Minggu, 25 November 2012

Novel | Wajah Kedua (Part 20)


Part 20
MizzTERI Girls


Oh ya, salah satu alasan kenapa Imel bisa dekat denganku karena dia adalah sepupu Erwin.
Erwin adalah cinta pertamaku saat aku baru masuk di SMA ini. Erwin adalah kakak kelas kami yang duduk di kelas 3. Dia menjadi salah satu anggota OSIS dan dia selalu menolongku saat Masa Orientasi dulu. Seiring berjalannya waktu aku dan dia jadi dekat. Dia pun menyatakan rasa sukanya padaku dan aku pun menerimanya. Dulu Imel yang menjadi perantara hubunganku dan Erwin.
Kami berpacaran sekitar empat bulan. Hubungan kami agak renggang saat Erwin mulai menghadapi Ujian nasional. Dia juga cemburu dengan kedekatanku sama Aldo. Apalagi gosip-gosip yang mengatakan kalau aku dan Aldo pacaran. Erwin pun lulus dan melanjutkan kuliahnya di luar kota. Dia tak pernah memberiku kabar lagi setelah itu.

Tak ada pernyataan putus dari kami namun kami putus dengan sendirinya. Seiring jalannya waktu. Tapi aku bersyukur Imel masih menganggapku teman bahkan aku mendapatkan sahabat baru sebagai pengganti Erwin. Dia adalah Tuti.
Hanya dalam dua tahun saja aku dan Tuti sudah jadi akrab sekali. Sayang, Imel pindah saat kenaikan kelas. Kami hanya berkomunikasi lewat e-mail dan sesekali kami saling menelepon. Dia pindah ke Medan ikut orang tuanya yang juga pindah ke sana.

  

Malam ini kami berempat akan bertemu. Jadi teringat masa-masa kelas satu dulu deh. Aku, Erni, Imel dan Tuti akhirnya gang kami lengkap juga. Dulu kami sempat iseng-iseng buat nama grup kami. “MizzTERI Girls”
Nama ini bukan karena kami suka sama yang berbau misteri loh. Tapi nama itu diambil dari inisial kami. Miss artinya Nona atau menunjukkan panggilan untuk perempuan. Dan TERI-nya adalah singkatan dari Tuti Erni Reni dan Imelda. Dan biar kelihatan keren, kami menambahkan kata Girls di belakangnya.
Sayang, gang ini hanya bertahan tiga bulan aja. Imelda pindah, dan ada sedikit keretakan antara aku dan Erni. Syukur saat itu masih ada Tuti. Karena Tuti aku dan Erni bisa rukun kembali. Di antara mereka bertiga, Erni adalah sahabat terlamaku karena kami berteman sejak masih kelas satu SMP. Saat MOS aku berkenalan dengan Tuti dan Imelda.
Aku dan Imel sekelas saat kelas satu, sedangkan Erni sekelas dengan Tuti. Kelas kami bersebelahan sehingga hubungan kami baik-baik saja. Aku bertengkar dengan Erni hanya karena kesalahpahaman. Waktu itu aku menuduh Erni yang menyebarkan gosip kalau aku pacaran dengan Aldo. Erni juga marah padaku karena aku lebih sering jalan bareng Erwin daripada dengannya. Karena ego kami masing-masing, kami jadi tidak mau mendengarkan alasan. Apalagi setelah aku putus dengan Erwin, aku makin menyalahkan Erni.
Imel lah, yang menjadi sahabat curhatku sedangkan Erni curhat dengan Tuti. Setelah kepergian Imel, aku jadi gak punya teman curhat. Untung aja Tuti gak ikutan menjauhiku seperti Erni. Aku menceritakan isi hatiku pada Tuti dan Tuti pun menyampaikan isi hati Erni padaku. Aku jadi merasa bersalah pada Erni. Erni pun merasa bersalah padaku. Kami dipertemukan oleh Tuti dan akhirnya persahabatan ini masih bertahan hingga kelas tiga ini. Meskipun tanpa Imel kami tetap menjalani hari-hari kami dengan penuh kerinduan padanya.
Kalo dipikir-pikir waktu itu hampir sebulan aku dan Erni saling diam. Saling nyindir, saling membuang muka. Ternyata Erni kalo marah itu lumayan serem juga. Marah beneren maksudku, bukan marah ngambek yang selama ini dia lakukan. Diantara mereka bertiga, Cuma Erni yang sangat aku sayang layaknya saudara kandung sendiri. Meski beda suku juga agama. Itulah persahabatan sejati.
“Ren?”
Sebuah suara mengagetkanku dari lamunanku.
“Erni?” ternyata Erni yang menyapaku. “Umur panjang kamu, aku lagi ngelamunin kamu nih!” ucapku.
“ngelamunin apa hayo?” tanya Erni dengan penuh kecurigaan.
“Banyak deh!” jawabku.
“Hmm! Jadi ingat waktu tahun lalu yah?” Erni mulai menerawang mengingat masa-masa lalu kami. Aku pun ikut dalam lamunan Erni.
“Hey ternyata kalian berdua udah duluan yah, maaf dah buat nunggu. Padahal aku yang traktir.” Imel pun datang dan menyapa kami.
“Imel!!!” Aku dan Erni kompak memeluknya.
“Mana Tuti?” tanya Imel.
“Seperti biasa, itu makhluk slalu paling telat.” Cibir Erni.
“Ternyata kebiasaannya itu gak berubah.” Tambah Imel.
“Oh ya, Kapan datang? Trus berapa lama di sini?” tanyaku.
“Kebiasaan suka penasaran kamu juga gak berubah Ren!” Ledek Imel.
Aku hanya menggerutu dengan suara gak jelas. Memang sih aku ini orangnya penasaran banget sama sesuatu.
“Aku datang tadi siang. Besok siang udah balik kok. Aku Cuma mau ambil berkas-berkas aja. Masih ada ijasahku di sekolah kalian. Apalagi ijasah SMP ku juga hilang. Aku mau ngedaftar kuliah di Singapura sih. Makanya butuh banyak berkas.” Jelas Imel.
“Yah, gak sempet jalan-jalan bareng dong.” Keluh Erni.
“Hi Girls! Maaf yah aku telat.” Akhirnya Tuti pun muncul dan ikut bergabung dengan kami.
“Kebiasaan kamu tuh emang dari dulu gak pernah berubah.” Ledek Imel.
“Soalnya anak-anak SMP pada nagih foto-foto pangeran sih. Gara-gara seminggu lebih pangeran gak masuk sekolah, aku jadi gak punya kesempatan motret dia deh.” Jelas Tuti.
“Pangeran? Siapa tuh?” tanya Imel dengan pebuh kebingungan.
“Saat kamu pindah, di kelas dua ada anak baru. Dia ganteng dan banyak dipuja cewek-cewek seantero sekolah.” Jawabku.
“He-em! Dan dia duduk di depanku loh. Seneng banget deh!” tambah Erni.
“Kamu kan sudah punya pangeran Heru!” ledek Tuti.
“Hah? Heru? Maksudnya?” Wajah Imel makin dibuat bingung.
“Udah seminggu Erni jadian loh dengan Heru!” jelasku.
Imel memandang wajah Erni sesaat dan Erni hanya tersenyum dan agak nyengir menanggapi pandangan Imel. Imel pun memandang wajah Tuti dengan penuh tanda tanya. Tuti pun tersenyum dan menarik napas sambil membuka tangan seperti gayanya orang-orang yang sudah menyerah.
Imel pasti berpikir kok Tuti membiarkan Erni pacaran. Karena Imel tahu kalo sejak dulu Tuti selalu mewanti-wanti Erni yang emang polos dan mudah terpengaruh ucapan cowok itu, untuk tidak pacaran. Makanya Imel menuntut penjelasan dari Tuti.
“Wah, Selamat yah Ni! Apa aku juga kenal sama Heru?” tanya Imel.
“Heru kan sekelas bareng kita waktu kelas satu dulu. Masih ingat nggak?” ucapku.
“Hmm!” Imel berpikir sejenak dan mencoba membuka kembali memorynya. “Rada-rada ingat juga sih. Tapi aku sudah lupa orangnya.” Ucapnya.
“Oh ya, di kelas tiga ini kita sekelas loh.” Pamer Erni.
Sepertinya dia sengaja mengalihkan topik pembicaraan supaya dia gak jadi bahan gosip. Erni emang miss gosip dan suka bergosip ria, hanya saja dia gak suka digosipin.
“Oh ya? Pasti seru tuh!” ucap Imel.
“Iya. Aku dan Erni duduk bareng dan Reni duduk bersanding dengan pangeran.” Sambung Tuti.
“Wah, asyik tuh. Oh ya, aku jadi penasaran nih dengan pangeran yang kalian maksud. Trus kenapa sampai Tuti harus motret dia juga. Besok tunjukin aku orangnya yah?” tanya Imel bertubi-tubi.
“Tuti masuk klub pers sekolah loh! Makanya dia suka bawa-bawa kamera gitu.” Jelas Erni. “Trus dia motret wajahnya dan dijual ke anak-anak SMP.” Tambahnya.
“Kok jadi ngomongin Arya sih? Mending Imel cerita tentang kamu aja.” Usulku.
“Oh, namanya Arya toh?” ucap Imel.
“Iya, ngapain cerita makhluk cuek itu. Besok kamu gak bisa ketemu dia, karena dia lagi sakit. Kakinya patah waktu main basket.” Seru Tuti.
“Aku pingin dengar cerita kalian aja deh. Aku gak ada cerita seru sih!”  ucap Imel.
“Pasti ada lah! Mungkin sekarang Imel sudah dapat pacar yah?” tanyaku.
Imel hanya menggeleng. “Kalau Reni?” Imel balik nanya padaku.
Aku pun hanya bisa menggeleng. Tapi kalo orang yang kusuka sih ada. Dia adalah Arya. Hmm… aku ingin mengatakan ini tapi masih gengsi dan takut. Aku takut dibilang ikut-ikutan sama Fansklub Arya. Aku gengsi karena pernah bilang ke Erni kalo Arya itu bukan tipeku. Aku menyukai wajah kedua Arya. Arya yang terbuka, Arya yang manja, Arya yang perhatian. Bukan Arya yang dingin, diam dan cuek itu. Seandainya Arya bisa menunjukkan wajah keduanya kepada teman-teman, mungkin aku bisa dengan bangga mengatakan bahwa aku suka sama Arya.
Tiba-tiba saja HP ku berbunyi hingga membuat kaget Erni dan Tuti. Pasti dari Arya deh. Nih orang mungkin punya indera ke-6 kali ya. Kalo lagi mikirin dia, eh tiba-tiba saja nelpon.
“Kamu punya HP yah Ren?” tanya Tuti heran setelah melihatku memegang HP.
Aku mengangguk dan mencoba pamit supaya tidak terdengar oleh mereka kalo Arya yang menelepon. “Aku angkat dulu yah?” ucapku lalu berjalan keluar pintu café ini.
“Halo! Aya!” sapaku.
“Halo Ren!” balas Arya.
“Kenapa nelpon?”
“Gak, cuma pingin dengar suaramu saja!” Ucap Arya dengan nada menggombal.
“Hah?”
“Ehehe! Bercanda kok. Kamu lagi ngapain nih?”
“Lagi makan bareng Erni, Tuti sama Imel. Imel itu sahabat lamaku dan dia baru datang tadi siang. Jadi kita reunian nih.” Jelasku.
“Wah, Aya ganggu dong!” sesalnya.
“Nggak juga sih. Emang Aya mau ikut ke sini?” tawarku meski aku yakin Arya yang masih Jaim itu gak berani datang. Yah, sekedar usilin dikit sih.
“Nggak ah, ntar Cuma aku yang paling cantik sendirian!” Candanya.
Aku hanya tertawa menanggapinya. “Udah dulu ya. Ntar mereka curiga loh.” Ucapku.
“Ya sudah! Met makan yah Ren! Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam”

Tidak ada komentar:

Posting Komentar