Part 26
Ada Apa Dengan Tuti?
Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku ini munafik juga. Udah
nasehatin Erni untuk nggak pacaran tapi aku malah sering telpon-telponan bareng
Arya. Sejak kencan pertama dengannya di café milik Kak Wina itu, aku semakin
suka dengan Arya. Dan hampir setiap hari Arya selalu meneleponku. Menanyakan
pelajaran atau sekedar guyon aja. Mama sampai terlihat curiga dengan kegiatanku
mengurung diri di kamar. Sepertinya Mama udah mulai paham dan mengerti kalau
anaknya yang cantik ini sedang jatuh cinta.
Yah, meski gak pacaran dengannya tapi aku lumayan menikmatin
hubungan tanpa status ini. Aku ikhlas jadi apa saja untuk Arya karena aku
mencintainya. Jika Arya menganggapku sahabat, aku akan ikhlas menerimanya. Jika
dia menganggapku pacar, aku pasti bersyukur banget. Atau bahkan bila dia hanya
menganggapku sebagai pengganti Kak Wina, aku pun ikhlas. Dan memang kami tidak
pernah membicarakan tentang isi hati kami. Aku dan Arya sama-sama memiliki ego
dan gengsi.
Tapi aku ingin menjadi sosok apapun yang Arya inginkan. Aku
benar-benar mencintai dan menyayanginya. Rasa ini perlahan mulai terpupuk dalam
hatiku. Rasa ingin bersama dengannya. Rasa ingin memilikinya. Rasa ingin
menghiburnya. Rasa ingin menjadi yang terbaik untuknya. Rasa ini melebihi
perasaan yang kurasakan saat bersama dengan Erwin dulu.
Dan Erwin… sampai hari ini dia tak pernah lelah dan jera
untuk menyambung kembali ikatan cinta yang lama. Dan aku sudah menolaknya
dengan alasan mau konsentrasi belajar untuk ujian. Dia pun menerimanya dan
sudah mulai jarang menampakkan diri di sekolah maupun di rumah.
Hari ini ujian semester akan dimulai. Saat kenaikan kelas
semester kemarin, aku masuk 3 besar kelas. Dan yang kudengar Arya mendapatkan
ranking pertama di kelasnya. Saat kelas 2 aku memang beda kelas dengannya.
Meskipun aku akrab dengan Arya, tapi kalo soal nilai aku gak
akan kalah dengannya. Karena targetku adalah jadi ranking pertama. Dan
sainganku di kelas ini adalah Said dan Windy si ketua kelas. Said selalu mewakili
sekolah untuk lomba-lomba matematika dan pengetahuan umum. Di kelas 2 Said
selalu menjadi nomor satu di kelasnya. Windy pun termasuk siswi pintar dan dia
pun mendapatkan ranking pertama saat kelas 2 dibuntuti oleh Rangga yang
sekarang berada di kelas lain. Dan di posisi ketiga adalah aku yang turun
peringkat karena disalip Rangga. Semester sebelumnya aku yang di posisi kedua
dan Rangga yang diposisi ketiga.
Jadi persaingan antara aku dan Windy terus berlanjut di kelas
tiga ini. Namun kali ini muncul dua penantang yang lebih hebat daripada Rangga.
Said si jenius dan Arya si misterius.
Kita lihat saja nanti hasilnya. Windy… Said… dan Aya… mulai
hari ini kita bersaing secara sehat. Dan aku tidak akan kalah karena aku
bukanlah Reni yang dulu lagi.
AYO SEMANGAT REN!!!! GO! GO! GO!



Tak terasa ujian selama seminggu telah memasuki hari terakhir
dan berakhir hari ini. Hari-hari menegangkan telah berlalu dan wajah-wajah
ceria merekah di wajah siswa-siswi sekelas. Bahkan mungkin seantero sekolah merayakannya
dengan berhura. Aku pun keluar menuju gerbang sekolah dengan perasaan lega dan
penuh syukur.
Ternyata Erwin masih belum balik lagi ke Medan. Padahal
katanya liburannya hanya dua minggu. Dan dia kini menungguku di depan pagar
sekolah. Kali ini aku tak sembunyi atau lari lagi. Mungkin saja dia mau
menyampaikan salam terakhirnya sebelum berangkat balik ke Medan.
Aku jadi ngerasa bersalah juga sih udah cuekin dia. Padahal
Erwin udah jauh-jauh datang menemuiku.
“Gimana ujiannya?” tanya Erwin.
“Lumayan susah. Tapi aku bisa ngejawab semuanya kok.”
Jawabku.
“Wah Hebat. Oh ya, besok aku mau balik lagi ke Medan.” Jelas
Erwin.
“Smoga selamat sampai tujuan yah. Maaf selama di sini aku
tidak pernah temanin.” Ucapku.
Selama dua minggu di sini, Erwin pernah beberapa kali
mengajakku jalan dan makan bareng Erni juga Tuti. Tapi aku selalu saja
beralasan untuk tidak ikut. Jadi hanya Erni dan Tuti saja yang ikut sama Erwin.
Dulu Erwin juga suka ngajakin kami saat kita masih pacaran
dulu. Tapi kalo sekarang aku merasa canggung. Dan aku gak mau rasa kepadanya
yang sudah lama aku buang itu muncul lagi.
“Reni!” Erwin tampak pucat dan tertunduk mengucap namaku.
“Iya!” jawabku.
“Kita gak bisa seperti dulu lagi yah?” tanya Erwin dengan
nada pasrah.
“Maaf yah!” sesalku.
“Nggak usah minta maaf Ren. Justru aku yang harus minta maaf
sudah ninggalin kamu.” Erwin tampak menyesal.
“Gak apa-apa kok Win! Justru dari situ aku belajar jadi lebih
dewasa.” Aku mencoba menegarkan diri.
“Hari ini kamu mau nggak temanin aku? Sekalian ajak Tuti dan
Erni juga.” Pinta Erwin.
“Tapi… aku belum izin ke Mama.” Aku mencoba beralasan.
“Tenang aja, aku bisa bicara ke tante.” Erni tiba-tiba muncul
dan merangkulku. “Jadi, hari ini Reni bisa temanin kamu kak! Kalo gak bisa,
kita culik aja. Gimana Kak?”
“Hush, gak usah segitunya kali.” Ucapku kesal.
Aku pun menyetujuinya, sekalian ngilangin stres setelah ujian
terakhir tadi. Lagian ada Erni dan Tuti juga bersamaku. Ini bukan kencan
seperti saat aku dan Arya. Tapi ada yang aneh dengan Tuti. Dia terlihat lebih
pendiam dari biasanya. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikannya.
“Kamu kenapa?” tanyaku pada Tuti.
“Nggak! Justru kamu yang aneh.” Ucap Tuti datar.
“Hah? Aku? Emang aku salah apa sih?” protesku.
“Ah, nggak apa-apa. Yuk jalan!” Tuti menarik tanganku dan
menuntunku mengikuti Erni dan juga Erwin yang udah jalan duluan.
Apa yang terjadi sama Tuti? Apa dia kesal karena aku nggak
kasih contekan waktu ujian? Atau mungkin aku nggak sengaja udah ngucapin
kata-kata yang menyinggungnya? Nggak biasanya Tuti seperti hari ini.
Mobil Arya pun keluar dari gerbang sekolah aku dan Arya
sempat saling tatap sejenak denganku dan Mang Jana pun berlalu. Aku hanya bisa
membalasnya dengan senyuman.
“Dadah Arya!” Erni berteriak genit sambil melambaikan tangan
ke arah mobil Arya.



Sepulang sekolah aku ganti baju dan langsung dijemput Erni.
Erwin datang bersama Ruslan dengan mini
van punya Ruslan. Dia adalah teman Erwin dan selama di sini Erwin tinggal di
rumahnya. Keluarga Erwin memang tidak ada di sini dan dulu dia tinggal dengan
keluarganya Imel saat sekolah di sini.
Di dalam mobil Erwin mengenalkan kami pada Ruslan dan juga
pacarnya Desi. Kami pun menjemput Tuti ke rumahnya dan selanjutnya jalan-jalan
ke Mall. Sebenarnya Erwin ingin jalan-jalan ke pantai tapi karena udah keburu
sore jadi kita jalan ke mall aja.
Kami singgah di café untuk ngemil sejenak. Saat itu Tuti
teringat akan sesuatu dan dia pun minta izin untuk pulang duluan. Kami tak
mencegahnya dan membiarkannya pergi. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang ganjil
dari sikapnya itu.
“Ni! Kayaknya ada yang aneh deh sama Tuti.” Bisikku pada
Erni.
“Masa sih? Dia biasa aja kok!” ucap Erni santai.
“Yah, dia jadi agak cuek dan pendiam gitu. Apalagi sikapnya
sama aku. Apa dia marah padaku karena aku gak kasih contekan?” aku mencoba
menebak.
“Ih, kalo soal gitu sih Tuti gak bakalan marah. Tapi Tuti
sikapnya biasa aja tuh sama aku. Dia masih aja suka menggoda atau ngerjain
aku.” Jelas Erni.
“Tapi… perasaanku agak gimana gitu.” Ucapku.
“Udah gak usah dipikirin. Kamu aja yang stres karena ujian
kali. Sekarang ini nikmatin aja liburan.” Erni mencoba menghiburku.
“Iya deh.” Ucapku pasrah.
“Oh ya! Ren, Kak Erwin, Kak Ruslan dan Kak Desi. Pacarku udah
jemput tuh, kita mau jalan dulu!” Ucap Erni.
“Hah? Jadi kamu mau tinggalin aku ya?” protesku.
“Emang Erni udah punya pacar ya?” Erwin tampak penasaran.
“Ih, Kak Erwin. Erni kan udah kelas 3 SMA, yah wajar lah. Oh
ya, jagain Reni yah Kak! Awas loh kalo macam-macam!” Ancam Erni pada Erwin.
“NI!” aku masih protes.
“Dah, Reni! Met bersenang-senang aja yah?” Erni pun kabur
tanpa menghiraukan protesku ini.
“Tenang aja Ren, nanti aku anterin deh.” Ucap Erwin.
“Gak usah!” aku jadi ngambek.
“Kalo gitu aku mau temanin Desi ke salon dulu nih. Kalian mau
ikut?” Kak Ruslan pun ingin pergi.
“Gimana Ren?” Erwin meminta pendapatku.
Dari pada dibilang kencan sama Erwin, mending ikutan Kak
Ruslan aja deh. “Aku sih ikut, tapi terserah kak Erwin aja.” Ucapku.
Akhirnya akupun ikut bersama Kak Ruslan dan Kak Desi. Mereka
berdua jalan sambil bergantengan tangan dan tertawa ceria. Sedangkan aku dan
Erwin mengekor dibelakang mereka. Meski jalan bersanding dengan Erwin, aku
tetap menjaga jarak darinya sambil diam.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar