Kakek Pendiam Yang Misterius
Sore itu aku sedang berjalan-jalan di sebuah kompleks perumahan. Seorang kakek berdiri di balik pagar rumahnya yang berjeruji sambil menatap padaku. Aku hanya tersenyum sambil memandangnya yang terlihat tanpa ekspresi.
Tiba-tiba gerakan tangannya terlihat seakan-akan memanggilku mendekat ke sana. Aku melihat sekelilingku dan tidak ada seorangpun di sini. Akupun berjalan menuju pagar.
“Ada apa Kek?” tanyaku.
“Sepertinya kamu punya aura seorang pianis. Apa benar?” si kakek malah balik bertanya.
“Saya memang bisa main piano sedikit. Tapi tidak terlalu mahir kok.” Jawabku.
“Kalau kamu mau bermain piano. Di rumahku ada sebuah piano. Meski piano itu sudah tua, tapi suaranya masih terdengar merdu loh.” Ucapnya.
Aku hanya ber-oh menanggapinya. Sebenarnya aku ingin menerima ajakannya namun tak enak hati karena aku baru mengenalnya. “Maaf ya Kek! Sebenarnya saya ada urusan. Tapi terimakasih tawarannya. Mungkin lain kali saya bisa mampir.” Ucapku.
Kakek itu tersenyum, “Tidak apa-apa. Mampir saja sesuka hatimu.” Ucapnya.
Akupun melanjutkan perjalananku. Sebenarnya aku sedang mencari tempat kos-kosan untuk tempatku tinggal. Sebab tempat kos lamaku akan direnovasi dan kami para penghuninya harus mencari tempat kos sementara selama beberapa bulan.
***
Esoknya aku kembali ke perumahan itu saat siang hari dan melewati rumah kakek itu. Aku mendengar suara alunan piano dari dalam rumah itu namun aku tidak berani masuk.
Aku bertanya pada seorang Bibi yang sedang menyapu halaman rumahnya. Rumah si Bibi tepat di depan rumah Kakek itu. “Permisi Bi!” sapaku.
“Iya!” jawab Bibi lalu meletakkan sapunya.
“Di daerah sini ada tempat kos-kosan?” tanyaku.
“Oh, kalau bulan ini kebanyakan rumah kos sudah penuh.” Jawab Bibi.
“Oh ya Bi! Kakek di depan itu, Bibi kenal baik nggak?” tanyaku.
“Orangnya agak pendiam dan jarang keluar rumah. Biasanya saat pagi dia terlihat duduk di beranda sambil membaca buku. Tapi yang aneh, setiap sore mulai dari jam 3 sampai jam 6 dia selalu berdiri di balik pagar rumahnya tanpa bicara sama sekali. Seperti sedang menunggu seseorang. Begitu setiap hari loh.” Jelas Bibi.
“Tapi kemarin dia berbicara padaku.” Ucapku.
“Hah! Berarti adik nih orang pertama yang diajak bicara. Selama Bibi tinggal di sini sejak sepuluh tahun yang lalu. Belum pernah tuh dia bicara sama seseorang. Kami menjulukinya kakek pendiam yang misterius. Dia tinggal sendirian di sana. Bibi juga kasihan padanya dan kadang memberinya sedikit masakan Bibi.” Jelas Bibi.
“Begitu ya? Duh, maaf ya sudah mengganggu pekerjaan Bibi.” Ucapku.
Si Bibi tertawa sejenak, “Tidak apa-apa. Saya senang kok bercerita. Oh ya, kenapa penasaran sama Kakek itu?” tanya Bibi.
“Tidak tahu juga. Kemarin dia menawari aku untuk masuk ke rumahnya.” Jawabku.
“Wah! Kenapa tidak sekalian pindah ke sana? Kakek itu kan tinggal sendirian dan tidak ada satupun keluarganya.” Usul Bibi.
Aku berpikir sejenak dan sepertinya itu menarik juga. Tapi, apa si kakek akan menerimaku? Aku terus berandai-andai dalam benakku hingga tak terasa jam sudah menunjukkan pukul 3 tepat. Dan seperti yang diceritakan si Bibi, si Kakek berdiri dari balik jeruji pagarnya sambil menatap kosong ke arah jalanan.
“Bi! Makasih ya! Saya mau bicara sama Kakek itu.” aku berpamitan pada Bibi.
Aku pun berjalan mendekati pagar itu dan aku mencoba menyapa si Kakek yang baru saja berdiri di balik pagar. “Hai Kek! Masih ingat saya?”
Si Kakek menatapku sesaat dan mencoba mengenaliku dengan tatapan agak heran. Beberapa detik berlalu dan si Kakek pun tersenyum tanda dia sudah mengenaliku.
“Anak yang kemarin ya?” ucapnya dengan nada lemah.
Aku mengangguk. “Oh ya Kek, apa saya boleh tinggal di sini? Saya lagi cari tempat kos dan saya janji nggak akan merepotkan Kakek. Masalah biaya sewanya tidak apa-apa kok.” pintaku.
“Masuklah.” Ajak si Kakek yang membukakan pintu pagarnya.
Aku pun masuk dan duduk di bangku teras rumahnya. Si Kakek sedang menyiapkan Teh untukku. Aku melihat sekeliling rumah ini, halamannya sangat rapih dan bunga-bunga terawat dan sangat asri. Dari teras aku mencoba mengintip ke dalam rumah dari balik jendela. Tapak perabotan-perabotan tua di dalam sana dan sebuah Grand Piano di tengah ruangan itu.
Kakek datang membawa nampan dengan dua cangkir teh hangat. “Nah, minumlah.” Ucapnya.
“Terimakasih Kek.” Ucapku.
“Kamu boleh tinggal di sini. Tak perlu bayar sewa. Kakek senang ada yang menemani.” Ucapnya.
“Terimakasih Kek. Besok pagi saya boleh membawa barang-barangku?” ucapku dengan girang.
“Silahkan datang saja kapanpun kamu mau.” Ucap sang Kakek.
***
Dan akhirnya aku pun resmi tinggal di rumah Kakek. Sudah seminggu aku tinggal di sini dan menemani Kakek. Rumah ini memang berkesan antik. Segala perabotannya masih menggunakan perabotan klasik ala Eropa kuno. Di sini bahkan tidak ada Televisi ataupun telepon rumah. Jadi satu-satunya hiburanku hanyalah Piano Tua di ruang tengah ini.
Hampir setiap hari aku berlatih piano dengan Grand Piano Akustik ini. Kadang-kadang kakek mengajariku dan menuntunku bermain. Permainan pianoku masih acak-acakan dan masih kalah jauh dengan si Kakek yang memainkan dengan lembut dan indah.
Setiap pagi Kakek selalu merawat tumbuhan di pekarangannya setelah itu duduk di teras sambil membaca sebuah buku. Ada banyak sekali buku di rak buku rumah ini, namun kebanyakan buku-buku lama. Bahkan banyak buku-buku yang ditulis dengan bahasa asing di sini. Saat menjelang siang, Kakek selalu bermain piano sebelum tidur siang. Sedangkan aku pergi ke kampus dan balik lagi ke rumah sekitar jam 4 sore.
Oh ya, kebiasaan kakek menunggu sesuatu di balik pagar rumah sudah tidak ada lagi. Sekarang kakek lebih sering menungguku di ruang tengah dengan berbagai suguhan cemilan. Kakek jago masak dan pintar membuat kue-kue juga loh. Di rumah ini ada pemanggang roti tradisional ala Barat. Biasanya kakek membuat roti dengan pemanggang itu.
Aku jadi tersentuh dan Kakek sudah aku anggap sebagai Kakekku sendiri. Dia sangat memperhatikanku dan mengajariku banyak hal. Kakek mengajariku bermain Piano, memasak, merawat tanaman dan membuat kue-kue serta roti. Aku seperti hidup di Eropa saja dengan gaya hidup serba teratur seperti ini.
Hari ini aku pulang kuliah jam 4 sore seperti biasanya. Aku pun membuka pagar rumah dan mulai berandai-andai. Hari ini kakek sambut aku dengan kue atau roti apa ya? Perutku sudah sangat lapar dan tak sabar menanti masakan Kakek.
Akupun membuka pintu rumah dan masuk. Aku sedikit terkejut melihat suasana ruangan yang agak sepi. Biasanya Kakek duduk di bangku dekat pintu sambil mengucapkan “Sudah pulang ya?”. Aroma kue atau roti pun tak tercium seperti biasanya.
“KAKEK! SAYA PULANG?” teriakku.
Aku melepaskan sepatuku lalu berjalan memasuki ruang tengah. Mungkin Kakek berada di sana atau sedang berada di dapur menyiapkan cemilan sore dengan secangkir teh. Saat berjalan memasuki ruang tengah, aku sungguh terkejut melihat sosok Kakek yang tergeletak di dekat Piano. Sepertinya Kakek pingsan atau jangan-jangan dia...
Aku tak ingin membuat kesimpulan demikian. Semoga Kakek baik-baik saja dan kuharap demikian. Aku segera berlari dan menggoyang-goyangkan tubuh tuanya itu. Aku memeriksa denyut nadi dan napas Kakek namun tak ada tanda sama sekali. Aku menelepon Ambulans dengan HP ku karena di rumah ini tak ada telepon rumah.
Beberapa menit kemudian Ambulans pun datang bersama seorang dokter. Aku telah membaringkan Kakek di tempat tidurnya. Dokter pun memeriksanya dan memang ajal telah menjemput Kakek.
Aku shock mendengar berita kematiannya. Padahal Kakek sudah berjanji akan mengajariku membuat kue Cake malam ini. Kakek sudah berjanji akan mengajariku bermain Piano dan memainkan lagu baru dengan piano tua ini. Aku sedih namun aku tidak menangis. Aku berusaha tegar di depan dokter yang hanya berkata “Maaf. Beliau memang sudah sangat tua. Mungkin memang sudah waktunya beliau dipanggil Tuhan.”
Kakek sudah banyak mengajariku berbagai macam hal. Mengajariku mandiri dan hidup dengan teratur. Aku pun sudah mulai mahir bermain piano dan memasak. Sebenarnya aku ingin sekali merayakan ulang tahun kakek dan membuatkan kue Cake Ulang Tahun kejutan untuknya. Nama kami berdua pun sama, “Alam”, itulah nama Kakek dan juga namaku. Kini Kakek telah pergi dan meninggalkan banyak kenangan yang mendewasakanku.
Esoknya setelah selesai pemakaman kakek. Aku harus berurusan dengan Pengacaranya dan harus menandatangani surat wasiatnya. Karena Kakek tidak memiliki siapapun, makanya aku ditunjuk sebagai ahli waris rumah itu. Aku sungguh tak percaya, bahkan setelah Kakek meninggal pun, dia masih berbaik hati mewariskan rumah itu.
Aku janji Kek! Aku akan merawat rumah ini. Aku akan merawat tanaman Kakek juga koleksi buku-buku kakek.
***
Hari ini aku terbangun di sore hari karena mendengar suara piano dari ruang tengah. Aku pun mlangkah mendekati ruang tengah dengan perlahan dan mencoba mengintip. Siapakah gerangan yang memainkan piano itu? aku bertanya-tanya dalam batinku.
Permainannya jelek sekali dan hanya bermain asal-asalan. Aku mengintip dari balik dinding dan ku temukan seorang gadis kecil duduk di bangku piano itu dengan santai.
“Hei Dik! Mengapa masuk ke rumah orang tanpa permisi?” tanyaku.
“Maaf. Tapi minggu lalu kakek bilang, masuk saja.” Ucapnya.
“Kakek sudah meninggal sejak dua hari yang lalu.” jelasku.
Dia tampak kaget lalu terlihat murung sambil memandangi tuts piano tua ini. “Kakak ini siapa?” tanya si cewek kemudian.
“Saya cucunya. Lain kali kalau mau masuk, permisi dulu ya?” ucapku seraya memberi nasehat.
“Uhm!” dia mengangguk.
“Mau belajar main piano?” tanyaku.
Dia memandangku dengan tersenyum lalu mengangguk tegas. Aku pun mengambil bangku dan duduk disebelahnya. Dia memperhatikan permainanku dengan serius. Mengajari sesuatu pada seseorang ternyata sangat menyenangkan.
Tak terasa sudah hampir jam 5 kami telah bermain sekitar 2 jam. Sebelum pulang aku membuatkannya makanan ringan dan secangkir teh seperti yang sering kakek lakukan.
“Wah, rasanya seperti masakan kakek. Kakak hebat sekali, sudah jago main piano, jago masak lagi.” Pujinya.
“Makasih. Semua ini Kakek yang ajarin kok.” Jelasku, namun aku agak tersipu juga dengan pujiannya.
Setelah menikmati the sore bersama dia pun pamit pulang. Namanya Tia dan umurnya baru 12 tahun. Dia tinggal tidak jauh dari perumahan ini. Aku ingin mengantarnya namun dia menolak.
Dia berjanji besok akan datang jam 3 sore. Kebetulan kuliahku juga sedang libur sehingga aku punya banyak waktu senggang. Hari ini rasanya menyenangkan sekali sehingga tak sabar menanti hari esok.
Keesokan harinya...
Seperti Kakek, aku pun bangun pagi dan merawat tanamannya, setelah itu membuat sarapan sambil membaca salah satu dari ratusan buku kakek yang terpajang di ruang tengah. Entah mengapa aku jadi tertarik membaca buku-buku klasik itu. soalnya tak ada hiburan lain selain membaca buku dan bermain piano.
Sebenarnya aku ingin pulang ke kampung halaman selama liburan ini, tapi aku baru saja mendapat warisan tiba-tiba. Entah bagaimana reaksi Paman dan Bibi di kampung. Selain itu aku juga sudah janji mengajari Tia main Piano.
Dan akhirnya sore pun tiba, tepat pukul 3 Tia datang. Aku membuatkan kue-kue di dapur sedangkan Tia melihat-lihat koleksi buku Kakek. Kami minum teh sejenak lalu mulai bermain piano. Jari-jari Tia yang kemarin kaku tampak sudah mulai luwes menjelajahi tuts-tuts piano ini.
Di sela-sela rehat bermain piano, Tia selalu bercerita tentang kehidupan sekolahnya. Dia masih kelas 1 SMP. Dia sering curhat tentang teman-teman kelasnya yang nakal atau tentang guru-guru yang baik dan yang jahat di sekolahnya. Aku serasa terbawa dalam kehidupannya dan dia pun terlihat senang saat bercerita.
***
Hampir setiap hari Tia datang ke rumah tepat jam 3 sore. Namun beberapa kali dia telat sehingga membuat aku cemas. Bila aku cemas, aku akan keluar dan mengeceknya dari balik pagar berjeruji ini. Dari sini pemandangan ujung jalanan kompleks terlihat jelas sehingga tak perlu keluar pagar.
Tidak hanya bermain piano, kadang Tia datang untuk membaca buku-buku koleksi kakek. Bahkan dia meminjam dan membawa pulang beberapa buku yang tak habis dia baca. Namun besoknya dia akan mengembalikannya. Kadang-kadang dia membantuku menyiapkan cemilan sore di dapur. Roti, cake atau kue kering sering kami buat untuk acara teh sore kami.
Tia sudah mahir bermain piano dan kadang kami saling mendengarkan permainan kami. Entah sudah berapa hari kulalui dengannya. Mungkin sudah dua minggu lebih aku bersama Tia. Tak terasa dia sudah menjadi bagian dari hari-hariku dan aku selalu menantikan kedatangannya.
Selain bermain piano, kami juga berkebun. Ada dua buah tanaman yang ditanam di pekarangan oleh Tia. Bunga mawar pink dan tomat. “Tomat itu banyak vitamin A nya dan sangat baik untuk kesehatan mata.” Ucapnya padaku.
Mungkin karena aku mulai memakai kacamata sehingga dia khawatir dengan kesehatan mataku. Sebenarnya karena kebanyakan membaca bukulah yang membuat mataku menjadi agak rabun. Namun membuat Tia jadi khawatir seperti itu. Aku jadi menaruh simpati padanya yang perhatian terhadapku.
Sepertinya rasa simpati telah berubah menjadi sayang dan cinta. Entahlah perasaan apa yang kurasakan namun aku merasa nyaman bersamanya dan aku selalu menantikan kehadirannya. Setiap hari rasanya sangat menyenangkan bersamanya. Ingin rasanya selamanya seperti ini bersama Tia. Aku merasa seperti dunia ini hanya ada aku dan dia.
Baru kusadari kalau tiga minggu ini telah terlewati dan sudah seminggu setelah liburan kuliahku berakhir, ternyata aku sama sekali tidak datang ke kampus. Aku merasa malas dan sejak pagi sudah mempersiapkan segala sesuatu untuk menyambut Tia.
Aku memutuskan untuk berhenti kuliah dan menikmati harta warisan Kakek. Bila Tia sudah lebih dewasa aku akan mengungkapkan perasaan cintaku dan aku ingin menikah dengannya. Tinggal bersama di rumah ini dan bermain piano setiap hari.
Hari sudah sore dan jam dinding telah menunjukkan pukul 3. Biasanya Tia akan muncul dari balik pagar itu, namun dia belum muncul juga. Aku jadi gelisah namun aku harus tetap bersabar karena aku yakin Tia akan datang seperti hari-hari sebelumnya. Sebelumnya Tia pernah datang jam 4 sore. Itu karena dia harus les tambahan di sekolahnya. Aku percaya dia pasti datang karena dia sudah berjanji akan datang.
Tak terasa waktu berjalan dan jarum jam sudah menunjukkan pukul 6 sore. Tia tidak datang hari ini. Mungkin dia sedang berhalangan atau sakit. Aku pun melewati sore ini tanpa Tia.
***
Sudah tiga hari berlalu namun Tia tak juga muncul setiap jam tiga sore. Aku penasaran dan aku pun pergi ke rumahnya. Apakah sesuatu terjadi padanya? Apakah Tia sakit sehingga tidak bisa datang? Aku terus bertanya-tanya dalam hatiku.
Aku belum pernah ke rumahnya namun Tia pernah bercerita tentang rumahnya. Dia bahkan memberiku alamat rumahnya dan peta menuju rumahnya. Aku mengikuti petunjuk itu dan ternyata aku sampai di sebuah taman yang luas tak berpenghuni. Tak ada satupun rumah atau bangunan di sana.
Keesokan harinya aku mencoba mengecek ke sekolahnya di SMP Pelita. Namun supir taksi bingung dan berkata bahwa di kota ini tidak ada SMP Pelita. Dulu pernah ada namun itu 40 tahun yang lalu. Kini gedung SMP itu telah berubah menjadi gedung Rumah Sakit.
Aku bertanya pada tetangga tentang Tia. Mungkin saja mereka mengenalnya karena sudah 3 minggu ini Tia selalu berada di rumahku setiap sore. Pasti para tetangga menyadari hal itu.
Aku sunguh terkejut mendengar jawaban dari para tetangga. Mereka semua tak pernah melihat apalagi mengenal Tia yang setiap sore datang ke rumahku. Aku jadi heran dan bingung dengan keadaan ini. Bahkan setiap malam aku menangis karena Tia tiba-tiba saja menghilang tanpa jejak.
Setiap sore hari, tepat jam 3 aku selalu menantikannya dan berharap dia akan datang. Aku terus melakukan kegiatan itu meski Tia sudah tidak datang lagi. Setiap sore hari jam 3 hingga jam 6 aku menunggunya di balik pagar ini sambil menatap kosong ke ujung-ujung jalanan kompleks ini. Setiap orang yang lewat dan menyapa tak pernah ku balas.
Hari berganti minggu dan minggu berganti bulan. Aku terus menanti Tia datang di balik pagar ini. Entah sudah berapa lama menunggu, aku tak tahu apa yang mesti aku lakukan.
Bulan pun berganti tahun tak terasa aku sudah menjadi tua. Sudah puluhan tahun aku menunggu Tia di balik pagar ini setiap jam 3 sore. Akhirnya para tetangga menjulukiku kakek pendiam yang misterius. Yang menunggu seseorang setiap jam 3 sore hingga jam 6 dari balik pagar rumah ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar