Senin, 15 Juli 2013

Novel | Smile To Love (Chapter 3)

Chapter 3
Si Centil Yang Super Usil

Rina memain-mainkan pena yang ada di hadapannya sambil melamun. Ibu Sri yang sedang menjelaskan di depan, tidak terespon oleh panca inderanya dan tidak pula ada dalam lamunannya saat ini. Apalagi rumus-rumus kimia yang tertulis di papan tulis, sama sekali nggak ditengok. Tatapannya melihat ke luar jendela kelas ke lapangan bola dengan pohon-pohon kecil yang berdiri teratur mengitari lapangan itu. Sekali-kali ia terlihat menghela napas panjang seakan semua beban hidupnya ingin dibuang bersama hempasan napasnya. Kadang-kadang senyuman terukir di wajahnya yang manis, entah apa yang dilamunkannya hingga senyuman itu mengembang.

Ibu Sri menyadari adanya keganjilan pada suasana kelasnya kini. Wajah Rina yang memandang keluar jendela terus-menerus, membuatnya terlihat begitu mencolok diantara teman-teman sekelasnya yang memandang lurus ke depan dengan pandangan serius.
“RINA!” Suara Ibu Sri menggelegar ke seluruh penjuru kelas membuat Rina segera kembali ke alam nyata.
“I-i-iya Bu!” ucap Rina, agak gugup dan terbata-bata.
“Kamu nggak perhatikan pelajaran?” tanya Ibu Sri.
“Perhatikan kok, Bu!” Rina mencoba mengelak.
“Kita sedang belajar apa sekarang?” tanya Ibu Sri mencoba memastikan kata-kata Rina.
“Kimia kan Bu?” jawab Rina polos.
“Maksud Ibu, yang sedang kita bahas sekarang.” Jelas Ibu Sri lalu melotot mencoba meminta jawaban pada Rina.
“Eng…” waduh mati deh aku. Rina membisu ia tidak tahu mau menjawab apa.
Hana memberi kode dengan matanya yang mengarah pada tulisan di papan tulis yang bertuliskan “Ikatan-Ikatan Ion”.
Rina pun membacanya dengan pede, dan selamatlah dari cengkraman macan betina. Sepertinya Ibu Sri cukup puas dengan jawaban Rina. Iapun melanjutkan komat-kamitnya.
Kali ini Rina sudah kapok kepergok melamun di kelas. Ia juga ikut-ikutan melototi papan tulis sambil nyatat apa yang tertulis di sana, meski nggak mengerti sama sekali apa yang dia tulis. Mekanisme otaknya nggak bisa menerima simbol-simbol kimia, rumus-rumus Fisika dan Matematika. Kosa kata bahasa Inggris di otaknya pun sangat sedikit. Kalimat bahasa inggris yang dia tahu hanya Happy New Year yang artinya selamat ulang tahun Nek (Neneknya berulang tahun tanggal 1 Januari), dan I love you. Waktu SD dulu, Rina pernah minta diajarin kakeknya untuk mengerjakan tugas matematikanya karena Nenek nggak pernah mencicipi yang namanya sekolah. Rina bertanya sama sang kakek berapa hasilnya 4 + 5? Lalu kakek menjawab “Waktu Kakek sekolah dulu, jawabannya 9. Mungkin sekarang sudah jadi 10.” Alhasil, Rina nggak pernah menanyakan tugas rumahnya pada kakeknya lagi.
Konsentrasi Rina mulai luntur ketika ia melihat Ricky berjalan dari kelasnya. Rina yang kebetulan duduk di dekat jendela terus menatapnya. Sosok Ricky dengan seragam olahraga SMA Permata Bangsa terlihat sangat tampan. Sepertinya kelas XI D sedang pelajaran olah raga di aula sekolah. Kebetulan aula ini bisa berfungsi sebagai lapangan basket, voli dan bulu tangkis. Malah pernah difungsikan sebagai bioskop waktu festival sekolah tahun lalu.
Kali ini Ibu Sri tidak mau melepaskan begitu saja mangsanya. Setelah dipanggil namanya sampai tiga kali, Rina gak juga menggerakkan kepalanya yang terus terpaku pada sosok Ricky. Sebuah bentakan membuat kepalanya kontan berbalik arah ke posisi semula.
Akhirnya Rina bisa bebas memandang Ricky yang sedang berada di ruang olah raga. Jendela aula memang besar-besar hingga seluruh isi aula bisa dilihat dari luar. Loh kok Rina bisa lepas lagi dari macan betina!!!??? Ternyata tidak. Saat ini dia sedang disetrap di luar kelas karena tidak memperhatikan pelajaran Ibu Sri.

Bel istirahat telah berbunyi. Ibu Sri bermaksud untuk menjenguk muridnya yang ia hukum berdiri di luar kelas. Siapa lagi kalau bukan Rina. Walaupun dia yang memberi hukuman, tapi ada rasa iba karena membiarkannya berdiri sendiri. Mungkin saat ini Rina sudah merasa malu dan kapok.
“Hi Ky! Capek ya? Sini aku bawain tasnya.” Suara Rina yang melengking terdengar dari balik pintu kelas.
“YA AMPUN RINA!” suara Ibu Sri yang menggelegar saat berpapasan dengan Rina membuatnya menjadi beku sesaat. Sepertinya ia lupa kalau sedang menjalani masa strap.
Alhasil Rina harus mendengar omelan panjang sebelum istirahat. Sementara Ricky hanya berlalu meninggalkan Rina yang tertunduk malu. Mendengarkan omelan Ibu Sri dan menjadi tontonan kelas lain yang menertawakannya.

***

Sepanjang hari ini, Rina terus mengekor Ricky seperti biasanya (kecuali kalau pelajaran dimulai). Termasuk saat pulang sekolah saat ini. Ricky yang sudah terbiasa bete dengan pemandangan “serba Rina” di sekolah, semakin bete plus plus. Biasanya Rina hanya menyapa atau bertanya-tanya gak jelas, kini makin nempel dan centil. Kadang-kadang main peluk tiba-tiba dari belakang, memanggilnya dengan kata-kata “honey”, “cayang”, “my love” dan sebangsanya. Kadang-kadang suka usil seperti mengganti pena Ricky dengan pena warna pink miliknya sehingga buku catatan Ricky seperti buku diarynya cewek.
Kira-kira sudah seminggu berlalu sejak peristiwa penembakan Rina di kantin. Ricky hanya pasrah diperlakukan seenaknya sama Rina. Asal tidak sampai keterlaluan. Sejauh ini perilaku Rina sebagai pacar dianggapnya sebagai kecentilan belaka, tidak ada yang romantis bersamanya.
Ricky biasanya pulang agak terlambat karena setelah pulang ia masih harus sosialisasi sekolah bareng Oscar sekitar 15 menit. Hari ini hari terakhir Oscar menemaninya memperkenalkan sekolah ini. SMA Permata Bangsa memiliki berbagai fasilitas seperti Aula Besar sebagai lapangan olah raga indoor atau tempat penyelenggaraan pentas siswa, ada juga Musollah, Perpustakaan, Lab. Bahasa, Kimia, Fisika, Matematika, Biologi, Komputer, Dapur Siswa untuk ekskul keterampilan, Studio Musik, Studio Radio, Koperasi, Kantin, dan dua buah gedung berlantai 3 yang berisi kantor dan ruangan kelas, dan masih banyak lagi fasilitas lain yang nggak sempat disebutin karena ini novel cinta dan bukan buku biografi sekolah. He he he…
Saat ini Ricky sudah berada dalam mobil Pak Udin, supirnya. Saat mobil baru berjalan beberapa meter, terdengar teriakan Rina yang memanggil namanya.
Ricky menoleh kebelakang dan melihat dari balik kaca mobil. Terlihat Rina sedang berlari mencoba mengejar mobil Ricky. Gila benar nih cewek, nekat atau sinting kali, mau balapan sama mobil.
“Pak, jalan Pak.” Ricky memberi komando pada Pak Udin sehingga kini jarak Rina dan mobil Ricky semakin jauh dan menghilang di pertigaan jalan.
Jadi, lomba lari dimenangkan oleh Pak Udin setelah meninggalkan jauh lawannya, yaitu Rina yang kini sedang ngos-ngosan sambil tertunduk lemas.
“Yahhh! Dhiah henggah dhengar kali… padahal udah triak phaling khenceng sampe lari-lari ghini.” Ucap Rina terengah-engah karena kecapaian.
“Ya ampun Non! Keringatan gitu? Habis lari yah?” ucap seorang tukang becak yang sedang lewat.
“Iya.” Jawab Rina simpel, karena nggak mau buang-buang energi untuk kata-kata yang panjang.
“Loh! Marah ya!” si tukang becak mengira jawaban Rina yang simpel itu karena emosi. Karena biasanya Rina kebanyakan bicaranya.
“Nggak Pak No. Rina nggak marah. Emang beneren kok habis lari. Dari depan sekolah sampai sini.” Jelas Rina sambil nunjukin jalur larinya tadi. Kira-kira sekitar 200 meter lebih. Napasnya kini sudah teratur dan sudah bisa berdiri tegap.
“Ya ampun Non. Kok bisa lari-lari gitu. Kenapa?” tanya Pak No si tukang becak sambil geleng-geleng kepala.
Akhirnya Pak No percaya juga setelah melihat pakaian Rina yang kusut penuh peluh keringat. Pak No yang bernama lengkap Supriyatno ini adalah tetangga dekat rumah Rina. Rumah Rina terletak di kompleks perumahan sederhana yang tidak memiliki akses mobil, namun daerah itu tidak terlalu padat sehingga tidak terkesan kumuh.
“Tadi lagi ngejar teman, tapi keburu pergi duluan pake mobil. Dipanggil sampe triak-teriak, nggak dengar. Jadi aku kejar saja, siapa tau keburu.” Jelas Rina sehingga membuat Pak No yang sejak tadi geleng-geleng makin geleng-geleng. Duh gimana modelnya tuh?
“Ya sudah sini Pak No anterin pulang, tadi habis antar penumpang ke daerah sini jadi sekalian Bapak mau pulang ke rumah.” Ucap Pak No.
“Wah makasih banget Pak.” Ucap Rina karena mendapat tumpangan gratis ke rumah. Sebenarnya dia mau membayar Pak No, tapi biasanya ditolak.

***

“Siapa cewek tadi den?” tanya Pak Udin.
“Cewek Usil.” Jawab Ricky cuek. Sementara pak Udin hanya tersenyum kecil.
Saat ini, Ricky telah sampai di halaman rumahnya. Rumah megah di kawasan pemukiman elit ini memiliki halaman yang luas. Biasanya Pak Udin hanya memarkir mobil di halaman saja. Soalnya agak repot kalo harus masuk keluar garasi mobil.
Seorang wanita tua dan agak gemuk membukakan pintu rumah dan menyambut Ricky. Dia mengenakan daster biru dan terlihat agak lusuh.
“Bi, sepertinya Mama datang ya?” tanya Ricky pada sang Bibi yang biasa dipanggil Bi Inah oleh Ricky.
“Iya den. Tadi pagi baru datang, sekarang sedang makan siang di dapur.” Jelas Bi Inah.
“Oh. Ya sudah.” Ucap Ricky lalu berlalu menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.
Setelah mengganti pakaiannya, Ricky pun segera turun ke dapur untuk menyapa Mamanya.
“Proyeknya sudah selesai ya?” tanya Ricky setelah bertemu dengan ibunya.
“Sudah. Tapi Mama dapat proyek lagi. Kali ini di Lombok.” Jawab Ibunya sambil melihat-lihat tumpukan kertas dihadapannya.
Ricky hanya ber-oh lalu duduk di meja makan. Setelah itu suasana menjadi kaku setelah Ibunya kembali menekuni dokumen-dokumen di hadapannya. Ibunya Ricky adalah seorang pebisnis handal dengan perusahaan kontraktornya, sedangkan ayahnya seorang pengusaha yang memiliki sebuah perusahaan makanan besar di Indonesia. Oleh sebab itu mereka berdua jarang sekali berada di rumah.
“Kapan pergi ke sana?” tanya Ricky mencoba memecahkan kebuntuan.
“Dua hari lagi. Kalo ada apa-apa saya sudah suruh om Roby untuk mengawasi kamu.” Ucap Ibunya sambil tetap memperhatikan kertas yang serius dibacanya.
Ricky kembali terdiam. Entah kenapa pikirannya kali ini tertuju pada Rina. Sosok Rina yang sedang mengejar mobil Pak Udin dengan sekuat tenaga. Entah apa sih maunya itu cewek. Mudah-mudahan besok dia sudah kapok. Ricky terus melamun tanpa sadar kalo piring di hadapannya sedang asyik menontonnya.
Lamunannya kini semakin jauh ke hari-hari sebelumnya saat Rina mati-matian mempertahankan ucapannya pada geng cewek-cewek di kelas XI D saat istirahat. Rina mengaku kalo dirinya telah berpacaran pada Ricky namun tidak dipercayai oleh cewek-cewek seantero kelas. Ricky pun tidak menyangkal atau mengiyakan kata-kata Rina yang mencoba meminta penjelasan Ricky. Ricky hanya cuek dan mendengarkan lagu lewat ipod nya. Sebenarnya Ricky ingin menyangkal namun ia kasihan melihat Rina. Jika ia menyangkal, Rina pasti merasa malu dan diperolok oleh gerombolan cewek-cewek.
Ricky pun teringat saat sedang bermain bola basket, Rina terus-terusan memandang Ricky dan tanpa sadar, Bola sedang mengarah ke arahnya hingga bertubrukan dengan kepalanya sampai pingsan. ia pun terpaksa membawanya ke Ruang UKS.
Pernah juga Rina seharian penuh mengekor Ricky. Berjalan dengan langkah mungilnya untuk mensejajarkan langkah Ricky yang panjang-panjang. Alhasil Rina kecapaian hingga perutnya sakit. Lho! Kok bisa ya?
Ricky tersadar dari lamunannya saat Mama mulai memperhatikannya dengan pandangan curiga.
“Kamu kenapa?” tanya Mama.
“Tidak.” Ucap Ricky sambil menghela napas panjang. “Saya cuma heran, kenapa Mama begitu senangnya bekerja. Padahal Papa sudah sukses begitu. Kenapa Mama tidak berhenti saja dan istirahat?” lanjut Ricky. Ada nada menyindir dari ucapannya.
“Ada apa sih? Kamu kan tau kalo utang Papa itu banyak dan hampir bangkrut. Kalo Mama tidak bekerja, mungkin sekarang kita sudah tinggal di gubuk.” Jelas Mama.
“IYA! Saya sudah tahu dan bosan dengan alasan itu. Kalo mau pergi lagi, ya pergi. Tidak perlu singgah-singgah di rumah segala.” Ricky membentak hingga membuat Mama memandang lekat padanya dengan pandangan marah.
“Kamu tidak senang Mama pulang ya.” Ucap Mama setelah meredakan sedikit amarahnya.
“Mama tidak mengerti!” ucap Ricky lalu meninggalkan ruang makan.
Ricky kembali ke kamarnya dan duduk di meja belajarnya sambil memandang fotonya dan kedua orang tuanya. Ia rindu masa-masa kecilnya saat kedua orang tuanya selalu ada menemaninya. Memuji nilai-nilainya dan terkadang memeriksa pekerjaan rumah Ricky.

Namun kini keduanya telah sibuk dengan dunianya masing-masing. Kehangatan keluarga… itulah yang Ricky butuhkan untuk membuatnya bergairah dan ceria untuk menjalani hidupnya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar