Rabu, 08 Mei 2013

Novel | Wajah Kedua (Part 26)


Part 26
Ada Apa Dengan Tuti?


Kalau dipikir-pikir, sebenarnya aku ini munafik juga. Udah nasehatin Erni untuk nggak pacaran tapi aku malah sering telpon-telponan bareng Arya. Sejak kencan pertama dengannya di café milik Kak Wina itu, aku semakin suka dengan Arya. Dan hampir setiap hari Arya selalu meneleponku. Menanyakan pelajaran atau sekedar guyon aja. Mama sampai terlihat curiga dengan kegiatanku mengurung diri di kamar. Sepertinya Mama udah mulai paham dan mengerti kalau anaknya yang cantik ini sedang jatuh cinta.

Yah, meski gak pacaran dengannya tapi aku lumayan menikmatin hubungan tanpa status ini. Aku ikhlas jadi apa saja untuk Arya karena aku mencintainya. Jika Arya menganggapku sahabat, aku akan ikhlas menerimanya. Jika dia menganggapku pacar, aku pasti bersyukur banget. Atau bahkan bila dia hanya menganggapku sebagai pengganti Kak Wina, aku pun ikhlas. Dan memang kami tidak pernah membicarakan tentang isi hati kami. Aku dan Arya sama-sama memiliki ego dan gengsi.
Tapi aku ingin menjadi sosok apapun yang Arya inginkan. Aku benar-benar mencintai dan menyayanginya. Rasa ini perlahan mulai terpupuk dalam hatiku. Rasa ingin bersama dengannya. Rasa ingin memilikinya. Rasa ingin menghiburnya. Rasa ingin menjadi yang terbaik untuknya. Rasa ini melebihi perasaan yang kurasakan saat bersama dengan Erwin dulu.
Dan Erwin… sampai hari ini dia tak pernah lelah dan jera untuk menyambung kembali ikatan cinta yang lama. Dan aku sudah menolaknya dengan alasan mau konsentrasi belajar untuk ujian. Dia pun menerimanya dan sudah mulai jarang menampakkan diri di sekolah maupun di rumah.
Hari ini ujian semester akan dimulai. Saat kenaikan kelas semester kemarin, aku masuk 3 besar kelas. Dan yang kudengar Arya mendapatkan ranking pertama di kelasnya. Saat kelas 2 aku memang beda kelas dengannya.
Meskipun aku akrab dengan Arya, tapi kalo soal nilai aku gak akan kalah dengannya. Karena targetku adalah jadi ranking pertama. Dan sainganku di kelas ini adalah Said dan Windy si ketua kelas. Said selalu mewakili sekolah untuk lomba-lomba matematika dan pengetahuan umum. Di kelas 2 Said selalu menjadi nomor satu di kelasnya. Windy pun termasuk siswi pintar dan dia pun mendapatkan ranking pertama saat kelas 2 dibuntuti oleh Rangga yang sekarang berada di kelas lain. Dan di posisi ketiga adalah aku yang turun peringkat karena disalip Rangga. Semester sebelumnya aku yang di posisi kedua dan Rangga yang diposisi ketiga.
Jadi persaingan antara aku dan Windy terus berlanjut di kelas tiga ini. Namun kali ini muncul dua penantang yang lebih hebat daripada Rangga. Said si jenius dan Arya si misterius.
Kita lihat saja nanti hasilnya. Windy… Said… dan Aya… mulai hari ini kita bersaing secara sehat. Dan aku tidak akan kalah karena aku bukanlah Reni yang dulu lagi.
AYO SEMANGAT REN!!!! GO! GO! GO!

  

Tak terasa ujian selama seminggu telah memasuki hari terakhir dan berakhir hari ini. Hari-hari menegangkan telah berlalu dan wajah-wajah ceria merekah di wajah siswa-siswi sekelas. Bahkan mungkin seantero sekolah merayakannya dengan berhura. Aku pun keluar menuju gerbang sekolah dengan perasaan lega dan penuh syukur.
Ternyata Erwin masih belum balik lagi ke Medan. Padahal katanya liburannya hanya dua minggu. Dan dia kini menungguku di depan pagar sekolah. Kali ini aku tak sembunyi atau lari lagi. Mungkin saja dia mau menyampaikan salam terakhirnya sebelum berangkat balik ke Medan.
Aku jadi ngerasa bersalah juga sih udah cuekin dia. Padahal Erwin udah jauh-jauh datang menemuiku.
“Gimana ujiannya?” tanya Erwin.
“Lumayan susah. Tapi aku bisa ngejawab semuanya kok.” Jawabku.
“Wah Hebat. Oh ya, besok aku mau balik lagi ke Medan.” Jelas Erwin.
“Smoga selamat sampai tujuan yah. Maaf selama di sini aku tidak pernah temanin.” Ucapku.
Selama dua minggu di sini, Erwin pernah beberapa kali mengajakku jalan dan makan bareng Erni juga Tuti. Tapi aku selalu saja beralasan untuk tidak ikut. Jadi hanya Erni dan Tuti saja yang ikut sama Erwin.
Dulu Erwin juga suka ngajakin kami saat kita masih pacaran dulu. Tapi kalo sekarang aku merasa canggung. Dan aku gak mau rasa kepadanya yang sudah lama aku buang itu muncul lagi.
“Reni!” Erwin tampak pucat dan tertunduk mengucap namaku.
“Iya!” jawabku.
“Kita gak bisa seperti dulu lagi yah?” tanya Erwin dengan nada pasrah.
“Maaf yah!” sesalku.
“Nggak usah minta maaf Ren. Justru aku yang harus minta maaf sudah ninggalin kamu.” Erwin tampak menyesal.
“Gak apa-apa kok Win! Justru dari situ aku belajar jadi lebih dewasa.” Aku mencoba menegarkan diri.
“Hari ini kamu mau nggak temanin aku? Sekalian ajak Tuti dan Erni juga.” Pinta Erwin.
“Tapi… aku belum izin ke Mama.” Aku mencoba beralasan.
“Tenang aja, aku bisa bicara ke tante.” Erni tiba-tiba muncul dan merangkulku. “Jadi, hari ini Reni bisa temanin kamu kak! Kalo gak bisa, kita culik aja. Gimana Kak?”
“Hush, gak usah segitunya kali.” Ucapku kesal.
Aku pun menyetujuinya, sekalian ngilangin stres setelah ujian terakhir tadi. Lagian ada Erni dan Tuti juga bersamaku. Ini bukan kencan seperti saat aku dan Arya. Tapi ada yang aneh dengan Tuti. Dia terlihat lebih pendiam dari biasanya. Sepertinya ada sesuatu yang disembunyikannya.
“Kamu kenapa?” tanyaku pada Tuti.
“Nggak! Justru kamu yang aneh.” Ucap Tuti datar.
“Hah? Aku? Emang aku salah apa sih?” protesku.
“Ah, nggak apa-apa. Yuk jalan!” Tuti menarik tanganku dan menuntunku mengikuti Erni dan juga Erwin yang udah jalan duluan.
Apa yang terjadi sama Tuti? Apa dia kesal karena aku nggak kasih contekan waktu ujian? Atau mungkin aku nggak sengaja udah ngucapin kata-kata yang menyinggungnya? Nggak biasanya Tuti seperti hari ini.
Mobil Arya pun keluar dari gerbang sekolah aku dan Arya sempat saling tatap sejenak denganku dan Mang Jana pun berlalu. Aku hanya bisa membalasnya dengan senyuman.
“Dadah Arya!” Erni berteriak genit sambil melambaikan tangan ke arah mobil Arya.

  

Sepulang sekolah aku ganti baju dan langsung dijemput Erni. Erwin datang bersama  Ruslan dengan mini van punya Ruslan. Dia adalah teman Erwin dan selama di sini Erwin tinggal di rumahnya. Keluarga Erwin memang tidak ada di sini dan dulu dia tinggal dengan keluarganya Imel saat sekolah di sini.
Di dalam mobil Erwin mengenalkan kami pada Ruslan dan juga pacarnya Desi. Kami pun menjemput Tuti ke rumahnya dan selanjutnya jalan-jalan ke Mall. Sebenarnya Erwin ingin jalan-jalan ke pantai tapi karena udah keburu sore jadi kita jalan ke mall aja.
Kami singgah di café untuk ngemil sejenak. Saat itu Tuti teringat akan sesuatu dan dia pun minta izin untuk pulang duluan. Kami tak mencegahnya dan membiarkannya pergi. Tapi aku merasakan ada sesuatu yang ganjil dari sikapnya itu.
“Ni! Kayaknya ada yang aneh deh sama Tuti.” Bisikku pada Erni.
“Masa sih? Dia biasa aja kok!” ucap Erni santai.
“Yah, dia jadi agak cuek dan pendiam gitu. Apalagi sikapnya sama aku. Apa dia marah padaku karena aku gak kasih contekan?” aku mencoba menebak.
“Ih, kalo soal gitu sih Tuti gak bakalan marah. Tapi Tuti sikapnya biasa aja tuh sama aku. Dia masih aja suka menggoda atau ngerjain aku.” Jelas Erni.
“Tapi… perasaanku agak gimana gitu.” Ucapku.
“Udah gak usah dipikirin. Kamu aja yang stres karena ujian kali. Sekarang ini nikmatin aja liburan.” Erni mencoba menghiburku.
“Iya deh.” Ucapku pasrah.
“Oh ya! Ren, Kak Erwin, Kak Ruslan dan Kak Desi. Pacarku udah jemput tuh, kita mau jalan dulu!” Ucap Erni.
“Hah? Jadi kamu mau tinggalin aku ya?” protesku.
“Emang Erni udah punya pacar ya?” Erwin tampak penasaran.
“Ih, Kak Erwin. Erni kan udah kelas 3 SMA, yah wajar lah. Oh ya, jagain Reni yah Kak! Awas loh kalo macam-macam!” Ancam Erni pada Erwin.
“NI!” aku masih protes.
“Dah, Reni! Met bersenang-senang aja yah?” Erni pun kabur tanpa menghiraukan protesku ini.
“Tenang aja Ren, nanti aku anterin deh.” Ucap Erwin.
“Gak usah!” aku jadi ngambek.
“Kalo gitu aku mau temanin Desi ke salon dulu nih. Kalian mau ikut?” Kak Ruslan pun ingin pergi.
“Gimana Ren?” Erwin meminta pendapatku.
Dari pada dibilang kencan sama Erwin, mending ikutan Kak Ruslan aja deh. “Aku sih ikut, tapi terserah kak Erwin aja.” Ucapku.
Akhirnya akupun ikut bersama Kak Ruslan dan Kak Desi. Mereka berdua jalan sambil bergantengan tangan dan tertawa ceria. Sedangkan aku dan Erwin mengekor dibelakang mereka. Meski jalan bersanding dengan Erwin, aku tetap menjaga jarak darinya sambil diam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar