Selasa, 22 Mei 2012

Novel | Wajah Kedua (Part 11)


Part 11
Accidently In Love…


Pagi ini seperti biasanya, Arya bersikap cuek dan diam. Padahal aku sudah menyapanya dengan senyuman terbaikku. Tapi menoleh ke arahku saja dia gak lakukan. Jadi illfell deh…
Karena kesal dengan perubahan sikapnya yang kembali ke mode cuek itu aku mengungsi ke belakang. Bergosip bareng Erni atau ngebantuin Tuti ngerjain PR yang lupa dibuatnya di rumah.
Padahal kemarin Arya udah perhatian padaku. Bahkan senyumannya yang jarang sekali terlihat itu diperlihatkannya padaku. Tapi kenapa hari ini dia masih saja jaga image. Sok keren gitu tapi ternyata di rumah anak manja. Ah, kenapa aku jadi emosi gini yah?

“Ren! Jalanmu kok agak aneh gitu?” tanya Erni.
“Oh kemarin sore aku lari trus terkilir deh.”
“Hah, kok bisa ampe terkilir gitu?” Tuti jadi ikutan nanya.
“Itu… aku ketabrak sama sepeda.” Jawabku dengan sedikit hati-hati.
Sepertinya Arya menyadari perbincangan kami. Dia bahkan berpura-pura batuk seakan memberi tanda padaku untuk tidak berbicara yang macam-macam.
“Hah? Siapa yang nabrak?” Tanya Tuti dengan menggebu-gebu. Sepertinya dia sudah siap menghajar orang yang telah menabrak sohibnya ini.
Aku ngelirik sebentar ke arah Arya. “Itu… anak kecil yang manja. Tapi udah gak apa-apa kok.” Jelasku.
Ada sedikit nada sindiran dalam ucapanku supaya Arya mendengarnya.

  

Seharian ini aku dan Arya saling diam. Yah, memang sejak dulu seperti ini sih. Tapi karena beberapa kejadian beruntun ini membuatku menjadi lebih dekat dengannya. Dan sepertinya aku jadi berharap dia jadi sedikit terbuka denganku. Aku sudah bosan duduk bareng patung kayak dia. Aku pingin bisa ngobrol dan bercanda dengan teman sebangku seperti teman-teman yang lain. Dan jujur aja aku sempat berharap sih.
Nggak Ren! Aku gak boleh berpikir dan berharap untuk Arya lagi. Kebetulan ini telah membuatku terlalu berharap pada Arya. Aku tidak ingin menjadi pemujanya seperti para Fansklubnya yang centil itu. Arya kamu hanya teman sebangkuku dan hubungan kita hanya sebatas itu dan gak lebih. Kamu memang tampan, keren dan wajah baby face mu membuat aku jadi gemes padamu. Hmm… kenapa yah aku jadi berharap padamu Arya?
“REN! Makan dulu!” teriak Mama dari dapur.
Ya ampun Ren, pulang sekolah kok malah ngelamunin Arya sih. Apa aku jatuh cinta ya sama Arya?
“IYA MA! Reni ganti baju dulu!” jawabku.
Mama memang orang yang agak protektif, disiplin dan tegas dalam hal kesehatan,  kebersihan dan waktu. Masalah sarapan, makan siang dan makan malam harus tepat waktu. Untung saja Mama gak terlalu overprotektif terhadap pergaulanku. Aku bisa bebas berteman dengan siapa saja. Asalkan aku bisa jaga diri dan gak mudah terpengaruh oleh rayuan cowok-cowok. Mungkin karena itulah sampai sekarang aku tidak membuka hati untuk cowok-cowok dan aku enjoy untuk tidak berpacaran dulu.
Sejak putus dari Erwin saat masih kelas satu dulu aku tidak ada niat mencari pelampiasan. Dan syukurlah aku bisa melewati hari-hari sedih berpisah dengan Erwin bersama Erni dan Tuti.
Loh, kok jadi mengenang masa lalu sih? Kebiasaan melamunku ini benar-benar parah banget deh. Mungkin udah masuk stadium tiga ya.
Aku segera mengganti seragamku dan mengeluarkan buku-buku dari dalam tasku. Kebiasaanku memang seperti ini supaya aku gak lupa kalau ada PR.
Sebuah kertas terjatuh dari buku cetak Biologi yang tadi dipelajari saat jam terakhir. Kertas berwarna putih itu jatuh saat aku akan meletakkan buku tebal ini di rak bukuku.
Kertas Apa yah ini? Aku membatin.
Aku memungutnya dan membacanya. Dan tersentak kaget penuh kekaguman bercampur bahagia. Gimana model ekspresinya yah?

Kakimu masih sakit? Maaf Yah! Aku bingung mau bilang apa! Sorry! ARYA

Hatiku langsung sumringah. Oh my God! Ini pesan dari Arya. Duh ternyata Arya perhatian banget. Aku jadi nyesel deh udah berpikir yang nggak-nggak sama dia.
Aku melangkahkan kaki dengan senandung ceria menuju dapur.
“Mama masak apa?” tanyaku.
“Ada tempe goreng kesukaan kamu tuh.” Jawab Mama.
“Wah, Mama memang paling baik sedunia deh.” Ucapku sambil mencium pipi Mama yang sedang duduk asyik menonton TV.
“Aneh deh, makan gih sono!” ucap Mama. Sepertinya Mama agak risih dengan tingkahku yang over ceria gini.
Dalam sekejap aku telah berada di dapur. Ternyata menu di atas meja adalah Tempe goreng, Sayur bayam dan telur dadar. Sebenarnya aku gak suka sayur bayam, tapi karena hari ini aku sedang bahagia banget makanya semua menu aku hajar deh. Dengan piring dan sendok sebagai senjata, aku Reni akan berperang melawanmu Tuan Bayam. Hahaha!

  

Iya tidak apa-apa kok. Aku juga yang salah karena jalan gak lihat-lihat. Reni juga mau ngucapin terima kasih buat Kak Wina yang udah anterin.

Kira-kira beginilah isi pesanku yang kutulis untuk membalas pesannya. Yang jadi masalah adalah gimana cara nyelipin nih kertas. Kalo aku buka-buka tasnya nanti malah dicurigai macam-macam. Apalagi mata-mata Fansklub Arya bertebaran dimana-mana. Aku jadi gak tau yang mana kawan dan yang mana lawan.
Oh ya, bagaimana cara Arya nyelipin kertas ke buku biologiku yah? Kalo aku ingat-ingat sih kemarin pas jam terakhir aku sempat ke meja Tuti dan Erni. Mungkin saat itu Arya nyelipin kertasnya.
Tapi kalo Arya sih tipe cowok yang gak akan ninggalin bangkunya sih. Jadi bingung gimana bales pesannya. Apa aku ngomong langsung ke dia yah.
By the way… Arya kok belum datang sih? Padahal bel pelajaran pertama udah bunyi tuh. Apa Arya gak masuk ya?
Akhirnya pelajaran pun berlangsung dan Arya belum juga nongol. Sejak sebangku dengan Arya, baru kali ini dia tidak masuk sekolah. Apa Arya sakit? Ya Allah, kenapa hati ini cemas banget?
Aku menoleh ke belakang, ternyata Erni juga tampak lesu kayak abis puasa seminggu. Ternyata bukan hanya Erni, hampir semua cewek-cewek di sini tampak kurang bersemangat. Kecuali Tuti yang cuek saja dengan keadaan kelas.
Selang beberapa saat wali kelas kami memberitahukan kalau Arya kakinya cedera saat bermain basket kemarin. Pengumuman itu disambut dengan nada sedih para cewek-cewek seantero kelas.
“Kalian kompak yah!” Bisik Tuti padaku.
“Hah? Maksudnya?”
“Kemarin kan Kakimu terkilir, sekarang giliran Arya yang kakinya cedera.” Jelas Tuti.
Hmm, benar juga tuh. Apakah ini namanya takdir cinta? Accidently in love… gitu deh. Aduh, norak deh aku. Nggak! Nggak! Jangan ngayal yang bukan-bukan deh Ren!
“Ih, kebetulan aja tau.” Elakku.
“He-em. Justru Arya tuh lebih kompak sama aku. Tadi pagi kakiku kejedot meja loh. Nah kompak kan?” Erni ikut nimbrung.
“Hah? Itu malah gak nyambung tau!” ledek Tuti sambil mencubit pipi Erni.
Erni hanya memasang tampang ngambeknya. Dia tak dapat melawan Tuti sih.
“Kita jenguk yuk?” usulku.
“Mau mau mau!” Erni langsung semangat lagi.
“Boleh deh, lagian sebentar sore aku gak ada kegiatan. Aku mau motret tampang pangeran yang meringis kesakitan.” Ucap Tuti.
“Hah, jangan-jangan Tuti udah bergabung ama Fansklub Arya nih?” godaku.
“Enak aja. Aku kan bukan Erni. Kebetulan aku punya bisnis pribadi.” Jelas Tuti.
“Kok aku dibawa-bawa sih?” Protes Erni.
“Bisnis Apaan Tut?” tanyaku penasaran tanpa memperdulikan Erni yang ngambek itu.
“Ada deh!” jawab Tuti disertai senyuman liciknya.
Aku dan Erni jadi kesal sudah dibuat penasaran dan kami hanya membiarkannya tertawa seperti tokoh antagonis di sinetron-sinetron itu.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar