Selasa, 04 Juni 2013

Novel | Smile To Love (Chapter 2)

Chapter 2
Pernyataan Cinta Rina


SMU Permata Bangsa masuk pukul 7.15 pada hari jumat, sedangkan hari biasa pada pukul 8.00. Banyak sekali yang sering datang terlambat pada hari ini, tapi masih dapat ditoleransi jika belum lewat pukul 7.30. Batas toleransi keterlambatan di SMU ini hanya 15 menit.
Rina berlari setelah turun dari bis yang berhenti di perempatan jalan menuju sekolahnya. Bukan karena kabur karena nggak bayar ongkos, tapi karena jam tangan pink di tangan kanannya sudah menunjukkan pukul 7.39 menit. Jalur bis kota tidak melewati depan SMU Permata Bangsa, tetapi seratus meter dari sekolah ini, terdapat jalan raya yang dilalui berbagai jenis kendaraan angkutan. Seperti Bis, Metromini dan sejenisnya.
Gerbang sekolah terlihat dari kejauhan telah tertutup rapat dan ada seorang guru yang berada di balik gerbang itu. Sekitar tiga orang murid sedang berdiri mendengarkan ceramah si penjaga gerbang tadi. Rina pun menghentikan langkahnya.

“Yah, bakal kerja rodi nih kalo ketahuan telat lagi.” Umpat Rina lalu berbalik untuk mencari jalan masuk yang lain.
Tidak jauh dari tempat Rina berdiri, sebuah sedan hitam sedang menuju ke arah sekolahnya. Hampir saja Rina menabrak mobil itu kalo saja mobil itu tidak segera ngerem. Seseorang keluar dari dalam mobil itu, dia adalah Ricky yang kemarin habis ditabrak Rina. Hari ini giliran mobilnya yang mau ditabrak Rina.
“Kamu nggak apa-apa?” tanya Ricky.
“Nggak. Kamu… yang kemarin kan?” Rina mulai sumringah. Ia kini makin yakin kalo cowok di hadapannya saat ini adalah pangerannya. Dua kali bertemu dengan momen tabrak-tabrakan dianggapnya sebagai sebuah takdir cinta baginya.
“Pak! Saya jalan dari sini saja.” Ucap Ricky pada supirnya.
Pak Udin sang supir mengangguk mengerti lalu segera berlalu memutar balik mobilnya. Setelah itu, Ricky pun berjalan menuju gerbang sekolah tanpa memperdulikan Rina yang sejak tadi memandangnya lekat-lekat.
“Hey tunggu. Kamu marah ya? Aku sudah bilang sori kan?” Rina berusaha menghentikan langkah Ricky dengan menarik lengannya.
“Saya tidak marah. Tolong lepaskan tangan saya, saya mau masuk.” ucap Ricky sopan.
Rina terpana dengan kata-kata yang keluar dari mulut Ricky. Sangat sopan sekali seperti gaya bicara orang-orang yang biasa tinggal di lingkungan istana.
“Kamu mau masuk? Sudah telat loh! Kalo nggak mau kena marah plus kerja rodi di toilet, mending kamu ikut aku aja, lewat samping.” Bujuk Rina.
“Tapi sekarang masih jam 7.45. Biasanya masuk jam delapan.” Ucap Ricky sambil terus berjalan.
Rina mencegatnya lagi. “Kamu nggak tau ya kalo hari jumat tuh masuknya jam setengah delapan.” Rina menatap Ricky memohon kepercayaannya.
“Kalo memang terlambat, saya tinggal bilang kalo saya murid baru dan belum tahu kalo hari jumat masuk lebih pagi.”
“Kamu belum tahu siapa guru yang lagi berdiri di belakang pagar sih. Pak Togar ‘the killer’, dia nggak bakalan ngerti alasan apapun, cowok atau cewek sama aja. Pernah ada yang baru aja keluar dari rumah sakit tetap aja disuruh jalan jongkok plus plus.” Jelas Rina.
Ricky mengerutkan keningnya hingga keriting. Ia sedang berpikir untuk tetap berjalan melewati gerbang itu dan menerima segala hukuman yang akan diberikan, namun Rina sudah menyeretnya menuju sebuah lorong melewati sudut sekolah.
Di sana terdapat sebuah pohon manggga besar yang tumbuh di luar tembok sekolah. Rina mulai memanjat pohon itu tanpa memperdulikan seragamnya yang terkena batang dan ranting-rangting yang kotor. Cabang batang pohon ini ada yang menuju ke dalam pekarangan sekolah. Setelah mengikuti cabang itu, tembok setinggi dua setengah meter pun terlewati dengan mudah. Setelah itu turun dengan melompat, tapi jangan takut karena landasan dibawah adalah rumput hijau yang empuk. Kalo loncat setinggi dua setengah meter, nggak bakalan masuk rumah sakit apalagi meninggal. Paling parah cuma lecet atau keseleo.
Ricky pun terpaksa mengikuti jejak Rina. Kedua orang itu kini tampak kotor dan berantakan akibat kotoran dari pohon dan keringat yang membuat seragam agak basah.
“Beres kan? Eh… siapa nama kamu? Aku Rina.” Rina memberikan tangannya untuk berjabat.
“Ricky!” ucap Ricky sambil menjabat tangan Rina sesaat, setelah itu berjalan menjauh sambil membersihkan kotoran-kotoran yang menempel di seragamnya.
“Ricky ya…” ucap Rina yang masih terpaku menatap kepergian Ricky dengan senyuman penuh haru. Ia kini telah mengetahui nama pangerannya, selanjutnya tinggal melakukan pendekatan.

***

Seluruh sekolah kini sudah mengenal siapa itu Ricky Haryadi, apalagi cewek-ceweknya. Sudah genap dua minggu ia di sini dan sekarang sudah memasuki minggu ketigaanya di SMU Permata Bangsa ini.
Sejak kejadian hari jumat lalu, Ricky jadi sering ketemu sama Rina secara kebetulan. Rina memang sudah memata-matai Ricky sehingga ia dengan mudah membuat adegan ‘kebetulan’ dengan Ricky setiap hari. Saat Ricky keluar dari toilet, tiba-tiba ada Rina. Saat ke perpustakaan, di sana juga ada Rina. Saat pulang sekolah, ke kantin, ke ruang guru, bahkan saat pulang telat karena piket pun Rina selalu ada.
Ricky yang pada saat pertama kali masuk dikenal pendiam, susah diajak ngobrol apalagi jalan, nggak pernah tersenyum alias tampang bete terus, terkesan angkuh dan sombong ternyata memiliki rasa kepedulian sosial yang tinggi. (Kok bisa ya). Pernah ada seorang pemulung di depan sekolah, diberinya uang sekitar lima puluh ribu. Waktu terjadi keributan di kantin akibat ulah anak kelas tiga, kantin berantakan banget. Ricky ada di sana setelah perkelahian selesai untuk membantu ibu kantin membereskan barang-barangnya yang berceceran. Masih banyak lagi amal yang diperbuatnya yang nggak bisa ditulis karena takut novel ini ketebalan.
Rina yang sibuk menjadi agen FBI yang memata-matai Ricky selama seminggu ini makin berdebar-debar melihat sosok Ricky yang sosialis itu. Ia tak tahan memendam perasaan cinta yang begitu besar kepada Ricky. Akhirnya, siang itu, di kantin sekolah, di saat orang-orang udah pada selesai dengan urusan perutnya dan bersiap masuk kelas, di saat Hana sedang membaca novel di kelas sambil mencuri-curi pandang pada Aris, di saat Aris lagi cerita tentang pertandingan bola semalam, di saat… . Stop! Momennya cukup ini saja. Bisa-bisa nih novel nggak bakalan selesai kalo ngebahas semua momen-momen yang terekam oleh Rina pada detik itu. (Sorry Rin!).
“Ky! Eng…” ucap Rina agak ragu.
“Ada apa? Aku mau ke kelas nih.” Loh, Ricky sudah nggak pake logat malayu super sopannya. Sekarang ‘saya’ nya udah berubah jadi ‘aku’.
“Begini… ak… aku… aku suka sama kamu Ky. Mau nggak pacaran sama aku?” Rina akhirnya menyatakan perasaannya.
Ricky menghela napas panjang, ditatapnya wajah Rina yang tertunduk malu. Dia sedang memikirkan kata-kata penolakan yang nggak membuat sakit hati.
“Terima kasih, aku…”
“YEESSS!!!” Rina udah menarik kesimpulan duluan sebelum mendengar kata-kata Ricky yang terhenti olehnya.
Ricky hanya bengong tanpa ekspresi melihat Rina yang sudah kegeeran duluan.
“TERNYATA AKU NGGAK BERTEPUK SEBELAH TANGAN!” Rina meneriakkan kegembiraannya hingga membuat Ricky geleng-geleng kepala.
“Tunggu dulu, aku nggak bermaksud ngomong gitu. Aku…” Ricky nggak keburu menyelesaikan kata-katanya karena Rina sudah kegeeran duluan dan bersorak sorai seperti baru menang undian.
“Daa Ricky! Aku balik duluan yah! Udah bel nih.” Rina pun berlalu meninggalkan Ricky yang masih jengkel karena kata-katanya nggak didengarkan.
Dasar cewek centil, aku mau nolak malah dikira diterima. Ya sudah, biarin aja. Pacaran atau nggak, memang dia selalu ada disekitarku. Jadi, apa bedanya nanti. Umpat Ricky dalam hatinya.

To be continued...

Tidak ada komentar:

Posting Komentar