Senin, 07 Maret 2011

Cerpen | Audrey Sang Pianis

Audrey Sang Pianis

Alunan suara piano membahana dari ruang kesenian yang terletak di belakang sekolah. Seisi sekolah tahu siapa yang memainkannya. Dia adalah Audrey Chandra siswa kelas 2 – 8. Semua orang mengenalnya karena bakatnya itu. Meskipun dalam hal pelajaran, dia termasuk siswa dengan kepintaran rendah. Semester lalu mungkin merupakan prestasi terendahnya. Semua pelajaran kecuali Seni dan Bahasa Indonesia mendapatkan nilai dibawah 5. Ia memang jarang belajar. Kebanyakan waktunya dihabiskan untuk bermain piano. Setiap ada lomba bermain piano, ia selalu mendapatkan juara pertama. Dengan sumbangsih gelar itu, dia dapat bertahan di SMA favorit ini.
Sungguh sangat berbeda denganku. Aku bertahan dengan nilai rata-rata. Gak ada bakat atau sesuatu yang bisa kubanggakan. Aku hanyalah seorang cewek pendiam yang sering menatapnya dari sini. Aku memang pemalu, tapi aku juga ingin sekali bisa bermain piano. Kalo Audrey yang ngajarin boleh nggak ya? Aku takut bakalan dihajar sama geng cewek-cewek itu. Dia lumayan terkenal dan banyak fansnya. Aku tak mungkin disapanya.
Sore itu aku masih merapikan buku-buku di Perpustakaan Sekolah. Hari ini aku menjadi petugas Perpus bersama Rini. Namun Rini sudah pulang duluan karena ada kencan hari ini. Kulihat jam dinding perpustakaan sudah menunjukkan pukul 3 lewat 10 menit. Pekerjaanku pun sudah hampir selesai tinggal menutup jendela dan mengunci pintu. Saat ku lihat keluar jendela kulihat seseorang terbaring dekat sebuah pohon. Aku pun segera ke sana mengeceknya.
“Audrey?” aku kaget melihatnya tergeletak di atas rerumputan. “Kamu gak apa-apa? Drey?” aku menggoyang-goyangkan tubuhnya.
Lima menit tak ada respon, aku segera memanggil penjaga sekolah untuk menggotongnya ke ruang UKS. Beberapa menit kemudian Audrey pun sadar sebelum petugas UKS datang.
“Heh? Dimana nih?” ucapnya.
“Di ruang kesehatan. Tadi kamu pingsan.” Jelasku.
“Oh. Sepertinya aku sudah baikan. Aku pulang dulu. Oh ya, makasih.” Ucapnya sambil beranjak dari tempat tidurnya.
“Eh, jangan. Dikit lagi Pa Kosim datang. Biar dia periksa kamu dulu.” Ucapku sambil menahannya.
Dia diam sambil menatapku. Aku jadi cemas dengan tatapannya. Apa dia mau memukulku ya? Aku kan dewi penolongnya. Tega! Tega! Tega!
“Kamu siapa ya? Kayaknya kenal.” Ucapnya.
Aku takjub dengan pertanyaannya itu. Nih anak nggak pernah sosialisasi kali ya.
“Kita kan sekelas.” jelasku.
“Oh ya? Aku nggak pernah lihat kamu?”
“Ya Ampuuun! Makanya jangan berteman sama Piano doang. Gaul dikit napa? Aku duduk di dekat jendela bareng Helga.” Aku jadi keceplosan.
“Helga tuh siapa?” tanyanya dengan wajah polosnya.
Aku tersentak sejenak lalu tetawa. Aku tak kuasa menahan geli ini. Tak kupedulikan tampang bingungnya. “Maaf, aku tertawa. Hmm. Kalo aku sih wajar kalo kamu nggak kenal, tapi Helga! Dia kan setiap pagi selalu menyapamu trus suka cari muka dihadapanmu.” Jelasku.
“Oh, jadi namanya Helga.” Ucapnya sambil garuk-garuk kepala dengan tampang polos.
“Trus namamu siapa?” tanyanya.
Aku diam sejenak karena tersipu. “Melody” ucapku.
***
Esoknya, seperti biasanya Audrey kembali normal kembali. Sepertinya kemarin dia hanya kelelahan dan tidak terkena penyakit aneh-aneh. Dan seperti biasa, dia juga masih cuekin aku disekolah.
Siang itu, aku di perpustakaan menyelesaikan PR Fisika yang dikasih tadi pagi. Lebih cepat dikerjakan lebih baik, makanya aku tidak langsung pulang ke rumah.
Aku terkejut melihat Audrey datang ke perpustakaan. Dia langsung menghampiriku dan meminta bantuan dengan semua PRnya. Sebenarnya aku bukanlah siswa terpandai atau termasuk golongan orang-orang pintar. Entah mengapa dia meminta bantuan kepadaku.
Setelah itu kami keluar dari perpustakaan dan dia mengajakku mendengarkan permainan pianonya sebelum pulang. Sungguh terdengar sangat indah dan menyentuh hati. Sebuah musik klasik yang teduh.
Pulangnya, kami melewati gerbang sekolah bersama. Tiba-tiba sebuah motor melintas kencang dan kehilangan kendali. Motor itu akan menabrakku yang panik dan sangat terkejut. Namun Audrey menolongku dengan mendorongku menjauh namun bahu kirinya justru terserempet motor itu.
Entahlah apa yang terjadi. Waktu seakan berhenti dalam keheningan dan kesuraman. Dia berdarah namun dia masih sempat menanyakan keadaanku.
“Mel? Kamu tidak apa-apa?” tanya Audrey.
“Tangan kamu Dre! Tangan kamu berdarah.” Ucapku panik.
“Tidak apa-appp…..” ucapannya terhenti dan tiba-tiba Audrey pingsan.
***
Seminggu telah berlalu setelah kejadian itu. Audrey pun sudah keluar dari rumah sakit. Namun dia belum bisa ke sekolah karena tangannya masih cedera.
Siang ini aku mendapatkan tugas menjaga perpustakaan sehingga aku pulangnya agak telat. Tiba-tiba aku mendengar suara piano dari Aula sekolah. Suara piano yang sudah seminggu tidak pernah lagi kudengar. Namun alunan nada itu tak terdengar sempurna. Apakah Audrey sudah kembali ke sekolah?
Aku menyelesaikan pekerjaan ku di perpustakaan, lalu mengecek Aula sekolah. Ternyata benar dugaanku, piano itu dimainkan oleh Audrey. Dia terlihat murung dan sedih.
“Drey?” ucapku.
Dia mengangkat kepalanya yang tertunduk memandangi tuts hitam putih di hadapannya. Wajahnya pun memandangku dan terlihat sisa-sisa air mata di wajahnya.
“Ya ampun! Kamu habis nangis Drey? Seharusnya kamu istirahat di rumah.” Saranku.
“Nggak apa-apa! Aku lebih senang di sini.” Ucapnya.
“Hei! Sembuhkan dulu tanganmu. Permainan pianomu tadi terdengar jelek loh.” Aku mencoba menggodanya.
Dia kembali memainkan sebuah lagu dengan satu tangannya. Aku duduk di sampingnya dan mencoba menenangkannya.
“Maaf ya Dre! Karena aku, kamu sampai begini.” Ucapku.
“Besok lusa pertandingan. Dokter bilang tulang jariku patah. Meski tangan kiri ini sembuh. Aku hanya akan menjadi pemain piano dengan tangan satu.” Keluhnya.
“Begitu ya? Jangan pesimis. Belum tentu hasilnya begitu. Mungkin saja hasil ronsennya salah atau dokter salah menduga. Dokter juga hanya manusia dan bisa salah juga.” Ucapku.
Audrey hanya tersenyum kecil mendengarku.
“Memang fungsi tangan kiri di piano untuk apa?” tanyaku.
Audrey pun memberikan contoh dengan tangan kanannya. “Sebagai pengiring dan penambah keindahan sebuah nada.”
“Hebaaat! Bisa ajarin? Nama saya Melodi. Nama yang berhubungan dengan musik tapi tak satupun alat musik dikuasai.” Pintaku.
Audrey tersenyum dan sejak hari itu, dia pun mengajariku keindahan bermain piano. Meskipun susah pada awalnya, namun lama-kelamaan jari-jariku sudah mulai terbiasa.
***
Dua bulan telah berlalu. Dan aku adalah Melodi yang memiliki nada sendiri. Meskipun tak seindah Audrey, namun aku sudah mahir bermain Piano. Sayang insting musikku masih tumpul sehingga belum sempurna memainkan nada.
Audrey pun sudah sembuh dari cederanya, namun jemarinya masih belum bisa digerakkan. Kini kami telah duduk di bangku kelas 3. Satu yang berubah dari Audrey adalah jiwa sosialnya muncul. Dia sudah bisa bergaul dengan teman-teman sekelas juga menghapal semua nama teman kelasnya.
“Mel! Nanti latihan Apregiator di rumahku saja. Ada yang mau aku tunjukkin.” Ucap Audrey saat kami berpapasan.
“Oh ya? Apa itu?” tanyaku penasaran.
Ia hanya tersenyum dan memukul kepalaku dengan selembar kertas gulungan di tangannya. “Surprise deh!” ucapnya.
Aku mengelus kepalaku yang habis terpukul oleh kertas itu. sebenarnya gak sakit sih, hanya memperbaiki rambut saja. Dan aku mengangguk setuju.
“Oke! Aku pulang duluan. Kamu masih ada urusan di perpus kan? Sesekali bolos gak apa-apa.” Ledeknya.
Aku cemberut dan merasa tersinggung. “Iya deh. Hari ini aku bolos. Lagian sekarang sudah ada anak kelas 1 yang menggantikanku. Aku pulang ganti baju trus ke rumahmu.” Ucapku.
“Hah? Serius Nih? Nanti aku jemput. SMS aja ya?” ucapnya, dan ia pun berlalu menuju Bis. Sedangkan aku berbeda jalur pulang dengannya.
***
Sore ini aku berada di rumah Audrey. Orang-orang di rumahnya sangat ramah kepadaku, dan aku tak merasa cangung di sini. Selama dua bulan ini sudah 4 kali aku ke rumah Audrey. Awalnya takut juga, masa cewek datang ke rumah cowok. Jadi pertama datang aku ditemani sama sepupu. Sekarang sih sudah tidak takut karena Audrey punya 2 adik cewek yang manis-manis dan lucu-lucu. Yang Satu bernama Aurel, umurnya 13 tahun. Yang paling kecil bernama Anabela, umurnya 8 tahun dan sangat imut. Merekalah alasan aku nggak canggung di sini.
Audrey membawaku ke sebuah ruangan yang belum pernah aku masuki. Tentu saja aku punya dua pengawal kecil yang menjagaku bila kakak mereka macam-macam. Sebuah ruangan besar dan terdapat dua buah Grand Piano di dalamnya. Aku sungguh takjub dengan kemegahan ini.
Audrey menyuruhku duduk di salah satu Grand Piano itu. Dan dia pun juga melakukan hal yang sama. “Mainkan nada rendah perlahan. Ada sebuah lagu di depanmu” ucapnya.
Akupun memainkannya, dengan permainan lambat. Dan disela-sela permainanku, Audrey pun memainkan pianonya. Dan perpaduan nada ini sungguh indah terdengar sehingga Audrey menitihkan air matanya dalam ketenangan hatinya. Ibarat sebuah musik, Piano Audrey adalah vokalis dan pianoku adalah musik pengiringnya. Meski dengan satu tangan kanannya, Audrey masih bisa melantunkan sebuah nada yang indah.
“Mel! Aku cinta kamu!”
Kata-kata Audrey membuatku kaget. Aku menghentikan permainan pianoku sejenak. Kedua adiknya pun terlihat takjub dengan sosok sang kakak yang berani nembak. Dan mencerna kata-kata itu. “Hehehe! Kamu bercanda ya Drey! Atau mau kerjain aku ya?” aku mencoba mengelak dari pernyataannya.
“Serius! Aku cinta kamu Melodi!” tegasnya
“Aku sendiri bingung sama perasaanku. Yah, sepertinya aku pun begitu terhadapmu.” Ucapku sambil tertunduk malu.
Audrey tersenyum lega mendengar jawabanku. “Besok aku akan pindah ke Australia. Katanya di sana jariku bisa sembuh total. Jika sudah sembuh, kita duet lagi ya?” ucapnya.
“Hah! Trus berapa lama di sana?” tanyaku.
“Entahlah, setelah operasi, mungkin butuh waktu rehabilitasi sekitar dua tahun.”Jawabnya.
“Dua tahun? Lama sekali ya.” Keluhku.
Audrey berdiri lalu duduk di sampingku. “Makanya, sebelum pergi aku ingin mengungkapkan perasaanku ini. Kita gak perlu pacaran, aku hanya ingin kamu tahu perasaanku yang sebenarnya kepadamu.” Ucapnya.
“Tapi kamu tega! Habis ngomong cinta trus pergi. Padahal aku sudah berharap…” aku menghentikan kata-kataku karena tiba-tiba Audrey memelukku. Dan aku menangis di dadanya.
“Maaf! Aku tak bermaksud begitu.” Ucap Audrey setelah melepas pelukannya.
Aku membuka kaca mataku yang berembun akibat air mataku tadi dan menghapus sisa-sisa air mata.
“Hehehe! Tidak apa-apa. Kamu harus berjuang di sana dan jangan menyerah. 2 tahun itu tidak lama kok. Kelak di TV mereka akan mengenalmu dan memanggilmu Audrey sang Pianis” Aku mencoba tegar.
Audrey tersenyum dan menatap lekat padaku sehingga hati ini menjadi dag dig dug. Aku terpaku dalam tatapannya, diam membisu tanpa kata. Dia pun tak berkata apa-apa dan hanya menatap mataku atau mungkin kaca mataku.
“Kok diam sih?” Suara Anabela menyadarkanku jika di ruangan ini tak hanya kami berdua. Aku jadi malu membayangkan kejadian tadi.
“Asyiiik sinetron gratis! Dan ada gosip baru di rumah ini.” Aurel menambahkan. Tampang imut Aurel dan Anabela berubah menjadi tampang wartawan gosip.
“Gawat! Ternyata dari tadi kalian di sini?” Keluh Audrey .
“Laporin Mama ah! Kak Drey habis bikin Kak Melodi nangis.” Ancam Anabela.
“Betul tuh dek! Ayo!” Aurel menambahkan.
“JANGAAAN! AWAS YA!” Audrey meledak.
Aku hanya tertawa memandangi pertengkaran kakak-beradik itu. Kini aku tahu Audrey mencintaiku, tapi rasa cintanya pada piano pun sangat besar. Aku tak ingin membuatnya dilema dengan menahannya di sini. Semoga 2 tahun masa itu bisa kulewati dengan bahagia. Aku mencintaimu Audrey sang pianis. Terima kasih telah mengajariku kesenangan bermain piano. Hati ku tentram dan damai bisa memainkan sebuah Melodi lewat piano.

SELESAI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar