Senin, 20 Mei 2013

Novel | Wajah Kedua (Part 33)


Part 33
Rahasia Kecil Arya


“Teng! Teng!”
Jam besar yang terletak di depan Aula sekolah berdentang dua kali tanda waktu sudah menunjukkan jam 2 siang. Sudah dua jam berlalu sejak bubaran sekolah namun aku masih tetap bertahan di sekolah.
Bukan Ren, tentang masa depannya. Tentang masa sekarang. Tentang dilema yang dia hadapi. Tentang sakit hati yang dia rasakan. Dan tentang gadis misterius yang sangat dia sukai. Yah  tentang cinta pertamanya…
Kata-kata Aldo seakan membiusku untuk mendengarkannya. Aku pun menarik nafas panjang dan menyiapkan mental. Arya memang sering curhat padaku namun kebanyakan semuanya tentang masa lalunya. Aku tidak tahu tentang apa yang sedang dia rasakan, mengapa dia sangat dekat dengan Kak Wina. Masalah pertunangannya dengan Fani. Atau apakah isi hatinya padaku?

Tapi kali ini cinta pertama? Gadis misterius? Siapakah dia? Apa kah dia Fani. Atau mungkin ada lagi seseorang yang belum aku ketahui. Atau jangan-jangan itu adalah aku…
“Siapa cinta pertama Arya? Apakah itu Fani?” tanyaku.
“Bukan, Arya nggak pernah bilang siapa nama cewek itu. Arya cuma cerita tentang saat-saat bahagianya dengannya. Dia itu orang pertama yang Arya jumpai di sekolah ini saat pertama kali pindah kesini.”
Aku agak kecewa sih dengan jawaban Aldo. Aku pikir itu aku. “Hmm… trus?”
“Diam-diam Arya mulai memperhatikannya sejak kelas dua. Tapi dia malu untuk membuka diri pada cewek itu.”
Aku makin penasaran dengan cerita Aldo. Aldo berhenti sejenak untuk menarik nafas. Sementara aku menopang dagu sambil memperhatikannya.
“Ren kamu pernah main basket?” tanya Aldo.
“Pernah dong saat jam penjas.”
“Ya elah, bukan itu Ren. Gini yah Ren, cowok itu kalo sudah suka sama suatu hobi, pasti akan ditekunin dengan serius. Kayak aku nih.” Jelas Aldo.
“Terus hubungannya dengan cinta pertamanya Arya itu apa?” aku jadi bingung dengan cerita Aldo. Nih anak kalo cerita emang suka keluar jalur.
“Dengar dulu Ren. Jangan langsung comment gitu. Jadi gini, Arya itu sangat suka sama Basket. Basket itu semacam pelariannya. Arya bilang, banyak cewek yang selalu merhatiin dia main basket. Tapi ternyata cewek yang dijumpai Arya itu tak pernah lagi dia jumpai. Baik di lapangan basket maupun di sekolah ini. Sekolah ini muridnya memang sangat banyak jadi wajarlah kalo gak saling ketemu.”
“Jangan-jangan cewek yang dijumpai Arya itu kakak kelas yang udah lulus.” Pikirku.
“Yah, aku juga dulu berpikir gitu Ren. Tapi ternyata saat naik ke kelas tiga, dia bertemu dengannya. Bahkan mereka berdua sekelas.”
Aku makin penasaran dengan cerita Aldo. Aku pun mulai memperhatikan dengan serius.
“Saat itu Arya cerita dengan bahagia saat dia belajar kelompok dengannya. Arya pun cerita saat makan malam untuk menyambut kedatangan Kak Wina, dia pun bertemu dengan cewek itu. Dan bahkan besoknya lagi Arya dan cewek itu saling bertubrukan dan Arya mengantarnya dengan sepeda. Menuntunnya meski dia bilang malu tapi sebenarnya dia sangat bahagia saat bersamanya.”
Aldo diam sejenak seakan memberi sinyal padaku untuk menyadari siapa sosok cewek misterius itu. Yah, aku kini tahu siapa cewek itu.
“Arya itu main basketnya sangat jago. Banyak Universitas yang udah ngelirik dia dan mengajak bergabung ke kampus mereka. Arya tinggal memilih kampus mana yang ia mau dan dia akan kuliah dengan beasiswa full karena prestasi basketnya itu. Bahkan dia diharapkan masuk Tim Nasional atau mungkin bisa menjadi satu-satunya pemain Indonesia yang bisa bermain basket di NBA, Amerika. Sebuah kampus di Amerika pun melirik kemampuannya itu. Tapi karena cedera, Arya jadi kehilangan cita-citanya.”
“Tapi kan cederanya bisa sembuh dalam setahun atau dua tahun.” Ucapku.
“Ren, nyuruh Arya yang gila basket itu untuk nggak main basket itu sama saja seperti membunuhnya. Lagipula kemampuan bermain basket Arya mungkin sudah hilang selama istirahat setahun itu. Dia pasti sedih banget. Tapi, meskipun sedih Arya cerita kalo saat dia sedih. Dia senang banget ternyata cewek itu ada untuknya bahkan datang ke rumahnya untuk menemaninya. Apalagi saat jari kelinking mereka saling bertaut dalam sebuah janji.”
Kami terdiam sejenak. Aldo pun menghela nafas sejenak karena sudah bercerita dengan menggebu-gebu.
“Lalu Arya dan cewek itu mulai saling telepon. Arya sangat senang dan tidak berhenti menceritakan cewek itu padaku. Dan Arya pun sangat senang setelah jalan bareng cewek itu. Apalagi saat cewek itu menangis di punggungnya. Mereka makan es krim dan saat itu Arya sebenarnya ingin sekali mengungkapkan isi hatinya pada cewek itu.” Aldo pun mendesah dan menarik nafas panjang untuk menutup ceritanya itu.
“Aldo?” aku tak tahu harus bilang apa. Antara senang cemas dan takut juga penasaran. Perasaan ini berkecamuk dalam dadaku.
“Yah, Ren. Sampai kemarin aku tidak tahu cewek misterius itu siapa. Dan kemarin Arya bilang padaku untuk menemui cewek itu. Diam-diam aku mengikutinya dan ternyata cewek itu adalah kamu Ren.” Jelas Aldo.
“Kalo emang Arya itu suka sama aku, kenapa dia tunangan sama Fani?” protesku.
“Dulu, perusahaan orang tuanya Arya pernah hampir bangkrut dan meninggalkan utang yang sangat besar. Dan berkat orang tua Fani lah sehingga perusahaan milik keluarganya Arya bisa selamat dan bangkit menjadi seperti sekarang ini. Untuk membalas jasa sekaligus mempererat silaturahmi mereka, Arya dan Fani pun dijodohkan sejak mereka masih kecil. Tapi Arya Cuma anggap Fani seperti adiknya saja kok. Mereka waktu kecil sangat dekat dan Fani pun menganggap Arya seperti kakak sendiri karena dia anak tunggal dan gak punya saudara.”
Aku jadi sedikit tercerahkan dengan cerita Aldo ini. Satu persatu kecemasanku pun seakan meluap dan sirna.
“Ren, kamu tahu gak? Selama ini Arya menahan dirinya untuk tidak ngungkapin perasaannya sama kamu karena dia menghormati orang tuanya. Saat tahu kamu jadian sama Erwin, Arya sangat sedih. Tapi seperti biasanya dia Cuma bisa nutupin ekspresi sedihnya itu lewat diamnya.” Jelas Aldo.
“Tapi meskipun sekarang aku sudah tahu isi hati Arya, tetap saja dia akan bersama dengan Fani!” keluhku.
Kami terdiam sejenak seakan mencari solusi untuk kata-kataku tadi. Aku emang sudah ikhlas kok Arya dengan Fani. Mereka berdua emang sangat serasi. Kalau Arya menganggap Fani sebagai adiknya, sebenarnya itu sudah jadi modal dasar.
Tapi… entahlah. Aku ini ikhlas atau nggak? Setiap memikirkan kebersamaan mereka, air mataku jatuh sendiri.
“Kita nggak tahu masa depan itu bakalan kayak gimana Ren.” Aldo berucap bijak.
Aku merenunginya sejenak dan menenangkan hatiku. Yah, kita nggak tahu masa depan itu seperti apa. Jadi gak boleh pesimis juga gak boleh terlalu pede.
“Oh ya, Arya juga belum tahu perasaanmu padanya. Arya juga takut kalau selama ini Reni cuma anggap dia sebagai teman saja.” serunya.
“Masa sih?”
“Arya juga bimbang karena dia pernah mendengar kamu berteriak dan bilang kalau Arya itu bukan tipemu.”
Aku jadi teringat lagi saat-saat itu. Yah, waktu itu aku mengatakan itu karena jengkel dengan ucapan sinis maupun gombalan dari teman-teman lain. Dan memang aku gak suka dengan cowok cuek.
“Aku suka dengan sosok yang disembunyikan Arya. Dan sosok yang ditampakkan Arya selama ini emang bukan tipeku.” Belaku.
“Hahaha, terus aja pertahankan egomu Ren. Kamu gak akan mendapatkan cintamu jika seperti itu.” Ledek Aldo.
“Tapi..”
“Tenang saja Ren, kami akan buat Arya bertekuk lutut dan mengemis cinta padamu.”
Tiba-tiba saja Tuti muncul dari belakangku bersama dengan Erni.
“Tuti? Erni? Sejak kapan kalian ada di sini?” tanyaku.
“Udah cukup lama untuk ngedengar keluhmu itu Ren. Maaf yah aku sudah nuduh-nuduh kamu gitu.” Sesal Tuti.
“Aku yang harusnya minta maaf Ti! Maafin Reni yah?” sesalku.
Kami berdua pun berpelukan. Erni pun ikutan memeluk kami. Erni pasti selama ini sedih dan bingung mau mengekor di siapa atau mau mendukung siapa. Pasti dia kecewa dengan keegoisan kita. Seharusnya aku ceritain semua ini ke mereka sejak dulu.
“Aku yang memanggil mereka kemari Ren.” Ucap Aldo.
Kali ini tanpa ragu aku pun memeluk Aldo. Tak perduli trauma masa lalu gara-gara meluk Aldo. Aku tak tahu gimana harus ngebalas segala kebaikan Aldo ini. Hanya sebuah pelukan yang dapat kulakukan untuk meluapkan ekspresi kagum, senang, bahagiaku padanya.
“Do! Sekarang kamu sudah tambah tinggi yah? Padahal waktu SMP tinggimu hanya sebahuku. Tapi sekarang malah kebalik. Aku yang setinggi bahumu.” Candaku.
Aldo hanya bisa ketawa. Aku jadi teringat ucapan Fani tentang sahabat Arya yang diceritakannya waktu itu. Dia anak basket juga seperti Arya. Yah, ternyata sahabat Arya adalah Aldo. Hari ini aku bahagia banget dan aku mesti banyak bersyukur bukannya mengeluh.
Sahabatku Aldo telah kembali. Jika ada Imel, pasti lengkap deh gengku saat kelas satu dulu. Berkat Aldo aku pun bisa mengetahui isi hati Arya yang sebenarnya. Tuti dan Imel pun sudah tahu apa yang aku sembunyikan. Akhirnya mereka pun mengerti dengan dilemaku.
Kini aku tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sudah tak sedih dan cemas lagi. Biarkanlah waktu berlalu dan memperbaiki keadaan ini. Aku memang salah langkah selama ini dan aku bersyukur sahabatku ada dan menegurku agar aku tidak terlalu jauh lagi melangkah dalam kesalahan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar