“Kak! Icha ada PL nih. Cucah deh.” Suara ini mengagetkanku dan membuyarkan konsentrasiku.
“Nanti aja. Kakak lagi sibuk nih.” Tolakku.
“Umm! Kakak juga kelja PL ya?” tanyanya.
“Iya. Makanya jangan ganggu ya?” ucapku.
Nur Siti Aisyah nama adikku. Aku memanggilnya Icha. Dia baru duduk di kelas 1 SD. Sebenarnya dia bukan adik kandungku karena Papa menikah lagi dengan Mamanya Icha. Seorang janda muda yang suaminya meninggal saat Icha masih berumur satu tahun. Papaku adalah teman kantornya dan mereka pun saling cocok dan akhirnya menikah. Saat itu Icha masih berumur 3 Tahun namun dia tak merasakan dilema seperti yang aku rasakan.
Butuh waktu satu tahun bagiku tuk memanggil Mama Icha sebagai Mama. Dan sampai sekarang aku masih risih dan sering menghindari Icha. Padahal sebenarnya dia lucu dan imut, sayang aku tak siap memiliki seorang adik sejak Mama ku meninggal 5 tahun lalu.
Pagi itu aku sarapan sendiri karena Papa dan Mama sudah berangkat ke kantor. Terpaksa aku yang harus menyiapkan makan pagi untuk Icha. Telur mata sapi ditambah roti bakar. Itulah menu andalanku untuknya.
“Kak! Icha belum kelja PL. Nanti Bu Ima malah Icha lagi nih.” Keluh Icha sambil melahap rotinya.
Aku tersenyum padanya. “Sini Kakak kerjakan PR mu.” Tawarku.
Sinar matanya berbinar pancarkan cahaya senyuman. Wajah lesunya kini bersemangat. Ia berlari mengambil ranselnya dan membawanya ke hadapanku. Akupun mengerjakannya secepatnya. Nggak mungkin kan, mahasiswa sepertiku keok sama PR anak kelas 1 SD.
***
Papa dan Mama harus berangkat ke luar negeri untuk tugas kantor selama 2 minggu. Terpaksa aku harus menjaga Icha seorang diri. Namun Mama menyuruh adiknya sesekali datang menemani kami. Icha menangis ingin ikut namun akhirnya dia mengerti. Akhirnya aku harus menjadi seorang Ayah, Ibu sekaligus Kakak baginya selama 2 minggu ini.
Seperti biasanya setiap pagi aku membuatnya sarapan Roti bakar dan telur mata sapi. Namun kadang kubuatkan nasi goreng, mie goreng, roti selai atau hanya sereal instant. Icha berangkat sekolah jam 8 dan pulang sekolah jam 11. Sedangkan jadwal kuliahku mulai dari jam 12 sampai jam 5 sore. Bila ada rapat atau konsultasi dengan dosen, aku biasanya pulang hingga jam 9 malam. Saat kuliah, aku membawanya ke rumah Tante yang kebetulan dekat dari kampusku. Disana ada teman bermain yang seumuran dengannya.
Malam ini adalah malam pertamanya tanpa Mama. Sedangkan aku harus menyelesaikan tugas respon dari asisten dosen. Syukurlah dia tidak rewel dan tidur cepat. Namun mungkin aku harus tidur jam 3 malam dan berkutat dengan ketikan ini.
***
Pagi ini aku tersentak dari tidurku. Sebuah bau hangus mengagetkanku dari tidurku semalam. Aku segera berlari menuju sumber bau ini. Mudah-mudaham tidak terjadi kebakaran di rumahku.
Akhirnya sumber masalah ini pun ketemu. Sebuah roti gosong tergeletak di atas piring di meja makan. Dan ada Icha berdiri di samping sambil menatapku dengan wajah polos tak berdosa.
“Pagi Kak! Icha buatin calapan tuk kakak!” ucapnya
“ICHA! OVEN TOSTER ITU BUKAN MAINAN!” Bentakku setelah melihat asap hitam mengepul dari situ. Untung saja korslet sehingga tidak terjadi kebakaran.
Icha terlihat tertunduk takut. “Tapi… Tapi… Mau buatkan kakak…”
“TIDAK PERLU! BAGAIMANA KALO RUMAH INI TERBAKAR. ICHA MAU BEGITU?” bentakku lagi.
Icha berlari ke kamanya sambil menangis. Aku tak mengejarnya dan kubiarkan dia menangis dan menyadari kesalahannya. Aku harus membereskan dapur yang dibuat berantakkan olehnya.
Setelah bersih, aku memandangi roti gosong di atas piring itu. Aku terharu dan merasa bersalah padanya. Seharusnya aku tidak membentaknya tadi. Dia berusaha menunjukkan kasih sayangnya dengan sarapan ini kepadaku. Aku pun membuat ulang roti bakar ini.
Keterampilan memasakku kuasah sejak kelas 1 SMA. Sejak Mama meninggal, aku berusaha tidak merepotkan Papa dan memasak makanan buatku sendiri. Alhasil, aku bisa memasak beberapa masakan dan menjadi andalan Papa di dapur.
Setengah jam berlalu namun Icha tak keluar juga dari kamarnya. Akhirnya aku menghampiri kamarnya sambil membawa sepiring roti bakar untuknya.
“Icha? Sudah hampir jam 8. Sarapan dulu trus ke sekolah!” ucapku sambil mengetuk pintunya.
Namun tak ada jawaban dari dalam kamar. Aku mengetuk sekali lagi. “ICHA! Marah ya sama kakak?”, tak ada jawaban sama sekali. Akupun membuka knop pintu kamarnya dan ternyata tidak terkunci.
Icha menutup wajah dan tubuhnya di balik selimut. “Icha! Masih marah sama kakak?”
Dia melempar boneka lumba-lumba kepadaku, namun tak sakit sama sekali. Sepertinya dia masih marah kepadaku. Setelah melempar boneka itu, dia pun masuk kembali ke dalam selimutnya. Aku menghampir dan duduk di samping ranjangnya.
“Maafin kakak ya? Kakak udah bentak-bentak Icha tadi. Sekarang, Icha sarapan dulu trus ke sekolah ya?” ucapku.
Icha membuka selimut dan memperlihatkan wajahnya yang habis menangis. Aku memberi sebuah senyuman padanya untuk menenangkan hatinya.
“Mau makan?” tanyaku.
Icha terdiam sejenak lalu menganggukkan kepalanya. “Maafin Icha juga Kak!”, ucapnya.
Aku tersenyum padanya dan dia pun membalas senyumku. Dia pun mengeluarkan tangannya dan mengambil piring dari tanganku, namun…
“Icha? Tanganmu kenapa?” tanyaku setelah melihat tangannya merah melepuh.
“Tadi… Kakak jangan malah ya?” Ucapnya perlahan.
“Jangan-jangan terkena Oven ya? Kenapa gak bilang? Sakit sekali kan. Duduk aja, kakak ambilin obat.”
“Makasih kak!” ucapnya sambil tertunduk lesu menahan luka tangannya yang terbakar.
Aku mengoles salap untuk luka bakar pada tangannya. Memang panas dan perih namun dia menahannya. Sejak tadi dia menahan rasa sakit itu dan tersenyum padaku. Aku jadi merasa bersalah sudah memarahinya.
“Hari ini gak usah sekolah. Nanti kakak bilang sama Ibu guru mu. Hari ini kakak gak kuliah juga jadi bisa temanin.” Ucapku.
Icha mengangguk lemah. Dia masih menahan rasa sakit itu dan mencoba tak mengeluh kepadaku.
“Sini, biar kakak suapin makannya. Tangan kamu masih sakit kan?”
“Iya!” raut wajahnya pun kembali cerah. “Kakak baik... Icha cenang cama kakak!” ucapnya polos.
***
Esoknya...
“ICHA! Bangun!” aku membuka tirai jendela dan membiarkan cahaya matahari masuk di kamarnya.
“Hoaham! Macih ngantuk kak!” ucapnya sambil menggosok kedua matanya yang silau terkena cahaya matahari. Namun beberapa saat dia duduk di atas ranjangnya.
“Tangan kamu masih sakit?” tanyaku.
Icha mengangguk. “Macih!” ucapnya polos.
“Mandi dulu sana. Habis itu kita masak sarapan sama-sama.”
“Hah! Benal? Iya, mau! mau! mau!” ucapnya girang lalu berlari mengambil handuknya.
Sekitar 15 menit ia mandi. Meskipun masih kelas 1 SD, tapi Papa dan Mama sudah mengajarkan sedikit kemandirian padanya. Mandiri alias mandi sendiri, juga berpakaian. Hanya saja, ucapannya masih cadel. Usianya masih 5 tahun lebih jadi wajar saja bila begitu.
“Ayo Kak?” ucapnya lalu menarik tanganku ke dapur.
Langkah kaki mungilnya menuntunku. Aku tidak tau perasaan apa yang kurasakan saat ini. Tapi aku berpikir, ternyata menjadi seorang kakak itu sangat menyenangkan. Selama ini, aku selalu menghindarinya bila dia ingin bermanja-manja padaku. Aku selalu mencari alasan bahkan memarahinya bila dia datang kepadaku. Sikap yang tak sepatutnya aku lakukan. Mungkin aku menyalahkannya atas pernikahan Mamanya dan Papa karena aku tidak siap punya Mama tiri.
“Macak apa nih?” tanyanya setelah kami berada di dapur.
“Masak Nasi goreng. Icha ambil bumbu-bumbunya di kulkas ya? Ambil bawang, tomat, sawi sama telur.”
“Bawang, tomat,cawi cama telul. Oke kak!” ucapnya sambil mengacungkan jempol.
Aku mengambil nasi dan perkakas untuk memasak. Icha pun datang membawa tomat, bawang dan telur kepadaku.
“Loh? Mana sawinya?” tanyaku.
“Icha gak cuka cawi.” Keluhnya.
Aku tertawa terbahak-bahak. “Icha! Gak boleh pilih-pilih makanan. Sayur itu bagus loh supaya Icha cepat besar dan tambah pintar.” Nasehatku.
Wajahnya cemberut namun akhirnya dia menurut dan mengambilnya.
“Tenang saja. Kakak bikin nasi goreng yang paling enak.” Hibur ku.
“Iya! Icha cudah lapal cekali.”
Aku tertawa sejenak lalu mulai mengupas bawang. Icha berdiri disampingku sambil memperhatikan dengan serius. Ia sampai menangis karena irisan bawang membuat matanya perih. Namun dia tak beranjak dari sampingku. Dia tetap tersenyum sambil memperhatikan apapun yang aku lakukan.
“Kakak hebat! Pintal macak. Icha mau cepelti kakak!” pujinya. Aku hanya menanggapinya dengan senyuman.
“Icha mau bantu? Telurnya dikocok tapi pelan-pelan aja. Nanti tumpah.” Tawarku.
“He-eh!” angguknya. Diapun memecahkan cangkang telur dan menaruhnya di mangkok. Gayanya sangat serius seperti koki profesional saja.
Akhirnya acara memasak kami pun selesai dan menyisahkan dapur yang berantakan dibuat Icha. Kami pun makan dengan lahap meskipun Icha masih menghindari sawi.
“Enak Kak!” ucapnya.
“Berkat bantuan Icha, makanya nasi gorengnya enak.” Aku tersenyum padanya. Kuperhatikan luka di lengan tangan kanannya, luka bakar akibat memasak kemarin. Seharusnya itu tidak terjadi jika aku bangun lebih cepat.
“Hehe! Icha cudah pintal macak.” Dia memuji dirinya sendiri.
“Eh! Tapi kalo Icha mau masak, harus panggil kakak dulu ya? Gak boleh masak sendirian. Mengerti?” ucapku panik.
Dia mengangguk mengiyakan nasehatku.
***
Hariku berlalu... tak terasa sudah 5 hari ini aku hidup berdua dengan Icha. Meskipun kadang-kadang dia kutitipkan di rumah tantenya, yaitu Tante Dewi. Seperti hari ini. Dia menginap semalam di sana karena aku harus menyelesaikan model bangunan dan gambarku. Sebagai calon arsitektur, aku butuh ketenangan sehingga aku menitipkannya di sana.
Aku dikampus hingga sore hari. Setelah itu aku bergegas pulang ke rumah. Kupikir Icha pasti sudah berada di rumah dan menantiku sendirian.
Setibanya di rumah, Icha sedang asik menonton acara kartun di TV bersama tantenya. Tak lupa aku memberi salam dan dia pun membalasnya tanpa memalingkan pandangannya dari TV. Malam ini Tante akan menginap di sini. Kebetulan besok hari Minggu jadi dia tidak pergi bekerja.
Aku berjalan menuju kamarku. Aku harus menyelesaikan model bangunan yang sudah hampir rampung itu. Saat kubuka pintu kamarku, aku terkejut melihat kamarku yang berantakan. Model bangunan yang kubuat dengan susah payah, berserakan di lantai. Akupun meledak saking jengkelnya.
“ICHA!” teriakku.
“Ada apa?” Tante Dewi datang dan bertanya. Icha dan sepupunya bersembunyi di balik badan Tante Dewi.
“ICHA! Kamu habis berantakin kamar kan?” tanyaku padanya.
Dia terdiam dan memandang ke lantai.
“JAWAB!!” bentakku.
Icha mengangguk sambil menangis. Dia berlari menuju kamarnya diikuti tantenya yang mencoba menghiburnya. Aku tak mengikutinya karen aku masih emosi.
Sebaiknya aku membuat ulang tugasku karena besok sudah harus dikumpulkan. Aku memang marah dan jengkel padanya. Karenanya, aku harus begadang menyelesaikan pekerjaan ini lagi.
***
Aku terbangun jam 9 pagi. Semalaman aku begadang sampai jam 5 subuh dan kepalaku masih pening. Namun jam 10 aku harus menyerahkan tugas ini pada dosenku. Aku berjalan menuju pintu dan kutemukan secarik kertas di bawah pintu. Akupun membukanya dan membacanya.
Icha minta maaf. Selamat ulang tahun ya Kak!
Begitulah isi pesan itu. Hatiku terharu membacanya dan aku sadar kalau hari ini hari ulang tahunku. Aku ke dapur dan disana hanya tersimpan sepiring nasi goreng. Sepertinya mereka sudah pergi jalan-jalan di hari minggu.
Terima kasih Tante atas nasi gorengnya... aku membatin. Lalu kunikmati sarapan pagiku ditemani acara Shinchan di TV. Kalo marah, aku cepat reda dan rasanya tak tega pada orang yang habis kumarahi. Aku tak ingin menyimpan emosi di hati.
Hari ini adalah hari bahagiaku. Banyak hal tlah kulalui dan di usiaku yang ke-19 ini aku senang mendapat kado istimewa dari tuhan. Yaitu seorang adik yang lucu, cantik, pengertian dan baik hati. Dua tahun tlah kulalui bersama Icha, baru kali ini aku merasa dia adalah adikku.
Akhirnya hari ini, aku tlah memaafkan Icha. Aku juga dibuatkan nasi goreng sama Tante Dewi. Papa dan Mama meneleponku dan mengucapkan selamat. Icha, sepupunya Hana, dan Tante dewi memberiku hadiah. Sebuah jam tangan keren berwarna hitam. Tante Dewi bilang Icha memakai uang celengannya untuk membelinya. Sebenarnya uangnya kurang, tapi Tante Dewi tambahkan. Proyek dan tugas-tugasku pun telah selesai dan dikumpulkan sesuai jadwal.
Malam ini Tente Dewi pulang bersama anaknya. Aku dan Icha membuat pesta ulang tahun kecil-kecilan namun dia cepat terlelap. Akhirnya hanya aku sendirian yang merayakan pestaku. Icha sudah tertidur pulas di sofa. Aku jadi teringat lagu sleeping child oleh Michael Learn To Rock. Melihatnya tertidur pulas, hatiku penuh dengan kedamaian. Aku pun menuliskan sesuatu pada secarik kertas.
Makasih Icha atas hari ini!
***
Siang itu aku bersantai-santai di rumah sambil menikmati secangkir kopi. Icha terlihat sibuk di lantai dengan buku gambarnya.
“Icha gambar apa?” tanyaku.
“Gambal kakak! Bu Ima bilang gambal olang yang Icha cuka!” jawabnya.
Aku tersanjung mendengar jawabannya. Dia tidak menggambar Papa atau Mama dan malah meggambar aku. Meskipun gambarnya jelek, aku tetap senang. Icha menggambar sosokku yang sedang membangun gedung-gedung besar.
“Hehehe! Icha pintar menggambar.” pujiku dan dibalas dengan cengiran kege-erannya.
“Cekarang Icha mau gambal Mama cama Papa.” Ucapnya lalu membalik halaman buku gambarnya.
Aku membiarkannya berkutat dengan pekerjaannya. Aku kembali ke dapur untuk membuat kopi lagi. Hari ini aku tidak ada jadwal kuliah sehingga aku bisa bersantai seharian ini. Tadi sempat kege-eran akibat gambar Icha. Kupikir hanya aku yang digambar olehnya, ternyata Icha juga menggambar Papa dan Mama. Sedikit kecewa juga sih...
Aku kembali ke ruang tamu dan duduk sambil menonton TV. Sesekali aku melihat Icha dengan buku gambarnya. Sepertinya dia sangat senang menggambar. Kali ini akupun tergoda untuk mendekat dan melihat gambarnya.
“Itu gambar siapa lagi?” tanyaku, setelah melihat sosok lain yang digambarnya.
“Bayu!” jawab Icha.
“Bayu? Siapa itu?” tanyaku lagi.
“Icha juga cayang Bayu. Bayu cuka pinjamin Icha klayon buat gambal. Bayu juga cuka nolong Icha kalo diganggu cama Imach.” Jelasnya.
Hatiku agak miris mendengar Icha sudah dekat-dekat sama cowok. Sepertinya aku cemburu, tapi... entahlah. Rasanya gak tega banget melihat adik yang imut itu berpacaran. Tapi aku tak perlu risau, mereka kan masih anak kelas 1 SD. Jadi belum ada rasa cinta, hanya kekaguman sesaat. Aku heran juga kenapa bisa cemburu.
“Imas suka ganggu Icha ya? Besok tunjukin yang mana Imas. Biar kakak hajar dia.” Ucapku.
“Eh! Jangan. Kacian Imach.” Icha memelas.
“Hehehe! Iya, gak dihajar kok.” Ucapku.
Tiba-tiba telepon berbunyi. Aku mengangkatnya dan ternyata telepon itu dari Mama. Besok Icha akan berulang tahun yang ke-6. Aku hampir saja lupa hal ini. Akupun memberikan telpon itu untuk Icha.
Ulang Tahun kami hanya berbeda 2 hari. Besok aku tidak bisa menemani atau mengajaknya jalan-jalan karena jadwal kuliah dan persentasiku yang sangat padat.
“Kak!” Icha menghampiriku setelah menutup telepon.
“Ada apa?” tanyaku.
“Becok ikut Icha cama Tante Dewi ke Mol?” pintanya.
“Maaf. Besok aku sibuk. Nggak apa-apa kan?” ucapku.
Icha hanya mengangguk tanpa semangat.
Besoknya . . .
Seperti biasanya, aku bangun dan membuat sarapan untuk kami berdua. Akupun membangunkan Icha dan sepertinya dia tidak sadar kalau hari ini dia berulang tahun. Aku tak mengucapkan selamat karena aku takut dia akan bersedih bila aku mengingatkannya.
Akupun pergi ke kampus setelah mengantarnya ke sekolah. Nanti Tante Dewi yang menjemputnya saat pulang sekolah. Jadwal kuliah pertamaku adalah teknik gambar. Sungguh repot membawa gulungan kertas ini dengan motor. Kebetulan aku pun menjadi anggota club arsitektur dan sebentar ada rapat siang.
“Sebentar malam ada malam renungan. Jangan lupa datang ya?” ucap teman kampusku.
“Saya usahakan.” Sebenarnya aku ingin menghabiskan waktu malam ini untuk Icha. Tapi, tuntutan sebagai seorang Mahasiswa menghalangiku.
Siang ini Icha pasti sedang bersenang-senang. Seharusnya aku tak perlu resah berlebihan. Aku harus berusaha menyelesaikan semua jadwalku secepat mungkin. Semoga saja sore ini aku bisa pulang ke rumah dan mengucapkan selamat ultah buat mu Icha... Amin.
Sorenya . . .
Segala kesibukanku akhirnya selesai. Masih ada waktu 4 jam sebelum malam renungan. Sekarang sudah jam 4 lewat. Malam renungan dimulai setelah Isya hingga jam 10 malam. Hari ini kami mengenang teman-teman kami yang tewas karena kecelakaan konstruksi 2 tahun yang lalu. Saat itu mereka hanyalah mahasiswa muda yang sedang melakukan survei namun terjadi kecelakaan yang menyebabkan penyangga beton dilantai 5 roboh. 3 teman mahasiswa kami meninggal dan 7 orang lainnya luka-luka.
Akhirnya disinilah aku. Sebuah toko mainan di pusat kota. Aku berjalan menelusuri rak-rak mainan. Meskipun malu, tapi aku cuek saja. Langkahku tertuju pada sebuah boneka beruang berwarna cokelat muda. Kupikir Icha pasti suka hadiah ini. Akupun membelinya dan membungkusnya dengan plastik.
Perjalanan 30 menit telah kulalui dan akhirnya sampai di rumah. Sepertinya Tante Dewi belum membawa Icha pulang. Mereka janji pulang ke rumah jam 5. Namun sekarang sudah hampir jam setengah 6. Mungkin mereka terjebak macet karena mereka naik angkot.
Baru beberapa menit menunggu, aku sudah mendapatkan panggilan dari dosen. Terpaksa hadiah itu kutaruh di kamarku. Setelah itu akupun bergegas menuju kampus.
Malamnya . . .
Aku pulang ke rumah jam 9. Icha sudah terlelap di kamarnya. Di ruang tamu masih ada Tante Dewi. Sepertinya dia menginap disini. Di atas meja terlihat masih ada potongan cake ulang tahun.
“Sebenarnya dia mau serahkan sendiri. Tapi sudah ketiduran. Makanlah dulu.” Ucap Tante Dewi setelah melihatku memandang cake itu.
Aku pun memakannya sambil menonton acara TV bersama Tante Dewi. Kami masih agak canggung dan memang aku bukan orang yang membuka diri sama orang lain. Aku tak pernah memanggilnya Tante karena umur kami hanya berbeda 6 tahun. Sedangkan Mama berumur 2 tahun lebih tua darinya. Bisa dibayangkan, mempunyai Mama yang beda umurnya hanya 8 tahun dari kita. Pasti terlihat canggung saat aku memanggilnya Mama.
“Hmm! Enak.” Ucapku. Tante Dewi hanya tersenyum.
Setelah itu aku menuju kamar Icha, menaruh boneka beruang tadi di rak bonekanya. Tak lupa secarik kertas ucapan selamat dariku untuknya. Meskipun masih kelas 1 SD, Icha sudah bisa membaca meskipun bicaranya masih cadel.
***
Kemarin hari yang panjang dan melelahkan. Aku terbangun agak telat dari biasanya. Jarum jam sudah menunjukkan pukul 8 lewat. Aku membuka pintu kamarku dan disambut oleh pelukan Icha yang melompat ke arahku. Aku sampai terjatuh karena berat Icha hingga dia menindihku.
“Ada apa nih Cha?” tanyaku.
“Icha cuka bonekanya. Makacih kak!” ucapnya girang.
“Oh ya? Maaf kemarin aku gak bisa temani Icha jalan-jalan. Bagaimana kemarain? Icha Senang?” tanyaku.
“He-eh!” Icha mengangguk penuh semangat.
“Nah, Icha pindah dulu ya? Aku mau berdiri.” Ucapku.
“Ga mau. Kakak gendong Icha ya?” pintanya.
“Oke deh!” jawabku.
Icha naik ke pundakku dan aku membawanya ke dapur.
“Wah, Icha udah tambah berat ya? Dulu kakak pernah gendong Icha loh?” gombalku.
“Kapan?” tanyanya.
“Saat Icha masih kecil. Mungkin Icha udah lupa. Saat itu...” kenangku. Saat itu Icha tertidur di mobil dan Papa menyuruhku membopongnya masuk ke rumah. Saat itu aku malas dan ogah-ogahan saat menggendongnya.
Di dapur, seperti biasanya aku membuatkannya sarapan sebelum dia berangkat sekolah. Dia memakannya dengan lahap sekali.
***
Malam ini ada yang aneh dengan Icha. Dia sepertinya terlihat takut dan gelisah sejak pulang sekolah.
“Icha kok cemberut? Ada apa?” tanyaku.
“Tadi Icha abich liat olang kemacukan cetan. Telus Imach bilang cetannya ikutin Icha pulang. Icha takut!” keluhnya.
Aku tersenyum mendengar jawabannya. “Icha gak usah takut. Kan ada kakak disini... Setannya kakak udah usir. Sekarang setannya sudah pulang kerumah Imas.” Ucapku.
“Kalo balik lagi?” tanyanya.
“Hmm. Ya udah, kakak temanin Icha bobo. Nah, sudah jam 9 nih. Bobo yuk!” ajakku.
Icha mengangguk penuh semangat.
Aku mengambil bangku dan duduk di samping tempat tidurnya. Icha menatapku dengan tatapan hangat, hingga membuatku agak gelisah.
“Icha gak bobo?” tanyaku.
“Belum ngantuk.” Jawabnya.
“Kakak bacain dongeng mau?” usulku.
“Iya. Mau mau mau!” ucapnya dengan penuh semangat.
“Oke. Kakak dongengin tentang Cinderella. Pingin dengar?” tanyaku.
Icha mengangguk semangat.
“Nah, dahulu kala hiduplah seorang gadis bernama Cindy Ella…” aku memulai dongengku namun tiba-tiba Icha mengangkat tangan sambil mengacungkan telunjuk.
“Kenapa?” tanyaku.
“Kok namanya Cindi Ella?” Icha bertanya.
“Sebenarnya nama aslinya Cinderella adalah Cindy Ella. Tapi karena Ibu Tirinya jahat, makanya dia menamakan Cindy Ella sebagai Cinderella. Icha tau gak, artinya Cinderella?” jelasku.
“Tidak!” Icha sambil menggeleng.
“Cinderella artinya gadis yang malang. Orang tua gak mungkin menamakan anaknya dengan nama begitu kan?” jelasku.
“Tapi namanya kelen loh. Oh ya? Kakak macih malah sama Mama? Mama cudah jadi Mama Tili buat kakak kan?” keluh Icha.
“Tidak semua Ibu Tiri itu jahat. Kakak senang kok sama Mama. Karena Mama sudah menjaga Papa.” Ucapku.
“Kakak! Kakak baik ya? Icha cayang kakak…” ucapnya dengan nada lemah lalu terlelap.
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Kurapatkan selimutnya agar dia tetap hangat dan bermimpi indah. Aku ingin beranjak dari kamarnya namun aku tak tega meninggalkannya. Aku pun duduk termenung sambil menatap wajahnya yang imut dan polos.
“Kakak juga sayang Icha…” ucapku.
***
Hari ini aku dan Icha keluar untuk berbelanja keperluan rumah. Besok lusa Papa dan Mama sudah datang dan kami ingin membuatkan makanan yang enak untuk mereka berdua. Tentu saja aku yang masak dan Icha jadi asistenku di dapur.
Kami ke swalayan dan berbelanja di sana. Namun sifat anak kecil pada diri Icha memang bikin jengkel. Sejak tadi dia selalu ngotot minta dibelikan es krim. Padahal tadi pagi dia demam dan siang ini baru panasnya turun. Kalo minum es krim lagi, aku takut dia jadi sakit lagi. Apalagi pada saat Papa dan Mama pulang dan tahu kalo Icha sakit, bisa-bisa aku dibilang tidak memperhatikannya.
“Kak! Icha mau ech klim.” Icha merajuk.
“Nanti saja. Kakak gak bawa uang banyak. Kita beli keperluan memasak dulu.” Ucapku.
“Tapi… Icha ingin makan ech klim.” Keluhnya lagi.
“Iya. Nanti kita beli. Sekarang beli keperluan memasak dulu. Icha mau memasak buat Papa dan Mama kan?” ucapku.
Icha mengangguk mengerti namun masih terlihat sedikit raut kekecewaan di wajahnya.
Sekitar setengah jam kami berputar-putar berbelanja, akhirnya selesai juga acara belanjanya. Aku dan Icah masing-masing memegang plastik belanjaan kami. Wajah Icha masih terlihat kecewa karena uang belanjaan yang kubawa pas sehingga aku tidak membelikannya es krim.
“Cha? Nanti aja di rumah baru kakak beliin es krimnya. Di Toko dekat rumah kan jual es krim juga.” Ucapku untuk menenangkannya.
“Gak mau. Icha maunya yang di mall.” Icha ngambek, dia pun menyeberang menuju mobil kami yang diparkir di seberang jalan.
“Icha! AWASSS!!!”
“BRUK!” sebuah mobil pick up menabraknya.
Waktu seakan berhenti. Aku seperti kehilangan panca inderaku. Mataku gelap, telingaku tak mendengar, dan tubuhku serasa berada di alam lain. Aku tak percaya Icha terkapar berlumuran darah di sana.
Aku segera berlari ke sana memeriksanya setelah shok sesaat tadi. Semoga Icha tidak apa-apa dan kuharap tidak terjadi apa-apa padanya. Aku menerobos kerumunan itu dan mengangkatnya. Ku bawa ke mobil dan langsung membawanya ke rumah sakit.
Selama di perjalanan, aku terus mengumpat dan memaki diriku. Seharusnya aku membelikannya es krim. Seharusnya aku menggandeng tangannya. Seharusnya aku lebih memperhatikannya…
Sepuluh menit kemudian aku tiba di rumah sakit. Dan disinilah aku berdiri termenung mencoba tuk tegar. Namun hatiku menangis dan menjerit menyesali segalanya. Aku menelepon papa dan Mama. Mereka sangat shok mendengarnya. Aku hanya bisa bilang “Maaf”.
Malam itu aku pulang ke rumah karena Icha masih di ruang ICU dan dokter menyuruhku pulang. Mereka akan menelepon jika Icha ada kemajuan. Aku juga harus menjemput Mama di Bandara. Papa besok baru datang, sedangkan Mama naik pesawat malam ini.
Setelah mengantar Mama ke rumah sakit, aku pun pulang ke rumah. Aku ke kamar Icha dan memandangi boneka beruang yang kuberikan untuknya saat ulang tahunnya. Padahal kemarin aku membacakannya dongeng sebelum dia tidur. Namun hari ini dia terbaring lemah di rumah sakit.
Tanpa terasa aku tertidur di kamar Icha sambil memeluk boneka itu.
Aku terbangun sekitar pukul 3 subuh. Kuharap semua yang kualami tadi hanyalah sebuah mimpi belaka. Namun ternyata memang benar kenyataan. Kenyataan yang sungguh sangat pahit. Aku sampai berpikiran yang tidak-tidak saat fotonya yang tergantung di dinding jatuh dan pecah.
Aku mengambil wudhu dan sholat malam. Aku bersujud kepada Allah dan berserah diri hanya pada Nya atas musibah yang menimpaku ini.
Ya Allah! Mengapa saat aku mulai terbiasa memanggilnya adik. Kau memisahkan kami… aku tak ingin kehilangannya. Aku janji akan menjaga dan memperhatikannya. Icha adik kakak yang kakak sayang. Semoga Allah memberimu kesembuhan adikku.
Aku pun kembali terlelap di atas sajadahku. Dan akupun bermimpi… sebuah mimpi yang indah. Dimana aku dan Icha memasak bersama, jalan-jalan bersama. Dia tumbuh besar jadi gadis yang cantik. Banyak cowok-cowok yang memujanya dan hidup terus berlanjut. Masa-masa sekolahnya berganti menjadi masa-masa kuliah hingga akhirnya aku menikahkan dia dengan pria yang dicintainya…
Kuharap aku tidak terbangun dari mimpi indah ini. Aku takut bila aku bangun nanti, Icha telah tiada di dunia ini. Biarlah ku kenang dia dalam mimpiku ini. Aku terus berandai-andai dalam batinku.
Seandainya Icha sembuh, aku akan memanjakannya…
Seandainya Icha sehat, aku akan mengajaknya jalan-jalan…
Seandainya Icha bisa tersenyum, aku akan menjaganya…
Maafkanlah kakakmu… seharusnya sejak dulu aku memperlakukanmu dengan baik dan manja. Seharusnya kita lebih sering menghabiskan waktu bersama. Jika Icha pergi, siapa yang manggil aku kakak? Kakak pasti kesepian sekali jika tidak ada kamu adikku.
Kakak ingat, saat teman-teman kakak datang ke rumah. Mereka bilang Icha sangat lucu dan menggemaskan. Tapi kakak malah bilang kalo Icha bukan adik kakak. Aku sangat menyesal pernah berkata begitu. Meskipun bukan saudara kandung, tapi Icha adalah adik kakak yang sangat kakak sayangi. Berjuanglah Icha! Kakak selalu mendoakan keselamatan dan kesembuhanmu…
End…
(Bersambung ke Epilog)
To my litle star… tersenyumlah slalu!
^_<
Tidak ada komentar:
Posting Komentar