Minggu, 25 November 2012

Novel | Wajah Kedua (Part 21)


Part 21
My First Love


Setiap habis menerima telepon dari Arya, jantungku selalu saja berdebar-debar. Aku pun kembali masuk ke café. Jadi bingung nih, gimana kalo mereka tanya macem-macem. Siapa yang telepon? Kapan kamu punya HP? Dan pertanyaan-pertanyaan mencurigakan lainnya.
Aku berjalan menghampiri meja makan sambil mencari-cari alasan untuk jawaban pertanyaan mereka nanti. Dan semoga saja mereka nggak nanya sampai detil-detil gitu.
Aku pun duduk kembali di kursiku namun sepertinya raut wajah mereka agak berubah. Mereka tampak serius dan menatapku dengan senyuman. Aku jadi risih. Apa mereka tahu kalo HP ini dari Arya atau tahu kalo yang menelepon tadi Arya? Masa sih? Sejak tadi kan mereka bertiga terlihat duduk dan bercerita sambil kettawa-ketiwi.

“Kami ke toilet dulu yah!” ucap Imel.
“Ikut dong. Masa kalian ninggalin aku sendiri. Kalian sembunyiin sesuatu dari aku kan?” Protesku.
“Nggak ah, kita udah pesan makanan. Tinggal kamu aja yang belum Ren. Jadi sekalian jagain tempat aja biar mbak yang ngantar makanan nanti gak mengira kalo kita udah pulang.” Jelas Imel.
“Oh, gitu yah!” ucapku pasrah.
Dan mereka pun pergi. Imel wajahnya gak bisa membohongiku. Dia pasti menyembunyiin sesuatu. Aku tahu ekspresi wajahnya itu karena setahun kita berteman dengannya ekspresi itu slalu dia tunjukin saat menyembunyikan sesuatu masalah.
Erni tampak senyum-senyum centil. Emang sih Erni selalu seperti ini tapi kali ini terlihat agak beda. Ada kesan senyuman licik dan jahil pada tampang polosnya itu. Aku tahu itu.
Tuti terlihat agak murung seakan-akan takut. Dia jadi agak sungkan dan tidak terlalu blak-blakan tadi. Harusnya di saat aku balik setelah menelepon tadi, dia nanya macam-macam. Sifat slalu ingin tahu masalah atau kejadian tak bisa disembunyikan Tuti. Karena itu dia masuk jadi anggota Pers Sekolah. Dan tadi dia sama sekali tidak menunjukin rasa penasaran dan keingintahuannya itu.
So, kesimpulannya gini. Imel menyembunyikan sesuatu, sesuatu yang surprise banget hingga Erni yang seneng banget soal kerja-mengerjain orang ini tersenyum licik. Tapi sepertinya Tuti gak tega dengan kejutan itu. But kira-kira apa yah kejutan mereka?
“Hi Ren!”
Sebuah suara membuyarkan lamunanku. Aku kenal benar dengan suara ini. Yah, suara yang dulu sangat kurindukan. Suara dari orang yang dulu amat kusayangi. Aku pun menoleh ke belakang untuk memastikannya.
Hatiku terguncang, waktu seakan terhenti dan detak jantungku berdegup kencang. Sosok itu kini berdiri dan menatapku dengan kedua matanya yang selalu menatap tajam.
Erwin. Cinta pertamaku… dia ada di sini. Orang yang mengajarkanku mengenal cinta dan juga orang yang membuatku menangis selama hampir sebulan. Aku tak bisa berkata apa-apa. Mataku mulai berkaca-kaca. Aku bingung mau marah, mau sedih, mau tersenyum. Aku tidak tahu mau apa tubuhku ini. Dan tetesan Air mata ku pun jatuh.
Aku segera pergi meninggalkan tempat ini. Aku malu terlihat menangis di antara keramaian ini. Aku tidak siap bertemu dengan Erwin lagi. Susah payah aku membuang rasa cinta ini padanya tapi dia malah hadir kembali.
Tuti tiba-tiba mencegatku dan memelukku. Aku tak tahan lagi. Sungguh hati ini gak tahan lagi. Aku menangis dalam pelukan Tuti. Aku gak perduli lagi orang-orang di sini mau komentar apa melihatku begini.
Tuti menuntunku perlahan-lahan menuju koridor toilet. Di sini gak ada orang lain dan aku hanya meneteskan air mataku sambil menahan suara isak tangisku. Tubuh Tuti masih membungkusku dalam pelukannya.
“Tuti! Aku harus gimana?” keluhku.
“Tegar Ren. Kamu masih labil. Tenangin diri aja dulu baru temui dia.” Tuti menasihatiku.
“Maaf yah Ren. Aku gak bermaksud buat kamu jadi sedih gini.” Sesal Imel.
Dua tahun ini aku menjalani hari-hari tanpa cinta. Terkadang aku berharap tiba-tiba saja Erwin datang dan kami bisa menjalani hari-hari seperti dulu lagi. Aku punya banyak pertanyaan. Aku punya banyak keluhan. Aku punya banyak cerita yang ingin disampaikan padanya.
 Mengapa aku menangis? Susah payah Tuti menghiburku dan membuatku bisa bangkit lagi. Biasanya orang mencari pelampiasan saat patah hati. Tapi Tuti mengajarkanku untuk bersabar menunggunya. Yah, aku masih bersabar menanti Erwin. Tak ada pernyataan putus dari kami. Mungkin aku bisa memulai lagi. Tapi aku takut…
Jangan sampai kejadian dulu terulang lagi. Saat Erwin tiba-tiba saja pergi dan menghilang. Aku sudah lama tidak berharap lagi padanya. Aku gak boleh ge-er. Mungkin saja dia datang hanya untuk meminta maaf atau untuk membuat pernyataan kalo hubungan ini memang harus putus.
“Gak apa-apa Imel. Thank’s yah udah bawa Erwin. Aku rindu padanya namun aku tidak terlalu berharap juga padanya.” Ucapku.
Tuti melepaskan pelukannya. Kuhapus sisa-sisa sembab karena air mata di wajahku.
“Aku sudah gak apa-apa kok Tut! Maaf yah aku lemah gini.” Ucapku tegar.
“Aku yakin kamu pasti bisa Ren. Kamu udah dua tahun bersabar dan kesabaranmu terbayar hari ini. Aku yakin Erwin pasti mengerti perasaanmu.” Ucap Tuti.
Dan ditemani Tuti serta Imel, aku pun memberanikan diri bertemu Erwin. Cinta pertamaku. Aku yakin diri ini tidak akan terbawa emosi lagi. Ada sahabat-sahabat yang merangkulku. Ada sahabat-sahabat yang menjagaku. Ada sahabat-sahabat yang menemaniku…
Erwin Syahbandi… My First Love…

  

Di meja itu tengah duduk Erwin dan Erni yang menemaninya. Mungkin Erni sudah menjelaskan keadaanku selama ini pada Erwin. Keadaan dan kerapuhan yang aku lalui tanpa dirinya. Dulu Erwin pergi begitu saja dan gak pernah memberi kabar apa-apa.
Erwin tersenyum padaku. “Oh ya, aku punya sesuatu untuk kamu. nih?” Ucapnya.
Sebatang cokelat putih dan boneka teddy bear. Erwin masih ingat hal-hal yang kusukai rupanya. Aku memang sangat suka dengan segala hal yang berbau beruang. Segala aksesorisku pun serba beruang. Tapi apakah hatinya masih memilih aku?
Aku hanya terdiam dan bingung mau terima pemberian Erwin atau tidak.
“Ren! Maafin aku yah? Selama ini aku udah nuduh kamu macam-macam. Kamu tahu gak, selama ini Cuma kamu yang aku pikirkan. Aku pingin kita balikan lagi. Ren! Kamu mau maafin aku?” pinta Erwin.
Aku terharu. Ingin rasanya menangis namun Aku malu tadi sudah menangis dan diperhatiin orang-orang. Untung pengunjung café ini agak dikit. Selain kami, ada sekitar 4 orang lain yang sedang makan juga di sini.
“Erwin! Sejak dulu aku udah maafin kamu kok.” Ucapku dengan nada lemah. Suaraku masih bergetar karena tangisanku tadi. Masih ada sisa kesedihan dalam nada suaraku.
“Ren! Kita balikan lagi yah?” pinta Erwin sekali lagi.
Aku sungguh senang sekali. Tapi aku sudah belajar dari pengalamanku. Aku takut Erwin akan pergi lagi dan tidak mengabari apa-apa. Aku takut akan melewati masa-masa sepi itu sekali lagi.
Aku masih terdiam dan tanganku mulai mengepal karena menggenggam sesuatu. Aku pun melihatnya dan ternyata HP pemberian Arya. Padahal tadi HP ini ada di dalam tasku. Apa mungkin saat aku menangis tadi aku refleks meremas HP ini. Arya…
Aku jadi terngiang suara Arya…
“Makasih yah Ren!”
“Hah? Janji Kelinking?”
“Tanpa menceritakan itu semua kamu udah buat aku tenang.”
“Biarin! Aku pingin jadi yang pertama ngucapin!”
“Nggak, Cuma pingin dengar suaramu saja”
Arya… kini kepalaku mulai dipenuhi Arya. Aku jadi bingung, aku jadi bimbang… Kenapa kini Arya hadir dan seolah memberi harapan cinta padaku. Arya tlah membangkitkan rasa cinta yang telah lama kuhapus. Arya telah membuka hatiku untuk berharap sekali lagi pada yang namanya cinta.
Iya, Arya. Seandainya Erwin datang beberapa bulan lebih cepat. Mungkin aku tanpa ragu akan mengatakan iya. Tapi sekarang…
“Maaf Win! Reni blum bisa kasih kepastian sekarang. Kamu tiba-tiba muncul. Reni gak siap Win!” ucapku.
“Tidak apa-apa, kebetulan aku sedang liburan semester selama dua minggu di sini. Maaf yah sudah ngerusak acara reuni kalian.” Ucap Erwin.
“Kak Erwin gak mau makan bareng?” tanya Erni.
“Maaf Ni! Kakak udah kenyang nih.” jawab Erwin.
Selain aku, Erni, Tuti dan Imel memanggil Erwin dengan sebutan Kakak. Awalnya aku juga memanggilnya Kakak tapi setelah lama jadian, Erwin menyuruhku memanggilnya dengan namanya. Aku jadi terbiasa memanggilnya begitu.
“Ren! Boneka ini dan cokelat ini buat kamu. aku gak mau maksa atau membebani pikiranmu. Apapun keputusan Reni. Aku terima kok.” Ucapnya dan diapun berlalu meninggalkan kami.
Suasana hening mengantar kepergian Erwin. Kami terdiam membisu menatap punggungnya yang menghilang di keremangan malam.
“Ren? Kenapa kamu gak langsung terima aja Kak Erwin?” Erni tampak gregetan lihat sikapku tadi.
“Reni kan masih bingung Ni! Biarkan dia berpikir dulu sejenak.” Bela Imel.
Aku hanya terdiam dan tertunduk sedih. Hatiku benar-benar kacau. Aku benar-benar bingung. Erni datang dan memelukku untuk menenangkanku.
“Sebenarnya aku yang membawa Erwin. Aku ketemu dia di Medan. Dia kuliah di sana. Aku cerita semua yang kamu alami setelah kepergiannya. Maafin aku yah Ren?” jelas Imel.
Imel pun memelukku. Imel dan erni mengapitku dalam pelukan. Pelukan hangat persahabatan kami. Air mataku jatuh sekali lagi namun kali ini aku tidak sendirian. Imel dan Erni pun ikut menitihkan air matanya.
Imel, aku tidak marah. Kamu juga gak salah. Aku senang punya sahabat yang mengerti dan memahami diriku. Aku bersyukur punya kalian yang mau berbagi tawa dan air mata denganku. Aku sangat menyayangi kalian... Gumamku dalam hati.
“KLIK!!!” Tuti tiba-tiba memotret kami.
“Sialan kamu Ti! Aku kan belum siap-siap.” Ucap Imel Kesal.
“Iya Nih! Bilang dong kalo mau motret!” protes Erni.
Aku tak bisa berkata apa-apa. Aku hanya tersenyum saja. Erni dan Imel sudah menemaniku menangis dan kini Tuti membuatku tersenyum. Aku tak boleh menangis dan rapuh. Besok Imel akan balik lagi ke Medan. Jadi malam ini aku harus ceria seperti biasanya. Ayo Ren!
“Hehehe! Ekspresi kalian tadi bagus banget loh.” Tuti nyengir sambil mengangkat tangannya dan membentuk tanda PISS.
“Hmm. Besok siang bisa jadi gak? Aku mau bawa sebagai kenang-kenangan.” Pinta Imel.
 “Sudah pasti itu. Makanya memory Kamera ini sengaja ku kosongkan. Foto-foto pangeran ku buang semua agar kita bisa foto-foto sepuasnya.” Jelas Tuti.
“Yah, usahamu cari uang dengan foto Arya jadi sia-sia dong.” Ucapku.
“Uang itu bisa dicari. Foto pengeran juga bisa didapatkan kapan saja. Mungkin aku bisa jadi penguntit.” Tuti jadi sok dramatis.
Kami jadi tertawa. Aku bahkan melupakan sejenak dilemaku tadi. Dan malam ini kami habiskan dengan canda tawa dan saling berbagi cerita tentang kehidupan kita. Bahkan Imel masih tetap penasaran dengan yang namanya Arya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar