Kamis, 21 April 2011

Cerpen | Menanti Jawaban Sahabat

Hari itu, merupakan hari yang sangat mengharukan bagiku. Tak kusangka, sahabat terbaikku sejak kecil akan pindah. Saat itu aku masih duduk di kelas 1 SMP. Aku memberinya sebuah kenang-kenangan, sebuah kalung dengan inisial namanya, “S”.
Waktu berlalu seiring kepergiannya, dan aku masih sering berkirim surat padanya. Semua surat-suratnya ku simpan dalam sebuah kardus kecil dan kuanggap sebagai Harta berhargaku. Komunikasi lewat surat berlangsung selama 3 tahun ini. Kadang surat yang kutulis, balasannya baru datang 2 minggu kemudian, bahkan pernah 3 bulan balasannya datang. Tapi aku tak pernah lelah menunggunya. Selembar kertas itulah yang mendekatkan diriku dan dirinya. Sesekali aku mengirimkan fotoku dan ia pun mengirimkan fotonya. Meskipun kami terpisahkan oleh lautan luas, aku serasa dekat dengannya. Di saat aku mulai menarikan pena di atas selembar kertas, aku serasa berbicara padanya. Dia seperti duduk di sampingku dan mendengarkan segala keluh kesalku.

Aku telah berada di bangku kelas 2 SMA. Masa-masa mengenal cinta membuatku semakin jarang menulis surat padanya. Ia pun jarang mengirimkan surat padaku. Aku telah menemukan kehidupan cinta dan persahabatan di masa ini. Aku harap dia pun menemukan kebahagiaan yang sama denganku.
Sudah 8 bulan berlalu tanpa komunikasi dengannya. Tiba-tiba datang seorang Tukang Pos ke rumah. Ia membawa selembar amplop surat dan diterima oleh kakak ku. Ternyata surat itu untukku dari dia. Aku pun meraihnya sebelum kakak membukanya tanpa permisi. Ku buka amplop hijau itu dengan hati-hati. Dan ternyata isi amplop adalah selembar foto dan secarik kertas mungil. Foto sosoknya yang tampak dewasa dengan seragam SMA nya. Aku hampir tak mengenalnya, namun senyumannya tak pernah berubah. Dia telah menjelma menjadi gadis cantik, sedangkan aku masih seorang cewek polos dan berantakan. Dan di lembar kertas bertuliskan sebuah nomor “0812…..”, dan di bawah nomor itu tertulis kata.
081246****
Dear Indah,
Ini nomor HP ku! Kalau kamu sudah punya HP, kamu boleh SMS padaku. Aku pastikan membalasnya segera… jadi kita tidak perlu saling menunggu. I always miss you!
PS:
Kamu sudah punya Pacar? Oh ya, salam buat abang kamu ya? Gimana Fotoku? Cantik?
Sahabatmu Shinta


HP? SMS? Apakah itu? Aku segera menanyakan itu pada kakak ku. Saat itu HP merupakan barang mewah dan langka di Kota ku. Kakakku adalah seorang mahasiswa Ilmu Sosial, dia pasti bisa menjelaskan masalah itu. Namun aku harus menulis surat balasan terlebih dahulu.

***

Dua bulan telah berlalu sejak surat dari Shinta datang. Aku telah membalas surat itu dan aku pun telah mengetahui istilah-istilah yang ia tulis padaku. Dan akhirnya aku, seorang cewek penasaran dan pemboros, memutuskan untuk menabung. Uang Jajan sehari-hariku sebesar Rp. 5000, kusisihkan sekitar 3000 untuk membeli HP. Alhasil, kini aku telah mengumpulkan uang untuk membelinya meskipun masih ngemis-ngemis pada orangtua, Om, tante dan Kakek.
Aku belajar menggunakannya sama Kakak. Awalnya ribet namun akhirnya aku sudah terbiasa. Meskipun Kakak tidak punya HP, tapi dia juga gak ketinggalan jaman loh. Akhirnya aku pun mengirim SMS pertama dalam hidupku ini.

“HI SHINTA. COBA TEBAK INI SIAPA? SAHABATMU INDAH KINI TLAH MEMILIKI HP.”

Sekitar sepuluh menit kemudian, HP ini berbunyi. “You have a message” Aku pun membukanya. Dan terpampang surat balasan darinya. Oh… sungguh sangat cepat. Rasanya seperti berbincang saja.
“Indah? Wah, selamat ya! Eh, kalo sms trus kata2nya huruf kapital, itu tandanya berteriak loh. Kurang sopan. Hahaha! Bagaimana kabarmu?”
Aku pun membalasnya. “Baik, Kak Yudha yg ngajarin main HP”
Tak sampai semenit dia sudah membalasnya, rupanya dia telah terbiasa dengan tombol di HP. Aku saja menulis satu kalimat sebelumnya memakan waktu sampai lima belas menit lamanya.
Hampir setiap hari aku berkirim SMS padanya. Dan ternyata tagihan bulanan membengkak karena aku yang tidak bisa mengendalikan diriku. Sepertinya porsi SMS aku harus dikurangi jika tidak ingin HP di sita sama Papi.
***
Sudah dua bulan berlalu sejak komunikasi kami terjalin. Aku jadi semakin kangen dan rindu saja padanya. Kini aku telah duduk di bangku kelas 3 SMA. Artinya sudah 5 tahun kami tak berjumpa dan hanya berkomunikasi lewat SMS, email dan kadang-kadang kita janjian chating bareng.
Saat ini sahabatku sedang mengalami masa-masa sulit. Dia curhat lewat SMS, Kedua orang tuanya bercerai. Dan sekali lagi dia harus pindah rumah. Dia pindah ke Makassar bersama Ibu dan adiknya. Aku turut prihatin dengan masalahnya. Dia adalah sahabatku yang paling sabar dan tegar dalam cobaannya.
Namun akhir-akhir ini, hubunganku dan dia mulai terputus. Dia harus berhemat karena keuangannya bermasalah. Dia bahkan tidak melanjutkan sekolahnya dan memutuskan untuk bekerja. Padahal dia selalu juara satu umum di sekolahnya. Kami jadi kurang komunikasi bahkan boleh dibilang hilang kontak.
Akhirnya aku memutuskan untuk Kuliah di Makassar supaya dapat bertemu dengannya. Padahal di Bandung banyak Kampus yang lebih bergengsi. Aku memutuskan untuk mengambil jurusan akutansi di sebuah kampus swasta di sana. Hanya berbekal alamat rumah, aku menelusuri jalan-jalan dan lorong-lorong di sana. Akhirnya akupun menemukan rumahnya. Di rumahnya hanya ada adiknya, Tiwi. Ibunya kebetulan sedang keluar berjualan kain di pasar.
Ternyata Shinta sudah pulang ke Bandung, dia bekerja di sebuah Event Organizer di sana. Aku merasa sia-sia usahaku jauh datang kemari, ternyata dia malah kembali ke sana. Namun tidak mengapa, karena aku tlah mendapatkan nomor HP nya dari Tiwi.
“Hey Shinta! Gak ada kabarnya lagi nih! Km pasti heran jika tahu aku dimana.” Aku mengirim SMS padanya sambil berharap dan menunggu balasannya.
***
Aku terbangun ditengah malam karena bunyi dering HPku. Kulihat jam dinding kamarku tlah menunjukkan pukul 3 subuh. Kulihat layar HPku terpampang nama “Shinta”, aku pun mengangkat telepon itu.
“Hallo? Assalamualaikum!” sapa ku.
“kum salam, Ndah? Tadi sore kamu SMS? Maaf ya aku nggak bales.” Suara Shinta menggema dari lubang speaker HPku. Aku menitihkan air mata mendengar suaranya. Sudah 5 bulan aku tak mendengar suara ini.
“Shin? Knapa kamu menghilang? Tiba-tiba aja Hpmu nggak aktif. Aku khawatir banget Shin!” suaraku bergetar bersama dengan isak tangis yang kutahan.
“Maaf Ndah! Saya juga rindu padamu…” ucapnya lalu membisu. Namun ia tak menutup teleponnya. Aku tak bicara, hanya isak tangisku yang berdengung. Namun dia tetap sabar menanti kata-kataku.
“Shin! Aku di Makassar. Aku tau HP ini dari adikmu.” Aku ingin melanjutkan kata-kataku namun tertahan rasa sedihku.
“Saya tau Ndah! Saya ke rumahmu dan orang-orang rumahmu bilang kamu ke Makassar. Eh, Kak Yudha makin guanteng. Hehehehe! Seandainya belum menikah, mungkin sudah jadi gebetan saya tuh! Stuju nggak?” canda Shinta.
Aku tersenyum mendengar ucapannya. Dia memang selalu tegar dalam situasi apapun.
“Boleh, tapi nanti Mbak Yanti marah loh. Hehehehe!” Ucapku.
“Jadi nama istrinya Yanti ya?”
Tak terasa kami melepas rindu lewat percakapan itu. Kami saling membagi pengalaman kami selama 5 bulan tak bertemu. Dua jam telah berlalu tanpa kusadari. Kami pun mengakhiri percakapan kami.
Setelelah puas bercerita dengannya, aku memutuskan untuk kembali ke Bandung. Sebaiknya aku memang pindah ke sana, meskipun namaku sudah terdaftar sebagai mahasiswa disini. Baru 2 minggu aku mengikuti perkuliahan di sini dan sepertinya akutansi bukan keahlianku. Aku pun kembali ke Bandung dan memutuskan untuk kursus sambil menunggu penerimaan mahasiswa tahun depan.
Kali ini aku benar-benar bertatap muka dengannya. Sosok anggun dengan paras ayu, jika dia tersenyum, dua buah lesung pipi menambah manis senyumannya. Aku memeluk erat dirinya dalam linangan air mata bahagia. Sudah hampir 6 tahun kami tak bertatap muka seperti ini. Ia ngekos dekat rumahku, rasanya seperti kembali ke masa kecil dulu. Saat masih main tali, boneka dan permainan lainnya bersama.
***
Hari-hari kulalui bersamanya, aku semakin sadar ada hal yang aneh pada dirinya. Ia selalu pulang larut, bahkan pagi baru pulang ke kamar kosnya. Jika aku menanyakan hal itu, dia langsung marah dan membentakku. Aku pun membiarkannya saja, sebaiknya aku tak mengusik urusan pribadinya. Itu pertama kalinya ia marah dan membentakku. Aku merasa kesal namun ku coba tuk mengalah.
Kami jadi jarang bertemu kembali setelah kejadian itu. Aku menyelidikinya diam-diam dan ternyata aku menemukan fakta yang sungguh menyakitkan. Sahabatku, Shinta! Dia menggunakan narkoba, sering ke diskotik dan mabuk-mabukkan. Dan ternyata dia telah dipecat beberapa hari lalu.
Saat itu dia meneguk segelas birnya, Aku menyambarnya lalu membuang gelas itu. “SHIN! Astagfirullah!” Bentakku.
“Indah? HEH! Jangan ganggu kesenangan orang. Urus aja masalah kamu, gak perlu urusin saya.” Shinta balas membentak
“Shintaaa! Kenapa kamu bisa seperti ini?” keluhku.
“Aku sudah begini sejak lama… sejak aku sudah bebas memilih jalan hidupku. Kamu saja yang belum mengenalku.” Ucapnya sambil tertawa sinis.
Aku tak kuasa menahan emosi, tanpa terasa tangan ini bergerak lalu menampar pipinya. Wajahnya yang telah memerah karena mabuk makin merah akibat tamparanku. Aku tak berkata apa-apa, aku juga malu diperhatikan orang sekitar. Akhirnya aku meninggalkan tempat itu dengan linangan air mata bercampur emosi. Sementara Shinta hanya memandangku dengan tatapan sinis. Bukan tatapan seorang sahabat seperti biasanya.
***
Sudah seminggu kami tak saling berkomunikasi. Aku memang marah padanya, tapi dalam lubuk hatiku tersimpan rasa rindu. Sebaiknya aku menghubunginya.
Kucoba menelepon, tapi teleponnya tidak diangkat. Aku harus berpikir positif, siapa tahu dia sedang tidur atau bekerja. Akupun mengirim SMS padanya.
“Shinta sahabatku sayang. Maafkan semua ucapanku waktu itu. Seharusnya aku tahu segala masalahmulah yang membuatmu terjerumus ke dunia itu. Maafkanlah sahabatmu ini yang tak pernah bisa hadir di saat masa-masa suram itu datang padamu.”
Setelah ku kirim sms itu perasaanku jadi sedikit lega. Aku kembali sibuk menekuni kegiatanku yang padat. Sebenarnya semua kegiatanku hanya sebagai tameng agar orang tua tidak menyuruhku menikah. Ide ini memang adalah idenya Shinta yang menolak untuk dinikahkan waktu itu.
***
Malam ini SMS yang kukirim padanya siang tadi baru dibalas. Akupun membukanya sambil berharap-harap cemas.
“Indah… maafkan aku juga. Aku sudah membentakmu. Segala perubahan pada diriku bukan salahmu kok. Oh ya! Besok pagi aku mau balik lagi ke Makassar, mungkin akan menetap selamanya disana.”
Setelah mendapatkan SMS itu, aku langsung meneleponnya. Jangan sampai dia pindah gara-gara aku.
“Hallo! Indah?” sapanya.
“Shin? Kamu pindah karena masalah itu ya? Maafkan aku Shin!” aku langsung nyerocos.
“Ah, nggak kok. Mama tadi Pagi telepon. Dia menyuruhku pulang karena dia mau menikah hari Sabtu nanti. Ada juga yang mau sama Janda itu ya? Hahahahaha!” candanya sambil tertawa.
Ucapannya mengembangkan senyuman di pipiku. “Oh. Aku ke kos-kosan mu ya? Aku bantuin beres-beres” pintaku.
“Eh, jangan! Nanti repotin kamu.” Tolaknya.
“Gak apa-apa! Aku kesana sekarang.” Tegasku.
Setelah menutup percakapan itu, kulihat jam dinding kamarku sudah menunjukkan pukul 8 lebih. Sebaiknya aku minta izin menginap disana. Tak lupa aku membawa kotak rahasia yang merupakan harta berhargaku.
Lima belas menit naik motor, akhirnya sampai juga di kos Shinta.
“Besok pagi jemput Teteh ya?” ucapku kepada Adik laki-lakiku. Setelah mengantarku, dia pun pamit pulang.
Sekitar satu jam, kami beres-beres kamar dan barang-barang Shinta. Setelah itu, kami duduk bersandar di dinding sambil bercerita dan mencurahkan isi hati kami. Aku sungguh terkejut menemukan tumpukkan surat-suratku saat masih SMP dulu di dalam buku Diarinya. Bahkan kalung pemberianku masih ada. Aku membaca buku itu sambil menangis. Buku Diari yang telah dia tulis sejak SMP. Meskipun kami jauh, dia banyak menulis tentangku di buku itu. Tak lupa, aku pun memperlihatkan harta berhargaku padanya. Sebuah box berisi Surat-surat darinya. Rupanya pemikiran kami sama. Kami berdua sama-sama menjadikan semua ini, bukti persahabatan kami.
“Indah, aku punya ide. Ini buku Diariku, masih ada bagian yang kosong. Kamu boleh nulis apa aja disitu. Kembalikannya nanti aja kalo kamu main ke Makassar atau aku main ke sini.” Ucap nya.
“Oke-oke. Eh, Shin! Sebenarnya aku dari dulu iri sama kamu. Iri dengan kecantikanmu, iri dengan kepintaranmu, iri dengan kesabaran dan ketegaranmu.” Curhatku.
“Oh ya? Hahahaha… aku memang wanita sempurna.” Ucapnya sambil membanggakan dirinya. Aku hanya memberi cubitan kecil di perutnya. Setelah itu kami tertawa lepas dan melanjutkan percakapan kami. Kami saling curhat dan bercerita tentang kehidupan kami yang belum sempat diceritakan lewat email maupun surat. Entah sudah jam berapa saat itu… kami tak sadar waktu hingga tanpa terasa kami terlelap dengan sendirinya.
***
Pagi itu distasiun kereta Api, aku mengucapkan salam perpisahan padanya. Lambaian tanganku dengan air mata yang jatuh dipipi, aku tak malu dengan pandangan orang di stasiun terhadapku. Sementara, Shinta pun melambaikan tangannya dengan senyuman khasnya. Ia pun meneriakkan sesuatu, namun aku tak mendengarnya dengan jelas akibat bunyi kereta dan orang-orang disekitarku. Aku hanya membalas senyumnya sambil memandangi kereta itu sampai ia menghilang dari pandangan. Kereta itu menuju Surabaya dan dari sana dia akan menaiki kapal laut Ke Makassar.
Sebuah SMS masuk di HPku. Dari Shinta.
“Selamat tianggal sahabatku. Aku pasti kan datang lagi.”
***
Sudah sebulan berlalu sejak perpisahan itu. Kami memang jarang saling berkirim SMS lagi. Namun aku terkejut dengan SMS yang datang semalam darinya.
Indah, aku Hamil! Dan aku tidak tahu siapa ayah bayi ini. Apakah aku jahat bila menggugurkan kandunganku? Aku bingung! Aku sedih! Dan aku juga kasihan…
Aku membalasnya dan mengatakan untuk tidak menggugurkan kandungan. Itu bisa membahayakan nyawanya. Aku sungguh sangat panik dan sedih atas nasib sahabatku itu. Sepertinya saat di Bandung dengan pergaulan bebasnya itulah dia mendapat karma demikian. Ia hamil 3 bulan dan selama 4 bulan yang lalu dia masih berada disini. Seandainya aku dapat memutar kembali waktu. Sehingga aku bisa mengawasi dan mencegah ini semua…
Beberapa hari kemudian diapun membalasnya. “Maaf sudah membuatmu bingung. Aku akan melahirkan anak ini. Kasihan dia… dia tidak salah. Akulah yang salah. Aku akan merwatnya meskipun aku bukanlah sosok Ibu yang baik.”
Syukurlah, Ketegarannya masih ada di hatinya. Aku pun membalas SMSnya.
“Semoga bisa menjadi Ibu yang baik. Aku selalu mendoakanmu Shin! Tetaplah tegar”
Dia membalasnya dengan sebuah ucapan terima kasih.
***
Sebulan telah berlalu tanpa SMS dari dirinya. Padahal sudah beberapa SMS kukirim padanya. Akhirnya hari ini, jawaban yang kunanti datang juga. Namun aku shock dan terkejut setelah membaca isi SMS itu.
“Indah sahabatku… maafkan aku. Aku telah menggugurkan kandunganku. Namun sepertinya aku mendapatkan hukum karma dari tuhan. Aku telah membunuh bayi tak berdosa itu… aku tak pantas hidup.”
Aku langsung meneleponnya setelah membaca itu.
“Hallo. Shin!” Sapaku.
“Iya Ndah!” jawabnya, dengan suara yang terdengar lemah.
“JANGAN BUNUH DIRI SHIN!” teriakku dengan penuh luapan emosi. Sampai air mataku pun larut dalam amarah dan kesedihanku.
“Tidak Ndah… Aku pendarahan… tadi aku habis…” ucapnya lemah. Ia sepertinya tak dapat melanjutkan kata-katanya.
“Sudahlah Shin! Nggak usah dipaksa bicara. Aku ke sana ya Shin! Kamu di Makassar kan? Aku sudah memesan tiket ke sana. Sebentar siang aku berangkat. Bertahanlah Shin!” ucapku.
“Makasih Ndah… kamu memang sahabat terbaikku.” Ucapnya dengan nada lemah.
“SHIN! Aku sudah menulis semua hal tentangmu di buku diari mu. Aku ingin kamu membacanya. Kumohon, bertahanlah!” ucapku menggebu-gebu.
“Maaf mbak, HP ini sy putuskan dulu. Pasien akan masuk ruang ICU. Jadi jangan meneleponnya saat ini ya.” Suara dari HP itu berganti suara seseorang. Mungkin dokter atau suster.
“Maaf, iya. Dok! Tolong selamatkan temanku ya!” pintaku lalu ku akhiri percakapan itu.
Hari ini aku harus berangkat ke sana menjenguknya. Dari Bandung, aku harus ke Jakarta lalu naik pesawat ke sana. Mudah-mudahan masih keburu.
Setibanya di Bandara Soekarno Hatta, aku menyerbu tiap loket tiket. Hampir semua pesawat penuh, aku hampir putus asa. Dari loket yang satu ke loket lainnya, aku terus bertanya “masikah ada?” atau “Ada yang batalin tiket?”, namun hasilnya sama saja. Aku hanya mendapat penerbangan esok pagi jam 9.
Akhirnya aku terpaksa menginap di sebuah penginapan dekat bandara. Aku ingin menelepon, namun teringat nasehat sang perawat tadi. Lebih baik aku SMS, jadi saat sehat dia bisa membacanya.
“Shinta! Shabatku yang cantik, yang baik, yang selalu bisa kuandalkan. Dia adalah wanita yang tegar. Tuhan telah mengujinya dengan berbagai masalah, namun dia tetap tersenyum. Meskipun dia mengalihkan kekesalanya pada alkohol, tapi aku tahu… entah perasaan apa ini. Sampai mati kau kan selalu menjadi sahabatku. Apapun yang terjadi. Kehadiranmu slalu ku impikan, senyumanmu slalu kurindu, dan surat mu slalu kunanti. Aku harap engkau dapat hidup lebih lama agar kamu dapat membagikan senyuman indahmu kepada dunia. Seperti aku, Indah yang menjadi indah karena senyuman mu. Shinta! Kata-kata inilah yang kutulis dalam buku diarimu. Aku ingin kamu membacanya…”
Sebuah SMS yang sangat panjang. Aku juga mengirimnya ke alamat emailnya. Shinta_****86@yahoo.com.
Baru beberapa menit berlalu, sebuah telepon masuk. Aku berharap itu dari Shinta namun ternyata dari Ibuku. Dan aku sungguh sangat terkejut mendengar kabar dari Ibuku. Kompleksku terbakar dan api sudah berada dekat rumahku. Tiga rumah di sebelah rumahku sudah habis terbakar. Untung saja semua keluargaku sudah keluar dari rumah. Barang-barang berharga sudah diangkut keluar. Namun aku teringat satu benda berhargaku. Kotak berisi surat-surat dan foto Shinta.
Aku segera berangkat menuju Bandung dengan Taksi. Semoga api itu tidak melahap rumahku. Dalam perjalanan aku terus berdoa tanpa henti. Aku berdoa untuk rumahku, keluargaku dan sahabatku Shinta yang berjuang disana.
Aku tak dapat sampai tepat di dekat rumahku. Banyak kendaraan yang parkir di sekitar sana. Terpaksa aku harus turun dan berjalan sekitar 1 kilo menuju rumah. Tak kusangka semua usahaku telah terlambat. Aku bahkan tak melihat lagi tiang-tiang rumahku yang telah menjadi saksi perjalanan usiaku. Di rumah itu aku lahir dan tumbuh hingga saat ini. Aku tak merlihat dimana keluargaku berada karena orang-orang memadati sekitar sana.
Setelah beberapa menit aku berkeliling kompleks, akhirnya aku temukan juga keluargaku. Hanya sedikit yang mereka selamatkan. Dan ternyata, kotak itu pun tak dapat diselamatkan. Hilanglah semua kenangan berhargaku itu. Namun aku harus tetap tegar atas cobaan yang menimpaku. Semua cobaan ini pasti ada hikmahnya. Aku masih punya HP dan nomornya, masih ada harapan tuk saling berbagi dan saling mengisi dengannya. Aku menulis sebuah SMS padanya.
“Maaf Shin! Hari ini aku gak bisa datang. Besok juga gak bisa. Aku habis mendapatkan musibah, rumahku terbakar. Aku gak bisa berangkat tuk sementara. Mungkin beberapa hari lagi aku kan kesana. ”
Aku mengirim pesan itu tanpa mengharapkan balasan. Aku harap balasan itu akan datang suatu saat nanti saat ia telah sembuh. Aku pasrah dan berdoa untuknya, kuharap Tuhan kan menjaganya agar aku dapat menjabat tangannya sekali lagi.
***
Sudah seminggu berlalu sejak peristiwa kebakaran itu. Aku dan keluargaku untuk sementara waktu tinggal di rumah paman kami sampai rumah kami selesai dibangun. Hari ini aku akan memenuhi janjiku untuk menjenguknya di Makassar. Dan disinilah aku berdiri, di sebuah terminal kedatangan menanti jemputanku. Saat aku tinggal beberapa minggu di Makassar dulu, ada beberapa orang yang telah kuanggap sahabat. Kami sering berkomunikasi makanya dia tahu masalahku dan akan menemaniku di sini. Aku kan tinggal di kos-kosannya. Namanya Maharani, tapi aku biasa memanggilnya Rani.
Beberapa menit kemudian seorang cewek dibalut dengan sweater putih menyapaku. Aku tak mengenalnya karena ia memakai helm. Aku memandangnya dengan tatapan keheranan. Ia pun membuka helemnya.
“Rani!” aku terkejut. Ternyata dia adalah Rani.
“Maaf lama nunggu ya? Tadi ada sweeping makanya telat. Sori nah!” ucapnya.
Ia memboncengku ke tempat kosnya memakai motor automaticnya. Cukup jauh juga jarak dari bandara menuju tempat kosnya, hingga membuat badanku pegal semua.
Esoknya aku ke rumahnya di alamat yang lama namun sepertinya mereka sekeluarga telah pindah. Berarti aku harus ke rumah sakit. Tapi aku punya satu masalah, yaitu aku tak tahu dimana letak rumah sakit itu. Akhirnya malam itu aku hanya berputar-putar mencari rumah sakit itu.
“Shinta! Kamu di rawat dimana? Aku sudah berputar-putar mencarimu.”
Sebuah SMS ku kirim padanya. Aku harap dia kan membalasku. Pencarianku di sana tak membuahkan hasil. Selama empat hari aku tak juga temukan jejaknya. Rumah sakit tak bisa memberikan data pasien apalagi pasien aborsi. Mereka takut dituntut, makanya mereka mengelakkan itu. Aku kembali ke Bandung dan membangun kembali kehidupanku di rumahku yang baru.
“Shin! Aku balik lagi ke Bandung. Kamu pasti marah ya, aku tak datang saat itu. Maafkan aku! Kamu ada dimana Shin?” SMS ini ku kirim tepat saat aku kan masuk pesawat.
***
5 November 2006 . . .
“Shinta! Selamat ulang tahun! Aku harap aku dpt bertemu denganmu.”

23 Desember 2006 . . .
“Lagu Rindu ini ku nyanyikan… aku slalu menangis bila dengar lagu itu loh.
Walau hanya nada sederhana… ijinkan ku ungkap sgala rasa dan kerinduan…”

31 Desember 2006 . . .
“Selamat Tahun baru ya Shin! Semoga ditahun depan, kita dapat berjumpa lagi...”

21 Februari 2007 . . .
“Sahabat sejatiku Shinta! Istri Kak Yudha melahirkan. Bayi laki-laki yang lucu. Blum ada namanya, mau nyaranin?”

12 Mei 2007 . . .
“Shinta! Aku rindu kamu… aku harap engkau tiba-tiba muncul dan menyapa ku hingga membuat ku kaget.”

26 Juni 2007 . . .
“Hari ini… teman sepermainanku pindah rumah. Hehehe! Aku masih ingat tanggal pindahan kamu loh. Shin! Kamu tahu? Semua surat-suratmu, ku jadikan harta berhargaku. Sms darimu tak pernah kuhapus. Emailmu pun juga. Kamu nggak tau rindunya hatiku… aku sungguh penasaran. Apakah kamu masih hidup? Kumohon… berikan jawaban”

4 Agustus 2007 . . .
“Shinta... aku masih menantikan jawabanmu loh. Aku tidak akan pernah mengganti nomor ini karena aku masih menunggu SMS mu...”

2 September 2007 . . .
“Aku bahagia dihari ulang tahunku... tapi masih ada satu orang yang belum memberiku ucapan. Itu kamu Shin...”

26 oktober 2007 . . .
“Hari ini... tepat satu tahun aku terakhir kali berbicara denganmu... dan tepat satu tahun aku kehilangan harta berhargaku. Yaitu semua surat-surat dan foto-fotomu. Semoga aku juga tak kehilangan kamu Shin!“

5 November 2007 . . .
“Met ultah yang ke-21. Jangan pernah lupakan aku ya? Aku masih setia menantimu Shin!“

3 Januari 2007 . . .
“Habis dengar permainan Biola, jadi teringat sama Shinta, sahabatku. Aku ingin mendengarkan permainan biolamu yang indah.”

8 Maret 2008 . . .
“Aku sudah nggak tinggal di Bandung. Bulan depan aku akan menikah dan pindah ikut suami ke Medan. Nama calon suamiku Haris Syaputra. Kalo kamu di Bandung, jangan lupa datang di Resepsi Pernikahanku. Tanggal 10 April di rumahku sendiri. Datang ya?”

10 April 2008 . . .
“Hari bahagiaku. Aku ingin kamu hadir dan melengkapi kebahagianku.”

29 April 2008 . . .
“Aku sudah di Medan. Entah kamu akan membalas email dan SMS ku atau tidak. Tapi aku slalu berharap dan tak pernah berhenti berharap. Aku kan selalu menanti Jawabanmu.”



Bintang malam katakan padanya
Aku ingin melukis sinarmu di hatinya
Embun pagi katakana padanya
Biar kudekap erat waktu dingin membelenggunya

Bintang malam sampaikan padanya
Aku ingin melukis sinarmu di hatinya
Embun pagi katakana padanya
Biar ku dekap erat waktu dingin membelenggunya

Tahukah engkau wahai langit
Ku ingin bertemu membelai wajahnya
Kupasang hiasan angkasa yang terindah
Hanya untuk dirinya...

Lagu rindu ini kuciptakan
Hanya untuk bidadari hatiku tercinta
Walau hanya nada sederhana
Ijinkan kuungkap segala rasa dan kerinduan...

(Lagu Rindu – Keris Patih)




-TAMAT-




Epilogue…


Hari ini, aku berjalan-jalan shoping di Nagoya Center, Kota Batam. Aku masuk ke sebuah butik kecil untuk melihat-lihat, siapa tau ada baju bagus untuk dibeli. Saat masuk ke sana, aku merasakan suasana damai dan rasanya seperti aku pernah ke sini sebelumnya. Saat ku lihat sosok wanita yang berdiri di kasir itu. Aku terkejut melihat nya, wajahnya memang agak familiar.
“TIWI! Kamu Tiwi kan? Adiknya Shinta?” ucapku sambil terkejut.
“Oh, Kak Indah?” tanya nya.
“Iya. Kamu masih ingat ya? Trus gimana kabar kakakmu?” tanyaku penuh dengan harapan.
Dia terdiam agak lama. Aku bisa menebak jawabannya.
“Dia sudah meninggal…” ucapnya lemah. “Pendarahan…” lanjutnya.
Melihat air matanya, akupun larut dalam kesedihan. Aku meneteskan air mata sambil memeluk Tiwi. Untung saja di butik itu sedang sunyi. Aku ingin sekali menangis meraung tapi aku malu. Malu pada diriku dan pada Tiwi yang terlihat berusaha tersenyum.
Tiwi membalikkan tanda “Open” di pintu kaca butik sehingga menjadi “Closed”. Pintu pun dikunci dan kami berdua curhat di sebuah sofa putih dekat rak sepatu. Tiwi menceritakan kejadian itu. Dan mengapa Shinta sampai menggugurkan kandungan karena ternyata ia juga divonis mengidap HIV. Shinta tak mau bayi itu tertular dan menderita, ia tak tega. Tiga hari setelah masa kritisnya, ia pun lelah dalam pertarungan hidup matinya dan pergi dengan damai. Aku larut dalam kesedihan bersama dengan cerita itu.
Sekitar satu jam kami berbincang. Aku harus segera mengakhiri perbincangan itu, karena pesawatku akan berangkat satu jam lagi. Aku membeli beberapa gaun di butik itu. Butik itu milik tantenya Tiwi jadi dia memberiku sedikit diskon. Ditambah… tiga buah diary milik Kakaknya, Shinta. Aku pasti kan terharu membacanya malam ini. Kubuka Handphone mungilku, jari-jemariku mulai menari di atas tuts keyboardnya, aku juga heran mengapa aku menulis SMS untuknya padahal ia telah tiada.

Batam, 6 Juli 2008 . . .
“Shinta… meskipun kini aku tahu engkau telah tiada. Aku bersyukur pernah mengenalmu. Penantian jawabanmu telah berakhir. Semoga engkau tenang di alam sana. From ur bestfriend forever…Indah”

-fin-

3 komentar: