Kamis, 07 Juni 2012

Novel | Wajah Kedua (Part 12)


Part 12
Kehebohan di Rumah Sakit


Akhirnya sore itu Aku, Tuti, Erni, Santi, Heru, Iqbal dan Asep akan menjenguk Arya di rumah sakit. Kami janjian bertemu di halte dekat rumah sakit.
Sesampainya di sana Erni terlihat menunggu. Sepertinya dia orang pertama yang datang namun ternyata dia tidak sendirian. Ada Heru juga disana. Heru dan Iqbal agak dekat dengan Arya karena kebetulan tempat duduk mereka berdekatan. Iqbal duduk di sebelah kanan Arya, sedangkan Heru duduk di belakang Iqbal dan tepat di sebelah kanan Erni. Sementara Santi duduk tepat di depanku bersama Rasni. Sayang Rasni ada keperluan sehingga tidak ikut dengan kami. Sementara Asep, entahlah mengapa dia juga ikutan. Mungkin kebetulan aja dia ngedengar rencana kami yang duduk berdekatan dengan Arya untuk ngejenguk Arya, makanya dia ikutan.

Dandanan Erni seperti mau ke mall aja. Serba wah (mewah, gagah, megah dan indwah) mulai dari ujung rambut sampai ujung kuku. Dan dia membawa keranjang kecil berisi buah.
“Loh, bukannya Santi, Iqbal dan Asep yang beliin buah-buahannya?” ucapku heran.
“Ini spesial ala Erni.” Ucapnya.
Aku hanya tertegun takjub dengan sahabatku satu ini. Dan ternyata bukan hanya kita-kita yang datang untuk menjenguk Arya. Aku sudah mengira kalo para fansklubnya akan datang menjenguk. Tapi yang bikin heboh nih, ternyata mereka berduyun-duyun datang seperti gerombolan massa yang akan berdemo.
“Loh Helen dan anak-anak cewek yang lain tuh!” tunjuk Heru.
“Pura-pura gak kenal aja Her!” ucapku malu.
Gimana gak malu, mereka datang seperti mau nonton bola aja. Gak kalah heboh daripada suporter jakmania, bobotoh atau bonek. Bawa-bawa spanduk gede bertuliskan “SEMOGA LEKAS SEMUH YAH ARYA!”. Tuh anak pada gak punya harga diri apa? Gak tau malu banget. Untung banget Erni gak ikut-ikutan buat spanduk seperti orang yang mau kampanye.
“Ah Sial banget. Aku lupa…” tiba-tiba saja Erni ikutan heboh.
“Lupa apaan Say?” tanyaku penasaran.
“Aku lupa bawain bunga. Coba deh liat mereka, so sweet banget kan bawain bunga?” keluh Erni dengan gaya sedihnya yang dibuat-buat.
Aku dan Heru memperhatikan para Fansklub Arya. Ternyata ada yang membawa bunga. Kebanyakan membawa sekuntum mawar putih. Ada juga yang membawa buket bunga. Bahkan ada yang bawa karangan bunga segala. Gila bener deh, Arya kan belum meninggal dunia.
“Kayaknya gak perlu deh. Ketemu aja kayaknya belum tentu bisa.” Ucapku.
“Hah kenapa?” tanya Erni penasaran.
“Liat aja tuh di depan pintu rumah sakit?” tunjukku.
Di depan rumah sakit ada Siti dan Mala, Wakil dan bendahara fansklub Arya. Dan beberapa cewek-cewek kelas 3 yang agak sewot-sewot. Sepertinya mereka jadi penjaga gerbang dan berlagak kayak sekuriti.
Beberapa orang yang akan menjenguk Arya di hadang dan diperiksa barang bawaannya. Emang dasar cewek-cewek jelous yang malu-maluin. Bahkan para satpam rumah sakit sampai tidak berkutik dan lebih memilih cuekin mereka.
Memang sih gak semua penjenguk diperiksa sama mereka. Mereka hanya memeriksa yang dari sekolah kami saja atau cewek-cewek yang dandanannya agak menor, wah atau kecentilan seperti Erni nih.
Oh ya, balik lagi ke Erni yang tampangnya mulai pucat plus sedih. Sepertinya impiannya untuk menjenguk Arya bakalan terhalang nih. Dan akupun juga merasa sedih sih, soalnya aku mau membalas pesan kertasnya yang kemarin. Tapi namaku sudah masuk top daftar hitam di fansklub Arya sejak pertandingan Basket yang lalu. Jadi kalau sampai aku terlihat dekat dengan Arya, sudah pasti perang antara aku dan Fansclub Arya akan terjadi lagi. Padahal sekarang sedang gencatan senjata sih.
“Hey maaf kelamaan yah!” Ucap Santi yang datang bersamaan dengan Iqbal dan Asep.
“Loh, Tuti nya belum datang yah?” tanya Asep.
“Tau deh. Tuh anak memang gak konsisten sama waktu.” Jawab Erni.
“Oh!” Asep hanya ber-oh sambil menyembunyikan raut kekecewaan di wajahnya.
Santi, Iqbal dan Asep membawa sekantong buah Apel untuk menjenguk Arya. Dan ternyata Santi juga membawa sesuatu yang spesial untuk Arya. Sekuntum Bunga, meski hanya bunga mainan sih.
“Hey Guys!” Tuti langsung nyeluduk di tengah-tengah kami. Wajahnya tampak kelelahan dan piluh keringat di badannya masih basah. Sepertinya dia habis lari kali ya?
Aku memperhatikan dandanan Tuti. Sendal jepit plus kaos oblong warna putih dengan bawahan celana puntung. Cuma Tuti aja nih yang gak modis But…
Kamera? Tuti ngapain bawa kamera?
“Kamera tuh buat apa?” tanyaku.
“Iya, Emang kita mau tamsya apa!” Ledek Erni.
“Mau motret si pangeran.” Jawabnya simpel sambil mengatur nafasnya yang masih terengah-engah.
“HAH?” aku, Erni, Santi, Heru, Iqbal dan Asep serentak kaget bin heran dengan pikiran Tuti.
“Jadi serius nih mau motret Arya?” aku mencoba memastikan.
“Ya iyalah. Lumayan kan kalo dimuat di Artikel mading atau di Tabloid sekolah.” Jelasnya.
“Huh Dasar, kayaknya kamu udah ketularan jiwa jahilnya Iqbal.” Ledek Santi.
Iqbal memang terkenal jahil di kelas kami untung saja aku belum pernah menjadi korban kejahilannya. Tuh makhluk memang seperti yang diceritakan oleh Guru Agama kami di Sekolah. Makhluk dari jaman Jahiliyah. Hahaha!
“Atau jangan sampai ketularan Erni yang terobsesi sama Arya tuh!” ledekku.
“Mending daftar aja ke fansklubnya, kamu bisa dapetin foto ekslusif dari Arya.” Tambah Santi hingga membuat kami tergelak penuh tawa.
“Idih, siapa juga yang mau masuk klub gak jelas gitu. Bukan untuk jahil-jahilan kok. Tapi untuk bisnis.”  Jelasnya hingga membuat alis mata kami jadi keriting saking herannya hubungan antara foto Arya yang lagi menderita kesakitan dengan bisnis ala Tuti ini.
“Anak-anak Pers Sekolah mau ngebayar mahal untuk foto-foto ekslusif Arya. Apalagi pemandangan langka kayak gini. Trus Cewek-cewek SMP yang di dekat sekolah kita tuh mau ngebayar 5 ribu untuk foto close up Arya loh. Nah, kalo Arya lagi gak bisa gerak gitu aku kan bisa motret close up dengan sempurna. Gimana?” sambung Tuti dengan gaya menerangkannya.
Gaya bicara Tuti ini mengingatkanku pada Ibu Yul, guru Ekonomi kami. Pasti Bu Yul akan bangga dengan Tuti yang bisa menerapkan prinsip ekonomi dalam kehidupannya meski nilai ekonomi Tuti gak pernah di atas 60.
“Ceileh, lagaknya Tut! Ntar kualat loh” ledek Iqbal.
Aku, Heru, Asep dan Santi hanya bisa tepuk tangan saking bingungnya mau komentar apa.
“Biarin! Pokoknya hari ini misi harus berhasil” Tuti tetap kukuh dengan tujuannya.
“Tapi kejam loh, masa kamu tega banget sih sama Arya.” Erni merajuk dengan tampang sedihnya yang dibuat imut.
“Cup cup cup!” aku menenangkan Erni dengan usapan di kepalanya.
“Ih, gak bakalan kenapa-napa kok. Cedera Arya juga gak bakalan tambah parah hanya karena dipotret.” Tuti mencoba beralasan.
“Maksudnya gak sopan gitu.” Heru ikutan membela Erni.
“Yeh, ya udah nanti aku kasih foto ekslusifnya Arya deh.” Tuti mencoba menenangkan Erni dengan janji manisnya.
“Gak mau. Tuti JAHAAAAT!” Erni langsung nangis.
“Waduh, kok malah nangis sih. Ni, ini aku kasih deh foto Arya lagi buka baju. Macho banget kan?” Tuti mencoba menyogok Erni.
Erni menyeka air matanya lalu melihat foto itu dan terdiam sesaat. Lalu…
“Yipie! Makasih yah!” wajah Erni langsung berubah drastis. Dia kayak anak kecil yang berhasil didiamkan dengan sogokan permen atau es krim.
“Tuti nih ngajar yang nggak-nggak!” ucapku kesal. Aku dan Tuti memang menganggap Erni sebagai adik bungsu kami yang selalu dimanja atau dikerjain. Tapi Erni pun gak pernah protes dianggap sebagai adik kami.
“Nih anak juga. Dasar centil!” aku menjewer kuping Erni yang sedang senyam-senyum sambil memeluk foto tadi.
“Ih, Biarin. Reni jahat deh!” Erni mulai merengek manja.
“Hey, bertengkarnya udahan. Kita masuk aja yuk sebelum keburu sore nih.” Ajak Santi.
Kami bertujuh pun berjalan dengan tegang menuju pintu masuk rumah sakit. Soalnya tatapan curiga dari anggota Fansklub Arya seakan menusuk jantung kami. Tapi aku takjub dengan pesona Arya sang idola itu. Dia telah berhasil membuat para fansnya tertunduk sedih bahkan ada yang menangis beneran. Entah beneran atau Cuman didramatisir.
Sesampainya di depan pintu, kami di hadang dan keranjang buah Erni juga kantong berisi buah plus bunga plastik dari Santi ikut disita. Heru, Tuti dan Iqbal terlihat gak suka dengan cara mereka. Apa hak mereka ngatur-ngatur kita. Mereka bukan teman sekelas apa lagi pacar Arya.
“Hey, kalian tuh bukan teman sekelas Arya. Jadi gak usah sok-sok gitu deh.” Bentak Tuti.
“Kalian orang-orang yang gak tau apa-apa. Arya sendiri yang minta kita buat jagain di sini.” Elak Mala dengan alasannya yang sepertinya bohong banget deh.
Alhasil terjadi adu mulut antara Tuti dan Mala. Aku dan Santi hanya bisa menenangkan Tuti yang sepertinya udah siap ngehajar Mala. Heru, Iqbal dan Asep gak ikutan dalam pertengkaran cewek ini, sepertinya mereka gak tega ngebentak apalagi menghajar cewek. Meskipun hanya sekedar cewek sewot kayak Siti dan Mala.
Untung saja wali kelas kami datang bersama ketua kelas kami, Windy. Ada juga Helen dan beberapa anggota fansklub Arya yang berasal dari kelas kami ikut dengan rombongan wali kelas. Mereka adalah Dewi, Lola, Sari dan Adel.
 Akhirnya kami berhasil lolos dari hadangan Mala CS yang terlihat kesal. Semua ini berkat bantuan wali kelas kami. Erni pun tampak lega karena keranjang buahnya bisa selamat dari razia Fansklub Arya. Aku hanya membawa tas berisi catatan pelajaran tadi. Makanya gak dicurigai macam-macam oleh mereka.
Sesampainya di depan kamar Arya, ternyata kami gak bisa masuk ke dalam karena kamar Arya yang sempit. Kami hanya berdiri di sepanjang lorong rumah sakit. Ibu guru yang masuk terlebih dahulu bersama ketua kelas kami, Windy beserta beberapa teman kelas kami.
Selang beberapa menit di dalam kamar, Ibu guru dan teman-teman yang lain keluar dan menyuruh kami agar tidak berlama-lama di dalam. Lagian Arya pasti hanya baring sambil terdiam dan gak punya hal-hal untuk di ceritakan.
Kami masuk berderet seperti orang yang lagi ngantri karcis. Di dalam kami hanya menjabat tangannya sambil mengucapkan kata-kata penyemangat, yaitu “Semoga lekas sembuh yah?”.
Kaki kiri Arya dibalut perban mulai dari telapak hingga betisnya. Yang kudengar urat kaki Arya ada yang putus hingga dia harus beristirahat dan tidak boleh terlalu aktif selama dua bulan untuk memulihkan cederanya. Cedera yang cukup parah dan harus di rawat inap dulu di rumah sakit selama seminggu. Tampang Arya tetap terlihat bete seperti biasanya.
Keranjang buah Erni dan yang dibawa Santi pun tak dapat diletakkan di meja pasien karena sudah dipenuhi dengan berbagai macam parsel buah juga jus buah, terpaksa kami meletakkan barang kami di lantai. Di kamar Arya hanya ada seorang perempuan gemuk setengah baya yang menemani Arya. Tapi sepertinya dia bukan orang tua Arya karena gaya bicaranya yang berlogat tegal. Sedangkan yang aku dengar, Ibunya Arya orang melayu.
“Oh ya, nih ada catatan pelajaran hari ini. Kamu bisa nyalin kan?” ucapku sambil memberinya buku tulisku. Aku memanfaatkan waktu bersalaman sebelum berpamitan untuk menyerahkan catatan ini.
Arya hanya mengangguk tanpa ekspresi sambil menerima bukuku. Dia langsung meletakkannya di samping bantalnya. Terlihat pandangan sirik dari gerombolan Helen dan kawan-kawan termasuk Erni dan juga Santi.
Kami pun keluar dari kamar dan tak sempat berbincang lama. Erni terlihat cukup puas dan bahagia karena sudah memberikan keranjang buahnya meski tak diterima langsung oleh Arya. Tuti tampak kesal karena gak sempat memotret wajah Arya. Niatnya tak dapat terlaksana karena ada Ibu guru Wali kelas kami sih. Kami hanya melihat sejenak kondisinya dan segera berpamitan. Meskipun kami duduk lama di dalam pun Arya gak bakalan ladenin omongan kita.
Aku menoleh sesaat ke arah Arya sambil tersenyum, dan ternyata dia pun membalas senyumku. Untung gak ada yang ngelihat dan nyadar. Di belakangku hanya ada Heru dan Asep, kedua orang terakhir yang memberi salam pada Arya.
Sesampainya di luar kamar, Tuti mulai mengumpat gak jelas. Rencana Bisnis pribadinya sepertinya berantakan.
“Tunggu aja, besok aku pasti balik lagi ke sini.” Tuti berkoar dengan semangat membara dengan tangan mengepal.
“Erni juga ikut!” Erni malah ikutan gilanya si Tuti.
“Hush! Anak kecil tuh main boneka aja di rumah. Ini masalah bisnis loh.” Tuti mulai berceramah.
“Seandainya semangat juang mu ini dipake buat belajar aja, pasti kamu bisa masuk 10 besar loh.” Ledek Iqbal.
Aku dan ke lima teman yang lain turut mengangguk mengiyakan.
Tuti tampak kesal dan hanya berjalan meninggalkan kami dengan tampang kesalnya.
“Erni ikut yah. Please?” Erni memelas dengan gaya manjanya.
“Nggak!” jawab Tuti dengan judes.
“Yah, ikut yah?” Erni terus merayu sambil menyamakan langkahnya dengan Tuti yang terus mempercepat langkahnya.
“Nggak!” Tuti tetap tegas.
“Pokoknya erni ikut.” Rengek Erni.
Dan lagi-lagi Tuti tetap pada jawabannya. Kedua sohibku itu akhirnya menghilang di ujung lorong bersamaan dengan suara pertengkaran mereka.
Aku memperlambat langkahku dan menghela nafas panjang. Akhirnya lega karena sudah memberikan buku catatanku tadi.
Sebenarnya dalam buku tulisku itu kusimpan kertas pesan yang tadi pagi ingin disampaikan padanya. Aku harap Arya menyadari itu dan membacanya. Oh ya, aku pun menambahkan beberapa kata baru. Sebenarnya agak malu juga sih nulis gini. Kami seperti orang yang pacaran diam-diam saja. Namun dalam hati aku tidak terlalu berharap sih setelah melihat saking banyaknya cewek-cewek yang naksir dia.
Tanpa sadar aku telah berada di halaman rumah sakit. Aku menoleh ke jendela pada lantai dua rumah sakit ini. Terlihat samar-samar bayangan Arya dari balik jendela itu. Dia terbaring sambil membaca buku harianku. Semoga saja pesan itu dibacanya…

Kok bisa cedera sih? Hati-hati yah kalau main basket. Dan semoga lekas sembuh yah! 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar