BILANG DONG!
T |
engah hari yang begitu terik, Dina sedang mengerjakan PR nya dengan serius, tiba-tiba…“Hey, Kacamata! Tolong bawa barang-barang yang ada di atas meja.” Bentak Galang, ketua ekskul Botani pada Dina yang lagi serius hingga iapun tersentak kaget. Pulpen Dina sampai loncat saking kagetnya. So pasti itu meninggalkan coretan di buku tugasnya.
“Huh! Apaan sih! Nggak lihat orang lagi sibuk ngerjain PR!” omel Dina sambil membetulkan letak kacamatanya yang agak melorot ke hidung.
“Yang namanya PR itu kerja di rumah non.” Ledek Galang.
“Terserah aku! Mau kerja dimana kek bukan urusan mu!” ucap Dina gak kalah sewot.
Galang terdiam sejenak, sepertinya dia agak tersinggung dengan ucapan Dina. “Ya udah, itu yang di atas meja tolong diangkat trus bawa ke rumah kaca”. Perintah Galang.
“Apaan sih ini? Berat banget. Lagian kenapa aku yang bawa sih. Kamu kan laki-laki. Bawa sendiri dong.” Keluh Dina.
“Apa! Kamu mau bawa yang ini, kacamata? Isinya cacing lho!”
“Hah! Ya udah deh aku bawa yang ini. Ughhh.”
“HELLO EVERYBODY!!! Wah lagi dua-duaan nih.” Suara Rini langsung menggema begitu pintu ruangan terbuka.
“Ngomong apa sih Rin, bantuin dong. Berat nih”. Ucap Dina begitu mendengar ucapan Rini. Sementara Galang meresponnya dengan memasang tampang juteknya.
“Sorry, Sorry! Mau dibawa kemana nih!” tanya Rini.
“Rumah kaca.” Jawab Galang.
“Mau nanam lagi? Katanya sudah kehabisan pot.” Rini membuka dos yang sedang dipegang Dina. Ternyata isinya pot-pot kecil dan sebuah kantong plastik hitam.
“Pantesan berat.” Komentar Dina.
“Udah buruan, entar lagi sore. Aku mau main bola.”
“Iya, iya bos.” Wajah Rini langsung manyun disuruh mengangkat dos berisi pot-pot walaupun ngangkatnya bareng ama Dina yang kelihatannya sih sabar-sabar aja.
“Cowok-cowok yang lain pada kemana?” Tanya Rini.
“Nggak tau! Awas aja kalo ketemu. Bakalan kerja rodi itu orang.” Ancam Galang.
“Mungkin mereka bosen. Ekskul Botani anggotanya hanya 7 orang sih. Cowoknya saja Cuma 3. Ya, membosankan banget kan?” Keluh Dina.
“Jadi kamu bosen ya kacamata?” Galang memelototi Dina.
“Hah! Nggak kok.” Dina mencoba membela diri.
Akhirnya sampai juga di rumah kaca belakang sekolah. Rini mulai mengeluarkan pot-pot itu dan meletakkannya di atas sebuah meja panjang. Galang mengisinya dengan tanah hitam yang di bawanya dengan kantong plastik tadi.
“Mau nanam apa sih Lang?”. tanya Rini.
“Tomat. Tapi ini jenis tomat terbaru lho! Katanya kakak-kakak dari fakultas Perkebunan, persilangan antara tomat hijau dan tomat dari Jepang. Trus yang di kantong kuning itu bunga-bunga.” Jelas Galang.
Rini menggelengkan kepala. Nanam tomat? Emang mau jual sayur. Komentar Rini dalam hati.
“Kacamata! Kenapa kerjain PR lagi. Udah di bilangin PR itu kerja di rumah. Bantuin nanam dong!” Ucap Galang.
Dina langsung memasang tampang jutek.
“Udah-udah nanti aja kerjanya ya! Aku bantuin deh.” Rini mencoba menenangkan Dina.
Setelah memasang pot-pot berjejer di atas meja panjang, mereka bertiga mulai menanam. Dina dapat giliran menyiram, sedangkan Rini dan Galang yang menanam.
Akhirnya selesai juga acara menanam. Jam di ruang Tata Usaha yang berdekatan dengan rumah kaca berdentang sebanyak 3 kali pertanda waktu sudah menunjukan pukul 3 sore.
Dina kembali mengeluarkan buku-bukunya dari dalam tas dan kembali menekuni PR nya. Rini menemaninya sambil mendata perubahan-perubahan yang terjadi pada tanaman.
“Aku balik dulu yah Rin! Oh ya kacamata. Aku juga mau ngasih PR. Tolong catat semua yang kita tanam tadi. Trus sekalian dengan keterangan jenis tanamannya. Ada di buku kok, cari aja di perpus.”
“Hah! Kok aku sih?” Dina memelas.
“Habis siapa dong yang mau disuruh Rini kan udah kebagian nyatat perkembangan tanaman. Kamu kan rajin, baik, en perhatian.” Ucap Galang.
“Nggak ada hubungannya tau! Ya sudah aku usahain deh.” Ucap Dina pasrah.
“Thanks ya, kacamata. Bye”.
“Namaku Dina tau. Udah berapa kali dibilang.” Keluh Dina.
“Iya, iya, iya aku tahu kok nggak usah diingetin. Udah dulu ya, bye.”
Sepeninggal Galang, kedua cewek itu diam menekuni apa yang ada di hadapannya. Beberapa menit kemudian, Rini selesai dengan catatannya sementara Dina sedang sibuk menghitung di buku cakarannya.
“Udah selesai?” Tanya Rini.
“Lihat aja sendiri. Mana besok harus dikumpul lagi.” Keluh Dina.
Rini tersenyum melihat sohibnya yang sudah mencapai batasan stres. Kalo di komik biasanya matanya berputar-putar atau ada latar gunung meletus.
“Sini aku bantuin.” Ucap Rini lalu duduk di samping Dina yang sudah kehilangan semangat.
Sepuluh menit berlalu dan PR pun selesai. 5 soal matematika itu akhirnya berhasil dilewati. Pepatah “Tong kosong nyaring bunyinya”, sepertinya tidak berlaku bagi Rini. Walaupun cerewet, tapi selalu masuk 10 besar sekolah.
Kedua cewek itu pun meninggalkan rumah kaca. Mereka berjalan berdua keluar gerbang sekolah bersama-sama. Setelah itu mereka berpisah di sana. Rini ke arah kiri dengan angkot, sedang Dina naik becak langganannya.
* * *
Keesokan harinya di sekolah …
“Telat lagi Din! Tadi malam begadang?” Tanya Rini begitu Dina masuk kelas dan meletakkan ranselnya di atas meja.
“Yah! Aku sampai jam setengah dua belas. Soalnya banyak yang datang sih jadi nggak tega pulang. Bapak sama Ibu kerepotan banget layanin sih. Jadi aku bantuin.” Ucap Dina.
“Yah! Soalnya warung sari laut Bapak kamu itu emang paling enak banget mana murah lagi. Makanya banyak pelanggannya. Yang jaga juga cantik.” Goda Rini hingga membuat wajah Dina memerah.
“Apaan sih. Eh, Pak Udhin datang tuh”. Ucap Dina.
* * *
Saat istirahat …
“Kacamata! Besok PR yang aku kasih sudah harus jadi loh! Bisa-bisanya kamu nyantai gini di kantin”. Suara Galang muncul menghentikan keasyikan Dina menyantap baksonya.
“Ngagetin terus. Nggak bisa lihat orang senang ya. Kok tiba-tiba sih? Aku lagi banyak peer nih.” Ucap Dina.
“Soalnya kakak-kakak mahasiswa sudah minta datanya sih. Kamu kan udah janji, kacamata. Gimana sih!” Jelas Galang.
“Aku bilang disusahain.” Bela Dina.
“Sama aja tahu. Pokoknya aku nggak mau tau, besok harus selesai. Kalo PR sekolah sih nyontek aja.” Ancam Galang lalu pergi meninggalkan Dina yang mulai bingung plus panik.
* * *
Siang itu …
“Huaaah! Ngantuk banget rapat OSIS nya kelamaan sih. Masih jam setengah tiga. Bete kalo pulang jam segini. Hmm! Mendingan tidur dulu deh dirumah kaca. Di sana kan adem.” Galang berbicara sendirian sambil jalan menelusuri koridor sekolah. Kebiasaannya yang aneh ini biasa kumat kalo lagi bete.
Tidak terasa sampai juga di rumah kaca. Galang membuka pintu dan ia tertegun melihat seorang cewek sedang terlelap di hadapannya. Dia tidak lain adalah Dina. Kepalanya bersandar di atas meja dan di hadapannya ada sebuah buku tebal berjudul Bunga-bunga tropis. Sedang di depannya masih ada beberapa buku lagi.
Galang mendekat dan mengambil salah satu buku dari tumpukan buku di atas kepala Dina. Lagi-lagi ngerjain PR. Masa’ sih semua PR yang diberi hari itu juga dia kerjain. Nih anak… jangan-jangan dia sepulang sekolah bekerja sambilan. Pantesan sampai ketiduran gitu. Tapi... tambah manis aja kalo lagi tidur. Galang membatin sambil memperhatikan Dina yang sedang terlelap.
Diambilnya buku hitam tebal yang sedang tertindis lengan Dina yang melekuk menopang kepalanya dengan hati-hati agar dia tidak terbangun.
Galang mulai membuka lembar demi lembar buku tebal sambil tangan kanannya menari di atas lembaran putih.
* * *
“Hah! Jam lima!? Duh bego banget sih aku. PR sama Laporannya...” Dina tersentak kaget melihat buku laporannya telah penih terisi. Kolom-kolom yang kosong kini dipenuhi tumpukan kata-kata.
Ia semakin kaget setelah melihat Galang duduk sambil tertidur di sampingnya. Wajah Dina pun merah merona melihat Galang yang tertidur. Begitu polos, begitu tenang dan begitu indah seperti bunga-bunga yang bermekaran di belakangnya.
“Lang! Bangun! Kamu nggak main bola?”. Dina menepuk-nepuk punggung Galang.
“Hoahhh! Jam berapa?” Tanya galang begitu membuka matanya.
“Jam lima.” Jawab Dina.
“Hah! Kenapa nggak bangunin dari tadi?” Mata Galang langsung terbuka lebar mendengar jawaban Dina.
“Aku juga baru bangun.” Ucap Dina polos.
“Ya udah. Ayo pulang, rumah kamu dimana aku anterin ya.”
“Nggak usah. Rumah aku dekat sini kok. Aku naik becak saja.”
“Nggak. Sudah sore begini nggak aman naik becak. Jalanan dekat sini kan selalu macet kalo sore.” Jelas Galang.
“Ya ampun! Aku lupa! Aku langsung aja ya.” Dina baru menyadari kalo warung sari laut buka jam 5 dan biasanya langsung penuh disinggahi orang-orang yang terjebak macet.
“Tunggu sama-sama aja. Lebih cepat naik motor kalo kamu memang sedang buru-buru. Nggak ngerepotin kok.” Galang langsung berlari mengejar Dina.
“Sama-sama yuk!” Ucap Galang setelah menggenggam tangan Dina. Wajah Dina memerah dalam genggaman Galang.
Dina pun menuruti ajakan Galang. Selang beberapa menit mereka tiba di rumah Dina yang berjarak satu kilo dari sekolah. Suasana di rumah Dina begitu sunyi karena kedua orang tuanya sudah membuka warung duluan. Setelah itu Galang pamit pulang.
* * *
Keesokan harinya…
Dina masuk ke kelas bertepatan dengan Bu Tika. Untung saja Dina tidak diomeli.
“Kenapa Telat banget. Kebanyakan pelanggan?” Tanya Rini seperti biasanya.
“Kamu nggak bosen ya nanyain itu tiap hari?” Dina balik bertanya.
“Banyak pelanggan ya. Aku udah tau. Cuma aku sedikit prihatin.”
“Kali ini bukan karena itu. Semalam warung tutup jam 11. Aku pulang jam sepuluh. Tapi begitu bapak pulang aku langsung diomelin panjang lebar nggak sadar sudah jam setengah satu malam.” Keluh Dina.
“Ooo. Emang kenapa sampai bisa diomeli panjang lebar gitu?”
“Kemarin aku pulang telat sampai jam 5 sore. Gara-gara PRnya si Galang. Trus aku ketiduran sampe jam 5.” Jelas Dina.
“Cuma telat aja diomelin panjang gitu. Masa’ sih Bapak kamu setega itu.”
“Bukan cuma itu masalahnya. Kemarin aku pulang sama Galang naik motor. Trus ada orang yang ngelihat dan memberitahu Bapak. Makanya…” Dina menghentikan kata-katanya setelah melihat raut muka Rini berubah dari simpatik menjadi tampangnya reporter gosip.
“Hayo! Kenapa kamu bareng sama galang?”
“Nggak ada apa-apa kok. Kemarin kebetulan Galang ketiduran di rumah kaca.” Dina mencoba menjelaskan.
“APA! Kalian tidur sama-sama!” Rini langsung kaget mendengar ucapan sahabatnya.
“Ya nggak lah. Kemarin dia ngebantuin aku mengerjakan laporan. Trus dia ketiduran, sepertinya... begitu.” Jelas Dina.
“Kenapa mukamu merah? Jangan-jangan kamu suka ya sama Galang.” Goda Rini.
“Sepertinya… iya.” Jawab Dina ragu. “Itu juga yang bikin aku terlambat. Karena semalaman aku terus-terusan lamunin dia. Sosok dia waktu lagi tidur… lagi naik motor…” Mata Dina menerawang.
“Trus kamu udah ngomong ke orangnya?” tanya Rini.
“Belum sih… tapi aku nggak mau ngomong kalo dia masih manggil aku kacamata.”
“Eh, Din itu orangnya datang.” Rini memotong ucapan Dina setelah melihat Galang mendekat.
“Hallo Lang! Lagi senang ya. Sepertinya dewi cinta sedang mengitarimu?” Rini lagi-lagi menggombal.
“Hah! Aku lagi kesal nih! Tadi pagi telat trus disuruh bersihin toilet.”
“Wah kebetulan tuh hmph…” Dina membekap mulut Rini yang mulai usil.
Wajah Galang memperlihatkan ekspresi bingung. “Oh, ya kacamata. Laporan kamu kan sudah selesai. Tapi itu semua aku yang ngerjain kan. Jadi sebagai hukuman kamu harus nanam 10 jenis bunga.”
“Apa!” Dina tersentak kaget. Aku pikir kemarin nolongnya ikhlas ternyata… masih nggak berubah.
* * *
After school…
“Nih bibit-bibitnya. Aku ke toilet dulu ya!” Galang menyerahkan sebuah kantong plastik kepada Dina.
Sepulang dari toilet Galang berpapasan dengan Rini.
“Lang, aku mau nanya nih? Boleh?”
“Boleh!” Jawab galang.
“Apa kamu suka sama Dina?” tanya Rini langsung ke pointnya tanpa basa-basi.
Wajah Galang pun memerah.
“Jadi iya ya.” Rini menyimpulkan sendiri karena tidak dijawab.
“Hah! Siapa bilang.” Galang mengelak.
“Oh, tidak ya. Soalnya Dina akhir-akhir ini lagi suka sama kakak kelas. Aku ngasih tau ini karena aku nggak mau kamu menyesal Dina tiba-tiba jadi milik orang lain.” Jelas Rini.
“Masa’ sih?” Galang tertunduk lesu. “Sebenarnya aku sudah suka sama dia sejak pertama kali dia masuk ekskul ini. Tapi… aku bingung mau mulai bagaimana. Karena bingung, ya aku bentak-bentak aja dia. Tapi jangan ngomong ini ke dia ya.”
“Ya ampun! Kok bisa begitu sih.” Rini geleng-geleng kepala. Dua orang ini ternyata nggak mau ngomong duluan.
“Hei! Ngapain aja sih kalian berdua di sini? Aku kesal tau nungguin dari tadi.” Tiba-tiba Dina datang menyusul dengan tampang jutek.
“Iya, yuk Lang!” Ucap Rini.
“Rin! Ada yang mau aku ngomongin! Kamu duluan saja Lang!” Ucap Dina lalu menarik lengan Rini menjauh.
“Kamu ngomong apa sama Galang? Jangan-jangan kamu ngomong kalo aku suka dia gitu.” Rini langsung diintrogasi oleh Dina.
“Ya nggak lah. Ini pembicaraan rahasia yang menyangkut masa depan Galang di SMU tercinta ini. Nggak usah dipikirin. Balik yuk, nanti Galang meledak lho.”
Dina masih bengong saking bingungnya dengan ucapan Rini. Tapi ia pun segera sadar dan mengejar Rini.
Di rumah kaca, Galang sedang menyirami tanaman-tanaman yang bejibun banyaknya. Rini dan Dina datang lalu membantu menyiraminya. Suasana terasa sunyi tanpa suara karena mereka bertiga sibuk dengan aktifitas menyiram.
“Eh, gimana dengan percobaan kamu?” Tanya Rini mencoba memecah keheningan.
“Oh, udah mati. Lemes, kayaknya nggak tahan deh sama cuaca di sini.”
“Percobaan apa sih, Lang?” tanya Dina.
“Aku nyoba nanam bunga tulip, tapi… lihat aja tuh hasilnya di sana.”
Dina langsung ngakak setelah mendengar penjelasan Galang. Rini sampai nyikut Dina saking takjubnya lihat sohibnya yang kalem sampai ngakak. Rini menyikutnya lagi. Kali ini karena ia melihat muka Galang sudah merah banget dan terus memelototi Dina. Alamat dia sudah mulai meledak.
“Hmph! Mana bisa lah! Suhunya saja beda sekali.” Ucap Dina sambil nahan ketawa.
Galang menghela napas panjang. Lalu pergi meninggalkan rumah kaca.
“Ups, dia marah ya?” Tanya Dina.
“Ya ialah. Nggak lihat apa, mukanya merah gitu.” Jelas Rini.
“Duh, aku mau minta maaf dulu. Bisa-bisa aku dikasih tugas lagi nih. LANG! Tunggu” Dina pun beranjak.
“Fuih! Ketemu juga.” Dina duduk di samping Galang yang sedang termenung memandang taman sekolah.
“Sorry deh. Kamu nggak marah kan?” bujuk Dina.
Galang tidak menjawab apa-apa. Dia terus memandang ke depan.
Gawat, kayaknya marah besar nih. Kerja rodi lagi deh. Gumam Dina dalam hatinya.
Tiba-tiba Galang menoleh ke arah Dina yang sedang duduk di sebelah kirinya. Dina menelan ludah dan menyiapkan mental mendengar tugas yang akan keluar dari mulut Galang.
Galang tersenyum lembut lalu berdiri di hadapan Dina.
“Kacamata… .” Ucap galang. “Aku tahu aku bukan tipe yang kamu idamkan. Tapi… mau nggak kamu beri aku kesempatan untuk merubah sikapku?” lanjutnya lagi. Sementara Dina bengong di hadapannya.
Kenapa sih hari ini orang-orang pada aneh bicaranya? Keluhnya dalam hati.
“Aku… suka kamu”. Ucap Galang ragu-ragu. “Sudah sejak lama rasa ini ada. Tadi, begitu melihatmu tertawa seperti itu… kamu terlihat sangat manis. Aku merasa muka ku memerah, makanya aku keluar.” Ungkap Galang.
Kini giliran wajah Dina yang memerah. Galang mengambil sekuntum mawar pink yang tumbuh di dekatnya.
“Mau nggak jadi cewekku?” Tanya Galang sambil memberi mawar ditangannya.
“Gi-gimana yah. A-aku juga sudah lama perhatiin kamu. Apalagi sejak kemarin waktu kamu bantuin aku kerjain laporan. Kamu tertidur lugu… hatiku serasa damai waktu lihat itu.” Ucap Dina.
“Jadi…” Galang mulai berharap.
“Nggak!” Ucap Dina jutek.
“Apa!” Hati Galang langsung hancur berkeping-keping.
“Aku nggak mau terima kamu sebelum kamu manggil aku dengan namaku!” Ucap Dina jahil. Lalu melepas kaca mata minus duanya. “Bukan dengan kacamata.” Lanjutnya.
Galang terdiam lama, namun…
“Dina…” Wajah Galang langung memerah. Pantesan dia nggak mau manggil nama Dina, soalnya wajahnya memerah jika menyebut nama orang yang disukainya. Dina pun tersipu, wajahnya ikutan merah.
“Jadi Pejuang Kita diterima nih!” Suara Rini tiba-tiba terdengar.
“Hah, sejak kapan kamu ada di sini?” Tanya Galang.
“Sejak ‘aku merasa mukaku memerah, makanya aku keluar’.” Ucap Rini meniru perkataan Galang.
“Apa! Awas ya kamu.” Ancam Galang.
“Makanya, kalo cinta, bilang dong!” Ucap Rini. (N^o^E)
Tamat
Tidak ada komentar:
Posting Komentar