Jumat, 22 Juni 2012

Novel | Wajah Kedua (Part 16)


Part 16
Istana Sang Pangeran


Tak terasa perjalanan selama dua puluh menit terlewati dan Mobil ini pun mulai masuk ke sebuah pemukiman elit. Sebuah gerbang pagar besar berwarna cokelat terbuka lebar karena sebuah klakson dari Mang Jana. Orang-orang di dalam sepertinya udah hapal benar dengan bunyi klakson mobil ini.
Mobil pun masuk ke tempat parkiran kecil di dalam rumah. Aku terkagum-kagum dengan rumah ini. Rumah yang mewah sekali. Aku jadi bingung mau menggambarkan rumah ini gimana. Yang pasti ini bukan rumah, tapi istana. Istana tempat tinggal pangeran Arya. Hadeh, jadi ngeyel deh aku.

Terdapat dua buah gerbang pada pagar rumah ini. Gerbang yang pertama terlihat jalanan yang langsung masuk menuju halaman depan gedung rumah Arya. Dan di gerbang kedua yang dimasuki Mang Jana tadi, adalah gerbang yang menuju tempat parkiran mobil. Dari gerbang pagar tadi terdapat sebuah rumah kecil sebagai garasi. Di dalam garasi yang terpisah sendiri itu terdapat 4 buah mobil yang sedang terparkir.
Halaman rumah ini pun sangat luas dengan taman-taman cantik yang hijau. Bunga-bunga aneka warna pun tumbuh dimana-mana yang mempercantik pekarangannya. Ada beberapa ekor rusa yang berlari-lari di halaman rumah. Dari balik gedung ini samar-samar terlihat kolam renang di belakang rumah. Bahkan di belakang garasi ini ada lapangan basket mininya loh. Busyet deh.
Keep focus Ren. Jangan jadi cewek udik gitu ah. Tapi gimana yah kalau ketemu orangtuanya Arya? Nanti mereka pikir aku ini cewek lancang udah berani-berani ngedekatin anaknya. Seorang gadis biasa sepertiku tak pantas untuk seorang pangeran seperti Arya.
“Lewat sini Neng.” Mang Jana menunjukkan jalan lewat pintu samping rumah.
Aku berjalan melewati taman luas yang ditumbuhi pohon-pohon rindang yang menghiasi dua sisi jalan kecil ini. Setidaknya dari tempat Mang Jana Parkir ke gedung ini berjarak 20 meteran lah. Jantungku jadi semakin berdebar-debar saja.
Kamipun masuk ke sebuah pintu besar dengan pahatan unik ini. Sepertinya pintu ini terbuat dari kayu damar. Tidak cocok di bilang sebagai pintu samping. Pintu samping rumah di rumahku saja terbuat dari seng.
Seseorang keluar dari balik pintu itu. Aku jadi berdebar-debar. Apakah Arya, Kak Wina atau papi maminya Arya…
“Bi! Ini temennya Den Arya. Anterin yah Bi?” Mang Jana menyerahkanku pada seorang wanita gemuk yang dipanggil Bibi ini. Sepertinya dia salah satu pembantu di rumah ini.
Ternyata yang keluar adalah bibi pembantu ini. Jantungku jadi agak lega sedikit.
“Wah, cantiknya. Namanya siapa Non?” puji bibi.
Aku jadi agak tersipu dengan pujian bibi ini. Jangan-jangan Arya mau… Eh, jangan berpikir yang nggak-nggak deh Ren. “Makasih Bi! Aku Reni.” Jawabku kemudian.
Bibi ini mengantarku masuk dan menaiki tangga. Rumah ini sepertinya berlantai 3 atau empat. Entahlah aku tak bisa menebak dari sini. Kalo aku tinggal di sini, pasti bakalan tersesat deh.
“Den Arya ada di kamarnya di atas. Dia masih belum bisa gerak.” Jelas Bibi.
Aku hanya manggut-manggut mengerti dengan penjelasan Bibi. Sepertinya Bibi ini lumayan cerewet juga.
“Bibi heran juga loh Non! Den Arya gak pernah bawa teman ke rumah. Apalagi teman cewek.” Jelas Bibi.
Aku jadi makin tersipu plus berdebar-debar. Sepertinya aku mendapat perlakuan khusus nih dari Arya. Tapi gak boleh ge-er Ren.
“Loh! Reni?” sebuah suara terdengar.
Ternyata Kak Wina ada di rumah. Wah, gimana tanggepannya nih liat aku disini. Aku jadi gugup nih. Kak Wina paling suka usil dan godain aku sama Arya. Sepertinya Kak Wina pikir aku dan Arya pacaran.
“Eng! Itu Kak, Arya manggil. Katanya lagi butuh pertolongan.” Ucapku sambil keringat dingin.
“Aya nih, koq nyuruh-nyuruh cewek datang ke rumah sih. Cowok tuh harus gentlemen dan ngejemput sendiri pujaan hatinya.” Kak Wina mulai berkoar.
Nah, tuh kan. Bener apa kubilang, Kak Wina tuh paling suka godain deh. Tapi syukurlah aku gak ditanggepin macem-macem. Aku hanya tertunduk malu dengan wajah panikku.
“Kak Wina nih, godaain mulu ah!” Keluhku.
“Tapi ucapanku benar kan Bi? Pasti romantis banget tuh!” timpal Kak Wina.
“Bener Non Wina. Non Reni kan cantik. Pantes buat Den Arya.” Bibi malah ikutan godain aku.
Aku jadi makin tersipu. Wajahku makin memerah aja. Apa mereka sengaja ngatur biar aku jadian sama Arya? Oh, teganya!
Tanpa terasa kita sudah di depan kamar Arya.
“Mau minum apa nih Ren?” tawar Kak Wina.
“Gak usah repot kak!” aku menolak dengan halus.
“Ya udah, Bi buatin Jus Jeruk dua. Oh ya, Bawain cake yang tadi aku beli juga yah?” Kak Wina memberi komando pada Bibi.
“Rebes Non!” Bibi pun kembali ke dapur.
Enak banget yah punya pembantu, pingin ini itu ada yang buatin. Kak Wina juga baik banget. Awalnya kupikir orang-orang kaya tuh judes dan suka milih-milih teman. Apalagi kalo memiliki darah bangsawan seperti Arya dan Kak Wina. Tapi Kak Wina nih beda banget pokoknya.
Kak Wina, udah cantik, kaya berdarah bangsawan, baek, gaul pasti asyik punya kakak cewek seperti Kak Wina. Aku jadi agak iri dengan Arya. Aku tiga bersodara dan memiliki kakak dan adik cowok semua. Kak Farid dan Randi si bungsu.
Aku pingin punya kakak cewek juga, sebagai tempat curhat dan teman jalan. Kira-kira Kak Wina mau gak yah jadi kakakku? Upz, Ntar dia mikirnya dijadiin adik ipar lagi. Satu lagi sifat Kak Wina yang harus ku waspadai. Usil dan suka ngegodain.
Pintu Arya langsung dibuka oleh Kak Wina.
“Aya! Nih ada Reni.”
Arya tak menjawab apa-apa. Dia hanya berfokus pada majalah olah raga yang sedang dia baca.
“Selamat Sore Aya!” aku ikutan manggil Aya seperti Kak Wina.
Arya melototin aku. Sepertinya Arya gak suka dipanggil dengan nama kecilnya itu.
Aku masuk ke kamarnya bersama Kak Wina. Agak sedikit berdebar-debar juga nih, soalnya baru kali ini aku masuk ke kamar cowok. Yah, selain kamar Kak Farid dan Randi sih.
“Nih anak juga, kenapa manggil-manggil cewek segala. Gak sopan kan? Kalo butuh apa-apa, butuh pertolongan tinggal bilang kakak saja kan?” Raut wajah Kak Wina tiba-tiba berubah.
Aku jadi gak berani buka suara. Kayaknya aku juga salah sih. Masa anak cewek datang ke rumah cowok yang belum di kenal baik. Apalagi sendiri lagi. Sementara itu Aya, upz salah. Maksudku Arya hanya diam dengan tatapan kosongnya seperti yang biasa dia tunjukin selama ini di sekolah.
“Liat tuh, Reni jadi repot gini. Sifat manjamu emang gak pernah berubah. Kapan kamu bisa dewasa Aya?” Nada Suara Kak Wina mulai meninggi.
“Kak, aku gak repot kok!” ucapku mencoba menenangkan Kak Wina yang kelihatan sedang emosi.
Jangan-jangan kehadiranku memang tidak diinginkan sama Kak Wina. Apa keusilan dan godaan Kak Wina tadi hanya sandiwara untuk menyenangkan hatiku saja yah? Mungkin Kak Wina marah aku berada disini. Duh, aku jadi gak enak nih. Coba tadi aku gak perlu ngikutin keinginanku untuk bertemu Arya.
“Kak, Pesawatnya nanti berangkat loh. Gak takut ketinggalan?” Arya akhirnya angkat suara juga.
“Waduh Iya yah? Nah, hati-hati yah dek, semoga lekas sembuh!” Kak Wina langsung berpamitan.
Emosi yang diluapkannya tadi seakan hilang. Aku sampai takut juga mendengar ledakan emosi Kak Wina tadi.
“Ren! Jagain Aya yah? Kalo dia macem-macem tonjok aja kakinya.” Kak Wina mewanti-wantiku sebelum dia pergi.
Aku hanya cengar-cengir dengan ucapan Kak Wina. “Emang Kakak mau berangkat yah?” tanyaku.
“Iya nih! Aku di sini cuman dua minggu aja sih.” Jawab kak Wina.
“Reni bantuin beres-beres barangnya yah kak? Sekalian bantu ngangkat.” Tawarku.
“Gak usah Ren. Semua udah beres dan udah masuk ke mobil kok.” Jelas kak Wina.
“Oh ya, Berangkat kemana Kak? Emang Kakak gak tinggal disini?” aku jadi keceplosan bertanya deh.
“Berangkat ke Sanghai. Kasihan suami kakak sendirian di sana.” Jawab Kak Wina.
“Hah? Kakak udah merid?” Aku tersentak kaget. gak nyangka ternyata Kak Wina sudah menikah dan hidup bersama suaminya di Sanghai.
“Kapan-kapan kalo kakak ke sini, kita cerita-cerita lagi deh!” Ucap Kak wina sambil menebar senyuman manisnya padaku.
Aku membalas senyumannya. Sedih rasanya bakal berpisah sama Kak Wina. Padahal ingin rasanya mengenal Kak Wina lebih dekat.
“AYA! Jangan macem-macem yah sama Reni.” Ancam Kak Wina sesaat sebelum menutup pintu kamar ini.
Arya hanya melempar bantal gulingnya ke arah pintu. Namun Kak Wina berhasil menghindar dan tersenyum penuh kemenangan. Emang kak Wina nih paling jahil banget sama adiknya.
“Kakak jalan dulu yah sayang!” Ucap Kak Wina.
“Hati-hati di jalan yah Kak! Semoga sampai tujuan dengan selamat.” Ucapku.
Arya hanya diam dan memasang tampang cueknya.
“Assalamualaikum!” Kak Wina memberisalam plus menutup pintu kamar.
“Walaikumsalam Kak!” balasku.
Kak Wina pun pergi dan meninggalkan Arya yang tidak mengucapkan kata-kata perpisahan pada Kakaknya. Aku jadi merasa gak enak hati lagi sama Kak Wina.
Well, anyway sekarang tinggal aku dan Arya berdua disini. Hatiku jadi berdebar-debar. Pikiranku penuh dengan berbagai pertanyaan dan pikiran-pikiran kecemasan. Tapi aku yakin Arya gak bakal ngapa-ngapain aku soalnya kakinya masih dibalut perban tebal.
Tapi, mungkin saja dia pura-pura diperban gitu supaya bikin aku lengah dan dia bisa macem-macem denganku. waduh, Ya Allah lindungilah hamba ini.
Aku memencet-mencet kaki Arya yang di balut perban itu.
“AUWWW!” Arya meringis.
“Sakit yah?” tanyaku memastikan.
Arya mengangguk dengan tampang lesu. Wajahnya terlihat agak sedih. Dia memang diam tapi diamnya kali ini beda. Seperti sosok diamnya orang yang sedang sedih.
Oh ya, tadi kan di pesan kertas yang ditulis Arya dia minta pertolongan? Kata-katanya seperti memohon gitu lagi. Aku khawatir dan penasaran banget dengannya.
“Kakinya udah ada perubahan gak?” tanyaku.
“Dikit sih.” Jawab Arya.
Aku kembali terdiam karena bingung mau ngomong apa. Aku melihat keluar jendela kamar Arya. Dari sini pemandangan Taman belakang rumah Arya terlihat jelas. Ada beberapa pohon dan sebuah rumah kecil. Mungkin itu sejenis gudang bibit-bibit tanaman kali ya?
TOK TOK TOK!
Terdengar suara ketokan pintu.
“Den, nih ada Sirup buat Non Reni.” Suara Bibi menggema dari balik pintu.
Aku segera berjalan menuju pintu dan membukakan pintu itu untuk Bibi. Dari balik pintu itu, Bibi memegang napan berisi dua gelas sirup Orange dan dua piring Cake blackforest.
“Wah, maaf yah ngerepotin Bibi. Sini biar Reni bantu.” Aku jadi gak enak hati.
“Gak usah Non. Biar Bibi aja yang bawa.” Tolak Bibi.
Aku nurutin saja dan memang Bibi ngotot banget sih. Bibi meletakkan napan di atas meja kecil di samping ranjang Arya.
“Bibi turun dulu yah Den! Non! Kalo ada perlu sesuatu bilang aja sama Bibi!” ucap Bibi.
Kini tinggal aku dan Arya saja. Aku meneguk segelas Jus tadi. “Arya mau minum Jus?”
“Gak! Makasih!” Ucap Arya.
“Tadi katanya mau minta tolong. Mau minta tolong apa sih? Kayaknya mergency banget deh.” Tanya ku.
“Itu… aku kesepian.” Jawab Arya simpel.
“Hah? Jadi jauh-jauh aku datang Cuma denger itu?” aku tersentak kaget.
Masa sih hanya karena kesepian. Pasti ada alasan lain tapi dia malu ngucapinnya deh.
“Oh ya, tadi kan ada Kak Wina. Kenapa gak minta dia nemenin kalo emang Arya Kesepian.” Ucapku.
Arya tertunduk lesu. Dia tidak menanggapi ucapanku dan saat itu aku pertama kali menyaksikan sebuah sisi lain dari diri Arya.
Sebuah tetesan air mata jatuh membasahi pipinya. Arya menangis? Aku tersentak dan batinku pun luluh. Cowok jarang sekali memperlihatkan air mata di hadapan cewek. Kalo sampai cowok menitihkan air mata di depan mata cewek. Artinya cowok itu pasti lagi sedih banget.
“Arya?”
Arya tetap tak menanggapi suaraku. Tatapannya hampa dan tubuhnya layu.
“Arya kamu kenapa? Sakit?” tanyaku. Suaraku pun ikut lirih karena kasihan melihatnya.
Suara isak tangis pun terdengar, tubuh Arya gemetar, Air matanya makin deras mengalir di pipinya. Tangannya menggosok air mata di wajahnya yang terus mengalir.
Aku mendekat dan duduk di tepi ranjangnya sambil mengelus kepalanya. Arya terlihat seperti seorang anak kecil yang sedang nangis.
Tiba-tiba saja Arya menyandarkan kepalanya di bahuku. Dan dia terus menangis terisak. Aku tidak mengelak dan membiarkannya bersandar. Wajahku agak tersipu dan memerah. Hatiku pun berdebar-debar. Dan rasa penasaranku pun semakin menjadi-jadi.
Sore itu, sang Pangeran menangis di bahuku. Dia menangis dalam istananya yang megah. Apakah gerangan yang terjadi padamu Arya? Dan dalam keheningan itu air mataku pun ikut menetes.
Arya kamu sebenarnya kenapa sih? Apa yang terjadi pada Mu? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar