SHINTA SANG VIOLIST
18 desember 2003
Suara biola yang sangat menyentuh hati tertangkap oleh telingaku dan menuntun langkahku dan jiwa penasaranku. Siapakah gerangan yang memainkannya?
Hasrat langkahku terhenti di depan sebuah pintu ruang auditorium kampus. Kubuka pintu itu tanpa mengetuk atau menyapa. Akhirnya kutemukan juga jawaban dari rasa penasaranku. Sosok wanita sedang duduk di sudut ruangan memainkan biola dengan indahnya. Aku tak berani mengusik kesenangannya. Aku lebih memilih duduk jongkok sambil menunggu permainannya selesai agar ku bisa menyapanya.
Indahnya nada yang dimainkannya membuatku lupa waktu dan akhirnya sadar setengah jam tlah berlalu. Aku harus pulang karena ada janji bersama teman-teman untuk menonton konser.
Namamu siapa? Kamu anak mana? Tinggal dimana? Kuliah disini? Dan beratus pertanyaan lain ingin kusampaikan padanya namun aku harus menahan diri. Semoga esok kita kan berjumpa lagi wahai sang violist...
Tak enak hati bila aku mengganggunya. Dia terlihat serius bersama biola itu. Sosoknya anggun bagai bidadari diterangi cahaya matahari sore. Matanya terpejam dan pipinya bersandar pada badan biola itu.
Apakah aku jatuh cinta pada pandangan pertama? Ataukah hanya kekaguman sesaat saja? Hmmm... tak ada gunanya aku memikirkan itu. Bila memang jodoh, aku pasti kan bertemu dengannya lagi.
***
Hari ini mata kuliah seni musik klasik oleh Pak Emin. Aku sungguh tak bersemangat bila menyangkut musik klasik. Pak Emin pun masuk dan diikuti oleh seorang gadis, dan dia adalah pemain biola itu. Apakah dia anaknya Pak Emin?
“Nah, hari ini kita akan mendengarkan permainan Biola Klasik. Namanya Shinta Anastasia. Siswi kelas 3 SMA Kartika Makassar yang baru menjuarai festival Biola klasik di China. Saya mengundangnya kemari untuk bermain dan menjadi bahan acuan pra final semester ini.” Jelas Pak Emin.
Seluruh kelas riuh, terutama cowok-cowok yang masih jomblo atau yang mau putusin ceweknya. Aku pun ikutan riuh bersama geng jomblo itu. Namun kamipun kembali tenang karena ingin mendengar permainan biola cewek itu.
“Untuk pengiringnya kamu saja Ki!” ucap Pak Emin sambil menunjukku.
Akupun maju dan memainkan piano akustik untuk mengiringi.
“Main di C mayor aja kak.” Ucap Shinta.
“Oke!” ucapku.
Dan pertunjukkan pun dimulai. Seluruh kelas memandang dengan serius dan membuka telinga mereka. Kumainkan nada rendah mengiringi suara biola yang tinggi. Sebuah lagu klasik berjudul Air karya JS. Bach sang maestro string.
Ayunan Shinta sangat anggun membuat semua mata terpana kepadanya. Begitupun aku yang berdebar-debar mengiringinya. Memang permainannya sangat sempurna, tak heran dia mendapatkan juara di festival musik klasik di China.
Lima menit tak terasa berlalu. Hati kami tentram setelah mendengar permainannya. Bahkan ada yang sampai menitihkan air matanya. Lagu ini memang sedih dan cocok buat tenangin orang yang habis patah hati.
“Permainan yang cantik.” Pujiku.
“Makasih Kak!” jawab Shinta.
***
“Shinta!” aku mencoba menyapanya saat melihatnya berjalan ke ruang auditorium.
“Oh, Kak! Ada apa?” tanyanya.
“Aku juga mau ke Auditorium. Bareng yuk!” tawarku.
Shinta mengangguk dan kami pun berjalan bersama. Hatiku sangat senang sekali bercampur debaran jantung di dalam dadaku yang bergejolak.
“Sebenarnya kemarin aku mendengarkanmu bermain biola. Ingin sapa, tapi aku nggak berani mengganggumu.” Ucapku membuka percakapan kami.
“Oh ya? Kalo main biola aku biasanya gak sadar situasi sekitarku.” Jelasnya.
“Kenapa Shinta suka biola?” tanyaku.
Dia tersenyum kecil lalu memandangku sesaat. “Kenapa kakak suka piano?” Shinta balik nanya.
Aku hanya tertawa mendengarnya. “Yang duluan tanya aku kan?”
“Umm... saat main biola, perasaanku jadi tenang. Segala masalah yang membebaniku rasanya pergi. Emosiku kutumpahkan lewat permainanku. Entahlah kenapa aku jadi suka bermain Biola.” Jelasnya.
“Stardivarius!”
“Eh? Ini ya?” Shinta mengangkat koper biolanya.
“Salah satu Biola terkenal dan sangat mahal harganya. Memang cocok dimainkan olehmu.” Ucapku.
“Hehehe! Ini kudapatkan saat berkunjung ke Arnheim 3 tahun yang lalu. Aku juga heran bisa memilikinya, padahal aku tidak menjuarai apapun di sana. Seorang komposer memberikannya padaku.” Kenangnya.
“Mungkin dia bisa meramal masa depan dan melihat potensimu untuk menjadi sorang Violist hebat di dunia. Dan kamu memang layak kok.” pujiku.
“Kakak sendiri kenapa bisa kecantol sama Piano. Menurutku permainan piano kakak hebat loh.” Ucapnya.
“Sebenarnya itu cuma pelarian saja kok. Kalo lulus nanti aku mau jadi produser musik. Mungkin kita bisa kerjasama.” Aku berangan lalu tertawa.
“Lulus SMA mau kemana? IKJ? Atau udah dapat beasiswa musik?” tanyaku.
“Nggak tau nih Kak! Sepertinya Shinta kerja aja.” Jawabnya.
“Loh? Emang kenapa Shin? Gak dapat beasiswa?” tanyaku.
“Bukan begitu. Banyak kok beasiswa yang kudapat. Tapi aku tolak coz... aku gak bisa pisah dari Mama dan Adikku. Shinta mau kerja buat meringankan beban keluarga. Mungkin jadi pemusik jalanan atau apa aja yang penting halal.” Curhatnya.
“Hmm! Kamu hebat. Tadinya kupikir Shinta itu anak orang kaya. Ternyata hidupmu... ah! Maaf aku salah ngomong.”
“Gak apa-apa kok. Oh ya, nama kakak siapa? Aku taunya hanya Uki.” Tanyanya.
“Panggilan memang Uki. Lengkapnya sih Basuki Rahmat. Hehehe! Mirip nama jalan ya?” jelasku.
“Hehehehe! Iya, aku panggil Kak Uki aja deh.”
“Kalo Shinta? Aku manggilnya Shinta aja?” tanyaku.
“Kalo di sekolah biasa dipanggil Shin.” Jelasnya.
Akhirnya kami tiba di auditorium. Di sini ada mahasiswa lain yang juga sedang latihan band. Agak kecewa juga sih karena aku tidak bisa duet dengan Shin. Namun dia tetap duduk tenang di bangku sambil menonton Band dihadapannya.
***
Sudah 3 hari berlalu sejak aku mengenal Shinta. Hari ini kami akan pentas dengannya dihadapan rektorat dan tamu lainnya di Jakarta. Aku bermain piano dan Shinta tergabung dalam orkestra biola bersama mahasiswa lainnya.
Kami memainkan 4 lagu, Branderburg karya Bach, Canon karya Pachebell, Fantasy Improptu karya chopin dan Moonlight Sonata karya Beethoven. Konser sederhana ini berlangsung selama satu jam dan tak ada satu kesalahan yang kami buat.
Sehabis konser, aku disuruh mengantar Shinta ke Bandara. Hari ini dia akan pulang ke Makassar. Dia tak sendiri karena ditemani seorang gurunya. Namanya Ibu Wiwin, seorang guru kesenian di sana.
Akhirnya kami tiba di bandara. Ibu wiwin melaporkan tiket di loket. Aku dan shinta menunggu di depan.
“Shin! Kapan ke Bandung lagi?” tanyaku.
“Nggak tau juga kapan.” Jawabnya.
“Aku kesepian dong. Nggak ada teman duet.” Ucapku lalu tertawa.
“Banyak mahasiswa lain kok.” Ucap Shinta.
“Tapi aku maunya kamu.”Aku keceplosan mengucapkan ini.
“Spertinya aku ditembak ya?” ucapnya sambil tertawa.
“Iya!” tegasku.
“Maaf deh kak. Aku tidak punya perasaan sama kakak.” Jelasnya.
“Nggak apa-apa. Tapi Shin masih mau jadi pasangan duetku lagi nggak?” tanyaku. Aku sedih dan kecewa juga mendengar jawabannya namun cinta tak bisa dipaksakan.
“Tentu saja.“ jawab shinta.
“Aku yakin kelak kamu akan jadi violist terkenal. Meskipun kamu bilang ingin bekerja, jangan berhenti bermain biola ya.” ucapku, memberi nasehat.
“Kak! Shin punya kakak di Makassar yang bermain piano sepertimu. Karena dia lah aku ingin terus bermain biola. Dia lemah dan sering sakit-sakitan. Namun dia selalu mendukungku bermain Biola. Aku ingin menjadi Violis terkenal dan aku harap bisa seperti dukungannya.”
Aku hanya tersenyum melihat semangatnya. Kelak kita pasti bertemu lagi bila kamu sudah menjadi violist terkenal. Jangan patah semangat atas kehidupan ini karena semua itu hanyalah salah satu ujianmu.
“Terimakasih ya, dek Uki! Sampaikan salam buat Pak Emin.” Ucap Ibu Wiwin.
“Iya, sama-sama. Pasti aku sampaikan.” Ucapku.
“Makasih Kak Uki! Kapan-kapan ke Makassar ya?” pamit Shinta.
Aku mengangguk sambil tersenyum. Perpisahan memang menyedihkan. Hanya 5 hari aku mengenal Shinta. Dan dia telah menambahkan satu pengalaman dalam memoriku. Semoga kamu bisa menjadi Violist hebat seperti Vanessa mae, Beethoven, Bach, Shuitarou, dan violist-violist hebat lainnya.
“Nah kami masuk dulu ya dek!” pamit Ibu Wiwin.
“Iya! Smoga selamat sampai tujuan.” Ucapku.
Mereka berduapun masuk ke ruang tunggu bandara. Dan aku kembali lagi ke tempat pertunjukkan. Aku harus berkemas dan berangkat kembali ke Bandung satu jam lagi.
Dalam hatiku, ku terus berangan dan berharap tuk bertemu dengannya. Dan bila saat itu tiba, aku pasti bisa menjadi seseorang yang sangat spesial bagimu. Mendukungmu bermain biola dan mengiringi permainan biolamu.
18 desember 2008
Setiap kali aku mendengar lagu klasik ini aku teringat padanya...
Bach – Air
Lima tahun sudah berlalu namun aku masih menanti sang Violist. Aku sangat merindukan permaianan itu. Alunan melodi yang terpancarkan dari gesekan biola mu yang menentramkan hatiku. Akhir-akhir ini aku jadi sering mendengar musik klasik. Dan aku malah jadi seorang komposer dan bukan seorang produser. Apakah Shinta sang Violis tak menjadi seorang Violis?
Entahlah... hidup adalah misteri. Tak selamanya nada yang kita mainkan terasa sempurna. Bahkan Mozzart dan Chopin pun pernah mengalaminya... namun aku kan terus menanti nada itu lagi. Nada yang ingin sekali kuiringi. Nada dari alunan biola Shinta sang Violis.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar