Namanya Salsabila. Aku biasa memanggilnya Sasya. Lidahku agak aneh saat mengucap huruf “L”, sehingga “Salsa” ku ucap jadi “Sasa”. Dia adik sepupuku yang berusia 6 tahun. Meskipun dia kadang sangat menjengkelkan, namun aku tetap menyayanginya. Dia adalah malaikat penolongku yang menolongku dari kematian. Sayang aku sudah terlambat menyadari nasihat darinya...
***
Aku adalah seorang wanita bebas dan tak terikat apapun. Karena masalah keluarga, aku kabur dari rumah dan memutuskan kuliah di Singapura. Di saat liburan semester, aku tinggal di rumah Bu’de di Batam. Sebagai rasa terima kasih karena sudah diijinkan numpang, aku selalu menjaga Butik Bu’de. Meskipun sering sunyi, tapi aku tak pernah bosan dan jenuh.
Aku bersyukur bisa mendapatkan beasiswa di sebuah universitas di Singapura. Dari 880 kompetitor nasional, aku berhasil terjaring sebagai 20 mahasiswa yang mendapatkan beasiswa penuh. Aku mengambil jurusan psikologi dan aku berkonsentrasi pada psikologi remaja.
Aku juga punya seorang pacar yang sangat tampan dan perhatian terhadapku. Namanya Ricky Indra Prasetya dan orangnya sangat cool. Pokoknya tipe-tipe pangeran lah. Kakak ku, sering menyingkat namanya menjadi RIP. Saat pertama kali mendengarnya, aku tertawa dan agak jengkel juga. RIP alias Rest In Place, adalah sebuah tulisan yang tertera pada batu nisan kuburan.
Ricky adalah cinta pertamaku. Aku merasakan cinta pertama ini saat usiaku 19 tahun. Memang sangat terlambat namun aku adalah cewek keras yang tidak mau menjadi lemah karena masalah cinta. Dan saat SMA, banyak cowok yang tidak berani nembak aku dikarenakan aku menyandang sabuk hitam Karate. Awalnya aku menolak pernyataan Ricky. Saat itu aku masih di Makassar dan dia pun masih seorang mahasiswa jurusan Teknik Informatika sepertiku. Namun lama kelamaan hatiku luluh juga dengan segala rayuan, perhatian dan kesungguhannya.
Tak terasa hubungan kami sudah berlangsung selama 1 tahun lamanya. Aku pindah ke Bandung dan kami putus karena hilang kontak. Aku pun berhenti kuliah dan harus menuruti keegoisan Mama. Saat di Bandung aku kabur dari rumah karena Mama tidak mengijinkanku kuliah di Singapura. Padahal aku sudah mendapatkan surat panggilan. Padahal aku sudah rela meninggalkan kuliahku di Makassar. Mama malah menyuruhku menikah dengan seorang pengusaha tekstil yang berstatus Duda itu.
Aku nekat ke Singapura seorang diri untuk mengikuti tes. Dan Alhamdulillah aku berhasil lolos seleksi universitas sekaligus seleksi beasiswa. Aku akan berusaha sekuat tenaga demi cita-cita ku dan aku akan tunjukan pada Mama bahwa aku bisa mandiri tanpa dia.
Aku tinggal di sebuah Mess Mahasiswa di daerah Nanyang. Di mess ini berisi mahasiswi dari Indonesia. Di Mess aku jarang bergaul dengan mahasiswi lainnya. Aku lebih sering membaca buku dan mengurung diri di kamar.
***
Liburan semester pun tiba. Aku kembali ke Batam dan menjaga butik milik Bu’de.
Hari ini aku menutup butik agak larut sehingga pulang agak kemalaman. Dalam perjalanan pulang, aku bertemu kembali dengannya di depan Butik. Ricky? Apakah benar itu dia?
“Rik!” aku mencoba menyapanya.
“Nin? Bukannya kamu di Bandung?” ternyata benar. Dia Ricky cinta pertamaku.
Aku tersenyum dan mulai menceritakan kisahku padanya. Dia mentraktirku di sebuah kafe tenda di pinggir jalan. Dia bekerja di Café Starbuck sebagai seorang manejer. Jika tengah malam, dia ada club malam sebagai seorang Disk Jokey atau DJ. Saat ini dia sedang dalam perjalanan ke sana.
Aku ingin ikut dan melihatnya namun aku harus segera pulang karena Bu’de pasti cemas. Segera ku tancapkan skuter warna merah ini menuju rumah. Dan akupun mendapatkan sedikit ceramah ringan dari Bu’de.
Esoknya, aku harus mendapatkan hukuman dan menjaga Sasya di rumah. Ini adalah pertemuan pertamaku dengan Sasya. Dia sangat cerewet, meskipun usianya baru 3 tahun. Wajahnya sangat imut dan menggemaskan. Tapi yang bikin aku repot adalah sifat manja dan cengengnya. Aku harus bersabar, karena dia hanyalah bocah kecil yang belum mengerti apa-apa.
Selama lima hari aku di Batam, aku lebih banyak menghabiskan waktuku bersama Sasya. Dan sebelum kembali ke Singapura, Ricky nembak aku lagi dan memang hanya dialah yang ada di hatiku. Aku menerimanya dan kami kembali jadian.
***
Tak terasa 3 tahun telah berlalu. Rutinitas bolak-balik Batam Singapura akan segera berakhir. Sebentar lagi aku akan menempuh ujian akhir dan akan kubawa bukti gelar itu kepada Mama yang tidak pernah menganggapku.
Sasya sudah berusia 6 tahun dan kerjaannya itu mengekor padaku. Dia selalu meniru gayaku. Namun jika ditiru olehnya, malah terlihat menggemaskan. Tapi Sasya jadi sering ngambek tanpa sebab. Dia jadi agak egois, mungkin karena dia tidak memiliki saudara lain selain aku. Dia selalu menuntut aku harus ada untuknya. Kadang aku sangat jengkel padanya bahkan pernah memukulnya.
Aku bertemu dengan salah satu kakak terbaikku. Ternyata dia sudah di kampung halamannya dan masih suka bermain dengan anak kecil. Dia tidak berubah sama sekali. Saat SMA dulu, sebelum aku mengenal Ricky, aku sempat berharap menjadi kekasihnya. Tapi aku gengsi untuk bicara dan orangnya memang tidak sensitif. Dan dia masih bisa diandalkan dalam memberi masukan.
Hubunganku dengan Ricky pun semakin lengket saja meski jarak memisahkan kita. Batam dan Singapura adalah pemisah kita. Kami bahkan sudah tunangan dan sudah mendapat restu oleh Orang Tua Ricky di Palembang.
Saat itu aku memutuskan untuk bertemu Mama di Bandung. Aku hanya minta restunya untuk Ricky. Namun ternyata Mama masih belum memaafkan aku. Makanya aku berangkat ke ujung Indonesia, yaitu di Merauke. Di sana masih ada Papa yang sudah diceraikan Mama sejak aku masih kecil.
Sudah 7 tahun aku tidak pernah bertemu Papa. Aku sangat terharu dengan pertemuan ini. Papa menyambutku dengan hangat. Air matanya jatuh menetes di rambutku saat memelukku. Papa sudah pensiun dari tentara. Aku senang Papa masih sehat dan aku berharap Papaku menyetujui hubunganku dan Ricky.
Alangkah bahagianya diriku saat Papa memberi restu. Saat kembali aku singgah di Makassar untuk menjenguk Nenek dari pihak Papa. Kata Papa, Nenek sangat kangen sekali padaku. Semoga semuanya merestui hubunganku dengan Ricky.
***
Beberapa bulan kemudian, entah mengapa dia menjauh. Ricky jadi lebih sering ke luar kota dan bila dihubungi dia marah-marah. Bahkan sempat mengancam akan putusin hubungan kita. Mungkin karena dia membaca curhatanku sama Kakak ku di Yahoo Mesenger. Aku curhat tentang seorang cowok SMA yang menjadi pasienku. Tiga bulan yang lalu, aku diminta menyembuhkan ketergantungan narkoba yang dialami cowok itu. Setelah tiga bulan berlalu, cowok itu sembuh dan sudah mulai ceria. Dia sering menjadikanku teman curhatnya.
Dia sering ke butik atau kami chating dan Ym-an sambil curhat-curhatan. Aku tidak pernah memberikan nomor HP ku pada orang baru. Makanya kami jarang SMS-an. Sekali kita memberikan nomor HP kita, apalagi sama cowok. Mereka akan mudah mengusik kehidupan kita dan mereka akan berpikir kita menyukai mereka.
Dan dalam curhat itu aku mengakui aku jatuh hati sama pasienku. Aku ingin berbagi sekaligus bertanya padanya yang juga seorang pengajar. Apakah kakak pernah jatuh cinta sama anak didiknya?
Saat sempat kuliah dulu, kakak adalah asisten dosenku dan aku tak pernah melihatnya jalan bareng dengan mahasiswinya. Aku ingin dia memberikan pengalamannya tentang menjalin hubungan tanpa menimbulkan rasa cinta. Aku ingin berbagi cerita ini dengannya. Bagaimana cara membunuh perasaan ini karena aku sudah punya Ricky.
Namun di saat seperti ini Ricky malah menjauh. Aku tidak punya tempat mengadu hingga akhirnya aku pun memberikan nomor HP ku pada pasienku itu. Namanya Haikal dan dia berdarah Aceh.
Hampir setiap hari SMSnya masuk dan aku membalasnya seadanya. Entah mengapa setiap SMSnya masuk, aku jadi sering tersenyum. Sasya sampai terheran-heran melihat kakaknya yang aneh ini. Sepertinya Haikal telah menggantikan posisi Ricky di hati ini dan aku malah jadi dilema.
Aku sudah bertunangan dengan Ricky dan aku tidak ingin rencana ini gagal. Apalagi sedikit lagi aku akan wisuda. Ricky pasti melamarku setelah kelulusan ini. Makanya dia mulai sibuk dengan pekerjaannya agar saat pernikahan kita nanti dia bisa lebih fokus padaku.
Aku harus berpikir positif dan jangan bersedih. Aku punya banyak orang yang menyayangiku. Pasien-pasien tak terduga dari penjuru nusantara. Kebanyakan remaja dan aku bersyukur mereka senang bahkan menjadikanku kakak. Ada Sinta, Eki, Ihwan, Novi, Klara, Steve, Ananda, Zul, Fitria dan Rahma. Bahkan Sasya pun sudah mulai curhat-curhatan padaku.
Sasya sudah masuk kelas 1 SD. Dan dia sering bercerita tentang teman-teman kelasnya. Bahkan sudah ada anak cowok yang menarik perhatiannya.
“Teteh! Awi keren. Dia pintar matematika loh.” Ucap Sasya.
Meskipun kami tinggal di Batam, Bu’de selalu mengajari Sasya tentang budaya sunda. Karena itu Sasya memanggilku Teteh, yang artinya kakak perempuan. Aku tertawa mendengar ucapannya.
“Wah, Sasya sudah naksir-naksiran euy.” Aku menggodanya.
Dia jadi ngambek dan terlihat kembang kempis di pipinya. Aku jadi tidak enak hati. Akhirnya sebagai permintaan maaf, aku mentraktirnya es krim. Bu’de sudah mengijinkanku membawa mobil Honda jazz merah itu. Dengan mobil ini, aku dan Sasya berjalan-jalan keliling kota Batam.
Dalam hati aku mengucap syukur dan terima kasih untuk Sasya yang telah menemani hari sepiku hari ini. Seharian ini aku tidak ada konsultasi sama pasien-pasienku. Dan dalam hati aku merindukan Ricky dan juga Haikal. Untung ada Sasya yang membuatku melupakan rasa rindu itu...
***
“Nin! Siap-siap atuh. Mesti ke salon kan?” Bu’de membangunkanku.
Hari ini aku akan wisuda. Bu’de dan Sasya menginap di Mess ku yang sempit ini. Aku sudah memanggil Mama dan Papa namun Mama masih belum memaafkanku. Dia hanya mengucapkan selamat dan doa untukku. Sepertinya hati Mama sudah mulai melunak padaku. Papa pun hanya mengirim doa dan nasehat buatku. Papa sangat jauh di Merauke dan dia sedang sakit. Jadi hari ini Bu’de dan Ricky yang akan menemaniku.
Sejak pukul 5 subuh aku sudah ke salon dekat mess untuk didandani. Jalanan biasanya macet di sekitar sini, makanya persiapan harus dilakukan sedini mungkin.
Saat berangkat ke Aula Kampus, Sasya masihlah sangat mengantuk dan terus-terusan protes di dalam Mobil karena boneka kesayangannya lupa dibawa. Dia tak bisa tenang tanpa boneka bebek itu. Boneka tokoh kartun pokemon psyduck dengan tampang bingung. Sasya menamakan bonekanya dengan nama Pisi.
“Kenapa Pisi gak dibawa?” keluh Sasya.
“Aduh, Teteh lupa. Tapi sebentar kak Ricky ambilin deh.” Ucapku.
“Kasihan Pisi sendirian di kamar.” Keluhnya lagi.
“Duh, maaf ya. Sasya jangan ngambek dong. Teteh beliin es krim mau?” bujukku agar dia tidak ngambek.
“GAK MAU!” Sasya mulai berteriak dan meraung.
Aku dan Bu’de mencoba menenangkan Sasya. Ricky yang sedang mengemudikan mobil hanya diam dengan pandangan dinginnya. Aku yang duduk di sampingnya merasa jengkel sekali melihatnya begitu. Semoga dia tidak bertampang seperti ini saat acara wisuda nanti.
Oh ya, hanya Ricky yang belum mengucapkan selamat atas kelulusanku. Padahal aku ingin sekali dia yang pertama mengucapkan ucapan itu hari ini.
***
Acara wisuda ku telah selesai begitupun dengan hubunganku dengan Ricky. Entah mengapa setelah kembali ke Batam, dia pergi tanpa bicara apa-apa. SMS ku tak dibalas begitupun dengan teleponku. Aku jadi bingung dan bertanya-tanya tentang salahku. Apakah dia masih mempermasalahkan curahan hatiku tentang Haikal?
Aku jadi sering murung dan bersedih karena sikapnya. Sudah semingu berlalu sejak dia pergi tanpa berkata apa-apa. Bahkan saat pulang ke Palembang dia pun tak pamit atau cerita sesuatu padaku. Apakah hubungan kita selama 3 tahun ini harus berakhir di saat kita sudah mendapatkan restu?
“Apakah yang sedang anda pikirkan?”
Tiba-tiba Sasya datang menghampiriku dengan sebuah pertanyaan yang sering aku tanyakan saat menjadi sosok seorang psikolog.
Aku menatapnya sejenak lalu tersenyum melihat wajah polosnya. “Teteh lagi sedih dek!” ucapku.
“Hmm! Anda membutuhkan seorang psikolog. Tunggu sebentar, Sasya panggil psikolognya.” Ucapnya lalu ia berlari menuju kamarku.
Beberapa saat kemudian dia keluar dengan seragam praktekku. Meski longar, dia memakainya dan berusaha menahan baju itu agar tidak kedodoran. Di tangan kanannya ada notes kecil dengan pensil.
“Dokter Sasya siap membantu anda.” Ucapnya lalu menyuruhku duduk di sofa.
Aku jadi terhibur. Dan akupun mengikuti permainannya. Aku pun duduk rileks sambil bersandar di sofa single seat itu. Dia sering melihatku menangani para pasien dan sering menemaniku nonton video tentang teknik-teknik menjadi psikolog. Dan sehabis nonton, Sasya selalu menjadi kelinci percobaanku. Dia aku suruh menjadi pasien yang sedang stres dan depresi.
“Nama anda siapa?” tanyanya.
“Teh Nina.” Jawabku.
“Yah, Teteh! Yang lengkap dong?” protes Sasya.
Akupun menyebutkan namaku. Setelah itu mulai menceritakan kisahku. Entah mengapa aku jadi terbawa suasana saat bercerita. Padahal ini hanya sebuah permainan. Tapi aku bercerita dengan jujur tentang perasaanku. Dan Sasya memperhatikan dengan serius setiap ucapanku. Setiap perubahan ekspresiku. Dia malah mencatat sesuatu pada notesnya. Entah apa yang dia tulis pada notes itu.
“Masalah anda adalah masalah patah hati. Karena cinta kan? Kata Pak Ustad Gofur, jangan pacaran. Cinta sama Allah saja.” Ucapnya sambil berlagak bijaksana.
Aku tertawa terkikik mendengar penjelasannya. Meski tidak memuaskan hatiku, tapi kata-katanya yang sok dewasa itu menentramkan hatiku.
“Sasya mau jadi psikolog?” tanyaku.
“He-eh!” Sasya mengangguk penuh semangat.
Aku berdiri dari sofa. Kemudian aku mengangkatnya dan menggendongnya. Aku mendudukkannya di atas meja agar sejajar dengan tinggi badanku. Aku menata rambutnya dan merapikan bajunya.
“Sasya pasti bisa jadi Psikolog. Asal Sasya belajar yang rajin, gak ngambek, gak marah-marah dan dengerin nasehat Mama.” Ucapku.
“Iya Teh!”
Anggukan Sasya yang penuh semangat membuatku kembali bersemangat. Mumpung tidak ada kerjaan mending ke butik saja deh, tenangin diri disana. Tak lupa aku mengajak Sasya yang semangat ingin bertemu mamanya.
***
Akhirnya aku bertemu juga dengan Ricky. Namun pertemuan ini ternyata sangat menyakitkan hatiku. Dia jalan sama cewek lain? Bahkan berbelanja di butik Bu’de. Oh My God! Hatiku hancur lebur melihat kemesraan mereka berdua. Sungguh tega dia menyakiti hatiku secara terang-terangan begini.
Aku segera berlari meninggalkan butik. Sasya yang kebetulan ada di butik mengikutiku. Aku mengendarai mobil Bu’de dengan penuh luapan emosi. Tanpa terasa aku menancapkan gas dan melaju dengan kencang.
“Teteh! Aku takut!”
Aku tersentak dan mulai melambatkan mobil. Aku tak sadar Sasya mengikutiku tadi. Aku menghentikan mobil dan memarkirnya. Ku hela napasku yang sedang tak beraturan ini. Jantungku berdetak kencang dan aku kumat lagi. Tiba-tiba aku pingsan dan tak sadarkan diri.
Saat sadar, aku sudah berada di rumah sakit. Aku berharap Ricky menjengukku namun tak pernah kudengar lagi kabar darinya. Aku sudah membencinya, sangat-sangat membencinya.
***
Setelah keluar dari rumah sakit, Sasya jadi takut jika aku akan menyetir mobil. Setiap kali aku akan mengantarnya ke sekolah dia tidak mau dan ngambek. Terpaksa Bu’de yang harus mengantar Sasya.
“Sasya takut ya? Teteh janji gak akan balap kalo nyetir.” Ucapku pada Sasya sebelum dia berangkat ke sekolah.
Sasya hanya tertunduk diam dan lesu sambil memeluk boneka Pisi kesayangannya.
“Ya sudah, beresin barang-barang kamu. Besok kan kita berangkat ke Bandung.” Ucap Bu’de.
“Iya Bu’de!” ucapku.
Dan Bu’de pun melaju keluar dari pagar rumah. Pa’de kerjanya sebagai pilot jadi jarang banget ada di rumah. Makanya aku lagi-lagi harus sendiri lagi hari ini. Aku akan coba tenangin diri dan melupakan Ricky.
Padahal Haikal sudah punya pacar, dan aku sadar aku terlalu tua untuk Haikal. Jika Ricky masih mempermasalahkan itu aku sangat kecewa padanya. Seharusnya dia bicara dulu tentang kesalahanku atau apapun itu. Aku tak suka jika tiba-tiba didiamkan begini, apalagi disakiti begini.
***
Akhirnya aku dan Bu’de sekeluarga pulang ke Bandung. Kebetulan Sasya juga sedang libur natal dan tahun baru. Saat di Bandung, aku masih belum diterima Mama meskipun dia sudah mulai bicara padaku. Dan memang aku yang salah pada Mama karena kabur dari rumah, makanya aku tidak punya hak untuk kembali ke rumah.
Aku tinggal di rumah Bu’de. Dan aku senang Sasya sudah mulai main lagi padaku, meskipun dia masih takut jika aku mengajaknya dengan mobil.
“Sasya takut Teteh kecelakaan dan mati. Sasya gak mau Teteh mati. Sasya sayang sama Teteh.” Jelas Sasya.
“Teteh janji gak akan ngebut. Sasya duduk yang tenang ya?” ucapku.
“Iya!” jawab Sasya.
Akhirnya siang ini aku berhasil mengajak Sasya keluar jalan-jalan. Sudah seminggu kami tidak jalan bareng. Dan Sasya terlihat rileks dan santai. Aku mengajaknya keliling-keliling kota Bandung, dan kami singgah di beberapa tempat menarik. Apalagi ditemani adik kecil yang imut seperti Sasya. Rasanya menyenangkan sekali dan bisa sejenak menghilangkan rasa sedih di hatiku ini.
Sorenya aku pulang dan mencuci mobil kami yang agak kotor. Maklum tadi siang hujan dan kami melewati beberapa jalanan berlumpur. Sasya pun menemaniku mencuci mobil ini. Sebuah mini Van berwarna silver. Karena besok pagi kami akan memakai mobil ini bersama Bu’de dan beberapa kerabat menuju Puncak. Ada sebuah rumah yang di sewa Pa’de untuk merayakan malam Tahun baru. Dua hari lagi tahun 2010 akan berakhir dan semoga aku bisa melupakan segala kenanganku tentang Ricky.
Aku dan Sasya lebih sering bermain daripada mencuci mobil. Kami main semprot-semprotan dengan selang. Sasya bahkan mengambil pistol air miliknya dan menyerangku dengan peluru air. Meskipun melelahkan tapi sangat menyenangkan juga.
Malamnya aku sedang membaca sebuah novel. Tiba-tiba dering HP ku berbunyi dan akupun mengangkatnya.
“Halo?” tanyaku. Aku tidak pernah memberitahukan nomor HP ku. Jadi, aku penasaran dengan nomor baru ini.
“Halo!” dari balik speaker HP ini aku mendengar suaranya lagi. Suara Ricky.
“KAMU MAU APA LAGI? SUDAH CUKUP NYAKITIN HATIKU! AKU SUDAH MUAK DENGAN KAMU.” Ucapku dengan penuh luapan emosi.
“Aku juga sudah muak dengan kamu. Aku cuma mau bilang kalau pertunangan kita batal. Maaf ya! Bulan depan aku akan menikah.” Jelasnya dengan nada datar.
“Apa kamu tidak menganggap 3 tahun kebersamaan kita ini? Kenapa tiba-tiba kamu milih dia?” tanyaku penasaran. Sebaiknya aku mencoba meluruskan masalah ini dulu.
“3 tahun? Aku juga menjalin hubungan dengannya sebagai sahabat dan adik. Dan ternyata dia lebih bisa menenangkan hatiku daripada kamu. Kamu cewek egois yang tak pernah memikirkan orang lain.” Jawaban Ricky membuat emosiku naik.
“AKU EGOIS GIMANA? Aku selalu berusaha ngertiin kamu. Justru kamu yang sering bolak-balik ke Palembang tanpa kabar apa-apa.” Ucapku.
“Maaf ya Nin! Aku kira hal itu gak perlu dijelaskan lagi. Mulai hari ini dan selamanya, kita putus.”
Dan seiring telepon yang diputuskannya, hubungan kami pun berakhir. Padahal saat ini aku ingin dihibur. Aku merindukan malam tahun baru yang telah kita lewati selama 3 tahun itu. Mengapa hatinya bisa berubah?
Dalam pengaruh emosi aku jadi menggila dan rasanya ingin sekali ku berteriak namun tak sopan dan takut Pa’de marah. Akhirnya akupun mengambil kunci mobil yang baru saja kucuci itu. Aku ingin mencari angin dan menghilangkan stres yang mengguncang hatiku. Atau mungkin sebaiknya aku mati saja agar rasa perih ini segera berakhir.
“Teteh mau kemana?” Sasya mencegatku di pintu rumah.
“Teteh mau cari angin dulu Dek. Sasya bobo duluan ya?” ucapku.
“Uhm! Gak mau ah. Sasya mau ikut Teteh. Boleh ya? Di sini sepi tidak ada teman.” Bujuk Sasya.
“Tapi Sasya...” ucapanku terpotong karena tiba-tiba Sasya lari menuju kamarnya.
“SASYA MAU AMBIL PISI DULU TEH!” teriaknya.
Aku segera berjalan menuju mobil. Agar Sasya tidak mengejarku. Aku seperti bermain kucing-kucingan dengan Sasya. Ku nyalakan mesin mobil namun tak berbunyi.
“Teteh! Teteh! Tunggu! Bukain pintunya dong.” Rupanya Sasya sudah menyusulku.
Aku turun dan mendekatinya. “Maaf ya Sasya! Mobilnya tidak mau jalan.” Ucapku.
Sasya terlihat kecewa. Namun dia segera melapor Papanya. Dan Pa’de pun datang memperbaiki mesin mobil ini. Besok mau dipakai perjalanan jauh makanya kondisi mobil mesti dalam keadaan fit.
Hatiku mulai melunak dari guncangan emosi. Aku mencoba mengirim sms permintaan maafku pada Ricky. Namun sepertinya tak digubris, bahkan kartunya tidak diaktifkan. Aku jadi bingung dengan kesalahanku. Dia hanya bilang aku egois tanpa menjelaskan hal apa yang membuatku terlihat egois di matanya.
Pa’de pun telah selesai memeriksa mobil dan akhirnya mobil ini pun siap dikemudikan.
“Mau kemana sih?” tanya Pa’de.
“Mau ke rumah Mama. Nina mau pamitan dulu sama Mama sebelum meninggalkan Bandung.” Jelasku.
“Oh. Mudah-mudahan mama kamu sudah bisa maafkan kamu. Bila perlu nginap saja di sana.” Usul Pa’de.
“Iya Pa’de. Makasih udah perbaiki mobilnya ya? Loh! Mana Sasya?” tanyaku.
“Tadi dia ada. Mungkin sudah naik ke kamarnya tidur.” Jelas Pa’de.
“Ya sudah, Nina pamit dulu ya?”
Aku pun pergi menuju rumah Mama.
***
Ternyata, Mama masih belum bisa menerima keberadaanku. Kami bertengkar hebat dan tanpa sengaja aku mengucapkan kisah yang tak pernah ingin kubuka. Aku tak sengaja mengatakan bahwa dulu Papa Tiri ku. Pernah mencoba untuk memperkosaku. Mama tidak pernah mengerti perasaanku hidup bersama dia.
Dan pertengkaran itu berakhir dengan sebuah tamparan dari Mama dan kata-kata yang tidak ingin ku dengar darinya. “Pergi! Dan jangan pernah kembali lagi. Kamu bukan anak Mama.”
Hatiku makin kacau, Ricky yang memutuskanku tanpa alasan yang jelas, Mama yang sudah mengatakan aku bukan anaknya, Rektor yang menahan ijazahku karena masalah administrasi, beasiswaku yang dicabut, Haikal yang tak dapat kusayang, sahabat yang menjauh. Tak ada tempatku untuk mencurahkan segala perasaan ini.
Aku membuka facebook dan kutulis status itu dengan penuh keyakinan.
Mohon maaf, ini status terakhirku. Aku tidak akan pernah lagi mengganggu kehidupan kalian.
Setelah itu kutancapkan pedal gas mobil dan melaju tanpa memperdulikan rambu. Jalanan memang sudah sunyi karena sudah jam setengah dua belas. Apalagi di sini daerah pinggiran kota.
Aku melihat sebuah jurang yang dalam di ujung jalan. Pikiranku penuh dengan emosi, air mataku tak berhenti mengalir, mataku mulai kabur dan akal sehatku hilang. Aku akan terjun dengan mobil ini. Aku sudah tidak perduli lagi dengan hidup ini. Aku yakin dengan keputusanku untuk terjun ke jurang itu.
“Teteh?”
Aku tersentak mendengar suara Sasya. Aku menoleh ke belakang mobil dan Sasya terlihat baru bangun. Sepertinya dia tertidur di jok belakang saat Pa’de memperbaiki mobil ini.
Aku segera menginjak pedal rem. Namun semua sudah terlambat, mobil kami telah melayang diiringi teriakan histeris Sasya dan diriku.
***
Aku terbangun dengan badan yang terasa perih. Tubuhku kaku dan mati rasa namun aku bisa merasakan jetak jantungku. Apakah aku masih hidup atau sudah mati? Apakah ini akhirat ataukah aku masih di dunia?
Aku terus bertanya-tanya dan kutemukan jawabannya. Seorang suster melihat keadaanku dan segera berlari mencari dokter.
“Kamu sudah sadar ya! Tenang saja, ini di rumah sakit. Kamu selamat dari kecelakaan itu.” ucap dokter.
Ternyata aku belum mati. Namun aku mengalami luka serius. Aku mencoba kembali mengingat kejadian malam itu. AH! Sasya???
“Dok? Sasya Dok?” tanya ku penuh dengan rasa bersalah. Aku berusaha berteriak meski suaraku terdengar pelan.
Tiba-tiba Bu’de muncul dari balik pintu. “Kamu sudah siuman sayang?”
Aku mengangguk lemah. Pa’de pun muncul dari belakang Bu’de.
“Alhamdulillah. Syukurlah, Bu’de khawatir sekali.” Ucap Bu’de.
“Bu’de! Sasya dimana? Kemarin, ternyata dia ketiduran di dalam mobil.” Jelasku.
Mereka terdiam sesaat. Hatiku jadi tak enak, dan jantungku mulai berdegup kencang.
“Sasya masih belum siuman?” tanya ku.
“Kemarin??? Kamu sudah sebulan lebih tidak sadarkan diri.” Ucap Pa’de.
“APA?” aku kaget. Dan aku mulai memperhatikan keadaan sekitarku. Apakah aku dikerjain sama Pa’de?
“Sekarang sudah tanggal 9 Februari.” Jelas Pa’de.
“Lalu... Sasya gimana?” tanyaku lagi.
“Sasya tidak selamat nak! Dia sudah berpulang.” Jawab Pa’de dengan suara bergetar.
Air mataku jatuh tak tertahankan. Aku tidak bisa memaafkan diri ini. Padahal Sasya sudah mencegahku dengan kepolosannya. Tapi kenapa aku jadi bodoh begitu?
“Maaf Bu’de! Ini semua salah Nina.” ucapku lemah.
Bu’de mendekat dan duduk di sampingku sambil membelai rambutku. “Nak, Bu’de tidak salahkan siapa-siapa. Ini semua takdir Allah. Yang namanya kecelakaan itu tak dapat disangka-sangka. Bu’de memang sedih tapi semua sudah berlalu, Bu’de sudah mengikhlaskannya. Makanya sayang... jangan salahkan dirimu.” Ucapan Bu’de menenangkan hatiku. Air mata ini semakin tak tertahankan. Aku menangis dalam belaian Bu’de.
Ya Allah, maafkan lah aku. Aku telah membunuh. Membunuh diriku dan juga adikku. Ternyata memang benar aku ini egois. Aku anak yang tidak berbakti. Aku hanya mementingkan diri sendiri. Ya Allah, seandainya Bu’de adalah Mamaku. Aku ingin bisa menggantikan Sasya.
Sasya... maafin Teteh ya? Seandainya waktu itu aku tahu kamu ada di dalam mobil. Seandainya kakak tidak cepat emosi dan bisa mengendalikan diri. Seandainya Teteh mengajak kamu pergi bersama. Harusnya saat itu Teteh tidak lari saat kamu pergi mengambil boneka Pisi kesayanganmu. Seharusnya Teteh yang mati dan bukan kamu dek. Aku sangat sayang padamu. Cuma Sasya saja adik kakak yang bisa mengerti aku. Yang selalu menghibur dan membuatku tersenyum. Sasya... maaf ya! Teteh sudah jadi kakak yang jahat buat kamu.
Ya Allah, maafkan aku... aku tahu tak pantas meminta maaf. Selama ini aku selalu berpaling darimu. Aku terlalu terlena dengan cinta dunia. Ya Allah... jika Engkau berkenan, tukarkan nyawaku dengan Sasya. Biarkan dia tetap hidup dan ambilah aku sebagai gantinya.
Mengapa semua ini terjadi? Mengapa? Mengapa Allah membenciku?
***
Aku duduk termenung di depan kuburan adikku tersayang. Salsabyla Rahma.
Sasya adikku... kakak ingin melihatmu tumbuh besar menjadi remaja. Kakak ingin melihatmu menjadi seorang psikolog seperti kakak. Kakak ingin mendengar suara tawamu yang lucu. Kakak ingin melihat senyuman manismu. Kakak ingin kita bermain lagi seperti dulu.
Maafkan aku Sasya...
Ya Allah! Terimalah adikku di sisi Mu. Dan Ikhlaskan hatiku untuk merelakannya. Merelakan semua masalah yang terjadi pada diriku. Aku ingin kembali pada Mu Ya Allah...
Setelah menjenguk kuburan Sasya. Aku singgah di sebuah warnet. Entah mengapa langkahku menuntunku ke warnet ini.
Sebulan lebih aku tak mendengar cerita dunia. Aku seperti orang asing di dunia ini. Dari tanggal 28 Desember 2010 hingga 9 Februari aku tak sadarkan diri. Namun Allah menjaga hidupku dan memberikan aku kesempatan kedua di hidup ini. Dan kehidupan baru ku dimulai dengan sesal dan sedih di hati.
Aku iseng-iseng membuka situs dan mencari-cari lagu baru. Tangan ku seperti menuntunku melihat daftar playlist lagu-lagu sahabatku. Ada sebuah lagu yang menyentuh hatiku...
Tuhan lindung, Tuhan jagalah...
Sayangi dia... bintangku
Saat jiwaku, Saat ragaku...
Tak dapat menggapainya
Dengar do’aku wahai Tuhanku
Aku meminta kepada Mu
Lindungi dia, sayangi dia
Disaat dia rapuh...
Aku takut sesuatu terjadi
Aku takut kehilangan dirinya
Tuhan ampuni, beri petunjuk
Beri rahmatmu kepadanya
Beri cahaya, beri harapan
Agar bintangku bersinar slalu...
Rupanya dia pun sedang bersedih dan bertengkar dengan adiknya. Akupun menceritakan kisahku padanya. Dan dia pun mengerti dan mau berusaha memaafkan adiknya.
Karena itu... kisah ini kutulis agar kalian semua lebih menghargai adik kalian yang kalian sayangi. Agar kalian harus lebih menjaga dan menyayangi dia. Karena di saat dia pergi. Kita akan rapuh dan merasa bersalah. Meskipun dia terlihat membenci bahkan mendiamkan kita, namun kita harus berusaha menggapainya. Karena dalam hatinya... dia juga sangat menyayangimu.
Seorang sahabat memberiku saran. Pajanglah foto orang yang kalian sayangi sebagai wallpaper HP. Atau di dalam dompet. Agar saat timbul pikiran bodoh dalam dirimu, wajah cerianya akan mencegahmu dari pemikiran bodoh itu. Pemikiran untuk menyelesaikan masalah dengan membunuh diri kita sendiri.
Dan di dalam dompet, di wallpaper Handphoneku dan di dalam hatiku. Aku telah memajang foto itu... foto Sasya yang tersenyum manis sambil memeluk boneka bebek berwarna kuning itu. Karena aku menyayangimu Sasya...
TAMAT
Tidak ada komentar:
Posting Komentar