Part 16
Istana Sang Pangeran
Tak terasa perjalanan selama dua puluh menit terlewati dan
Mobil ini pun mulai masuk ke sebuah pemukiman elit. Sebuah gerbang pagar besar
berwarna cokelat terbuka lebar karena sebuah klakson dari Mang Jana. Orang-orang
di dalam sepertinya udah hapal benar dengan bunyi klakson mobil ini.
Mobil pun masuk ke tempat parkiran kecil di dalam rumah. Aku
terkagum-kagum dengan rumah ini. Rumah yang mewah sekali. Aku jadi bingung mau
menggambarkan rumah ini gimana. Yang pasti ini bukan rumah, tapi istana. Istana
tempat tinggal pangeran Arya. Hadeh, jadi ngeyel deh aku.
Terdapat dua buah gerbang pada pagar rumah ini. Gerbang yang
pertama terlihat jalanan yang langsung masuk menuju halaman depan gedung rumah
Arya. Dan di gerbang kedua yang dimasuki Mang Jana tadi, adalah gerbang yang
menuju tempat parkiran mobil. Dari gerbang pagar tadi terdapat sebuah rumah
kecil sebagai garasi. Di dalam garasi yang terpisah sendiri itu terdapat 4 buah
mobil yang sedang terparkir.
Halaman rumah ini pun sangat luas dengan taman-taman cantik
yang hijau. Bunga-bunga aneka warna pun tumbuh dimana-mana yang mempercantik
pekarangannya. Ada beberapa ekor rusa yang berlari-lari di halaman rumah. Dari
balik gedung ini samar-samar terlihat kolam renang di belakang rumah. Bahkan di
belakang garasi ini ada lapangan basket mininya loh. Busyet deh.
Keep focus Ren. Jangan jadi cewek udik gitu ah. Tapi gimana
yah kalau ketemu orangtuanya Arya? Nanti mereka pikir aku ini cewek lancang
udah berani-berani ngedekatin anaknya. Seorang gadis biasa sepertiku tak pantas
untuk seorang pangeran seperti Arya.
“Lewat sini Neng.” Mang Jana menunjukkan jalan lewat pintu
samping rumah.
Aku berjalan melewati taman luas yang ditumbuhi pohon-pohon
rindang yang menghiasi dua sisi jalan kecil ini. Setidaknya dari tempat Mang
Jana Parkir ke gedung ini berjarak 20 meteran lah. Jantungku jadi semakin
berdebar-debar saja.
Kamipun masuk ke sebuah pintu besar dengan pahatan unik ini.
Sepertinya pintu ini terbuat dari kayu damar. Tidak cocok di bilang sebagai
pintu samping. Pintu samping rumah di rumahku saja terbuat dari seng.
Seseorang keluar dari balik pintu itu. Aku jadi
berdebar-debar. Apakah Arya, Kak Wina atau papi maminya Arya…
“Bi! Ini temennya Den Arya. Anterin yah Bi?” Mang Jana
menyerahkanku pada seorang wanita gemuk yang dipanggil Bibi ini. Sepertinya dia
salah satu pembantu di rumah ini.
Ternyata yang keluar adalah bibi pembantu ini. Jantungku jadi
agak lega sedikit.
“Wah, cantiknya. Namanya siapa Non?” puji bibi.
Aku jadi agak tersipu dengan pujian bibi ini. Jangan-jangan
Arya mau… Eh, jangan berpikir yang nggak-nggak deh Ren. “Makasih Bi! Aku Reni.”
Jawabku kemudian.
Bibi ini mengantarku masuk dan menaiki tangga. Rumah ini
sepertinya berlantai 3 atau empat. Entahlah aku tak bisa menebak dari sini.
Kalo aku tinggal di sini, pasti bakalan tersesat deh.
“Den Arya ada di kamarnya di atas. Dia masih belum bisa
gerak.” Jelas Bibi.
Aku hanya manggut-manggut mengerti dengan penjelasan Bibi.
Sepertinya Bibi ini lumayan cerewet juga.
“Bibi heran juga loh Non! Den Arya gak pernah bawa teman ke
rumah. Apalagi teman cewek.” Jelas Bibi.
Aku jadi makin tersipu plus berdebar-debar. Sepertinya aku
mendapat perlakuan khusus nih dari Arya. Tapi gak boleh ge-er Ren.
“Loh! Reni?” sebuah suara terdengar.
Ternyata Kak Wina ada di rumah. Wah, gimana tanggepannya nih
liat aku disini. Aku jadi gugup nih. Kak Wina paling suka usil dan godain aku
sama Arya. Sepertinya Kak Wina pikir aku dan Arya pacaran.
“Eng! Itu Kak, Arya manggil. Katanya lagi butuh pertolongan.”
Ucapku sambil keringat dingin.
“Aya nih, koq nyuruh-nyuruh cewek datang ke rumah sih. Cowok
tuh harus gentlemen dan ngejemput sendiri pujaan hatinya.” Kak Wina mulai
berkoar.
Nah, tuh kan. Bener apa kubilang, Kak Wina tuh paling suka godain
deh. Tapi syukurlah aku gak ditanggepin macem-macem. Aku hanya tertunduk malu
dengan wajah panikku.
“Kak Wina nih, godaain mulu ah!” Keluhku.
“Tapi ucapanku benar kan Bi? Pasti romantis banget tuh!”
timpal Kak Wina.
“Bener Non Wina. Non Reni kan cantik. Pantes buat Den Arya.”
Bibi malah ikutan godain aku.
Aku jadi makin tersipu. Wajahku makin memerah aja. Apa mereka
sengaja ngatur biar aku jadian sama Arya? Oh, teganya!
Tanpa terasa kita sudah di depan kamar Arya.
“Mau minum apa nih Ren?” tawar Kak Wina.
“Gak usah repot kak!” aku menolak dengan halus.
“Ya udah, Bi buatin Jus Jeruk dua. Oh ya, Bawain cake yang
tadi aku beli juga yah?” Kak Wina memberi komando pada Bibi.
“Rebes Non!” Bibi pun kembali ke dapur.
Enak banget yah punya pembantu, pingin ini itu ada yang
buatin. Kak Wina juga baik banget. Awalnya kupikir orang-orang kaya tuh judes
dan suka milih-milih teman. Apalagi kalo memiliki darah bangsawan seperti Arya
dan Kak Wina. Tapi Kak Wina nih beda banget pokoknya.
Kak Wina, udah cantik, kaya berdarah bangsawan, baek, gaul
pasti asyik punya kakak cewek seperti Kak Wina. Aku jadi agak iri dengan Arya.
Aku tiga bersodara dan memiliki kakak dan adik cowok semua. Kak Farid dan Randi
si bungsu.
Aku pingin punya kakak cewek juga, sebagai tempat curhat dan
teman jalan. Kira-kira Kak Wina mau gak yah jadi kakakku? Upz, Ntar dia
mikirnya dijadiin adik ipar lagi. Satu lagi sifat Kak Wina yang harus ku
waspadai. Usil dan suka ngegodain.
Pintu Arya langsung dibuka oleh Kak Wina.
“Aya! Nih ada Reni.”
Arya tak menjawab apa-apa. Dia hanya berfokus pada majalah
olah raga yang sedang dia baca.
“Selamat Sore Aya!” aku ikutan manggil Aya seperti Kak Wina.
Arya melototin aku. Sepertinya Arya gak suka dipanggil dengan
nama kecilnya itu.
Aku masuk ke kamarnya bersama Kak Wina. Agak sedikit
berdebar-debar juga nih, soalnya baru kali ini aku masuk ke kamar cowok. Yah,
selain kamar Kak Farid dan Randi sih.
“Nih anak juga, kenapa manggil-manggil cewek segala. Gak
sopan kan? Kalo butuh apa-apa, butuh pertolongan tinggal bilang kakak saja
kan?” Raut wajah Kak Wina tiba-tiba berubah.
Aku jadi gak berani buka suara. Kayaknya aku juga salah sih.
Masa anak cewek datang ke rumah cowok yang belum di kenal baik. Apalagi sendiri
lagi. Sementara itu Aya, upz salah. Maksudku Arya hanya diam dengan tatapan
kosongnya seperti yang biasa dia tunjukin selama ini di sekolah.
“Liat tuh, Reni jadi repot gini. Sifat manjamu emang gak
pernah berubah. Kapan kamu bisa dewasa Aya?” Nada Suara Kak Wina mulai
meninggi.
“Kak, aku gak repot kok!” ucapku mencoba menenangkan Kak Wina
yang kelihatan sedang emosi.
Jangan-jangan kehadiranku memang tidak diinginkan sama Kak
Wina. Apa keusilan dan godaan Kak Wina tadi hanya sandiwara untuk menyenangkan
hatiku saja yah? Mungkin Kak Wina marah aku berada disini. Duh, aku jadi gak
enak nih. Coba tadi aku gak perlu ngikutin keinginanku untuk bertemu Arya.
“Kak, Pesawatnya nanti berangkat loh. Gak takut ketinggalan?”
Arya akhirnya angkat suara juga.
“Waduh Iya yah? Nah, hati-hati yah dek, semoga lekas sembuh!”
Kak Wina langsung berpamitan.
Emosi yang diluapkannya tadi seakan hilang. Aku sampai takut
juga mendengar ledakan emosi Kak Wina tadi.
“Ren! Jagain Aya yah? Kalo dia macem-macem tonjok aja kakinya.”
Kak Wina mewanti-wantiku sebelum dia pergi.
Aku hanya cengar-cengir dengan ucapan Kak Wina. “Emang Kakak
mau berangkat yah?” tanyaku.
“Iya nih! Aku di sini cuman dua minggu aja sih.” Jawab kak
Wina.
“Reni bantuin beres-beres barangnya yah kak? Sekalian bantu
ngangkat.” Tawarku.
“Gak usah Ren. Semua udah beres dan udah masuk ke mobil kok.”
Jelas kak Wina.
“Oh ya, Berangkat kemana Kak? Emang Kakak gak tinggal
disini?” aku jadi keceplosan bertanya deh.
“Berangkat ke Sanghai. Kasihan suami kakak sendirian di
sana.” Jawab Kak Wina.
“Hah? Kakak udah merid?” Aku tersentak kaget. gak nyangka
ternyata Kak Wina sudah menikah dan hidup bersama suaminya di Sanghai.
“Kapan-kapan kalo kakak ke sini, kita cerita-cerita lagi
deh!” Ucap Kak wina sambil menebar senyuman manisnya padaku.
Aku membalas senyumannya. Sedih rasanya bakal berpisah sama
Kak Wina. Padahal ingin rasanya mengenal Kak Wina lebih dekat.
“AYA! Jangan macem-macem yah sama Reni.” Ancam Kak Wina
sesaat sebelum menutup pintu kamar ini.
Arya hanya melempar bantal gulingnya ke arah pintu. Namun Kak
Wina berhasil menghindar dan tersenyum penuh kemenangan. Emang kak Wina nih
paling jahil banget sama adiknya.
“Kakak jalan dulu yah sayang!” Ucap Kak Wina.
“Hati-hati di jalan yah Kak! Semoga sampai tujuan dengan
selamat.” Ucapku.
Arya hanya diam dan memasang tampang cueknya.
“Assalamualaikum!” Kak Wina memberisalam plus menutup pintu
kamar.
“Walaikumsalam Kak!” balasku.
Kak Wina pun pergi dan meninggalkan Arya yang tidak
mengucapkan kata-kata perpisahan pada Kakaknya. Aku jadi merasa gak enak hati
lagi sama Kak Wina.
Well, anyway sekarang tinggal aku dan Arya berdua disini.
Hatiku jadi berdebar-debar. Pikiranku penuh dengan berbagai pertanyaan dan
pikiran-pikiran kecemasan. Tapi aku yakin Arya gak bakal ngapa-ngapain aku
soalnya kakinya masih dibalut perban tebal.
Tapi, mungkin saja dia pura-pura diperban gitu supaya bikin
aku lengah dan dia bisa macem-macem denganku. waduh, Ya Allah lindungilah hamba
ini.
Aku memencet-mencet kaki Arya yang di balut perban itu.
“AUWWW!” Arya meringis.
“Sakit yah?” tanyaku memastikan.
Arya mengangguk dengan tampang lesu. Wajahnya terlihat agak
sedih. Dia memang diam tapi diamnya kali ini beda. Seperti sosok diamnya orang
yang sedang sedih.
Oh ya, tadi kan di pesan kertas yang ditulis Arya dia minta
pertolongan? Kata-katanya seperti memohon gitu lagi. Aku khawatir dan penasaran
banget dengannya.
“Kakinya udah ada perubahan gak?” tanyaku.
“Dikit sih.” Jawab Arya.
Aku kembali terdiam karena bingung mau ngomong apa. Aku
melihat keluar jendela kamar Arya. Dari sini pemandangan Taman belakang rumah
Arya terlihat jelas. Ada beberapa pohon dan sebuah rumah kecil. Mungkin itu
sejenis gudang bibit-bibit tanaman kali ya?
TOK TOK TOK!
Terdengar suara ketokan pintu.
“Den, nih ada Sirup buat Non Reni.” Suara Bibi menggema dari
balik pintu.
Aku segera berjalan menuju pintu dan membukakan pintu itu
untuk Bibi. Dari balik pintu itu, Bibi memegang napan berisi dua gelas sirup
Orange dan dua piring Cake blackforest.
“Wah, maaf yah ngerepotin Bibi. Sini biar Reni bantu.” Aku
jadi gak enak hati.
“Gak usah Non. Biar Bibi aja yang bawa.” Tolak Bibi.
Aku nurutin saja dan memang Bibi ngotot banget sih. Bibi
meletakkan napan di atas meja kecil di samping ranjang Arya.
“Bibi turun dulu yah Den! Non! Kalo ada perlu sesuatu bilang
aja sama Bibi!” ucap Bibi.
Kini tinggal aku dan Arya saja. Aku meneguk segelas Jus tadi.
“Arya mau minum Jus?”
“Gak! Makasih!” Ucap Arya.
“Tadi katanya mau minta tolong. Mau minta tolong apa sih?
Kayaknya mergency banget deh.” Tanya ku.
“Itu… aku kesepian.” Jawab Arya simpel.
“Hah? Jadi jauh-jauh aku datang Cuma denger itu?” aku
tersentak kaget.
Masa sih hanya karena kesepian. Pasti ada alasan lain tapi
dia malu ngucapinnya deh.
“Oh ya, tadi kan ada Kak Wina. Kenapa gak minta dia nemenin kalo
emang Arya Kesepian.” Ucapku.
Arya tertunduk lesu. Dia tidak menanggapi ucapanku dan saat
itu aku pertama kali menyaksikan sebuah sisi lain dari diri Arya.
Sebuah tetesan air mata jatuh membasahi pipinya. Arya
menangis? Aku tersentak dan batinku pun luluh. Cowok jarang sekali
memperlihatkan air mata di hadapan cewek. Kalo sampai cowok menitihkan air mata
di depan mata cewek. Artinya cowok itu pasti lagi sedih banget.
“Arya?”
Arya tetap tak menanggapi suaraku. Tatapannya hampa dan
tubuhnya layu.
“Arya kamu kenapa? Sakit?” tanyaku. Suaraku pun ikut lirih
karena kasihan melihatnya.
Suara isak tangis pun terdengar, tubuh Arya gemetar, Air
matanya makin deras mengalir di pipinya. Tangannya menggosok air mata di
wajahnya yang terus mengalir.
Aku mendekat dan duduk di tepi ranjangnya sambil mengelus
kepalanya. Arya terlihat seperti seorang anak kecil yang sedang nangis.
Tiba-tiba saja Arya menyandarkan kepalanya di bahuku. Dan dia
terus menangis terisak. Aku tidak mengelak dan membiarkannya bersandar. Wajahku
agak tersipu dan memerah. Hatiku pun berdebar-debar. Dan rasa penasaranku pun
semakin menjadi-jadi.
Sore itu, sang Pangeran menangis di bahuku. Dia menangis
dalam istananya yang megah. Apakah gerangan yang terjadi padamu Arya? Dan dalam
keheningan itu air mataku pun ikut menetes.
Arya kamu
sebenarnya kenapa sih? Apa yang terjadi pada Mu?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar