Part 12
Kehebohan di Rumah Sakit
Akhirnya sore itu Aku, Tuti, Erni, Santi, Heru, Iqbal dan
Asep akan menjenguk Arya di rumah sakit. Kami janjian bertemu di halte dekat
rumah sakit.
Sesampainya di sana Erni terlihat menunggu. Sepertinya dia
orang pertama yang datang namun ternyata dia tidak sendirian. Ada Heru juga
disana. Heru dan Iqbal agak dekat dengan Arya karena kebetulan tempat duduk
mereka berdekatan. Iqbal duduk di sebelah kanan Arya, sedangkan Heru duduk di belakang
Iqbal dan tepat di sebelah kanan Erni. Sementara Santi duduk tepat di depanku
bersama Rasni. Sayang Rasni ada keperluan sehingga tidak ikut dengan kami.
Sementara Asep, entahlah mengapa dia juga ikutan. Mungkin kebetulan aja dia
ngedengar rencana kami yang duduk berdekatan dengan Arya untuk ngejenguk Arya,
makanya dia ikutan.
Dandanan Erni seperti mau ke mall aja. Serba wah (mewah,
gagah, megah dan indwah) mulai dari ujung rambut sampai ujung kuku. Dan dia
membawa keranjang kecil berisi buah.
“Loh, bukannya Santi, Iqbal dan Asep yang beliin
buah-buahannya?” ucapku heran.
“Ini spesial ala Erni.” Ucapnya.
Aku hanya tertegun takjub dengan sahabatku satu ini. Dan
ternyata bukan hanya kita-kita yang datang untuk menjenguk Arya. Aku sudah
mengira kalo para fansklubnya akan datang menjenguk. Tapi yang bikin heboh nih,
ternyata mereka berduyun-duyun datang seperti gerombolan massa yang akan
berdemo.
“Loh Helen dan anak-anak cewek yang lain tuh!” tunjuk Heru.
“Pura-pura gak kenal aja Her!” ucapku malu.
Gimana gak malu, mereka datang seperti mau nonton bola aja.
Gak kalah heboh daripada suporter jakmania, bobotoh atau bonek. Bawa-bawa
spanduk gede bertuliskan “SEMOGA LEKAS SEMUH YAH ARYA!”. Tuh anak pada gak
punya harga diri apa? Gak tau malu banget. Untung banget Erni gak ikut-ikutan
buat spanduk seperti orang yang mau kampanye.
“Ah Sial banget. Aku lupa…” tiba-tiba saja Erni ikutan heboh.
“Lupa apaan Say?” tanyaku penasaran.
“Aku lupa bawain bunga. Coba deh liat mereka, so sweet banget
kan bawain bunga?” keluh Erni dengan gaya sedihnya yang dibuat-buat.
Aku dan Heru memperhatikan para Fansklub Arya. Ternyata ada
yang membawa bunga. Kebanyakan membawa sekuntum mawar putih. Ada juga yang
membawa buket bunga. Bahkan ada yang bawa karangan bunga segala. Gila bener deh,
Arya kan belum meninggal dunia.
“Kayaknya gak perlu deh. Ketemu aja kayaknya belum tentu
bisa.” Ucapku.
“Hah kenapa?” tanya Erni penasaran.
“Liat aja tuh di depan pintu rumah sakit?” tunjukku.
Di depan rumah sakit ada Siti dan Mala, Wakil dan bendahara
fansklub Arya. Dan beberapa cewek-cewek kelas 3 yang agak sewot-sewot.
Sepertinya mereka jadi penjaga gerbang dan berlagak kayak sekuriti.
Beberapa orang yang akan menjenguk Arya di hadang dan
diperiksa barang bawaannya. Emang dasar cewek-cewek jelous yang malu-maluin.
Bahkan para satpam rumah sakit sampai tidak berkutik dan lebih memilih cuekin
mereka.
Memang sih gak semua penjenguk diperiksa sama mereka. Mereka
hanya memeriksa yang dari sekolah kami saja atau cewek-cewek yang dandanannya
agak menor, wah atau kecentilan seperti Erni nih.
Oh ya, balik lagi ke Erni yang tampangnya mulai pucat plus
sedih. Sepertinya impiannya untuk menjenguk Arya bakalan terhalang nih. Dan
akupun juga merasa sedih sih, soalnya aku mau membalas pesan kertasnya yang kemarin.
Tapi namaku sudah masuk top daftar hitam di fansklub Arya sejak pertandingan
Basket yang lalu. Jadi kalau sampai aku terlihat dekat dengan Arya, sudah pasti
perang antara aku dan Fansclub Arya akan terjadi lagi. Padahal sekarang sedang
gencatan senjata sih.
“Hey maaf kelamaan yah!” Ucap Santi yang datang bersamaan
dengan Iqbal dan Asep.
“Loh, Tuti nya belum datang yah?” tanya Asep.
“Tau deh. Tuh anak memang gak konsisten sama waktu.” Jawab
Erni.
“Oh!” Asep hanya ber-oh sambil menyembunyikan raut kekecewaan
di wajahnya.
Santi, Iqbal dan Asep membawa sekantong buah Apel untuk
menjenguk Arya. Dan ternyata Santi juga membawa sesuatu yang spesial untuk
Arya. Sekuntum Bunga, meski hanya bunga mainan sih.
“Hey Guys!” Tuti langsung nyeluduk di tengah-tengah kami.
Wajahnya tampak kelelahan dan piluh keringat di badannya masih basah.
Sepertinya dia habis lari kali ya?
Aku memperhatikan dandanan Tuti. Sendal jepit plus kaos
oblong warna putih dengan bawahan celana puntung. Cuma Tuti aja nih yang gak
modis But…
Kamera? Tuti ngapain bawa kamera?
“Kamera tuh buat apa?” tanyaku.
“Iya, Emang kita mau tamsya apa!” Ledek Erni.
“Mau motret si pangeran.” Jawabnya simpel sambil mengatur
nafasnya yang masih terengah-engah.
“HAH?” aku, Erni, Santi, Heru, Iqbal dan Asep serentak kaget
bin heran dengan pikiran Tuti.
“Jadi serius nih mau motret Arya?” aku mencoba memastikan.
“Ya iyalah. Lumayan kan kalo dimuat di Artikel mading atau di
Tabloid sekolah.” Jelasnya.
“Huh Dasar, kayaknya kamu udah ketularan jiwa jahilnya
Iqbal.” Ledek Santi.
Iqbal memang terkenal jahil di kelas kami untung saja aku
belum pernah menjadi korban kejahilannya. Tuh makhluk memang seperti yang
diceritakan oleh Guru Agama kami di Sekolah. Makhluk dari jaman Jahiliyah.
Hahaha!
“Atau jangan sampai ketularan Erni yang terobsesi sama Arya
tuh!” ledekku.
“Mending daftar aja ke fansklubnya, kamu bisa dapetin foto
ekslusif dari Arya.” Tambah Santi hingga membuat kami tergelak penuh tawa.
“Idih, siapa juga yang mau masuk klub gak jelas gitu. Bukan
untuk jahil-jahilan kok. Tapi untuk bisnis.”
Jelasnya hingga membuat alis mata kami jadi keriting saking herannya
hubungan antara foto Arya yang lagi menderita kesakitan dengan bisnis ala Tuti
ini.
“Anak-anak Pers Sekolah mau ngebayar mahal untuk foto-foto
ekslusif Arya. Apalagi pemandangan langka kayak gini. Trus Cewek-cewek SMP yang
di dekat sekolah kita tuh mau ngebayar 5 ribu untuk foto close up Arya loh.
Nah, kalo Arya lagi gak bisa gerak gitu aku kan bisa motret close up dengan
sempurna. Gimana?” sambung Tuti dengan gaya menerangkannya.
Gaya bicara Tuti ini mengingatkanku pada Ibu Yul, guru
Ekonomi kami. Pasti Bu Yul akan bangga dengan Tuti yang bisa menerapkan prinsip
ekonomi dalam kehidupannya meski nilai ekonomi Tuti gak pernah di atas 60.
“Ceileh, lagaknya Tut! Ntar kualat loh” ledek Iqbal.
Aku, Heru, Asep dan Santi hanya bisa tepuk tangan saking
bingungnya mau komentar apa.
“Biarin! Pokoknya hari ini misi harus berhasil” Tuti tetap
kukuh dengan tujuannya.
“Tapi kejam loh, masa kamu tega banget sih sama Arya.” Erni
merajuk dengan tampang sedihnya yang dibuat imut.
“Cup cup cup!” aku menenangkan Erni dengan usapan di
kepalanya.
“Ih, gak bakalan kenapa-napa kok. Cedera Arya juga gak
bakalan tambah parah hanya karena dipotret.” Tuti mencoba beralasan.
“Maksudnya gak sopan gitu.” Heru ikutan membela Erni.
“Yeh, ya udah nanti aku kasih foto ekslusifnya Arya deh.”
Tuti mencoba menenangkan Erni dengan janji manisnya.
“Gak mau. Tuti JAHAAAAT!” Erni langsung nangis.
“Waduh, kok malah nangis sih. Ni, ini aku kasih deh foto Arya
lagi buka baju. Macho banget kan?” Tuti mencoba menyogok Erni.
Erni menyeka air matanya lalu melihat foto itu dan terdiam
sesaat. Lalu…
“Yipie! Makasih yah!” wajah Erni langsung berubah drastis.
Dia kayak anak kecil yang berhasil didiamkan dengan sogokan permen atau es
krim.
“Tuti nih ngajar yang nggak-nggak!” ucapku kesal. Aku dan
Tuti memang menganggap Erni sebagai adik bungsu kami yang selalu dimanja atau
dikerjain. Tapi Erni pun gak pernah protes dianggap sebagai adik kami.
“Nih anak juga. Dasar centil!” aku menjewer kuping Erni yang
sedang senyam-senyum sambil memeluk foto tadi.
“Ih, Biarin. Reni jahat deh!” Erni mulai merengek manja.
“Hey, bertengkarnya udahan. Kita masuk aja yuk sebelum keburu
sore nih.” Ajak Santi.
Kami bertujuh pun berjalan dengan tegang menuju pintu masuk
rumah sakit. Soalnya tatapan curiga dari anggota Fansklub Arya seakan menusuk
jantung kami. Tapi aku takjub dengan pesona Arya sang idola itu. Dia telah
berhasil membuat para fansnya tertunduk sedih bahkan ada yang menangis beneran.
Entah beneran atau Cuman didramatisir.
Sesampainya di depan pintu, kami di hadang dan keranjang buah
Erni juga kantong berisi buah plus bunga plastik dari Santi ikut disita. Heru,
Tuti dan Iqbal terlihat gak suka dengan cara mereka. Apa hak mereka ngatur-ngatur
kita. Mereka bukan teman sekelas apa lagi pacar Arya.
“Hey, kalian tuh bukan teman sekelas Arya. Jadi gak usah
sok-sok gitu deh.” Bentak Tuti.
“Kalian orang-orang yang gak tau apa-apa. Arya sendiri yang
minta kita buat jagain di sini.” Elak Mala dengan alasannya yang sepertinya
bohong banget deh.
Alhasil terjadi adu mulut antara Tuti dan Mala. Aku dan Santi
hanya bisa menenangkan Tuti yang sepertinya udah siap ngehajar Mala. Heru,
Iqbal dan Asep gak ikutan dalam pertengkaran cewek ini, sepertinya mereka gak
tega ngebentak apalagi menghajar cewek. Meskipun hanya sekedar cewek sewot
kayak Siti dan Mala.
Untung saja wali kelas kami datang bersama ketua kelas kami,
Windy. Ada juga Helen dan beberapa anggota fansklub Arya yang berasal dari
kelas kami ikut dengan rombongan wali kelas. Mereka adalah Dewi, Lola, Sari dan
Adel.
Akhirnya kami berhasil
lolos dari hadangan Mala CS yang terlihat kesal. Semua ini berkat bantuan wali
kelas kami. Erni pun tampak lega karena keranjang buahnya bisa selamat dari razia
Fansklub Arya. Aku hanya membawa tas berisi catatan pelajaran tadi. Makanya gak
dicurigai macam-macam oleh mereka.
Sesampainya di depan kamar Arya, ternyata kami gak bisa masuk
ke dalam karena kamar Arya yang sempit. Kami hanya berdiri di sepanjang lorong
rumah sakit. Ibu guru yang masuk terlebih dahulu bersama ketua kelas kami,
Windy beserta beberapa teman kelas kami.
Selang beberapa menit di dalam kamar, Ibu guru dan
teman-teman yang lain keluar dan menyuruh kami agar tidak berlama-lama di
dalam. Lagian Arya pasti hanya baring sambil terdiam dan gak punya hal-hal
untuk di ceritakan.
Kami masuk berderet seperti orang yang lagi ngantri karcis.
Di dalam kami hanya menjabat tangannya sambil mengucapkan kata-kata
penyemangat, yaitu “Semoga lekas sembuh yah?”.
Kaki kiri Arya dibalut perban mulai dari telapak hingga
betisnya. Yang kudengar urat kaki Arya ada yang putus hingga dia harus
beristirahat dan tidak boleh terlalu aktif selama dua bulan untuk memulihkan
cederanya. Cedera yang cukup parah dan harus di rawat inap dulu di rumah sakit
selama seminggu. Tampang Arya tetap terlihat bete seperti biasanya.
Keranjang buah Erni dan yang dibawa Santi pun tak dapat
diletakkan di meja pasien karena sudah dipenuhi dengan berbagai macam parsel
buah juga jus buah, terpaksa kami meletakkan barang kami di lantai. Di kamar
Arya hanya ada seorang perempuan gemuk setengah baya yang menemani Arya. Tapi
sepertinya dia bukan orang tua Arya karena gaya bicaranya yang berlogat tegal.
Sedangkan yang aku dengar, Ibunya Arya orang melayu.
“Oh ya, nih ada catatan pelajaran hari ini. Kamu bisa nyalin
kan?” ucapku sambil memberinya buku tulisku. Aku memanfaatkan waktu bersalaman
sebelum berpamitan untuk menyerahkan catatan ini.
Arya hanya mengangguk tanpa ekspresi sambil menerima bukuku.
Dia langsung meletakkannya di samping bantalnya. Terlihat pandangan sirik dari
gerombolan Helen dan kawan-kawan termasuk Erni dan juga Santi.
Kami pun keluar dari kamar dan tak sempat berbincang lama.
Erni terlihat cukup puas dan bahagia karena sudah memberikan keranjang buahnya
meski tak diterima langsung oleh Arya. Tuti tampak kesal karena gak sempat
memotret wajah Arya. Niatnya tak dapat terlaksana karena ada Ibu guru Wali
kelas kami sih. Kami hanya melihat sejenak kondisinya dan segera berpamitan. Meskipun
kami duduk lama di dalam pun Arya gak bakalan ladenin omongan kita.
Aku menoleh sesaat ke arah Arya sambil tersenyum, dan
ternyata dia pun membalas senyumku. Untung gak ada yang ngelihat dan nyadar. Di
belakangku hanya ada Heru dan Asep, kedua orang terakhir yang memberi salam
pada Arya.
Sesampainya di luar kamar, Tuti mulai mengumpat gak jelas.
Rencana Bisnis pribadinya sepertinya berantakan.
“Tunggu aja, besok aku pasti balik lagi ke sini.” Tuti berkoar
dengan semangat membara dengan tangan mengepal.
“Erni juga ikut!” Erni malah ikutan gilanya si Tuti.
“Hush! Anak kecil tuh main boneka aja di rumah. Ini masalah
bisnis loh.” Tuti mulai berceramah.
“Seandainya semangat juang mu ini dipake buat belajar aja,
pasti kamu bisa masuk 10 besar loh.” Ledek Iqbal.
Aku dan ke lima teman yang lain turut mengangguk mengiyakan.
Tuti tampak kesal dan hanya berjalan meninggalkan kami dengan
tampang kesalnya.
“Erni ikut yah. Please?” Erni memelas dengan gaya manjanya.
“Nggak!” jawab Tuti dengan judes.
“Yah, ikut yah?” Erni terus merayu sambil menyamakan
langkahnya dengan Tuti yang terus mempercepat langkahnya.
“Nggak!” Tuti tetap tegas.
“Pokoknya erni ikut.” Rengek Erni.
Dan lagi-lagi Tuti tetap pada jawabannya. Kedua sohibku itu
akhirnya menghilang di ujung lorong bersamaan dengan suara pertengkaran mereka.
Aku memperlambat langkahku dan menghela nafas panjang.
Akhirnya lega karena sudah memberikan buku catatanku tadi.
Sebenarnya dalam buku tulisku itu kusimpan kertas pesan yang
tadi pagi ingin disampaikan padanya. Aku harap Arya menyadari itu dan
membacanya. Oh ya, aku pun menambahkan beberapa kata baru. Sebenarnya agak malu
juga sih nulis gini. Kami seperti orang yang pacaran diam-diam saja. Namun
dalam hati aku tidak terlalu berharap sih setelah melihat saking banyaknya
cewek-cewek yang naksir dia.
Tanpa sadar aku telah berada di halaman rumah sakit. Aku
menoleh ke jendela pada lantai dua rumah sakit ini. Terlihat samar-samar
bayangan Arya dari balik jendela itu. Dia terbaring sambil membaca buku
harianku. Semoga saja pesan itu dibacanya…
Kok bisa cedera sih?
Hati-hati yah kalau main basket. Dan semoga lekas sembuh yah!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar