Part 20
MizzTERI Girls
Oh ya, salah satu alasan kenapa Imel bisa dekat denganku
karena dia adalah sepupu Erwin.
Erwin adalah cinta pertamaku saat aku baru masuk di SMA ini.
Erwin adalah kakak kelas kami yang duduk di kelas 3. Dia menjadi salah satu
anggota OSIS dan dia selalu menolongku saat Masa Orientasi dulu. Seiring
berjalannya waktu aku dan dia jadi dekat. Dia pun menyatakan rasa sukanya
padaku dan aku pun menerimanya. Dulu Imel yang menjadi perantara hubunganku dan
Erwin.
Kami berpacaran sekitar empat bulan. Hubungan kami agak
renggang saat Erwin mulai menghadapi Ujian nasional. Dia juga cemburu dengan
kedekatanku sama Aldo. Apalagi gosip-gosip yang mengatakan kalau aku dan Aldo
pacaran. Erwin pun lulus dan melanjutkan kuliahnya di luar kota. Dia tak pernah
memberiku kabar lagi setelah itu.
Tak ada pernyataan putus dari kami namun kami putus dengan
sendirinya. Seiring jalannya waktu. Tapi aku bersyukur Imel masih menganggapku
teman bahkan aku mendapatkan sahabat baru sebagai pengganti Erwin. Dia adalah
Tuti.
Hanya dalam dua tahun saja aku dan Tuti sudah jadi akrab
sekali. Sayang, Imel pindah saat kenaikan kelas. Kami hanya berkomunikasi lewat
e-mail dan sesekali kami saling menelepon. Dia pindah ke Medan ikut orang
tuanya yang juga pindah ke sana.



Malam ini kami berempat akan bertemu. Jadi teringat masa-masa
kelas satu dulu deh. Aku, Erni, Imel dan Tuti akhirnya gang kami lengkap juga.
Dulu kami sempat iseng-iseng buat nama grup kami. “MizzTERI Girls”
Nama ini bukan karena kami suka sama yang berbau misteri loh.
Tapi nama itu diambil dari inisial kami. Miss artinya Nona atau menunjukkan
panggilan untuk perempuan. Dan TERI-nya adalah singkatan dari Tuti Erni Reni
dan Imelda. Dan biar kelihatan keren, kami menambahkan kata Girls di
belakangnya.
Sayang, gang ini hanya bertahan tiga bulan aja. Imelda
pindah, dan ada sedikit keretakan antara aku dan Erni. Syukur saat itu masih
ada Tuti. Karena Tuti aku dan Erni bisa rukun kembali. Di antara mereka
bertiga, Erni adalah sahabat terlamaku karena kami berteman sejak masih kelas
satu SMP. Saat MOS aku berkenalan dengan Tuti dan Imelda.
Aku dan Imel sekelas saat kelas satu, sedangkan Erni sekelas
dengan Tuti. Kelas kami bersebelahan sehingga hubungan kami baik-baik saja. Aku
bertengkar dengan Erni hanya karena kesalahpahaman. Waktu itu aku menuduh Erni
yang menyebarkan gosip kalau aku pacaran dengan Aldo. Erni juga marah padaku
karena aku lebih sering jalan bareng Erwin daripada dengannya. Karena ego kami
masing-masing, kami jadi tidak mau mendengarkan alasan. Apalagi setelah aku
putus dengan Erwin, aku makin menyalahkan Erni.
Imel lah, yang menjadi sahabat curhatku sedangkan Erni curhat
dengan Tuti. Setelah kepergian Imel, aku jadi gak punya teman curhat. Untung
aja Tuti gak ikutan menjauhiku seperti Erni. Aku menceritakan isi hatiku pada
Tuti dan Tuti pun menyampaikan isi hati Erni padaku. Aku jadi merasa bersalah pada
Erni. Erni pun merasa bersalah padaku. Kami dipertemukan oleh Tuti dan akhirnya
persahabatan ini masih bertahan hingga kelas tiga ini. Meskipun tanpa Imel kami
tetap menjalani hari-hari kami dengan penuh kerinduan padanya.
Kalo dipikir-pikir waktu itu hampir sebulan aku dan Erni
saling diam. Saling nyindir, saling membuang muka. Ternyata Erni kalo marah itu
lumayan serem juga. Marah beneren maksudku, bukan marah ngambek yang selama ini
dia lakukan. Diantara mereka bertiga, Cuma Erni yang sangat aku sayang layaknya
saudara kandung sendiri. Meski beda suku juga agama. Itulah persahabatan
sejati.
“Ren?”
Sebuah suara mengagetkanku dari lamunanku.
“Erni?” ternyata Erni yang menyapaku. “Umur panjang kamu, aku
lagi ngelamunin kamu nih!” ucapku.
“ngelamunin apa hayo?” tanya Erni dengan penuh kecurigaan.
“Banyak deh!” jawabku.
“Hmm! Jadi ingat waktu tahun lalu yah?” Erni mulai menerawang
mengingat masa-masa lalu kami. Aku pun ikut dalam lamunan Erni.
“Hey ternyata kalian berdua udah duluan yah, maaf dah buat nunggu.
Padahal aku yang traktir.” Imel pun datang dan menyapa kami.
“Imel!!!” Aku dan Erni kompak memeluknya.
“Mana Tuti?” tanya Imel.
“Seperti biasa, itu makhluk slalu paling telat.” Cibir Erni.
“Ternyata kebiasaannya itu gak berubah.” Tambah Imel.
“Oh ya, Kapan datang? Trus berapa lama di sini?” tanyaku.
“Kebiasaan suka penasaran kamu juga gak berubah Ren!” Ledek
Imel.
Aku hanya menggerutu dengan suara gak jelas. Memang sih aku
ini orangnya penasaran banget sama sesuatu.
“Aku datang tadi siang. Besok siang udah balik kok. Aku Cuma
mau ambil berkas-berkas aja. Masih ada ijasahku di sekolah kalian. Apalagi
ijasah SMP ku juga hilang. Aku mau ngedaftar kuliah di Singapura sih. Makanya
butuh banyak berkas.” Jelas Imel.
“Yah, gak sempet jalan-jalan bareng dong.” Keluh Erni.
“Hi Girls! Maaf yah aku telat.” Akhirnya Tuti pun muncul dan
ikut bergabung dengan kami.
“Kebiasaan kamu tuh emang dari dulu gak pernah berubah.”
Ledek Imel.
“Soalnya anak-anak SMP pada nagih foto-foto pangeran sih.
Gara-gara seminggu lebih pangeran gak masuk sekolah, aku jadi gak punya
kesempatan motret dia deh.” Jelas Tuti.
“Pangeran? Siapa tuh?” tanya Imel dengan pebuh kebingungan.
“Saat kamu pindah, di kelas dua ada anak baru. Dia ganteng
dan banyak dipuja cewek-cewek seantero sekolah.” Jawabku.
“He-em! Dan dia duduk di depanku loh. Seneng banget deh!”
tambah Erni.
“Kamu kan sudah punya pangeran Heru!” ledek Tuti.
“Hah? Heru? Maksudnya?” Wajah Imel makin dibuat bingung.
“Udah seminggu Erni jadian loh dengan Heru!” jelasku.
Imel memandang wajah Erni sesaat dan Erni hanya tersenyum dan
agak nyengir menanggapi pandangan Imel. Imel pun memandang wajah Tuti dengan
penuh tanda tanya. Tuti pun tersenyum dan menarik napas sambil membuka tangan
seperti gayanya orang-orang yang sudah menyerah.
Imel pasti berpikir kok Tuti membiarkan Erni pacaran. Karena
Imel tahu kalo sejak dulu Tuti selalu mewanti-wanti Erni yang emang polos dan
mudah terpengaruh ucapan cowok itu, untuk tidak pacaran. Makanya Imel menuntut
penjelasan dari Tuti.
“Wah, Selamat yah Ni! Apa aku juga kenal sama Heru?” tanya
Imel.
“Heru kan sekelas bareng kita waktu kelas satu dulu. Masih
ingat nggak?” ucapku.
“Hmm!” Imel berpikir sejenak dan mencoba membuka kembali
memorynya. “Rada-rada ingat juga sih. Tapi aku sudah lupa orangnya.” Ucapnya.
“Oh ya, di kelas tiga ini kita sekelas loh.” Pamer Erni.
Sepertinya dia sengaja mengalihkan topik pembicaraan supaya
dia gak jadi bahan gosip. Erni emang miss gosip dan suka bergosip ria, hanya
saja dia gak suka digosipin.
“Oh ya? Pasti seru tuh!” ucap Imel.
“Iya. Aku dan Erni duduk bareng dan Reni duduk bersanding
dengan pangeran.” Sambung Tuti.
“Wah, asyik tuh. Oh ya, aku jadi penasaran nih dengan
pangeran yang kalian maksud. Trus kenapa sampai Tuti harus motret dia juga.
Besok tunjukin aku orangnya yah?” tanya Imel bertubi-tubi.
“Tuti masuk klub pers sekolah loh! Makanya dia suka bawa-bawa
kamera gitu.” Jelas Erni. “Trus dia motret wajahnya dan dijual ke anak-anak
SMP.” Tambahnya.
“Kok jadi ngomongin Arya sih? Mending Imel cerita tentang
kamu aja.” Usulku.
“Oh, namanya Arya toh?” ucap Imel.
“Iya, ngapain cerita makhluk cuek itu. Besok kamu gak bisa
ketemu dia, karena dia lagi sakit. Kakinya patah waktu main basket.” Seru Tuti.
“Aku pingin dengar cerita kalian aja deh. Aku gak ada cerita
seru sih!” ucap Imel.
“Pasti ada lah! Mungkin sekarang Imel sudah dapat pacar yah?”
tanyaku.
Imel hanya menggeleng. “Kalau Reni?” Imel balik nanya padaku.
Aku pun hanya bisa menggeleng. Tapi kalo orang yang kusuka
sih ada. Dia adalah Arya. Hmm… aku ingin mengatakan ini tapi masih gengsi dan
takut. Aku takut dibilang ikut-ikutan sama Fansklub Arya. Aku gengsi karena
pernah bilang ke Erni kalo Arya itu bukan tipeku. Aku menyukai wajah kedua
Arya. Arya yang terbuka, Arya yang manja, Arya yang perhatian. Bukan Arya yang
dingin, diam dan cuek itu. Seandainya Arya bisa menunjukkan wajah keduanya
kepada teman-teman, mungkin aku bisa dengan bangga mengatakan bahwa aku suka
sama Arya.
Tiba-tiba saja HP ku berbunyi hingga membuat kaget Erni dan
Tuti. Pasti dari Arya deh. Nih orang mungkin punya indera ke-6 kali ya. Kalo
lagi mikirin dia, eh tiba-tiba saja nelpon.
“Kamu punya HP yah Ren?” tanya Tuti heran setelah melihatku
memegang HP.
Aku mengangguk dan mencoba pamit supaya tidak terdengar oleh
mereka kalo Arya yang menelepon. “Aku angkat dulu yah?” ucapku lalu berjalan
keluar pintu café ini.
“Halo! Aya!” sapaku.
“Halo Ren!” balas Arya.
“Kenapa nelpon?”
“Gak, cuma pingin dengar suaramu saja!” Ucap Arya dengan nada
menggombal.
“Hah?”
“Ehehe! Bercanda kok. Kamu lagi ngapain nih?”
“Lagi makan bareng Erni, Tuti sama Imel. Imel itu sahabat
lamaku dan dia baru datang tadi siang. Jadi kita reunian nih.” Jelasku.
“Wah, Aya ganggu dong!” sesalnya.
“Nggak juga sih. Emang Aya mau ikut ke sini?” tawarku meski
aku yakin Arya yang masih Jaim itu gak berani datang. Yah, sekedar usilin dikit
sih.
“Nggak ah, ntar Cuma aku yang paling cantik sendirian!”
Candanya.
Aku hanya tertawa menanggapinya. “Udah dulu ya. Ntar mereka
curiga loh.” Ucapku.
“Ya sudah! Met makan yah Ren! Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar