi aku selalu malu jika disuruh tampil untuk menyanyikan sebuah lagu.

Hari demi hari pun berlalu. Akhirnya hari terakhir MOS pun tiba. Hari ini aku dan Frisilia menanam sebuah pohon di belakang Lab Komputer Sekolah.
“Apa pohon ini bisa tumbuh besar?” tanyaku.
“Mudah-mudahan bisa tumbuh besar ya...” Frisilia berharap.
“Amin! Pohon ini pasti bisa tumbuh besar. Dan akan berdiri tegak seperti pertemanan kita.” Ucapku.
Frisilia tersenyum lalu tertawa kecil. “Iya. Amin! Saat lulus nanti pohon ini jadi saksi pertemuan kita.” Ucapnya.
Kami berdua pun menyiramnya sambil bercerita tentang kisah dan pengalaman pribadi kami masing-masing. Aku berharap Frisilia bisa menjadi sahabatku di sini.
***
Aku sangat senang bisa sekelas dengan Frisilia. Kami berdua duduk sebangku. Saat istirahat, kami selalu makan bareng di kantin. Pulang sekolah pun bareng meskipun tempat tinggal kami berlawanan arah, namun rumah kami dekat dari sekolah. Orang tua nya dan orang tuaku jarang ada di rumah saat siang hari. Kadang-kadang saat pulang aku singgah di rumahnya dan diapun singgah di rumahku.
Oh ya, ternyata Frisilia pintar matematika loh. Aku takjub saat dia bisa menyelesaikan soal rumit yang diberikan Ibu guru. Matematika adalah kelemahanku, dan aku bangga punya sahabat sepintar dia. Tapi kalau pelajaran Bahasa Inggris, aku tidak mau kalah. Hehehe!
“Najma! Pulang nanti ke rumahku yuk! Kebetulan tadi pagi Mama habis buat kue Cake. Sekalian kerja PR Bahasa Inggris.” Pinta Frisilia.
“Oke Fris! Serahkan saja pada Najma soal Bahasa Inggris.” Ucapku lalu tertawa kecil.
“Hey! Aku boleh ikutan?” tiba-tiba Windi yang duduk di depan kami ingin turut dalam rencana kami.
“Ummm! Gimana Fris?” tanyaku.
“Boleh.” Jawab Frisilia.
“Asyiiik!” Windi bersorak.
“Ada Cakenya ya? Aku ikutan juga ya?” Farah yang kebetulan numpang duduk di samping Windi ingin berpartisipasi.
“Aih! Kamu cuma pingin cakenya aja kan Far?” Ledek Frisilia.
Aku dan Windi tertawa sementara Farah yang diledekin tampak cemberut.
“Iya deh, boleh. Jangan cemberut gitu dong cantik.” Ucap Frisilia.
Akhirnya siang itu kami berempat singgah di rumah Frisilia. Kami mengerjakan PR Bahasa Inggris sambil menikmati sepotong cake ditambah Es Sirup. Kasihan juga Frisilia. Setengah Cakenya habis dan kamarnya dibuat berantakan oleh kami. Windi malah menculik beberapa koleksi Novel dari rak buku Frisilia. Hari itu kami di rumah Frisilia sampai jam 3 Siang. Sungguh hari yang sangat panjang tapi menyenangkan...
***
 Aku tak menyangka kisah cewek-cewek sewot seperti di sinetron terjadi di dunia nyata. Namanya Kak Disti dan kak Ayu, beserta beberapa antek-anteknya. Hampir semua cewek-cewek yang terlihat dandanannya lebih menor darinya diceramahin. Termasuk cewek-cewek yang tergolong cewek cantik.
Mereka datang mendekati aku yang sedang duduk di sudut kantin sekolah bersama Farah. Saat itu aku dan Farah sedang menjaga meja supaya gak diserobot siswa lain. Sementara Frisilia dan Windi sedang mengantri memesan makanan di loket kantin.
“Hey cewek menor!” ucap Kak Disti sambil memelototi Farah.
Farah memang memiliki wajah yang cantik namun dandanannya tidak menor-menor seperti yang dituduh kak Disti. Kami berdua hanya diam dan mencoba bersabar.
“Kata Sisil kemarin dia lihat Lo jalan sama Kak Farhan.” Bentak Kak Disti.
Farah hanya diam sambil tetap menatap lekat Kak Disti.
“Ditanya malah diam!” Ucap Kak Disti sambil menyiram Farah dengan air dari gelas bekas minuman di dekat meja kami.
Farah lalu bangkit sambil berteriak karena kaget. Windi dan Frisilia yang melihat itu datang dan mencoba menahan Farah. Windi yang berbadan besar itu malah berani menantang Kak Disti. Seluruh penghuni kantin pun mulai berkerumun.
“Awas ya Lo! Berani Gue liat Lo dekat-dekat lagi sama Kak Farhan.” Ancam Kak Disti lalu pergi meninggalkan kami.
“Kamu nggak apa-apa kan Rah?” tanya Windi.
“Tidak. Hanya bajuku jadi basah deh.” Keluh Farah.
Kami jadi nggak mood makan dan hanya makan beberapa sendok. Windi dan Farah ke Toilet untuk membersihkan tumpahan es teh di bajunya.
“Kasihan Farah!” ucapku.
“Iya. Kok ada ya, cewek-cewek model mereka? Pengaruh sinetron mungkin..” keluh Frisilia.
“Jadi nggak mood makan nih. Kita susul mereka yuk?” ajakku pada Frisilia.
“Yuk!” jawab Frisilia.
Kami pun meninggalkan meja kami padahal sisa makanannya masih banyak.
***
Hari ini aku, Frisilia dan Windi akan belajar bareng di rumah Farah. Rumahnya lumayan jauh dari rumahku, tapi acara belajar bareng ini hampir menjadi rutinitas kami berempat. Meski kebanyakan ngerumpinya daripada belajarnya.
Rumah Farah sangat megah tidak seperti rumahku. Dia anak orang kaya namun aku salut padanya yang tidak pernah menyombongkan diri apalagi memamerkan kekayaannya. Bahkan dia bergaul sama Windi yang orang tuanya hanya seorang supir Bajaj. Tapi... itulah persahabatan. Tak memandang suku ras dan golongan. Tak memandang cantik dan jelek. Tak memandang miskin dan kaya. Dan aku bersyukur mereka bertiga menjadi sahabatku.
Di rumah pun Farah terlihat biasa-biasa saja dengan baju kaos seadanya. Kami bertiga jadi merasa iri sama Farah. Mobil di garasi rumahnya ada empat, punya kolam renang yang luas, punya kamar yang besar. Tapi kami jadi malu juga kalau merasa iri pada Farah. Seandainya aku jadi Farah, pasti aku jadi cewek yang manja dan sombong karena aku tak bisa serendah hati seperti Farah. Aku bersyukur jadi diriku yang sekarang.
Kami duduk di teras beranda kamar Farah. Kamarnya di lantai dua dan memiliki beranda sendiri yang menghadap ke kolam renang di belakang rumahnya. Dengan ditemani segelas Jus Melon. Kami mengerjakan PR Fisika yang tadi diajarkan Bu Dewi.
Kalo soal hitung-menghitung, serahkan saja pada Frisilia. Soalnya aku lemah di pelajaran menghitung. Kalo Farah sih jagonya di pelajaran Geografi dan Kesenian, sedangkan Windi jagonya di Olah Raga. Hehehe.
Rupanya Windi dan Farah satu SMP namun saat SMP, mereka tak seakrab sekarang karena berbeda kelas. Saat SMP Farah ternyata cewek pendiam. Namun saat dekat dengan Windi, Farah jadi periang dan terbuka.
“Eh, besok kan hari minggu. Kalian nginap aja disini.” Usul Farah.
“Beneran nih?” Windi mencoba memastikan.
“Iya. Kebetulan papa sama Mama sedang keluar kota. Jadi aku hanya tinggal berdua sama Kakak. Tapi kakak jarang banget di rumah.” Jelas Farah.
“Oh ya, aku belum pernah bertemu kakakmu. Kakamu cowok atau cewek?” tanyaku.
“Cowok. Siang-siang gini biasanya dia keluar. Biasanya pulang ke rumah sebelum magrib.” Jawab Farah.
“Kalo gitu kita pulang dulu ganti baju sekaligus minta izin sama Orang tua.” Ucap Frisilia.
“Asyiik! Kayaknya seru tuh nginap bareng sahabat. Aku jadi gak perlu rebutan bantal sama adik-adikku di rumah.” Windi girang.
“Dasar Windi!” ledek Frisilia sementara aku dan Farah hanya tertawa.
“Ya sudah. Biar Mang Jana yang antar kalian pulang. Aku juga ikut pastinya.” Ucap Farah.
Akhirnya sore itu kami bertiga mendapatkan izin dari orang tua kami. Windi yang paling girang dan bersemangat di antara kami. Seumur hidupnya, baru kali ini dia naik mobil sedan. Hehehe.
Sebelum kembali ke rumah Farah, kami singgah berbelanja dulu di Supermarket dan jalan-jalan di Mal hingga sore hari pun tiba.
***
Malam ini kami bercerita di beranda. Kami saling curhat malam itu tentang masa lalu kami dan impian kami. Tentang hal-hal aneh yang pernah kami lakukan dan banyak hal yang tak sempat kami curahkan.
Frisilia bercita-cita ingin menjadi seorang idola cilik saat masih SMP. Tapi dia tak pernah sempat ikut audisi. Kini, dia ingin mewujudkan cita-citanya di masa depan, yaitu menjadi seorang dokter. Selama SMP Frisilia tidak pernah pacaran dan tidak ada cowok yang dia sukai. Ternyata saat SMP dia adalah ketua OSIS dan sering mewakili sekolahnya dalam ajang lomba-lomba. Kami jadi takjub padanya.
Windi punya cita-cita yang mulia. Dia ingin membahagiakan keluarganya dan menghapus kemiskinan keluarganya dengan usahanya sendiri. Soal Profesinya kelak, Windi ingin menjadi pramugari atau menjadi ibu rumah tangga dari seorang cowok kaya. Selama SMP, Windi bergaul sama anak-anak nakal dan sering berbuat kenakalan. Tapi sekarang Windi sudah insyaf kayaknya. Saat SMP Windi sempat pacaran sama temannya bernama Rio. Namun sekarang sudah putus.
Farah punya cita-cita ingin menjadi Arsitek atau Arkeolog. Farah sangat jago memainkan Piano loh. Saat SMP dia cewek pendiam dan kuper. Kebanyakan orang-orang berteman dengannya karena statusnya sebagai anak konglomerat. Makanya saat SMA, dia jarang bergaul dengan orang lain. Farah tidak pernah pacaran selama SMP hingga sekarang. Namun ada cowok yang sangat dia sukai saat masih SMP. Namanya Arsyad Amir Alamsyah yang kami singkat menjadi A3. Hahahaha.
Aku... cita-citaku ingin menjadi Psikolog atau Penulis. Bakatku ya menulis cerpen dan Puisi. Saat SMP aku sempat pacaran sama Kakak kelasku namun itu hanya cinta monyet. Kini aku hanya ingin fokus pada pelajaran. Aku tak punya cerita masa SMP yang bisa kubanggakan karena saat SMP aku hanyalah seorang cewek pendiam.
Malam ini kami mengikrarkan janji persahabatan kami. Bulan dan bintang menjadi saksi ikrar kami.
“Aku Farah Abbas. Akan menjadi sahabat setia sampai mati. Sahabat disaat suka dan duka untuk kalian.” Ikrar Farah.
“Aku Najma Khumairoh. Akan menjadi sahabat setia sampai mati. Sahabat disaat suka dan duka untuk kalian.” Ikrar ku.
“Aku Windi Sutanto. Akan menjadi sahabat setia sampai mati. Sahabat disaat suka dan duka untuk kalian.” Ikrar Windi.
“Aku Frisilia Natalia. Akan menjadi sahabat setia sampai mati. Sahabat disaat suka dan duka untuk kalian.” Ikrar Frisilia.
Kami berempat saling menggenggam tangan kami dan berpelukan. Rasa hanyat menyelimuti tubuh kami. Kehangatan sebuah persahabatan yang mengalahkan dinginnya udara malam.
“Far... Nej... Fris... minggu depan kita nginap bareng lagi ya?” pinta Windi.
“Pasti Win!” Frisilia mengiyakan.
“Minggu depan kita nginap dimana?” tanyaku.
Mereka memanggilku dengan sebutan “Nej”, karena guru kesenian kami yang keturunan India itu memanggilku Nejma. Dan kadang disingkat jadi Nej. Akhirnya panggilan itu melekat padaku oleh teman-teman sekelas.
Akhirnya kami mengundi dan bahkan membuat jadwal. Alhasil, minggu depan mereka menginap di rumahku, setelah itu di rumah Windi lalu di rumah Frisilia. Acara nginap bareng setiap hari sabtu menjadi rutinitas kita.
Kami kembali masuk ke kamar karena udara di luar sudah semakin dingin. Farah memiliki kamar yang luas dan kami melebarkan kasur di atas karpet dan tidur bareng. Namun kenyamanan tidurku mulai terganggu karena Windi mulai cerita tentang hantu. Aku sangat takut sama yang begituan. Apalagi aku harus tidur diapit oleh Windi dan Farah. Frisilia sudah terlelap duluan. Windi dan Farah terus-terusan menakutiku dengan cerita hantu jaman SMP mereka.
Aku hanya memeluk boneka doraemon milik Farah erat-erat sambil menutup telingaku. Dalam hatiku aku tak berhenti memanjatkan doa untuk mengusir rasa takut ku. Windi dan Farah sepertinya kasihan melihatku sehingga mereka berdua pun memelukku. Aku menjadi damai…
“Duh, kasihan peri kita ini udah ketakutan kayaknya!” ucap Windi sambil membelai kepalaku.
“Nej! Tenang aja, kan ada Windi. Setan-setan pasti takut kalo lihat Windi.” Ucapan Farah membuatku terkekeh, sementara itu Windi memelototi Farah dengan wajah angkernya itu.
Aku pun terlelap malam itu dalam rangkulan sahabatku yang menentramkanku.

>>> End Chapter <<<


Kamis, 05 Mei 2011

Cerpen | Epilogue of Aku dan Adikku

Epilogue of Me and My Sister
Diari Icha


Kak! Besok Icha UN, 4 hari. Duh, deg2an bgt dech..
Kukirim sms ini untuk kakakku tersayang. Aku amat menyayanginya karena sejak aku masih kecil dia slalu memanjakanku. Sekarang dia sudah bekerja di luar negeri sebagai seorang arsitek hebat. Icha bangga punya kakak yang hebat seperti dia. Meskipun selama ini kami pun sering bentrok juga. Namun pada akhirnya Kakak selalu mengalah dan Icha yang menang. Hihihihi!
Hmmm! Belum dibalas. Mungkin kakak sudah tidur karena perbedaan waktu di sini dan di sana 2  jam. Sekarang sudah jam 9 malam di sini dan di Jepang pasti sudah hampir jam 11 malam. Mendingan Icha nulis diari saja deh. Soalnya sudah capek belajar seharian ini.

Selasa, 03 Mei 2011

Cerpen | Aku dan Adikku


“Kak! Icha ada PL nih. Cucah deh.” Suara ini mengagetkanku dan membuyarkan konsentrasiku.
“Nanti aja. Kakak lagi sibuk nih.” Tolakku.                         
“Umm! Kakak juga kelja PL ya?” tanyanya.
“Iya. Makanya jangan ganggu ya?” ucapku.
Nur Siti Aisyah nama adikku. Aku memanggilnya Icha. Dia baru duduk di kelas 1 SD. Sebenarnya dia bukan adik kandungku karena Papa menikah lagi dengan Mamanya Icha. Seorang janda muda yang suaminya meninggal saat Icha masih berumur satu tahun. Papaku adalah teman kantornya dan mereka pun saling cocok dan akhirnya menikah. Saat itu Icha masih berumur 3 Tahun namun dia tak merasakan dilema seperti yang aku rasakan.
Butuh waktu satu tahun bagiku tuk memanggil Mama Icha sebagai Mama. Dan sampai sekarang aku masih risih dan sering menghindari Icha. Padahal sebenarnya dia lucu dan imut, sayang aku tak siap memiliki seorang adik sejak Mama ku meninggal 5 tahun lalu.
Pagi itu aku sarapan sendiri karena Papa dan Mama sudah berangkat ke kantor. Terpaksa aku yang harus menyiapkan makan pagi untuk Icha. Telur mata sapi ditambah roti bakar. Itulah menu andalanku untuknya.

Kamis, 21 April 2011

Cerpen | Menanti Jawaban Sahabat

Hari itu, merupakan hari yang sangat mengharukan bagiku. Tak kusangka, sahabat terbaikku sejak kecil akan pindah. Saat itu aku masih duduk di kelas 1 SMP. Aku memberinya sebuah kenang-kenangan, sebuah kalung dengan inisial namanya, “S”.
Waktu berlalu seiring kepergiannya, dan aku masih sering berkirim surat padanya. Semua surat-suratnya ku simpan dalam sebuah kardus kecil dan kuanggap sebagai Harta berhargaku. Komunikasi lewat surat berlangsung selama 3 tahun ini. Kadang surat yang kutulis, balasannya baru datang 2 minggu kemudian, bahkan pernah 3 bulan balasannya datang. Tapi aku tak pernah lelah menunggunya. Selembar kertas itulah yang mendekatkan diriku dan dirinya. Sesekali aku mengirimkan fotoku dan ia pun mengirimkan fotonya. Meskipun kami terpisahkan oleh lautan luas, aku serasa dekat dengannya. Di saat aku mulai menarikan pena di atas selembar kertas, aku serasa berbicara padanya. Dia seperti duduk di sampingku dan mendengarkan segala keluh kesalku.

Cerpen | Dixie Part II

Malam ini aku bereksperimen dengan sebuah kabel data dan komputer. HP E63 ku yang kunamai “Nent” pun harus turut serta dalam eksperimen bodoh itu. Aku mencoba mencari jalan menyalin semua isi data maupun sistem HP ke dalam komputer atau lebih dikenal dengan nama Backup.
Memang berhasil dan terkompres serta terproteksi dengan aman dalam Folder pribadiku di komputer. Aku bisa mengosongkan sms-sms yang kusimpan sebagai bahan acuan Novelku. Kuhapus semua sms itu yang berjumlah sekitar 1896 pesan. Memang terlihat aneh bila seseorang menyimpan sms-sms yang diterimanya. Namun bagi orang yang baru belajar bersosialisasi dan berekspresi seperti saya ini, kata-kata mereka sangatlah berharga agar aku tidak terlihat membosankan. Oh ya, ada yang bilang aku cowok yang membosankan. Saat mendengar kata-kata jujur itu, aku tertawa sambil merenunginya. Aku jadi teringat kata-kata Professorku, “Jangan berprasangka buruk terhadap ucapan orang meskipun memang dia menghinamu.”

Jumat, 08 April 2011

Cerpen | Kucingku Malang...

KUCING KU YANG MALANG

Ih, ada kucing hamil masuk-masuk kamar ku. Jangan melahirkan di sini ya? Nanti Bintang capek bersihin kamar. Puss, melahirkannya di luar saja ya...
Gumam Bintang. Dia pun meletakkan ransel dan mengganti seragam sekolahnya. Hari ini merupakan hari yang sangat berat baginya. Masalah di sekolah dan masalah di rumah dengan kakaknya. Akhir-akhir ini Bintang sering dikucilkan sama kakaknya yang sangat sibuk mengurus cewek-ceweknya yang berjibun banyaknya dan melupakan Bintang.
Malam ini, Bintang duduk di beranda rumah sambil memandangi langit malam. Kucing yang tadi datang dan mengelus tubuhnya di kaki Bintang.
“Puss! Lapar ya? Sabar ya! Bintang ambilkan makanan.” Ucap Bintang. Sang kucing hanya mengeong dan mengikuti langkah kaki Bintang menuju dapur.
“Yah! Cuma ada nasi sisa aja. Gak ada ikan nih. Mudah-mudahan kakak pulang bawa ikan. Ehehehe! Ngarep deh. Puss maem ini aja ya?” gerutu Bintang pada kucing.
Bintang pun kembali ke teras beranda sambil melihat bintang. Beberapa saat kemudian kakaknya datang dan hanya mengucap salam lalu masuk ke kamar. Bintang jadi ceberut, kakaknya sudah benar-benar cuek dan sibuk sama dunianya. Padahal banyak hal yang ingin Bintang curahkan.


Rabu, 16 Maret 2011

Maafkan Aku Sasya...


Namanya Salsabila. Aku biasa memanggilnya Sasya. Lidahku agak aneh saat mengucap huruf “L”, sehingga “Salsa” ku ucap jadi “Sasa”. Dia adik sepupuku yang berusia 6 tahun. Meskipun dia kadang sangat menjengkelkan, namun aku tetap menyayanginya. Dia adalah malaikat penolongku yang menolongku dari kematian. Sayang aku sudah terlambat menyadari nasihat darinya...
***
Aku adalah seorang wanita bebas dan tak terikat apapun. Karena masalah keluarga, aku kabur dari rumah dan memutuskan kuliah di Singapura. Di saat liburan semester, aku tinggal di rumah Bu’de di Batam. Sebagai rasa terima kasih karena sudah diijinkan numpang, aku selalu menjaga Butik Bu’de. Meskipun sering sunyi, tapi aku tak pernah bosan dan jenuh.
Aku bersyukur bisa mendapatkan beasiswa di sebuah universitas di Singapura. Dari 880 kompetitor nasional, aku berhasil terjaring sebagai 20 mahasiswa yang mendapatkan beasiswa penuh. Aku mengambil jurusan psikologi dan aku berkonsentrasi pada psikologi remaja.
Aku juga punya seorang pacar yang sangat tampan dan perhatian terhadapku. Namanya Ricky Indra Prasetya dan orangnya sangat cool. Pokoknya tipe-tipe pangeran lah. Kakak ku, sering menyingkat namanya menjadi RIP. Saat pertama kali mendengarnya, aku tertawa dan agak jengkel juga. RIP alias Rest In Place, adalah sebuah tulisan yang tertera pada batu nisan kuburan.

Rabu, 09 Maret 2011

Cerpen | Tak Termiliki

Cinta itu tak harus memiliki. Syukurilah rasa cinta yang diberikan tuhan kepadamu. Tak semua orang pernah merasakan kisah cinta yang indah. Jika kamu mencintainya, cintailah dia dalam hatimu. Meski mulut tak dapat mengungkapkannya namun hatimu dapat menyampaikannya. Kebanyakan sulit dan sering berkata bohong tentang mengikhlaskan cinta. Mereka tak rela bila cinta mereka tak termiliki. Well, dengarkanlah kisahku ini...

Malam ini aku tak bisa tidur karena pertengkaranku dengan sahabat yang telah kuanggap adik sendiri. Aku merasa sangat menyesal dan ingin segera meminta maaf. Akupun segera ke warnet di dekat tempat kos yang memang buka hingga jam 2 malam. Akupun mulai mengetik email...

Dear Shinta
Mungkin kakak memang tak pantas menjadi kakak yang baik bagimu. Bukan pula sahabat yang baik bagimu. Namun aku selalu menganggapmu sebagai orang yang sangat berharga di hidupku.

Masih ingat nggak? Saat hatiku terluka dan bersedih, kamu slalu datang menyemangati dan menghiburku. Saat aku sakit, kamu seperti orang panik saja. Saat aku ingin curhat kamu selalu mau mendengarkanku. Hatiku tentram dan damai saat berada di dekatmu.

Maafkanlah kakakmu ini. Tak seharusnya aku menghindari dan marah padamu. Maaf ya...
Seharusnya aku bisa mengerti dirimu namun aku egois dan hanya mementingkan diriku. Aku merasa dirimu yang menderita sedangkan aku hanya berdiam diri.

Kamu adik dan sahabat terbaikku. Dan aku tak ingin membuatmu bersedih. Aku ingin kamu bahagia dan aku akan mencoba menjadi seseorang yang dapat mengerti dirimu.
Entahlah... email ini dibaca atau tidak. Tapi, aku selalu memaafkanmu... maukah kamu terima permintaan maafku? Tidak diterima juga nggak apa-apa kok...

See ya!

Enter dan email pun terkirim. Semoga dia mau membacanya dan memaafkanku. Seharusnya aku tidak cuek padanya disaat dia ingin curhat dan meminta sesuatu dariku.
Sebenarnya aku cemburu dan marah padanya karena dia jadian sama Tomi. Padahal aku sangat menyayanginya namun dia hanya menganggapku seorang kakak dan sahabat curhatnya. Aku lebih dahulu mengenalnya daripada Tomi. Sudah dua tahun aku menjalani waktu bersamanya dan telah banyak kenangan tlah tercipta.

Kira-kira setahun yang lalu rasa sayang sebagai sahabat telah berubah menjadi rasa cinta. Namun aku tidak pernah mengungkapkan rasa ini. Entah mengapa sulit rasanya mengungkapkan cinta lewat bibir ini. Aku memang pengecut...

Selama ini, kami sering saling curhat tentang kehidupan masing-masing. Bintang dan Bulan menjadi saksi perbincangan kami. Dia adalah bulan dan akulah bintang. Kami saling terbuka dan karena dia tidak punya seorang kakak laki-laki, maka dia pun menganggapku kakak. Meskipun sebenarnya sikapku padanya terlihat lebih manja. Aku jadi merasa dialah yang pantas menjadi kakak karena dia lebih tegar dariku dan lebih sering diandalkan daripada aku.

Beberapa bulan lalu dia mengenal Tomi. Sebelumnya dia pacaran dengan Adit namun sudah lama putus. Saat pacaran dengan Adit, aku belum memiliki rasa cinta padanya. Dia sering curhat tentang Adit padaku. Namun kali ini dia pacaran sama Tomi disaat aku telah mencintai dia sebagai seorang gadis. Aku cemburu dan mulai menjauhinya.

Dia menanyakan alasan dan akupun memberikannya. Aku tidak menyetujui dia pacaran dengan Tomi karena berbeda keyakinan. Namun, aku tak memberitahukan alasan sebenarnya. Alasan yang sebenarnya adalah karena aku telah mencintainya. Dan aku cemburu, sangat cemburu.
Akhirnya kami saling diam selama beberapa hari ini. Namun aku tak tahan bila dia membenciku. Aku tak ingin dia membenciku. Biarlah kupendam rasa cinta ini dan merelakan dia. Biarlah aku mengalah dan kalah dalam percintaan ini. Meski rasanya sungguh sangat menyakitkan hatiku. Mencintai itu tak harus memiliki, karena itu aku akan belajar untuk tidak memiliki.

Saat memikirkan tentang itu... rasanya hati ini tak ikhlas. Ada rasa egois untuk memilikimu seutuhnya namun aku akan mencoba untuk tetap tegar. Aku tak ingin dilupakan...

Aku bagaikan ada disaat yang terindah
Menjadi bagian kisah terhempas dari cinta
Tersiksa cintamu yang tlah dinikmati orang lain
Menjadi bagian tawa dan cemooh semua orang

Dengarlah lagu dari orang yang tak mau putus asa
Dengarlah lagu dari orang yang tak ingin dilupakkan

Menepis hari yang sedih membuatku lupa akan arti harga diri
Caci makilah atau kau buat ku tersenyum tuk hadapi kenyataan
Menepis hari yang sedih bagaikan berdiri ditepi jurang batinku
Doronglah aku atau kau raih tangan ini tuk hadapi kenyataan
(Dirly - Tak Ingin Dilupakan)

Lagu ini menemani tidurku malam ini. Air mataku pun tak berhenti mengalir menghadapi kenyataan cinta ini. Oh Tuhan! Mengapa cinta itu menyakitkan? Apa yang harus aku lakukan? Haruskah aku tersenyum? Dan bisakah aku tersenyum saat bertemu dengannya?

Mungkin aku harus bohong padanya dan mengatakan kalau jantungku kumat. Biasanya berhasil membuatnya khawatir dan memaafkan aku. Namun aku tak ingin membohonginya. Aku malah akan membuatnya bersedih karena selama setahun ini dia telah bekerja keras mengobati sakit jantungku. Jika aku berbohong, maka dia akan merasa usahanya selama ini akan sia-sia.

***

Ikhlas dan tersenyum. Itulah yang coba kulakukan hari ini. Semoga dia bisa membahagiakanmu dan kisahmu tidak berakhir seperti dengan Adit. Adit yang memutuskan kisah cinta kalian dan membuatmu rapuh. Saat itulah aku hadir dan menguatkan kamu. Meskipun aku pun tahu kamu masih menyimpan cinta pada Adit. Mungkin itu alasan mengapa aku tidak berani mengungkapkan cinta ini.

Aku membelikan dia cokelat sebagai tanda permintaan maafku. Dia telah membaca email itu dan dia pun telah memaafkan aku. Rasanya agak lega namun masih ada rasa sakit saat dia bersama Tomi.

Untuk menghilangkan rasa sedihku, aku mulai serius bermain basket. Aku mengajar anak-anak kompleks bermain basket dan hampir setiap sore kami bermain. Rasa sedihku sedikit berkurang dengan kegiatannya ini. Namun rasa sedih itu sering datang saat dia mengirim sms tentang kisahnya dan Tomi.

Ya Allah! Jangan jadikan rasa cintaku padanya melebihi rasa cintaku pada Mu! Ikhlaskanlah aku dan tegarkanlah aku.

Hampir setiap malam aku berdoa memohon ketegaran di dalam hati ini. Aku tak ingin menjadi penghalang bagi hubungan mereka dan tak ingin sakit hati. Biarlah rasa cinta ini tak termiliki. Aku lebih bahagia bila dia menganggapku sahabat dan kakaknya. Aku lebih bahagia saat dia mau berbagi kisahnya padaku tanpa ragu.

Hari demi hari telah kulalui dengan menahan rasa sakit ini. Akhirnya aku pun bisa mengikhlaskan dan bisa tersenyum saat mereka berdua berjalan bersama. Kadang-kadang dia mengajakku makan bersama Tomi, dan kami pun bercanda dengan akrab.

Kadang-kadang aku menumpang mobil Tomi jika mereka akan pergi ke suatu tempat yang aku tuju. Aku tak bisa membenci Shinta. Yang harus kulakukan adalah memastikan bahwa dia bahagia. Akan aku lakukan apapun untuk membuatnya bahagia. Meskipun semua itu akan menyakiti hatiku. Tak apalah... karena saat melihatnya tersenyum, hatiku pun akan kembali tentram.

Kehidupan kampusku pun semakin kupadati untuk melupakan rasa cintaku padanya. Aku menjadi asisten dosen dan mulai mengajari mahasiswa. Saat menjadi asisten dosen ini aku bertemu banyak cewek cantik yang mau membuka hatinya padaku. Namun entah mengapa rasa cintaku pada Shinta masih menguasai hatiku sehingga mereka tak kuanggap.

Dikala senggang, aku sering berkumpul bersama teman-teman kos dan saling curhat. Kadang-kadang aku menciptakan lagu atau cerpen untuk mengusir pikiranku tentang shinta. Aku pun membuka hatiku pada beberapa cewek. Mungkin saja aku bisa mencintai mereka seperti rasa cintaku pada Shinta.

Ada Isma, seorang cewek religius. Dia teman kos adikku dan biasa datang ke tempat kosku untuk meminjam komputer atau untuk ngeprint tugas. Ada Nina, adiknya Shinta. Dia sering meminta bantuanku untuk tugas TIK atau hal-hal yang berhubungan dengan komputer. Ada Sri, seorang cewek yang sabar dan juga pintar. Namun dia hanya menganggapku sebagai kakak begitupun perasaanku padanya. Aku malah comblangin dia dengan temanku.

Akhirnya, aku pun tak punya pengganti Shinta hingga saat ini. Tapi tak apalah, karena Shinta masih menganggapku sahabatnya dan masih menjalin komunikasi denganku.

Dia akan ke Bandung bulan depan bersama Tomi. Dia meminta pendapatku sebelum berangkat ke Bandung. Kebetulan dia juga mendapatkan pekerjaan di sana. Sebenarnya hatiku tidak rela bila dia pergi ke sana. Aku tak bisa melihat wajahnya yang tersenyum lagi. Namun, aku menyetujuinya karena sepertinya dia amat bersemangat. Apa sih yang tidak buatmu Shin! Gumamku dalam hati.

Aku membuat banyak kenangan dengannya selama ini. Kami masih bisa saling kontak lewat email atau sms. Anehnya, aku tak merasa sakit hati lagi saat melihatnya berjalan bersama Tomi. Namun rasa cintaku padanya tak pernah pudar. Ingin sekali rasanya mengatakan dan mengungkapkan perasaan ini padanya...

Aku tidak tahu kehidupan cintaku seperti apa jadinya. Mungkin Tuhan tidak menakdirkan kehidupan cinta untukku. Namun aku tidak pernah menyerah. Aku yakin suatu saat nanti akan ada cinta sejati untukku. Cinta yang membahagiakan dan abadi selamanya. Seperti puisi cinta yang kutulis ini...

Cinta itu membingungkan
Apakah benar aku mencinta?
Atau hanya nafsu yang bicara?
Atau hanya kekaguman sesaat saja?

Cinta itu…
Harus diungkapkan
Harus dibuktikan
Harus dipertahankan
Harus membahagiakan

Akankah datang cinta sejati untukku?
Yang mencinta tanpa memandang masa lalu.
Yang mencintai aku tanpa ragu
Yang mencintai aku apa adanya.

Walaupun dia harus pergi
Meninggalkan semua yang dimiliki
Mengabaikan semua caci maki
Mencintai aku kini dan nanti


Akhirnya, hari kepergian Shinta ke Bandung pun tiba. Dia melambaikan tangannya dengan senyuman terindahnya. Yah, dalam persahabatan tak pernah ada kata berpisah. Yang ada adalah kata “Kita pasti akan bertemu lagi”.

Terimakasih telah mengajari aku perasaan mencinta. Mengajariku mengikhlaskan dan arti sebuah ketegaran. Darimu aku telah mendapat pengalaman dan pelajaran berharga. Ya, aku telah melewati masa-masa sedih itu, sehingga aku dengan bangga bisa mengatakan bahwa “Cinta itu tak harus memiliki.”

Suatu hari nanti aku ingin bertemu dengan orang yang mirip denganmu. Orang yang bisa membuatku jatuh cinta seperti rasa cintaku padamu. Dan aku berjanji... aku akan mengungkapkannya... aku akan membuktikannya... aku akan mempertahankannya dan akan membahagiakannya...

Dan bila saat itu tiba, aku berharap drama kisah itu akan berakhir bahagia. Apapun yang akan terjadi nanti, hanya Tuhan yang tahu. Hamba hanya ingin hidup bahagia dan tak ingin berakhir sedih seperti cerpen-cerpen yang aku tulis itu.

^o^

Cerpen | Puisi Untuk Ibu




Berita buruk datang bersama berita gembira. Setelah dua tahun menganggur, akhirnya akupun mendapatkan pekerjaan tetap di sebuah kilang minyak di kalimantan. Sebuah surat datang ke rumah kecil ini. Aku hanya tinggal berdua dengan ibuku. Aku anak tunggal dan tidak mempunyai pekerjaan tetap. Sebagai tamatan STM jurusan mesin, aku memaklumi nasib ini. Perusahan lebih senang mencari lulusan sarjana yang memiliki gelar. Namun aku bersyukur surat ini datang di saat aku mulai lelah dan hampir menyerah.
Keesokan harinya Ibuku tercinta masuk rumah sakit akibat penyakit jantung yang di deritanya. Dan itu merupakan berita buruk bagiku. Selama ini aku sudah banyak membuat Ibu menderita. Ibulah yang membesarkanku sendiri. Dari hasil jualan gorengan, Ibu menyekolahkanku meski hanya sampai STM. Sebenarnya aku ingin melanjutkan kuliah namun aku kasihan pada Ibuku.
Hampir setiap malam Ibuku menangis dalam sholat Tahajudnya. Entah apa yang didoakannya atau masalah apa yang dia adukan pada Allah. Sejak ditinggal Papa yang menceraikan Ibu dan menelantarkan kami, Ibu tidak pernah menyerah dan mengeluh dalam membesarkanku. Dia memberiku banyak nasehat bijaksana agar Saya selalu mensyukuri apa yang ada. Agar Saya mensyukuri apa yang diberi dan tak menuntut hal-hal duniawi.
Ya Allah, Saya mohon jangan ambil Ibuku sebelum aku membuatnya bahagia. Sebelum dia melihatku berhasil. Dan sebelum dia menggendong cucunya dari buah hatiku...
***
“Ibu saudara harus segera dioperasi. Jika tidak, Saya khawatir kondisinya akan bertambah parah.” Nasehat dokter.
“Kalau begitu segera laksanakan Dok.” Pintaku.
“Tapi rumah sakit ini tak punya fasilitas untuk Operasi. Saya akan berikan surat rujukan ke rumah sakit lain.” Ucap dokter.
“Iya Dok. Asal Ibuku selamat Saya akan lakukan apa saja.” Ucapku.
“Kemungkinan biaya operasinya... sangat mahal. Tapi Saya akan coba mencari keringanan biaya untukmu.”
“Berapa biayanya Dok?” tanyaku.
Aku tercenang melihat angka yang ditujukan dokter. Aku bingung mau cari dimana uang sebanyak itu?
Aku tidak punya jaminan untuk sebuah pinjaman. Meski dokter bilang aku bisa mencicil biaya operasinya, namun aku ragu bisa melunasinya atau tidak. Jika aku diterima di kilang minyak itu, mungkin dua tahun gajiku baru bisa melunasi biaya itu.
Aku harus tetap fokus dan berpikir positif. Minggu depan aku harus wawancara dan tidak boleh gagal. Aku akan berusaha di wawancara itu, karena itu Ibu... bertahanlah. Anakmu akan berusaha mencari biaya pengobatanmu. Doakan aku meski matamu sedang terpejam tapi aku yakin hati Ibu masih bisa berdoa. Dan akupun akan mendoakan Ibu, semoga Allah memberi nikmat umur dan kesehatan.
Ya Allah sayangilah Ibuku seperti dia menyayangi diriku diwaktu ku kecil hingga besar. Berikanlah kemudahan rejeki untukku untuk mengobati Ibuku yang sakit. Maafkanlah segala kesalahan hamba yang tak pernah bisa membahagiakan Ibuku. Di saat aku mengenal cinta dan mulai melupakan Ibu, dia tak pernah melupakanku. Rasa sayangnya padaku tak pernah berkurang. Aku menyesal pernah membantah, berteriak bahkan memakinya.
Ampunilah aku. Biarkanlah aku mengabdi pada Ibuku sekali lagi. Hanya Engkaulah yang Maha mendengar dan Maha mengabulkan doa hambanya...
***
Seminggu telah berlalu. Ibu masih terbaring lemah meskipun dia sudah sadar. Suaranya seperti desahan dan melemah. Namun aku harus berusaha tersenyum di hadapannya.
“Syukurlah. Hari ini Ibu mau dioperasi. Semoga operasinya lancar dan sakit Ibu bisa segera sembuh. Saya yakin Dokter bisa menyembuhkan Ibu.” Ucapku menyemangati.
“Nak... yang bisa menyembuhkan itu hanya Allah. Dokter hanyalah perantara saja.” Ucap Ibu.
Saya terharu. Di saat seperti ini dia masih teguh dan memberi nasehat. “Semoga Allah memberikan kesembuhan pada Ibuku tersayang.” Ucapku sambil tersenyum.
“Nak... Hari ini kamu ada wawancara kerja kan?” tanya Ibu.
“Iya. Tapi tenang saja. Saya akan di sini sampai Operasi Ibu selesai.” Jelasku.
“Ibu tidak apa-apa. Ada si Efi yang jagain Ibu. Kamu pergilah wawancara nak! Kesempatan belum tentu datang dua kali.” Ucap Ibu.
Efi yang sejak tadi duduk diam mulai berbicara. “Tenang saja Kak! Efi jagain Bu’de!”
Efi adalah sepupuku. Kebetulan dia bersama Paman datang menemani kami.
Hatiku agak ringan. Baiklah, Saya akan pergi wawancara dan berjuang karena Ibuku juga sedang berjuang. Kita sama-sama berjuang ya Bu!
Aku pun mengangguk setuju.
Dokter dan para perawat dengan pakaian hijaunya mulai datang. Hatiku kembali diliputi kegelisahan. Semoga Allah memberi pertolongan pada mu Ibuku...
“Nak...” ucap Ibu.
“Iya Bu!” jawabku.
“Jangan takut, jawablah pertanyaan mereka dengan jujur. Semoga kamu bisa diterima ya nak...” nasehat ibu sebelum akhirnya Dokter mendorongnya ranjangnya masuk menuju ruang Operasi.
Pintu itu pun tertutup rapat. Sebuah lampu merah yang terletak di atas pintu menyala dan kesunyian pun hadir. Setetes air mata jatuh di pipiku. Hanya doa yang dapat kupanjatkan...
Aku jadi teringat sebuah lagu. Sebuah lagu yang sangat menyentuh hatiku. Dan kunyanyikan lagu itu dalam hatiku. Diiringi sebuah doa tulus hanya untukmu. Dan Aku pun meninggalkan rumah sakit dengan membawa bekal nasehat dari bunda...
Kasih yang tak terhenti
Kasih murni abadi
Kurasakan dalam denyut jantungmu
Kudengar dalam doa mu
Oh Tuhan penyayang berikan rahmatmu
Untuk Ibuku seorang
 (Kasih yang abadi – Tasya)

***
Aku duduk gelisah di antara barisan orang-orang yang sedang menunggu antrian wawancara. Aku bukan gelisah karena masalah wawancara itu, namun Aku gelisah karena mencemaskan Ibuku.
Giliranku untuk diwawancara pun tiba. Rasa cemas dan gelisah semakin menjadi. Saya takut memperlihatkan kondisi ini di dalam sana. Saya akan coba bertahan dan menghadapi wawancara ini. Saya menghela napas panjang sebelum memasuki ruang interview.
“Assalamualaikum!” Aku mengucap salam lalu berdiri di hadapan dua orang pewawancara.
“Silahkan duduk!” salah seorang pewawancar mempersilahkanku untuk duduk.
Dua orang yang mewawancaraiku ini, yang satu berbadan gemuk dan masih muda. Sedangkan yang satunya terlihat sudah beruban. Yang gemuk bernama Rudi dan pria beruban itu bernama Rahmat. Saya tau nama mereka dari kartu pengenal yang tergantung di dada mereka. Mereka berdua memeriksa berkas-berkasku.
“Saudara kenapa? Kurang sehat?” tanya Pak Rahmat.
“Saya tidak apa-apa Pak.” Jawabku.
“Gugup ya? Santai saja.” Ucap Pak Rudi.
Aku tersenyum lalu berucap terima kasih. Dan aku upun mulai diberikan berbagai pertanyaan. Namun karena gelisah dan cemas, jawabanku terlihat mengecewakan bagi mereka.
“Saudara akan ditempatkan di Kalimantan jika diterima, apakah siap untuk jauh dari kampung halaman?” tanya Pak Rudi.
“Pak, saya selalu siap ditempatkan dimana saja. Itu resiko yang memang harus diambil. Meskipun saya tak tega meninggalkan Ibuku seorang diri.” Jawabku dengan tegas.
“Hmm! Baiklah, kami akan menghubungi anda. Nah, anda boleh meninggalkan ruangan ini.” Ucap Pak Rahmat.
“Pak... boleh saya berbicara sebelum meninggalkan ruangan ini?” pintaku.
“Silahkan.” Pak Rahmat mempersilahkan.
“Sebenarnya... saya tidak ingin pergi. Jauh dari Ibuku...” ucapku.
“Maksud anda apa?” Pak Rudi terlihat agak kecewa.
“Saat ini, di saat saya sedang wawancara. Ibuku sedang dioperasi di rumah sakit.” Ucapanku tertahan desahan nafasku. Air mataku mulai jatuh karena tak tertahankan. Namun aku tak menangis...
“Lanjutkan...” ucap Pak Rahmat.
“Sebelum masuk ruang operasi, Ibu bilang... jawablah pertanyaan dengan jujur. Semua pertanyaan yang bapak berikan saya jawab dengan jujur. Tapi pertanyaan terakhir tadi... itu bukan jawaban jujur. Saya tidak ingin jauh dari Ibuku. Saya ingin saat dia membuka matanya, ada saya dalam pandangannya. Saya tidak ingin meninggalkan Ibuku.” Jelasku.
“Kamu akan kehilangan kesempatan. Kami tak bisa menerima pegawai cengeng yang tidak bisa mandiri seperti anda. Namun jika anda bisa tegas menentukan sikap. Kami akan terima saudara.” Tegas Pak Rahmat.
“Pak... saya akan merasa lebih menyesal jika kehilangan Ibuku. Masalah pekerjaan... saya bisa mencarinya lagi jika Allah membukakan pintu rezki untukku. Tapi Ibuku Cuma ada satu. Aku lebih memilih Ibuku. Maafkan saya pak. Jangan masukan ucapan saya di hati. Maaf saya sudah mengganggu wawancara ini. Perusahaan bapak adalah perusahaan hebat dan saya memang tidak pantas menjadi bagian dari kalian. Saya tidak akan dendam bila ditolak, saya tidak apa-apa. Silahkan bapak bekerja dan saya akan tetap pada pendirian saya. Terima kasih atas waktunya.” Jelasku lalu beranjak dari ruangan ini.
“Tunggu dulu nak!” ucap Pak Rahmat.
Aku pun menghentikan langkahku.
“Perusahaan ini. Dibangun dengan tangan dingin dan kerja keras. Kami mencari orang yang pekerja keras dan ulet. Tapi kami lebih senang menerima orang yang jujur...” Ucap Pak Rahmat.
“Pak?” aku kebingungan.
“Kamu sudah jujur. Dan itu modal berharga bagi kami. Kami akan membayar biaya operasi Ibumu. Jadi, bekerjalah dengan semangat. Ibumu pasti bangga punya anak yang sangat berbakti seperti kamu.” Jelas Pak rahmat.
Aku menangis terharu sambil memeluk Pak Rahmat. Dalam hatiku aku bersyukur atas karunia Allah dan juga nasehat Ibuku. Aku tak sabar ingin mengabarkan berita ini pada ibuku.
***
Aku kembali ke rumah sakit. Sudah tiga jam berlalu sejak aku meninggalkan rumah sakit. Efi terlihat tertunduk lesu sambil menangis. Aku jadi cemas.
“Efi? Ibu kenapa?” tanyaku.
“Tadi Dokter bilang, ada komplikasi. Dia hanya menyuruhku berdoa tapi sudah dua jam berlalu...” Efi menggantung kata-katanya.
Kakiku tiba-tiba lemas.
Ya Allah! Selamatkanlah Ibuku... aku janji akan selalu berbakti padanya. Kumohon jangan ambil dia sebelum aku sempat membahagiakannya.
“Kak! Maaf ya...” ucap Efi.
“Maaf kenapa dek? Kamu tidak salah apa-apa kan?” tanyaku.
Efi terdiam. Dia juga cemas sepertiku dan Paman.
Tiba-tiba seorang perawat datang mendekati kami. “Terjadi pendarahan serius. Kami kehabisan darah dan PMI belum datang. Siapa yang golongan darah ‘O’?” tanya perawat itu.
Aku mengacungkan tanganku. Efi masih kecil untuk mendonorkan darah sedangkan paman bergolongan darah “A”.
“Baik, kita akan melakukan transfusi darah. Tapi saya akan periksa bapak dulu. Mari ikut ke lab.” Ucap si perawat.
Setelah pemeriksaan itu, mereka tidak menganjurkanku melakukan transfusi darah. Akhir-akhir ini aku kurang istirahat sehingga tekanan darahku lemah. Aku jadi terkena anemia dan tidak dianjurkan untuk mendonor. Namun aku tetap bersikeras.
Akhirnya aku pun masuk ke ruang operasi. Aku bisa melihat sosok ibuku dari dekat. Kami dipisahkan oleh tirai hijau dan aku pun taksadarkan diri...
***
Entah sudah berapa lama aku pingsan. Kepalaku masih pusing dan sepertinya ruangan di sekitarku berubah. Di sebelahku ada Paman yang duduk menjagaku.
“Paman?” ucapku lemah.
“Ya!” jawabnya.
“Bagaimana Ibu?” tanyaku.
Paman terdiam sejenak. “Ibumu ada di dalam hatimu. Dia tidak kemana-mana. Darahnya mengalir dalam darahmu.”
Ucapan paman membuatku bingung. “Apa Ibu selamat?” tanyaku.
“Nak... maaf ya! Ibumu selamat dan karena menyelamatkanmu dia rela mengorbankan nyawanya.” Jelas Paman.
Aku segera bangkit dari ranjang ini namun kepalaku tiba-tiba pusing. Paman menahanku dan aku mulai terisak. Air mataku tumpah dan hatiku perih. Dalam hati aku bertanya pada Tuhan. Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Mengapa? Apa Kau tak mendengar doaku?
“Sabar nak! Istigfar...” Paman mencoba menenangkanku.
Aku mulai beristigfar dan menenangkan hatiku. Ya Allah sabarkan aku, Kuatkan aku...
“Tadi... Ibumu sempat siuman saat transfusi darah. Dia senang saat matanya terbuka, kamulah orang pertama yang dia lihat. Tapi, kondisimu parah dan kamu bisa mati karena kehabisan darah. Karena itu ibumu memberimu darahnya. Dokter tak dapat berbuat apa-apa.” Paman mulai menjelaskan.
Air mataku tak berhenti mengalir. Aku hanya mencoba menahan batinku yang ingin berteriak. Ibuku mengorbankan nyawanya demi aku. Dia rela memberikan segalanya demi anaknya yang tak berguna ini.
“Tapi Paman... Saya belum sempat membahagiakan Ibuku, kenapa Allah mengambilnya?” keluhku.
“Hei... jangan bicara begitu nak! Kamu tahu? Saat ibumu bercerai dengan bapakmu, waktu itu umur kamu baru dua tahun. Ibumu pernah bilang pada Paman, kalau kebahagiaan terbesarnya adalah memiliki kamu. Jika tidak ada kamu, mungkin ibumu sudah bunuh diri. Dia senang kamu diterima kerja. Dia sangat bahagia saat tahu kamu rela berkorban demi dia. Ibumu sangat bahagia dan memilikimu adalah kebahagiaannya. Kelak saat menjadi orang tua, kamu bisa mengerti kebahagiaan menjadi orang tua. Dia tidak mengharap kamu membalas kebaikannya, karena dengan adanya dirimu yang hadir dalam hidupnya... itu sudah cukup untuk membuatnya bahagia.” Jelas paman.
“Paman... saya ingin bertemu ibu. Bisa bawa saya kesana?” pintaku.
Paman pun menuntunku berjalan. Ke sebuah ruangan yang terlihat merah akibat pantulan senja sore yang kemerahan. Di ruangan itu ada sebuah ranjang dan di atas ranjang itu terbaring sosok itu.
Aku berjalan mendekat dengan segenap kekuatan yang ku punya. Aku berdiri meski linglung dan pusing. Aku memandang wajahnya yang tenang dan damai. Wajahnya bahagia dan tersenyum. Tak terlihat rasa sakit, rasa sesal di wajahnya. Dia bahagia telah menolong anaknya...
Aku menyeka air mataku yang tak berhenti mengalir. Ku kumpulkan segenap kekuatan dan mencoba berbicara. Sebuah puisi kulantunkan sebagai rasa hormat, sebagai rasa sayang dan sebagai ungkapan rasa sayang dan terimakasih yang sangat mendalam. Meski kata-kata ini tak dapat membalas segala kebaikan yang telah ibuku tanamkan kepadaku. Kasih yang abadi...
Puisi Untuk Ibu
Ibu...
Kamu hebat
Kasih sayang mu tak terlukis dengan kata-kata
Namun izinkanlah ananda melantunkan puisi untukmu...

Ibu...
Sungguh besar pengorbananmu padaku
Dan semua itu tak dapat kubalas
Sungguh besar kasih sayang yang engkau beri
Namun kau tak pernah meminta balas

Ibu...
Semoga engkau tenang dan damai di sana
Aku akan slalu merindukan nasehat-nasehatmu
Aku akan slalu mengantarkan doa untukmu

Ibuku sayang...
Aku amat sayang padamu
Engkaulah pelitaku dalam kegelapanku
Maafkan aku yang tak bisa berbakti kepadamu

Ibuku...
Disaat kau sakit, engkau menahannya dan berusaha tersenyum padaku
Engkau selalu bersyukur dan tak pernah mengeluh dengan keadaan

Dulu...
Ibu selalu menyiapkan sarapan pagi untukku ketika ku berangkat ke sekolah
Ibu selalu mendongengkan aku kisah para nabi sebelum aku tidur
Ibu selalu melebihkan makananku bahkan ibu rela tak makan agar bisa melihatku makan
Ibu selalu bekerja keras membanting tulang untukku
Ibu selalu memaafkan setiap kesalahan dan kenakalanku


Kini...
Ibu bahkan rela memberikan darahmu untukmu
Ibu bahkan sempat memberi nasehat untukku
Ibu bahkan sempat memberi dukungan padaku
Meski harus menghadapi operasi ini

Terima kasih telah melahirkan aku bu...
Terima kasih atas nyawa yang kau berikan padaku
Terima kasih atas segala pelajaran berharga ini

Ya Allah, tempatkanlah Ibuku di surga Mu
Seperti Surga yang Kau letakkan dibawah kaki Ibuku...

Setelah membaca puisi ini, aku mencium kening Ibuku dengan lembut. Aku mencium tangannya yang dingin dan aku mencium telapak kakinya. Surga itu di bawah telapak kaki Ibu. Dan aku sangat bangga punya Ibu seperti kamu...
Dalam benakku, terngiang sebuah lagu yang pernah kunyanyikan waktu SD dulu. Sebuah lagu anak-anak, saat itu aku menyanyikannya tanpa perasaan apa-apa. Aku bahkan malu saat Ibu guru menyuruhku bernyanyi. Namun jika saat ini, Ibu guru menyuruhku menyanyikan lagu itu. aku tak akan malu dan akan kunyanyikan dengan lantang.
Memang benar kasih Ibu kepadaku tak terhingga sepanjang masa. Dia selalu memberi tanpa mengharap balasan. Tak harap kembali... Bagai sang surya yang menyinari dunia...
Kubuka album biru
Penuh debu dan usang
Kupandangi semua gambar diri
Kecil bersih belum ternoda
Pikirku pun melayang
Dahulu penuh kasih
Teringat semua cerita orang
Tentang riwayat ku

Kata mereka diriku slalu dimanja…
Kata mereka diriku slalu ditimang…

Nada-nada yang indah
Slalu terurai darinya
Tangisan nakal dari bibirku
Takkan jadi deritamu
Tangan halus dan suci
Tlah mengangkat tubuh ini
Jiwa raga dan seluruh hidup
Telah dia berikan...

Kata mereka diriku slalu dimanja…
Kata mereka diriku slalu ditimang…
Oh Bunda ada dan tiada dirimu kan selalu ada di dalam hatiku...
(Bunda – Melly Goeslaw)

Ibu adalah pahlawan kehidupan, pahlawan kasih sayang yang tak mengharap balas jasa. Saat dia melahirkan kita dengan pertarungan nyawa. Dia tak perduli kelak kita akan jadi seperti apa. Yang dia perduli adalah bagaimana kita bisa keluar dan menghirup udara dunia ini. Meskipun dia akan mati, tapi dia tidak takut.
Kadang kita sering membantah, kadang kita sering ngambek, bahkan kita sering memaki. Namun Ibu selalu memaafkan kita. Berbaktilah pada Ibu, sayangilah dia saat ini meskipun kamu sekarang sedang marahan dengan ibumu. Meskipun Ibumu baru saja memukul kita, namun sebenarnya dalam hatinya dia menangis. Meskipun Ibu selalu mengekang dan membatasi kebebasan kita namun itu semua demi kebaikan kita. Tersenyumlah pada Ibu karena kebahagiaan terbesarnya adalah melihat kita bahagia.
Karena kelak kita akan menyesal disaat dia tak dapat membalas senyuman kita lagi...