Selasa, 04 Juni 2013

Novel | Smile To Love (Chapter 1)

Chapter 1
Pertemuan Tak Terduga

Aku kembali menjadi terasing. Kembali dibawa ke kehidupan yang baru. Mengapa mereka memutuskan seenaknya. Padahal pindah ataupun tidak tetap saja mereka menganggap rumah sebagai persinggahan sementara, dan bukan sebagai tempat tinggal. Padahal aku telah menemukan cinta ditempatku yang dulu. Aku mulai terbiasa, mulai diterima, mulai mendapat kedamaian. Semua itu karena satu cewek itu, yang menjadi malaikat bagiku. Kini aku harus meninggalkan semua itu cuma gara-gara keegoisan seseorang. Jauh menyebrangi lautan yang luas, kini aku berdiri di daratan yang berbeda dari sebelumnya.  Padahal di sanalah cintaku...

“Den! Sudah sampai.” Suara Pak Udin, supir pribadi keluarga Haryadi, menyadarkan Ricky dari lamunannya.
“Eh! Iya, jadi ini sekolahnya?” Ricky memastikan.
“Iya Den, semua berkas sudah di bereskan minggu lalu sama Pak Hendra. Jadi tinggal melapor ke kepala sekolahnya.” Jelas Pak Udin.
“Oh gitu. Ya udah aku masuk dulu ya.” Ucap Ricky.
“Den! Mau ditemani?”
“Nggak usah. Saya bisa sendiri kok. Pak Udin pulang aja dulu.”


***

“Nama saya Ricky Haryadi. Saya pindah dari Batam karena ikut orang tua yang dipindahkan ke sini.” Ricky mengucapkan sepatah kata perkenalannya di depan kelas dengan tegas namun gak berekspresi.
Seluruh siswa siswi di kelas termasuk pak guru yang duduk di kursinya hening beberapa menit. Mungkin menunggu lanjutan sambutan Ricky yang agak pendek, atau agak aneh mendengar logatnya.
Ricky menatap seluruh kelas dengan tampang bingung. Namun ia tetap diam membisu menunggu pak guru di belakangnya mempersilahkan duduk.
Salah seorang cowok yang duduk di bangku ketiga deretan kursi paling depan berdiri hingga membuat seluruh isi kelas menatapnya penuh tanda tanya. “Selamat Datang di SMU Permata Bangsa. Aku Oscar, ketua kelas di sini. Selamat bergabung di kelas 2 – 4 yang berisik banget.” Ucapnya.
Kontan aja seluruh kelas meng“Huuu”-kan si ketua kelas, bahkan ada yang melemparnya dengan kertas yang dibuat bulat kecil. Tentu saja Pak Guru dan Ricky nggak ikutan. Ricky hanya bengong melihat tingkah orang-orang di depannya, sementara Pak Guru sedang berusaha menenangkan kelas namun tetap aja dicuekin. Pria berumur sekitar 25-an itu terlihat begitu kerepotan menangani murid-murid dihadapannya. Jam terbang mengajarnya sedikit sih.
“Curang, aku juga mau bicara.” Teriak salah seorang cewek di deretan kelima bangku kedua. “Ky! Boleh kan aku panggil begitu? Aku Sari. Kamu tinggal dimana? Udah punya pacar belum? Nomor telepon kamu berapa?” cewek itu mulai nyeluduk dengan pertanyaan bertubi-tubi dan tempo yang sangat cepat. Takut diinterupsi atau didahului yang lain.
Seluruh kelas kembali gaduh. Kali ini cewek-cewek mulai berlomba-lomba mengacungkan tangan, mencari-cari perhatian agar dirinya bisa dipersilahkan bicara, bahkan ada yang langsung bicara tanpa dipersilahkan. Alhasil, semuanya kedengaran seperti mantra pengusir kuntilanak.
“Sudah, sudah, kalo mau kenalan lebih jauh, setelah istirahahat saja. Sekarang kita masuk ke pelajaran.” Pak Guru kembali menenangkan kelasnya. “Kamu boleh duduk. Ada dua bangku kosong di sana. Silahkan pilih sesukanya.” Ucap Pak Guru pada Ricky setelah jerih payahnya untuk menenangkan kelas tidak berhasil. Jika orang yang mau ditanyai udah duduk kelas pasti akan kembali tenang, pikirnya.
Ricky memilih duduk di bangku pojok belakang di dekat jendela. Saat berjalan melewati bangku-bangku, para cewek-cewek mulai memasang gaya termanisnya, bahkan ada yang sempat-sempatnya merapikan dandanannya, menatap dengan senyuman termanisnya, bahkan ada juga cowok yang menatap manja padanya. Nah lho!

***

“Pagi Rin. Kamu di kelas mana?” tanya Hana pada Rina sahabatnya begitu mereka bertemu di depan gerbang sekolah.
“Kenapa? Takut gak sekelas? Aku di kelas 2 – 6.” Jelas Rina.
“Hah? Yang bener? Asyik! Kita sekelas lagi.” Hana sumringah.
“Pasti dong.” Ucap Rina cuek sambil tetap berjalan santai menuju kelasnya.
“Trus, kenapa kemarin nggak masuk? gimana bisa pintar kalo kebanyakan bolosnya sih.” Omel Hana.
Rina tersenyum mendengar ceramah Hana. Ia teringat neneknya yang suka ngasih ceramah. Walaupun suka nasehatin cucunya, nenek Rina tidak dicap sebagai nenek galak. Itu karena neneknya memang baik, pengertian dan nggak ngatur-ngatur. Biasanya nenek Rina hanya menegur ringan. Gaya bicara Hana tadi sangat mirip neneknya. Nggak terdengar seperti marah, terdengar seperti keluhan. Seperti itulah gaya omelan neneknya.
“Nggak. Malas aja.” Jawab Rina singkat.
“Terserah kamu. Ngomong-ngomong, kita slalu sekelas trus ya. Sejak SMP sampai sekarang sudah kelas 2 SMA, sekelas terus. Kayaknya kamu memang ditakdirkan jadi sohib ku.”
“Eit! Jangan lupakan aku. Aku juga sekelas lagi dengan Rina. Mungkin, inilah yang dinamakan takdir cinta. Kita ditakdirkan selalu bersama walaupun engkau nggak mengakuinya, tapi Tuhan sudah mengaturnya demikian.” Muncul seorang cowok dari belakang mereka berucap sok puitis.
“Jaya?” ucap Hana.
“Kamu lagi. Aku bete lihat muka kamu.” Cibir Rina.
“Wah kali ini aku udah mengganti penampilan, jadi kamu nggak bakalan bosen liatin aku.” Komentar Jaya sambil menonjolkan perubahan-perubahan yang ada pada dirinya.
Rani memperhatikan sejenak. Nggak ada perubahan sama sekali baginya. Gelang besi putih yang dulu Cuma ada dua, kini nggak terhitung melingkari tangannya. Kalung berupa tali hitam berganti rantai, rambut jabrik berubah jadi agak cepak plus berwarna kecoklatan, kancing baju yang dulunya terbuka 2 biji sekarang bertambah jadi tiga biji. Selebihnya nggak ada yang berubah sama sekali. Wajah yang dipaksakan mirip preman tapi sebenarnya lebih mirip tampang blo’on, gaya bicara yang sok puitis padahal nilai Bahasa Indonesianya nggak pernah lewat dari 50, wangi parfum murahan yang bikin pusing baunya, gigi agak ompong, tubuh kerempeng, sok kecakepan, sok jadi preman, and masih tahan banting walaupun udah ditolak Rina sepuluh kali.
“Aku malah makin bete.” Ucap Rina dengan ekspresi bete nya.
“Loh kok gitu sih? Aku berubah demi kamu lho? Kurang apa lagi sekarang. Aksesoris? makin mengkilap. Dandanan? makin macho. Style? Paling ngetrend.” Jaya kembali membanggakan perubahannya.
“Tetap aja kamunya nyebelin.” Rina menyindir.
“Lho! Mau kemana Rin? Kelasnya kan ke arah sini.” Tanya Jaya.
“Mau ke toilet. Mau ikut?” ucap Rina penuh ancaman.
“Nggak. Aku nunggu di kelas aja. Duluan ya!” ucapnya lalu berlalu.
Rina udah tau kalo Jaya nggak bakalan ngikutin dia. Soalnya, jalan menuju toilet melewati ruang BP dan juga ruang Kepsek yang merupakan musuh bebuyutan Jaya. Apalagi setelah rambutnya berubah warna gitu, so pasti bakalan diomelin panjang lebar n tinggi. Lho kok jadi rumus kubus.
“Susah juga melepaskan diri. Makanya kamu cari pacar, biar dia nyerah.” Usul Hana.
“Entar malah jatuh korban. Kamu kayak nggak tau dia saja. Tio saja sampai bonyok cuma karena belajar kelompok di rumahku.” Rina memprotes usulan Hana.
Hana hanya menggerutu mendengarnya. Padahal dia Cuma mau ngasih masukan karena kasihan lihat sohibnya yang terus-terusn kelabakan, main kucing-kucingan dan terus-terusan dibuat bete. Semua itu gara-gara seorang cowok berdandan gaya preman dan super pede bernama lengkap Jaya Sutikno. Sudah setahun lebih, cowok itu mengejar-ngejar Rina. Memang sih wajah Rina termasuk top ten cewek-cewek tercantik di sekolah ini. Tapi, nggak cocok banget kalo Jaya sampai naksir berat sama Rina. Kenapa nggak Ellen atau Stela yang punya body paling yahud se antero sekolah. Body Rina kurus karena kebanyakan makan makanan kakek-kakek, trus wajahnya yang ‘baby face’ banget hingga membuat orang pengen mencubit pipinya sangat tidak cocok dengan Jaya yang bertampang napi. Mungkin yang agak cocok adalah IQ mereka berdua. Jaya merupakan peringkat pertama nilai rapot terendah, sedangkan Rina bertengger di posisi ketiga. Mungkin juga Jaya naksir Rina karena kepintaran mereka setara.
“Han! Kemarin ada gosip apa aja?” tanya Rina begitu mereka sampai di toilet.
Hana terdiam sejenak dan berpikir. Jari telunjuk kanannya diletakkan di depan bibirnya lalu matanya melotot keatas. Memang Hana kalo sedang berpikir keras gayanya seperti ini. Hal ini menjadi ciri khasnya. Beberapa detik berpikir, wajah Hana pun tersenyum lalu menjentikan jarinya hingga berbunyi. Kalo ini gaya Hana kalo udah dapat jawaban.
“Ada ya?” tanya Rina memastikan.
“Ada. Kita sekelas bareng Aris. Duh, udah lama banget aku naksir dia. Akhirnya…”
“Aris si maniak bola itu? Jadi kamu sudah jadian?” Rina segera memotong ucapan Hana.
“Belum. Denger dulu orang ngomong sampai selesai baru tanggepin. Jangan langsung heboh duluan.” Ucap Hana.
“Sori!”
“Trus dia jadi ketua kelas lho. Aku senang banget bisa sekelas bareng dia. Dari kelas satu SMP sampai lulus, nggak pernah sekelas. Sudah sekolah di SMA yang sama…”
“Stop!” Rina lagi-lagi memotong kata-kata Hana. “Aku udah tau kisah hidup kamu. Jadi, nggak usah diceritakan panjang lebar. Ada yang lain?” lanjutnya.
Hana agak jengkel ama sohibnya. Namun ia ngalah saja, soalnya mereka nggak sedang curhat, tapi acara ngegosip. Lagian Rina sudah tahu ceritanya, kan dia udah sobatan sejak SMP. “Kemarin kayaknya ada anak baru di kelas sebelah, soalnya rame banget di sebelah. Sepertinya di kelas 2-3 atau 2-4.”
“Anak baru itu mungkin seorang pelawak. Makanya orang-orang di kelas pada heboh dibuatnya. Yah… seperti Aris gitu.” Jelas Rina.
“Mungkin juga.” Hana ikut-ikutan mengakui. Tapi wajahnya sedikit memerah, mungkin karena dia teringat Aris.
“Eh, udah bel tuh. Masuk yuk!” ajak Rina.

***

Bel tanda istirahar telah berbunyi, semua siswa dan siswi SMU Permata Bangsa bernapas lega, bahkan ada yang bersorak gembira mendengar suara itu. Seolah-olah terdengar seperti pengumuman pemenang quis milyaran rupiah dan namanya disebut.
Kantin-kantin, gerobak bakso di luar gerbang sekolah, bahkan toilet pun diserbu oleh para penghuni SMU Permata Bangsa. Ada juga yang santai-santai di kelas, ngumpul-ngumpul di depan kelas sambil ngobrol nggak jelas (memang nggak kedengaran), ada yang berdua-duaan di taman, di ruang BP (yang ini karena ketangkap basah merokok).
Sementara yang lain sedang asyik dengan acaranya masing-masing, Ricky masih duduk di kelas sambil membaca sebuah buku tebal berjudul ‘Musashi’. Cewek-cewek yang mencoba mendekat untuk mencari perhatian nggak digubrisnya. Dia hanya terfokus pada novel dihadapannya. Sikap dinginnya itu membuat orang-orang yang sejak tadi mengelilinginya jadi agak sungkan padanya.
Sudah tiga hari Ricky di kelas ini, tapi belum ada seorangpun yang begitu akrab dengannya. Mungkin hanya Oscar saja yang bicara agak lama dengannya karena disuruh wali kelas mengantarnya keliling sekolah buat memperkenalkan isi sekolah. SMU Permata Bangsa yang merupakan sekolah terbesar di kota ini, memiliki fasilitas paling lengkap dan gedung-gedung besar dengan ruangan-ruangan yang berbagai macam fungsinya. Orang yang baru pertama kali datang butuh seorang pemandu supaya tidak tersesat di dalamnya. Setelah itu, Ricky hanya duduk berdiam diri dan berkutat dengan novel atau majalah tanpa menggubris ajakan ke kantin teman-teman sekelasnya.
“Nggak lapar? Ke kantin yuk?” seorang cowok duduk di sebelahnya lalu menyapanya.
Ricky menatapnya sesaat sambil geleng-geleng lalu kembali ke bacaannya. Biasanya orang-orang langsung pergi setelah mendapat respon seperti itu.
“Lagi baca Musashi? Aku sudah pernah baca lho! Kisah seorang samurai yang menekuni dunia politik trus balik lagi ke dunia samurai.”
Ricky menatapnya agak lama, tak lama kemudian perutnya berbunyi karena cacing-cacing di perut lagi demo minta makan.
“Tuh kan! Nggak usah berlagak so kuat. Ayo ke kantin.” Ucap cowok itu lalu menarik tangan Ricky. Ricky ikut saja sama cowok tersebut.

***

“Eh Rin! Kamu nggak nyoba cari cowok? Apa kamu tahan diganggu sama Jaya.” Ucap Hana lalu menyerut es teh di hadapannya.
“Nggak ada yang lebih kuat dari dia sih?” ucap Rina lalu berdiri dari bangkunya.
Hana langsung ber’hah’ ria. Es teh dihadapannya diteguk semuanya lalu menyusul Rina yang sudah selesai dengan Bakso tenesnya. “Jadi sekarang kamu mulai suka sama dia? Kenapa nggak kamu terima aja cintanya. Kasihan kan dia ngemis-ngemis gitu!” usul Hana.
“Hah! Idih, nggak. Aku tuh pinginnya cowok yang ganteng, tinggi, putih, pintar, atletis, baik. Seperti pangeran di cerita-cerita komik dan novel.” Mata Rina menerawang.
“Mana ada yang seperti itu. Yang kayak gitu cuma ada di novel sama komik doang. Kebanyakan baca komik kamu.” Komentar Hana.
“Tapi aku percaya kok kalo suatu hari nanti pangeranku akan datang…”
“Bruk!” Rina menabrak seseorang sehingga dia pun terjatuh karena orang yang ditabraknya lebih besar badannya.
“Kamu nggak apa-apa kan, Ky?” tanya teman cowok yang ditabrak Rina barusan.
“Nggak.” Ternyata yang ditabrak Rina adalah Ricky. Seragam putih abu-abunya sedikit terkena tumpahan kuah soto yang masih panas yang baru aja dipesannya.
“Kalo jalan liat-liat donk, Rin!” omel teman Ricky.
“Fandi! Kamu kan udah tahu kalo Rina lagi lewat, ngerumpi lagi. Ya jangan lewat dekat-dekat dia.” Hana mencoba membela Rina dari Fandi, cowok yang mengajak Ricky ke kantin tadi.
“Udah Han! Aku yang salah kok.” Rina sudah kembali berdiri sambil menepuk-nepuk kotoran di roknya waktu jatuh. “Sori ya seragam kamu jadi basah. Biar aku ganti makanan kamu.” Ucap Rina pada Ricky yang sedang membersihkan seragamnya dengan saputangannya.
Ricky mengangkat wajahnya lalu menatap ke arah tersangka yang telah membuat dia menjadi belepotan kuah soto. Pandangan mereka saling beradu, Rina pun ikut terpaku dan terpana pada wajah Ricky. Beberapa detik berlalu namun Rina nggak juga lepas dari tatapannya ke Ricky.
“Nggak apa-apa, saya bawa baju kaos kok. Nggak usah diganti juga sotonya, saya mau ke toilet.” Tolak Ricky lalu iapun berlalu.
Rina masih mematung di tempatnya berdiri, padahal Ricky sudah menghilang dari pandangan matanya.
“Rin? Rina?” Hana menggoyang-goyangkan tubuh Rina yang belum terbebas dari sihir batu. Ia pun tersadar kembali.
“Han!” ucap Rina lemah.
“Ada apa?” Tanya Hana.
“Ini bukan mimpi kan?”
Hana menatap aneh pada sohibnya ini, apa dia terhipnotis akibat tatapan mata Ricky tadi? Hana memberi jawaban dengan gelengan kepala.
“Han! Akhirnya ketemu juga sama pangeranku.”
Tatapan aneh Hana kini berubah menjadi tatapan bingung dan curiga. Wah gimana modelnya ya tatapan begitu.
“Kamu kenal sama temannya Fandi tadi?” tanya Rina.
Hana menggeleng. “Emang kenapa? Apa dia pangerannya? Si cowok soto itu?” Hana memastikan dan langsung diiyakan dengan anggukan penuh semangat Rina.


To be continue...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar