Senin, 07 Maret 2011

Cerpen | Muslimah Dalam Dilema

Muslimah Dalam Dilema

Aku terbangun dari tidur ku karena rintihan kesakitan adikku. Wajahnya pucat dan berkeringat serta terlihat sangat gelisah. Kulihat jam dinding menunjukkan pukul 2 tengah malam.
“Kamu kenapa dek?” Tanya ku.
“Sepertinya sakau lagi. Kak! Tolong...” ucapnya sambil menahan rintihannya.
 “Istighfar dek. Ingat Allah. Jangan lemah dan takut.” Ucapku.
Aku mengambil wudhu dan membaca Al Quran. Adikku pun terbaring dan terlihat agak tenang setelah mendengarkan Al Quran. Aku membacakannya surah An Nur sambil berharap Allah akan meneranginya dengan cahaya. Dan akhirnya dia pun terlelap.
Seminggu yang lalu adikku yang masih duduk di kelas 2 SMA diusir dari rumah oleh Papa. Dia telah terjerat dalam dunia hitam yang gelap. Dia memakai narkoba sejak kelas satu dan dia pun hamil. Entah siapa yang harus bertanggung jawab atas kehamilannya. Aku tak ada di rumah untuk mengawasi dan memperhatikannya. Sejak ibu bercerai dengan Papa, Adikku menjadi begitu.
Aku tinggal di sebuah tempat kos wanita di dekat kampusku di Malang. Sedangkan adikku diusir dari rumah Papa di Bontang, Kalimantan Timur. Dia ke tempatku sendirian dengan berbekal beberapa potong baju dan uang yang tak seberapa banyaknya. Dan akupun tak tega bila harus mengusirnya.
Aku berjanji pada Allah, akan kubimbing dan kujadikan dia seorang muslimah sejati. Aku akan mengajarkannya untuk kembali ke jalan Allah dan mengeluarkannya dari dunia hitamnya. Semoga Allah merhidoi niat tulusku ini.
“Kakak ke kampus dulu ya. Tidak lama kok.” Ucapku.
Dia hanya mengangguk dan wajahnya masih murung.
“Assalamualaikum!” ucapku lalu pergi.
***
Di kampus, aku dipanggil oleh dosenku. Diantara mahasiswa lain, hanya aku saja yang belum membayar uang studi tur dan kegiatan ini wajib diikuti. Ini memang akhir bulan sehingga uang sakuku mulai menipis. Apalagi sejak ada adikku, pengeluaranku jadi berlipat. Biasanya Papa mengirim uang sebelum tanggal 1. Tapi sepertinya dia kesal karena aku merawat adik sehingga Papa tidak mengirim uang sama sekali. Ibu bekerja di Kuwait sebagai TKI dan kami kehilangan kontak.
Aku bingung dan gelisah. Hanya pada Allah aku berpasrah dan biarlah dia membukakan jalan keluar bagiku. Skripsiku pun tak diterima untuk ke sekian kalinya oleh Dekan ku. Aku merasa frustasi, untung saja imanku kuat sehingga aku tidak berakhir seperti adikku.
Akupun pulang ke tempat kos. Dan aku kaget adikku tidak ada di rumah. Apakah dia kabur lagi? Ataukah dia berniat bunuh diri seperti kemarin-kemarin. Pikiranku kacau dengan pertanyaan-pertanyaan itu. Ya Allah, semoga adikku baik-baik saja.
Aku bertanya pada teman di sebelah kamarku. Katanya dia pamit sejak siang untuk cari angin karena bosan dan akan kembali sore ini. Hatiku agak tentram mendengarnya. Meskipun agak gelisah karena hari sudah sore.
Tepat saat azan magrib berkumandang, adikku pulang kembali ke tempat kos. Aku lega dia tidak mencoba bunuh diri lagi.
“Darimana saja Dek?” tanyaku.
Dia mengeluarkan sesuatu dari kantong celana jeansnya yang ketat. Uang sebanyak lima ratus ribu dan diperlihatkannya kepadaku.
“Darimana kamu dapat uang itu Dek?” tanyaku dengan perasaan cemas.
“Aku tidak mencuri kok. Ini hasil kerja ku. Aku tahu kakak kesulitan uang dan Papa tidak mengirim uang untuk Kakak karena ada Aku disini.” Jelasnya.
“Terima kasih Dek. Tapi kakak mau tau kamu kerja apa sampai bisa dapat uang itu dalam sehari. Jujur sama kakak!” pintaku.
Dia terdiam cukup lama seakan-akan takut untuk mengatakannya. Tiba-tiba air matanya jatuh dan diapun mulai berbicara. “Aku menjual diri. Aku melacur. Maaf kak!” ucapnya sambil berderai air mata.
“ASTAGFIRULLAH! DEK!” aku emosi dan ingin menamparnya namun tanganku berhenti sendiri. “Sudahlah, jangan kamu ulangi lagi. Kakak tidak bisa menerima uang ini. Lebih baik kamu mandi saja...” aku menggantung kata-kataku karena air mataku pun menetes. Ingin rasanya berteriak namun tak enak hati sama tetangga, apalagi ini sudah magrib.
Dia menangis dan memegang kakiku. “Maaf Kak! Aku tidak tahu harus berbuat apa lagi. Maaf ya kak!”
Aku juga menangis dan hanya beristigfar dalam hati. Ya Allah, semoga hamba kuat dengan cobaan ini. “Berjanjilah kamu tidak akan begitu lagi dek!”
“Iya Kak. Aku janji! Kakak terimalah uang ini. Untuk biaya kuliah Kakak!” desaknya.
“Kakak terima uang ini. Tapi tidak akan kakak gunakan. Karena ini uang haram dek. Kita bisa kena celaka bila menggunakannya.” Ucapku.
“Iya...” ucapnya dengan nada kecewa.
***
Seminggu telah berlalu setelah kejadian itu. Uang itu pun aku sumbangkan ke panti asuhan karena aku tak tahan menyimpan uang haram itu lama-lama. Meski hati masih penuh gejolak karena masalah itu, namun aku bersyukur kini Adikku sudah memiliki kegiatan. Dia bekerja sebagai pelayan di rumah makan milik Ummi Idha. Beliau sudah aku anggap sebagai ibu sendiri karena sering membantuku dan menjadi teman curhatku. Dia pun menganggapku dan adikku sebagai anak sendiri. Selama dua belas tahun menikah dia belum mempunyai seorang anak. Saat pertama hamil dulu, janinnya mengalami komplikasi dan harus mengalami operasi serius sehingga Ummi Idha tidak akan pernah bisa hamil lagi.
Kebetulan Ummi Idha tinggal dekat tempat kos dan mau menerima Adikku sebagai karyawannya. Dulu aku pun sempat menjadi pelayan di sana namun tahun lalu aku berhenti karena harus serius dengan skripsiku.
Untuk menambah penghasilan, biasanya aku menulis cerpen untuk tabloid islami dan mendapatkan honor meski sedikit. Kadang aku menggantikan temanku menjaga warnet saat malam hari bila dia berhalangan.
“Kak!” sapa adikku.
“Ada apa?” tanyaku.
“Aku ingin seperti kakak.” Ucapnya.
“Ingin kuliah ya? Sayang kamu putus sekolah dek. Memang mau jadi apa?”  tanyaku.
“Bukan itu. Aku ingin pakai jilbab seperti kakak.” Ucapnya.
Subhanallah! walhamdulillah! Sudah lama aku ingin mendengar ucapan ini adikku. Aku bersyukur pada Allah karena kini Adikku sudah mulai berubah dengan inisiatifnya sendiri. Aku tersenyum sambil memandangnya.
Sore itu aku dan dia pergi berbelanja di toko busana muslimah. Kami mencari jilbab yang cocok dipakai olehnya, sebab jilbabku besar-besar karena aku lebih gemuk darinya. Ternyata dia terlihat lebih cantik daripada tidak memakai jilbab.
Kamipun pulang ke tempat kos setelah membeli beberapa jilbab.
“Kak! Rasanya nyaman sekali. Rasa malu saya semakin berkurang karena laki-laki tidak lagi menatapku dengan penuh nafsu.” Ucapnya.
“Syukurlah dek! Alhamdulillah kakak senang kamu mau berjilbab tanpa dipaksakan.” Ucapku.
***
Sudah empat bulan berlalu dan tanda-tanda kehamilannya mulai nampak. Dia jadi sering mual dan perutnya mulai membesar. Dan itu sangat menganggu pekerjaannya di rumah makan Ummi Idha. Sebagai seorang kakak, saya harus merawatnya namun saya juga harus konsentrasi dengan ujian skripsiku.
Selama empat bulan ini, aku senang dia sudah mulai berubah. Awalnya berjilbab, mulai rajin sholat dan ikut pengajian. Aku bangga dengan adikku. Meski Papa masih belum memaafkannya namun aku berharap Papa dapat melihat perubahan ini. Aku bersyukur Papa masih mengirimkan kami uang setiap bulannya, meski sebenarnya uang itu ditujukan buatku.
Adikku pun bingung dan depresi. Dia takut bayi ini lahir tanpa ayah. Tak ada yang mau bertanggung jawab atau berbaik hati menikahi adikku ini. Di sini gosip mudah menyebar dan kehamilan adikku diluar nikah sudah menjadi perbincangan orang-orang kompleks.
Saat dia berjalan orang-orang menatapnya dengan sinis bahkan ada yang memaki. Namun adikku masih bisa bersabar dan kuat menghadapi semua ujian itu. Meski kadang saat sholat malam dia terlihat menangis dan mengadu kepada Allah.
Ya Allah semoga adikku bisa kuat dan tabah. Jangan menyerah adikku.
Saat ini aku bingung dengan biaya persalinan adikku dan biaya kuliahku. Aku tak tega minta lagi di Papa karena Papa juga sedang sakit-sakitan di sana. Aku pun bekerja lagi sebagai pelayan di rumah makan Ummi Idha menggantikan adikku. Saat malam, aku membuat cerpen untuk diterbitkan di tabloid.
Alhamdulillah untuk biaya persalinan adik, Ummi Idha mau menanggungnya. Dan kami bisa menyicilnya jika sudah punya uang.
***
Tiga bulan telah berlalu dan usia kandungan adikku sudah 9 bulan. Dia sudah cuti dari kerjaannya sejak sebulan lalu. Kami pun mendapatkan berita duka dari Bontang. Papa meninggal dunia dan kami tak punya uang tiket untuk ke sana. Kami hanya mampu membeli 1 tiket pesawat saja dan akulah yang berangkat ke Bontang. Sedangkan adikku aku titipkan di Ummi Idha.
Aku sedih melihat Papa untuk terakhir kalinya. Namun aku mesti tegar menjalani hidup ini. Di acara pemakaman papa, Mama pun tidak datang. Aku amat rindu padanya Mama yang sudah 2 tahun lebih meninggalkan kami.
Aku di bontang selama 2 hari dan kembali lagi ke Malang. Aku harus mempersiapkan ujian skripsiku besok lusa. Semoga aku bisa lulus dan membanggakan Papa yang sudah berada di alam sana. Aku pun harus menemani adikku dan memberi motivasi kepadanya. Di saat seperti ini dia harus berpikir positif dan tidak sedih karena sedikit lagi dia akan melahirkan.
Adikku menangis sepanjang malam. Dia menyesal karena sebelum Papa meninggal dia belum sempat meminta maaf dan dimaafkan. Aku takut kondisinya akan parah dan berpengaruh pada janin yang dikandungnya.
Dua hari kemudian aku harus menempuh ujian skripsiku. Tak kusangka hari ini adikku pun akan melahirkan. Aku mengantarnya ke rumah sakit pagi ini. Aku akan ujian jam 10 sedangkan waktu sudah menunjukkan pukul 9:30. Aku bingung mau memilih yang mana.
Antara adikku atau ujian akhirku. Aku pun memilih menemani adikku dan memberi dukungan moril padanya.
“Kak! Pergi saja. Aku tidak apa-apa.” Ucap adikku.
“Tapi, tidak ada yang menemanimu.” Ucapku.
“Ugh! Nggak apa-apa kok!” ucapnya.
“Biar saya saja yang temani.” Suara Ummi Idha membuatku kaget.
Syukurlah ada yang menemani adikku. Aku bisa pergi ujian dengan tenang. “Dek! Jangan menyerah ya? Allah bersama orang sabar. Kakak juga akan berusaha di sana.” Ucapku lalu pergi meninggalkan rumah sakit.
***
Sekitar satu jam aku bertarung dengan pertanyaan dari para penguji. Aku pun selesai dan bergegas ke rumah sakit. Di sana terlihat Ummi Idha  duduk tertunduk sedih. Ya Allah, apakah gerangan terjadi?
“Ada apa? Bagaimana adikku dan bayinya?” tanyaku.
“Bayinya selamat tapi adikmu...” Ummi Idha tidak melanjutkan kata-katanya namun aku tahu sesuatu pasti terjadi pada adikku.
Aku segera menemui dokter dan ke ruang persalinan. Adikku telah berjuang dan bertarung dengan baik. Ia bertarung dengan gigih hingga titik darah penghabisan demi kehidupan baru. Kehidupan baru yang diberikan pada sang bayi.
Ia telah menghembuskan nafas terakhirnya setelah lelah dalam pertarungan itu. Innalillahi wa innalillahi rojiun. Aku pun meneteskan air mataku.
Ya Allah! Mengapa aku harus menghadapi semua cobaan ini. Aku baru saja kehilangan ayah, sekarang aku pun kehilangan adikku satu-satunya. Semoga engkau menerimanya di sisimu. Tempatkanlah ia ditempat yang penuh cahaya, yaitu surgamu ya Allah!
“Sabarlah! Dia meninggal saat melahirkan. Itu tergolong mati syahid dan dia sudah pasti dijamin masuk surga.” Nasehat Ummi Idha.
Aku menangis dalam pelukannya. Sungguh aku tak tahan lagi dengan berbagai kesedihan yang datang padaku secara bertubi-tubi. Jika imanku lemah, pastilah aku sudah bertindak bodoh dan bunuh diri.
“Allah memberikan cobaan pada hambanya karena Allah tahu dia dapat melaluinya. Saat cobaan itu usai, kamu pasti akan mendapatkan kenikmatan dari Allah. Bersabarlah nak!”
Ucapan Ummi Idha membuatku tenang. “Dimana bayinya?” tanyaku.
Ummi idha pun menuntunku ke sebuah ruangan dan disanalah sang bayi tertidur damai setelah keluar dari alam rahim. Seorang bayi laki-laki yang sangat lucu. Semoga engkau menjadi anak soleh dan berbakti.
“Ummi Idha? Aku berikan anak ini untuk Ummi. Ikhlas dan ridho karena Allah. Selama ini Ummi belum pernah punya anak. Namun Ummi Idha adalah ibu yang paling baik bagiku. Semoga dia bisa menjadi anak yang berbakti.” Ucapku.
Ummi Idha meneteskan air mata bahagianya. Kami berdua sama-sama menangis haru. “Terima Kasih. Ummi akan membesarkannya dengan kasih sayang.” Ucapnya.
Di sanalah Zakariya mendoa kepada Tuhannya seraya berkata: "Ya Tuhanku, berilah aku dari sisi Engkau seorang anak yang baik. Sesungguhnya Engkau Maha Pendengar doa." (QS Ali Imran 38)
Ummi Idha jadi teringat ayat yang selalu menjadi doanya selama ini. Allah kini mengabulkan doanya dan dia pun bersyukur atas karunia Nya.
Setiap manusia yang benyawa pasti akan diberikan cobaan hidup. Tak perduli sesulit apapun cobaan yang kita hadapi, ingatlah selalu kepada Allah. Karena Bagi Allah, cobaan itu sangatlah kecil bagi Nya. Ikhlaskan segala yang tak termiliki dan bersabarlah. Dalam hidup, sebaiknya kita lebih banyak bersyukur daripada mengeluh. Insya Allah dilema akan sirna di hatimu.
TAMAT

Tidak ada komentar:

Posting Komentar