Dixie
Saat itu aku baru saja selesai dari klinik THT di sebuah rumah sakit di pinggiran kota. Aku menelusuri lorong-lorong panjang rumah sakit sambil memperhatikan suasana. Wajah-wajah pasien lain yang menghuni rumah sakit ini karena penyakit mereka, juga para perawat dan dokter. Karena besok akupun akan menjadi bagian dari mereka. Dokter menyarankanku untuk dirawat di rumah sakit akibat sinusitis yang kuderita. Suaraku parau bahkan hampir lenyap saat berbicara panjang.
Aku pun kembali ke kantor dan meminta cuti selama seminggu untuk berobat. Mereka mengerti kondisiku dan memberiku izin. Sebenarnya hanya butuh 4 hari masa pengobatan dan penyembuhan. Namun aku memikirkan kemungkinan terburuk, makanya aku mengambil cuti lebih panjang.
Hari operasi pun tiba, mereka akan menyedot isi lendir di hidungku yang mengental dan mengeras. Ini yang selalu kukeluhkan. Flu berkepanjangan namun lendir di dalam tak mau keluar. Sungguh menyiksa dan mengganggu pekerjaanku.
***
Entah berapa lama aku tak sadarkan diri. Aku terbangun dari mimpi hampaku dan mencoba mengenali diriku. Syukurlah sepertinya aku masih hidup dan hidungku juga tidak apa-apa. Operasi sore kemarin sukses dan aku tertidur hingga hari ini, tepat pukul 10 pagi. Yang aku tahu, hidungku terasa kosong dan ringan.
Seorang suster datang dan memberitahukan bahwa waktunya minum obat. Empat jenis obat? Banyak sekali? Aku tak pernah meminum obat sebanyak itu dalam sekali dosis. Ditambah lagi injeksi jarum suntik yang bikin lenganku nyut-nytut. Badanku masih lemah untuk protes apalagi berontak.
Saat itu aku mulai memperhatikan sekelilingku. Aku berada di sebuah bangsal rumah sakit. Di dalam sini ada 4 ranjang dan dipisahkan oleh tirai-tirai berwarna hijau. Di sebelahku ada seorang gadis kecil, umurnya sekitar 8 tahun. Di dekat jendela, seorang wanita mungkin umurnya sekitar 40an. Dan di ranjang satunya lagi tak berpenghuni.
Sore ini, aku sudah mulai bergerak bebas tanpa merasakan nyeri. Selang-selang infus pun sudah dicabut. Lega rasanya diriku ini. Akupun berjalan-jalan menikmati udara sore hari. Kebetulan tadi siang hujan dan aku suka suasana sehabis hujan.
Gedung demi gedung, lantai demi lantai telah kulalui. Akupun berhenti sejenak di beranda lantai 3 sambil menunggu matahari terbenam. Kebetulan beranda ini menghadap ke barat. Di sudut beranda, kulihat gadis kecil tadi. Dia pun memandangi langit sepertiku. Dia duduk dikursi roda dan di belakangnya ada suster yang menjaganya. Namun sang suster hanya menelepon sambil duduk di kursi panjang itu.
“Hei! Selamat sore!” sapaku, meskipun suaraku masih agak serak.
Gadis cilik itu menatapku dengan tatapan kosong tanpa ekspresi. Sementara sang suster hanya tersenyum padaku, lalu melanjutkan perbincangannya di telepon.
“Oh ya, namaku Alam. Kita bersebelahan ranjang kan?” tanyaku memastikan.
Dia kembali menatapku dengan tatapan kosong sehingga membuatku agak merinding. Namun beberapa saat dia mengangguk mengiyakan pertanyaanku.
“Lihat matahari terbenam ya? Paling asyik kalo dinikmati bersama-sama. Boleh aku duduk di sini suster?” pintaku pada suster.
“Mari silahkan!” ucap sang suster.
Aku mencondongkan badanku ke depan agar sejajar dengan gadis cilik itu. Dia masih terpaku menatap matahari yang mulai tenggelam diujung cakrawala. Aku hanya tersenyum kecil padanya yang menatapku dengan wajah polos dan bingungnya.
“Wajahmu mengingatkanku pada seseorang. Dia mungil sepertimu, dia berambut ikal dan agak kecoklatan sepertimu. Kulitnya putih pucat sepertimu. Tapi dia sudah pergi…” aku menggantung kata-kataku.
Wajah gadis cilik itu menoleh padaku dengan tatapan heran. Sepertinya dia menikmati ceritaku. Dan penasaran ingin mendengar lanjutan ceritaku.
“Dia tidak meninggal. Hahahaha. Kamu pikir begitu ya.” Ucapku.
Sebuah senyuman terukir diwajahnya. Mungkin dia ingin berkata, “Syukurlah”.
“hehehehe! Sebuah senyuman bisa mempercepat kesembuhan kita loh!” ucapku.
Kali ini wajahnya terlihat lebih berekspresi. Dan memandangku dengan senyuman tulus.
“Nama kamu siapa?” tanyaku pada gadis cilik.
“Pita suaranya… putus saat operasi amandel. Dia tidak dapat berbicara lagi.” Jelas suster.
Aku terhentak sesaat, kulihat kembali wajah gadis cilik itu. Ia tertunduk lesu, kembali lagi ke ekspresinya semula. Ekspresi penuh kekosongan. Aku tak punya kata-kata selain maaf. Dan matahari terbenam menjadi saksi perjumpaan kami.
Malamnya aku harus merasakan makanan yang sama yang kumakan tadi pagi dan siang.
“Suster! Kok menunya sama sih? Tadi pagi trus siangnya juga begitu. Apa ini makanan sisa tadi pagi ya? Kok bubur sih? Trus Ibu Yuni bisa makan sate kenapa saya tidak?” protesku.
Sang suster hanya menatap dengan pelototan kepadaku. “Kamu kan baru selesai operasi. Makan bubur dulu.” Ucap sang suster sewot.
“Iya!” ucapku pasrah. Ini sih bukan makanan. Bubur berwarna kuning yang entah terbuat dari apa. Rasanya pun hambar.
Sementara itu di sampingku si gadis cilik itu tersenyum kecil melihat pertengkaran kecil kami. Dia pun memakan makanan yang sama denganku namun tak protes apa-apa. Aku belum tahu namanya sedangkan pasien yang satunya lagi bernama Ibu Yuni. Aku tertarik dengan bungkus obat yang diminum gadis cilik itu. Terpampang tulisan Dixtren bla bla bla. Tulisan itu gak jelas bacanya.
“Gak minum dixiemu?” tanyaku sambil menunjukk obat itu.
Gadis cilik itu hanya menggeleng. Sepertinya dia tak ingin minum obat itu. Mungkin rasanya sangat pahit. Akupun menanyakan hal itu padanya dan dijawabnya dengan anggukan.
Malam itu kami bertiga penghuni bangsal THT saling mengakrabkan diri. Besok Ibu Yuni akan pulang dan meninggalkan aku dan gadis kecil itu yang kupanggil Dixie. Aku masih 3 hari lagi disini hingga dokter mengijinkanku pulang. Tapi aku tak tahan berlama-lama disini, aku tidak terbiasa dengan suasana rumah sakit apalagi makanannya. Hoeeek! Kalo besok makanannya masih bubur tawar, sy kabur dari rumah sakit saja deh.
Akhirnya esok pun tiba dan Ibu Yuni pun pamit meninggalkan kami. Siang itu, teman-teman dan familiku datang menjenguk. Aku bisa makan makanan enak sepuasnya. Mereka membawakanku apel, anggur, kue-kue, air dan juga majalah untuk mengusir suntuk dan kebosanan.
Sorenya, aku dan dixie berjalan-jalan mengitari rumah sakit. Aku mendorong kursi rodanya sambil bercerita untuk menghilangkan kebosanannya. Dia hanya tersenyum mendengarku. Seandainya suaranya tidak hilang, ingin rasanya mendengarnya menyanyi. Dia hobinya nyanyi, aku tahu dari suster yang menjaganya. Ayahnya saat ini sedang ditahan karena dugaan korupsi. Makany aku tak pernah melihat orang-orang menjenguknya. Dia hanya tinggal dengan ayahnya, namun 1 bulan yang lalu dia mengalami peradangan dan harus segera dioperasi. Seminggu kemudian ayahnya ditahan dan dibawa ke Jakarta untuk persidangan. Makanya ia dititipkan sampai masalah selesai. Sebenarnya Dixie punya perawat pribadi yang merawatnya di rumahnya. Namun si suster libur setiap hari jumat, jadi hari ini saya yang ngajak Dixie jalan-jalan sampai matahari terbenam.
Malam ini kami tidur berdua saja, eh kalian jangan berpikir macam-macam loh. Aku bukan tipe-tipe lolicon. Lagipula tempat tidur kami terpisah, dan suster penjaga slalu lewat tiap saat. Apalagi suster yang biasa kami sebut Mami Icha. Makanan yang dibawa buatku diembat semuanya. Hanya tersisa beberapa potong apel saja.
***
Aku terbangun jam 3 subuh untuk ke toilet. Saat aku kembali dari toilet, aku mendengar suara isak tangis. Aku sampai merinding mendengar desahan napas tak beraturan itu. Namun aku kesampingkan rasa takutku dan memperhatikan sekelilingku.
Dixie? Bahunya bergetar dan sumber suara desahan itu dari arahnya. Aku melihat air matanya mengalir hingga membuat bantalnya basah. Dia belum tidur? Apa yang ditangisinya.
“Dixie? Kamu kenapa?” tanyaku sambil memegang bahunya yang bergetar.
Dia membalikkan badannya, menatapku sekilas dengan linangan air matanya. Kemudian memelukku dan menangis di bahuku. Aku mengelus pundaknya mencoba menenangkannya.
Setelah ia tenang, aku mengambil HPku lalu menyuruhnya menjelaskan apa yang membuatnya sedih. Ia pun mulai mengetik kata-kata menggantikan suaranya. Wajahnya serius mencari huruf-huruf pada keypad QWERTY di HPku. Meskipun baru 8 tahun, dia sudah mahir menggunakan HP. Cukup lama aku menunggu kata-katanya, akhirnya selesai juga dia mengetik.
“Aku rindu Papa. Kenapa sebulan ini papa tidak menjengukku?” ucap Dixie lewat HP.
“Hmm! Dixie tau nomor telepon Papa? Tulis disitu, nanti kakak telponkan.” Tanyaku dan dibalas dengan sebuah gelengan kepala.
Dia kembali mengambil HPku. “Aku tidak hapal nomornya. Dan namaku Veronika Kak!” begitulah kata-kata yng terpampang di layar HPku.
“Hahaha! Maaf panggil kamu Dixie. Itu kan nama obat. Eh, orang yang kakak ceritakan dan mirip denganmu Inisialnya juga’ V’ loh! Akhirannya juga ‘ka’. Mau tahu…….?” Aku menghentikan ucapanku karena Dixie sudah terlelap.
Dalam hati aku pun merasa kasihan padanya. Dia pasti kesepian di sini tanpa seorang pun menengok atau menghiburnya selama ini. Apalagi besok lusa aku pun keluar jika dokter mengijinkan.
***
Pagi yang sungguh membosankan di rumah sakit. Namun aku dapat berita gembira bahwa selaput lendir hidungku sudah normal. Selanjutnya tinggal pemulihan dan besok boleh pulang. Berarti aku pulang lebih cepat dari prediksi dokter. Dan aku pun harus meninggalkan Dixie sendiri di ruangan itu.
Akhirnya pagi itu aku nekat kabur dari rumah sakit, setelah itu pulang ke rumah dan beraksi dengan motorku di jalan. Tujuan pertama ku adalah warnet untuk mencari informasi mengenai Ayah Dixie. Aku mengakses rekeningnya dan menelusuri sms dan emailnya. Kebetulan aku pernah belajar sedikit tentang Hacking. Ternyata benar, ia telah korupsi di PT X pada tahun ini. Aku tidak dapat berbuat apa-apa. Satu-satunya jalan adalah mencari keluarga Dixie lewat kartu Ayahnya. Sepertinya nomor HP orang itu di blokir. Terpaksa aku harus mengaktifkan lagi dari operator. Hari sabtu ini mereka buka hingga pukul 12, oleh sebab itu aku harus bergegas.
Aku ke tempat fotokopi dan menemukan murid-muridku sedang fotokopi tugas sejarah mereka. Akhirnya ketahuan kalau aku sudah keluar dari rumah sakit. Jadi sebentar siang harus ke sekolah mengajar lagi. Tapi aku harus menyelesaikan masalah ini terlebih dahulu.
***
Aku kembali ke rumah sakit dengan disambut omelan dari Mami Icha. Dixie hanya tersenyum memandangku yang tertunduk lesu. Setelah puas mengomel, sang suster pun berlalu. Aku membawa hadiah untuk Dixie, sebuah whiteboard kecil dan spidol untuk berkomunikasi. Dia terlihat gembira dengan hadiah itu.
“Terima kasih Kak!” ia langsung menulis kata pertamanya di situ.
Aku tersenyum memandangnya. Malam ini, merupakan malam terakhir aku disini. Entah apa yang terjadi padanya, apakah dia akan bertahan sendiri disini?
“Kakak tidak keluar malam minggu?” Dixie memperlihatkan tulisan di papannya.
“Tidak. Kakak tidak punya pacar. Lagian Mami Icha nanti marah loh!” jelasku. Aku jadi malu harus mengakui hal itu padanya. “Tapi tidak apa-apa kok. Malam ini kan ada Veronika yang nemani.” Gombalku.
“Kakak boleh panggil aku Dixie.” Dixie memamerkan papannya sambil tersenyum. Dia kemudian menghapus kembali tulisan di papannya itu. “Tapi Mama Ica baik koq. Iya, Dixie senang bisa temani kakak.” Ia kembali menunjukkan papan itu dengan seyuman polosnya.
“Hahaha! Justru Kakak yang senang malam minggu ini ditemani cewek imut dan cantik seperti Dixie. Mami Icha baiknya sama Dixie saja. Kalo sama pasien lain, dia suka marah-marahin. Habis dimarahin, makanan kita disikat lagi.” Ucapku yang disambut dengan tawanya yang tak bersuara.
Kami terdiam dengan kesibukan masing-masing. Dixie sibuk menggambar di papannya sambil sesekali memamerkannya padaku. Sedangkan aku sibuk menerima SMS dari murid-muridku.
“Kak! SMS dari siapa? Kelihatannya senang?” tanya Dixie melalui papan pesannya.
“Oh. Ini dari orang yang mirip sama kamu. Yang pernah Kakak ceritakan waktu itu. Hehehehe! Namanya juga mirip koq. V dengan akhiran ka. Akhirnya dia balas SMS Kakak. Soalnya beberapa hari ini dia tidak pernah balas SMS Kakak. Dia sudah sampai di Manado. Dixie mau lihat SMSnya?”
Dia mengiyakan dengan sebuah anggukan. Aku pun menghampiri ranjangnya lalu memperlihatkan isi pesan itu.
Slmt malam..
K’alam..
Bgamana keadaan kelz Tnpa kt?..
Aku pun memperlihatkan fotonya pada Dixie hingga membuatnya keheranan. Wajahnya memang agak mirip, apalagi rambutnya.
“Kak! Dixie ingin menyanyi. Dixie suka menyanyi.” Dia menunjukkan tulisan baru lagi pada papannya.
“Oh ya? Kalau Kakak sih suka main piano. Hmm! Kakak pingin dengar suara Dixie yang merdu itu. Dixie mau nyanyi lagu apa?” tanyaku.
“DMasiv. Jangan menyerah” papan putih itu kembali tercoreti.
“Hehehehe! Iya, Kakak mau dengar lagu itu.” Ucapku. Kebetulan lagu itu ada di HPku. Akupun memutarkannya supaya dia bisa mengikutinya. Sebuah lagu tentang semangat tuk jalani hidup meski dalam ketidaksempurnaan.
Bibir mungilnya mulai mengikuti lirik lagu namun suaranya tak terdengar. Tapi dia terlihat sangat menikmatinya. Aku menutup mataku dan membayangkan suaranya menggema di telingaku. Baru setengah lagu berlalu, pintu kamar telah terbuka dan munculah Mami Icha.
“Hey! Cepat tidur. Sekarang sudah jam 10. Pasien lain sedang istirahat.” Tegur Mami Icha.
Aku pun segera bergegas ke ranjangku dan Dixie pun menutupi wajahnya dengan selimutnya. Mungkin dia tidak ingin melihat wajah Mami Icha sebelum tidur, supaya tidak mimpi buruk.
***
Hari ini aku kan meninggalkan rumah sakit. Sedih rasanya meninggalkan Dixie. Ia memeluk punggungku mencoba menahanku untuk tidak pergi. Namun tubuh mungilnya tak dapat mengimbangi kekuatankku. Aku menoleh padanya sambil berkata “Aku nanti jenguk.”
Dia menatapku dengan tatapan sedih, dia berbicara namun tak keluar suara apa-apa. Mungkin dia ingin mengatakan sesuatu yang lebih pantas diucapkan dengan lisan.
Aku pun berlalu meninggalkannya. Seharusnya aku keluar dari rumah sakit besok sih, namun aku bersyukur pulang hari ini. Aku bisa main basket sebentar sore dan menghindari murid-muridku yang akan menjengukku hari ini. Untung saja mereka tidak jadi datang dan melihat Dixie. Kira-kira apa yang akan mereka bilang bila melihat Dixie? Soalnya Dixie mirip sekali dengan sahabat mereka yang baru saja pindah sekolah.
***
Hampir tiap hari aku menemui Dixie. Aku selalu membawakannya Es Krim, dan tidak lupa Es krim cadangan untuk Mami Icah kalau dia lagi sewot. Biasanya sebelum mengajar siang, aku menemuinya terlebih dahulu. Kami bercerita banyak hal meski lewat sebuah papan.
Sudah 3 minggu berlalu dan minggu ini, aku mulai sibuk dengan berbagai laporan dan ketikan sehingga lupa menjenguk Dixie. Hampir seminggu aku tidak menjenguknya. Aku jadi tak enak hati padanya karena tiba-tiba menghilang darinya.
Akhirnya kuputuskan untuk menjenguknya hari ini. Aku membawa 2 buah es krim seperti biasanya. Namun hari ini suasana ruangan kosong, mungkin dia sedang berjalan-jalan. Akupun mengelilingi rumah sakit untuk mencarinya. Pencarianku terhenti setelah melihat Mami Icha, akupun menanyakan tentang Dixie.
Aku sungguh terkejut mendengar jawaban itu. Dixie si gadis cilik berkepang itu telah meninggalkan rumah sakit. Ada keluarganya dari Surabaya datang menjemputnya. Dokter pun menyetujuinya karena disana dia bisa memulihkan pita suaranya dan dapat berbicara lagi. Dua hari yang lalu mereka berangkat dengan pesawat ke Surabaya. Sebelum berangkat dia menulis surat padaku. Akupun membacanya.
Kakak! Maaf Dixie pergi tidak pamit.
Terima kasih ya sudah temanin Dixie selama di rumah sakit. Dixie mau ke surabaya sama Paman. Katanya kalo disini Dixie bisa sembuh. Kalo Dixie sudah sembuh, Dixie mau menyanyi buat Kakak. Kakak dengerin suara Dixie ya?
Paman bilang nama Dixie bagus. Kalo sudah masuk sekolah lagi, Dixie mau dipanggil Dixie saja sama teman-teman. Papannya Dixie bawa. Doain Dixie supaya sembuh ya?
Dixie sayang Kakak!
Setelah membaca surat itu… aku bersyukur hujan turun. Sehingga bisa menyembunyikan air mataku yang menetes. Dixie adikku sayang… Iya, Kakak ingin dengar suara Dixie. Makanya, Dixie harus sembuh dan percaya bahwa Dixie bisa sembuh. Kakak akan selalu menunggumu di sini, sampai Dixie datang dan meneriakkan nama Kakak dengan suaramu yang indah.
TAMAT
Alamz
Tidak ada komentar:
Posting Komentar