Chapter
3
Si
Centil Yang Super Usil
Rina memain-mainkan
pena yang ada di hadapannya sambil melamun. Ibu Sri yang sedang menjelaskan di
depan, tidak terespon oleh panca inderanya dan tidak pula ada dalam lamunannya
saat ini. Apalagi rumus-rumus kimia yang tertulis di papan tulis, sama sekali
nggak ditengok. Tatapannya melihat ke luar jendela kelas ke lapangan bola
dengan pohon-pohon kecil yang berdiri teratur mengitari lapangan itu.
Sekali-kali ia terlihat menghela napas panjang seakan semua beban hidupnya
ingin dibuang bersama hempasan napasnya. Kadang-kadang senyuman terukir di
wajahnya yang manis, entah apa yang dilamunkannya hingga senyuman itu
mengembang.
Ibu Sri menyadari
adanya keganjilan pada suasana kelasnya kini. Wajah Rina yang memandang keluar
jendela terus-menerus, membuatnya terlihat begitu mencolok diantara teman-teman
sekelasnya yang memandang lurus ke depan dengan pandangan serius.
“RINA!” Suara Ibu Sri
menggelegar ke seluruh penjuru kelas membuat Rina segera kembali ke alam nyata.
“I-i-iya Bu!” ucap
Rina, agak gugup dan terbata-bata.
“Kamu nggak perhatikan
pelajaran?” tanya Ibu Sri.
“Perhatikan kok, Bu!”
Rina mencoba mengelak.
“Kita sedang belajar
apa sekarang?” tanya Ibu Sri mencoba memastikan kata-kata Rina.
“Kimia kan Bu?” jawab
Rina polos.
“Maksud Ibu, yang
sedang kita bahas sekarang.” Jelas Ibu Sri lalu melotot mencoba meminta jawaban
pada Rina.
“Eng…” waduh mati
deh aku. Rina membisu ia tidak tahu mau menjawab apa.
Hana memberi kode
dengan matanya yang mengarah pada tulisan di papan tulis yang bertuliskan
“Ikatan-Ikatan Ion”.
Rina pun membacanya
dengan pede, dan selamatlah dari cengkraman macan betina. Sepertinya Ibu Sri
cukup puas dengan jawaban Rina. Iapun melanjutkan komat-kamitnya.
Kali ini Rina sudah
kapok kepergok melamun di kelas. Ia juga ikut-ikutan melototi papan tulis
sambil nyatat apa yang tertulis di sana, meski nggak mengerti sama sekali apa
yang dia tulis. Mekanisme otaknya nggak bisa menerima simbol-simbol kimia,
rumus-rumus Fisika dan Matematika. Kosa kata bahasa Inggris di otaknya pun
sangat sedikit. Kalimat bahasa inggris yang dia tahu hanya Happy New Year yang
artinya selamat ulang tahun Nek (Neneknya berulang tahun tanggal 1 Januari), dan
I love you. Waktu SD dulu, Rina pernah minta diajarin kakeknya untuk
mengerjakan tugas matematikanya karena Nenek nggak pernah mencicipi yang
namanya sekolah. Rina bertanya sama sang kakek berapa hasilnya 4 + 5? Lalu
kakek menjawab “Waktu Kakek sekolah dulu, jawabannya 9. Mungkin sekarang sudah
jadi 10.” Alhasil, Rina nggak pernah menanyakan tugas rumahnya pada kakeknya
lagi.
Konsentrasi Rina mulai
luntur ketika ia melihat Ricky berjalan dari kelasnya. Rina yang kebetulan
duduk di dekat jendela terus menatapnya. Sosok Ricky dengan seragam olahraga SMA
Permata Bangsa terlihat sangat tampan. Sepertinya kelas XI D sedang pelajaran
olah raga di aula sekolah. Kebetulan aula ini bisa berfungsi sebagai lapangan
basket, voli dan bulu tangkis. Malah pernah difungsikan sebagai bioskop waktu
festival sekolah tahun lalu.
Kali ini Ibu Sri tidak
mau melepaskan begitu saja mangsanya. Setelah dipanggil namanya sampai tiga
kali, Rina gak juga menggerakkan kepalanya yang terus terpaku pada sosok Ricky.
Sebuah bentakan membuat kepalanya kontan berbalik arah ke posisi semula.
Akhirnya Rina bisa
bebas memandang Ricky yang sedang berada di ruang olah raga. Jendela aula
memang besar-besar hingga seluruh isi aula bisa dilihat dari luar. Loh kok Rina
bisa lepas lagi dari macan betina!!!??? Ternyata tidak. Saat ini dia sedang
disetrap di luar kelas karena tidak memperhatikan pelajaran Ibu Sri.
Bel istirahat telah
berbunyi. Ibu Sri bermaksud untuk menjenguk muridnya yang ia hukum berdiri di
luar kelas. Siapa lagi kalau bukan Rina. Walaupun dia yang memberi hukuman,
tapi ada rasa iba karena membiarkannya berdiri sendiri. Mungkin saat ini Rina
sudah merasa malu dan kapok.
“Hi Ky! Capek ya? Sini
aku bawain tasnya.” Suara Rina yang melengking terdengar dari balik pintu
kelas.
“YA AMPUN RINA!” suara
Ibu Sri yang menggelegar saat berpapasan dengan Rina membuatnya menjadi beku
sesaat. Sepertinya ia lupa kalau sedang menjalani masa strap.
Alhasil Rina harus
mendengar omelan panjang sebelum istirahat. Sementara Ricky hanya berlalu meninggalkan
Rina yang tertunduk malu. Mendengarkan omelan Ibu Sri dan menjadi tontonan
kelas lain yang menertawakannya.
***
Sepanjang hari ini,
Rina terus mengekor Ricky seperti biasanya (kecuali kalau pelajaran dimulai).
Termasuk saat pulang sekolah saat ini. Ricky yang sudah terbiasa bete dengan
pemandangan “serba Rina” di sekolah, semakin bete plus plus. Biasanya Rina
hanya menyapa atau bertanya-tanya gak jelas, kini makin nempel dan centil.
Kadang-kadang main peluk tiba-tiba dari belakang, memanggilnya dengan kata-kata
“honey”, “cayang”, “my love” dan sebangsanya. Kadang-kadang suka usil seperti
mengganti pena Ricky dengan pena warna pink miliknya sehingga buku catatan
Ricky seperti buku diarynya cewek.
Kira-kira sudah
seminggu berlalu sejak peristiwa penembakan Rina di kantin. Ricky hanya pasrah
diperlakukan seenaknya sama Rina. Asal tidak sampai keterlaluan. Sejauh ini
perilaku Rina sebagai pacar dianggapnya sebagai kecentilan belaka, tidak ada
yang romantis bersamanya.
Ricky biasanya pulang
agak terlambat karena setelah pulang ia masih harus sosialisasi sekolah bareng
Oscar sekitar 15 menit. Hari ini hari terakhir Oscar menemaninya memperkenalkan
sekolah ini. SMA Permata Bangsa memiliki berbagai fasilitas seperti Aula Besar
sebagai lapangan olah raga indoor atau tempat penyelenggaraan pentas siswa, ada
juga Musollah, Perpustakaan, Lab. Bahasa, Kimia, Fisika, Matematika, Biologi,
Komputer, Dapur Siswa untuk ekskul keterampilan, Studio Musik, Studio Radio,
Koperasi, Kantin, dan dua buah gedung berlantai 3 yang berisi kantor dan
ruangan kelas, dan masih banyak lagi fasilitas lain yang nggak sempat disebutin
karena ini novel cinta dan bukan buku biografi sekolah. He he he…
Saat ini Ricky sudah
berada dalam mobil Pak Udin, supirnya. Saat mobil baru berjalan beberapa meter,
terdengar teriakan Rina yang memanggil namanya.
Ricky menoleh
kebelakang dan melihat dari balik kaca mobil. Terlihat Rina sedang berlari mencoba
mengejar mobil Ricky. Gila benar nih cewek, nekat atau sinting kali, mau
balapan sama mobil.
“Pak, jalan Pak.” Ricky
memberi komando pada Pak Udin sehingga kini jarak Rina dan mobil Ricky semakin
jauh dan menghilang di pertigaan jalan.
Jadi, lomba lari
dimenangkan oleh Pak Udin setelah meninggalkan jauh lawannya, yaitu Rina yang
kini sedang ngos-ngosan sambil tertunduk lemas.
“Yahhh! Dhiah henggah
dhengar kali… padahal udah triak phaling khenceng sampe lari-lari ghini.” Ucap
Rina terengah-engah karena kecapaian.
“Ya ampun Non!
Keringatan gitu? Habis lari yah?” ucap seorang tukang becak yang sedang lewat.
“Iya.” Jawab Rina
simpel, karena nggak mau buang-buang energi untuk kata-kata yang panjang.
“Loh! Marah ya!” si
tukang becak mengira jawaban Rina yang simpel itu karena emosi. Karena biasanya
Rina kebanyakan bicaranya.
“Nggak Pak No. Rina
nggak marah. Emang beneren kok habis lari. Dari depan sekolah sampai sini.”
Jelas Rina sambil nunjukin jalur larinya tadi. Kira-kira sekitar 200 meter
lebih. Napasnya kini sudah teratur dan sudah bisa berdiri tegap.
“Ya ampun Non. Kok bisa
lari-lari gitu. Kenapa?” tanya Pak No si tukang becak sambil geleng-geleng
kepala.
Akhirnya Pak No percaya
juga setelah melihat pakaian Rina yang kusut penuh peluh keringat. Pak No yang
bernama lengkap Supriyatno ini adalah tetangga dekat rumah Rina. Rumah Rina
terletak di kompleks perumahan sederhana yang tidak memiliki akses mobil, namun
daerah itu tidak terlalu padat sehingga tidak terkesan kumuh.
“Tadi lagi ngejar
teman, tapi keburu pergi duluan pake mobil. Dipanggil sampe triak-teriak, nggak
dengar. Jadi aku kejar saja, siapa tau keburu.” Jelas Rina sehingga membuat Pak
No yang sejak tadi geleng-geleng makin geleng-geleng. Duh gimana modelnya tuh?
“Ya sudah sini Pak No
anterin pulang, tadi habis antar penumpang ke daerah sini jadi sekalian Bapak
mau pulang ke rumah.” Ucap Pak No.
“Wah makasih banget
Pak.” Ucap Rina karena mendapat tumpangan gratis ke rumah. Sebenarnya dia mau
membayar Pak No, tapi biasanya ditolak.
***
“Siapa cewek tadi den?”
tanya Pak Udin.
“Cewek Usil.” Jawab
Ricky cuek. Sementara pak Udin hanya tersenyum kecil.
Saat ini, Ricky telah
sampai di halaman rumahnya. Rumah megah di kawasan pemukiman elit ini memiliki
halaman yang luas. Biasanya Pak Udin hanya memarkir mobil di halaman saja.
Soalnya agak repot kalo harus masuk keluar garasi mobil.
Seorang wanita tua dan
agak gemuk membukakan pintu rumah dan menyambut Ricky. Dia mengenakan daster
biru dan terlihat agak lusuh.
“Bi, sepertinya Mama
datang ya?” tanya Ricky pada sang Bibi yang biasa dipanggil Bi Inah oleh Ricky.
“Iya den. Tadi pagi
baru datang, sekarang sedang makan siang di dapur.” Jelas Bi Inah.
“Oh. Ya sudah.” Ucap
Ricky lalu berlalu menuju kamarnya yang terletak di lantai dua.
Setelah mengganti
pakaiannya, Ricky pun segera turun ke dapur untuk menyapa Mamanya.
“Proyeknya sudah
selesai ya?” tanya Ricky setelah bertemu dengan ibunya.
“Sudah. Tapi Mama dapat
proyek lagi. Kali ini di Lombok.” Jawab Ibunya sambil melihat-lihat tumpukan
kertas dihadapannya.
Ricky hanya ber-oh lalu
duduk di meja makan. Setelah itu suasana menjadi kaku setelah Ibunya kembali menekuni
dokumen-dokumen di hadapannya. Ibunya Ricky adalah seorang pebisnis handal
dengan perusahaan kontraktornya, sedangkan ayahnya seorang pengusaha yang
memiliki sebuah perusahaan makanan besar di Indonesia. Oleh sebab itu mereka
berdua jarang sekali berada di rumah.
“Kapan pergi ke sana?”
tanya Ricky mencoba memecahkan kebuntuan.
“Dua hari lagi. Kalo
ada apa-apa saya sudah suruh om Roby untuk mengawasi kamu.” Ucap Ibunya sambil
tetap memperhatikan kertas yang serius dibacanya.
Ricky kembali terdiam.
Entah kenapa pikirannya kali ini tertuju pada Rina. Sosok Rina yang sedang
mengejar mobil Pak Udin dengan sekuat tenaga. Entah apa sih maunya itu cewek.
Mudah-mudahan besok dia sudah kapok. Ricky terus melamun tanpa sadar kalo
piring di hadapannya sedang asyik menontonnya.
Lamunannya kini semakin
jauh ke hari-hari sebelumnya saat Rina mati-matian mempertahankan ucapannya pada
geng cewek-cewek di kelas XI D saat istirahat. Rina mengaku kalo dirinya telah
berpacaran pada Ricky namun tidak dipercayai oleh cewek-cewek seantero kelas.
Ricky pun tidak menyangkal atau mengiyakan kata-kata Rina yang mencoba meminta
penjelasan Ricky. Ricky hanya cuek dan mendengarkan lagu lewat ipod nya.
Sebenarnya Ricky ingin menyangkal namun ia kasihan melihat Rina. Jika ia menyangkal,
Rina pasti merasa malu dan diperolok oleh gerombolan cewek-cewek.
Ricky pun teringat saat
sedang bermain bola basket, Rina terus-terusan memandang Ricky dan tanpa sadar,
Bola sedang mengarah ke arahnya hingga bertubrukan dengan kepalanya sampai
pingsan. ia pun terpaksa membawanya ke Ruang UKS.
Pernah juga Rina
seharian penuh mengekor Ricky. Berjalan dengan langkah mungilnya untuk
mensejajarkan langkah Ricky yang panjang-panjang. Alhasil Rina kecapaian hingga
perutnya sakit. Lho! Kok bisa ya?
Ricky tersadar dari
lamunannya saat Mama mulai memperhatikannya dengan pandangan curiga.
“Kamu kenapa?” tanya
Mama.
“Tidak.” Ucap Ricky
sambil menghela napas panjang. “Saya cuma heran, kenapa Mama begitu senangnya
bekerja. Padahal Papa sudah sukses begitu. Kenapa Mama tidak berhenti saja dan
istirahat?” lanjut Ricky. Ada nada menyindir dari ucapannya.
“Ada apa sih? Kamu kan
tau kalo utang Papa itu banyak dan hampir bangkrut. Kalo Mama tidak bekerja,
mungkin sekarang kita sudah tinggal di gubuk.” Jelas Mama.
“IYA! Saya sudah tahu
dan bosan dengan alasan itu. Kalo mau pergi lagi, ya pergi. Tidak perlu
singgah-singgah di rumah segala.” Ricky membentak hingga membuat Mama memandang
lekat padanya dengan pandangan marah.
“Kamu tidak senang Mama
pulang ya.” Ucap Mama setelah meredakan sedikit amarahnya.
“Mama tidak mengerti!”
ucap Ricky lalu meninggalkan ruang makan.
Ricky kembali ke
kamarnya dan duduk di meja belajarnya sambil memandang fotonya dan kedua orang
tuanya. Ia rindu masa-masa kecilnya saat kedua orang tuanya selalu ada
menemaninya. Memuji nilai-nilainya dan terkadang memeriksa pekerjaan rumah
Ricky.
Namun kini keduanya
telah sibuk dengan dunianya masing-masing. Kehangatan keluarga… itulah yang
Ricky butuhkan untuk membuatnya bergairah dan ceria untuk menjalani hidupnya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar