Part 33
Rahasia
Kecil Arya
“Teng!
Teng!”
Jam
besar yang terletak di depan Aula sekolah berdentang dua kali tanda waktu sudah
menunjukkan jam 2 siang. Sudah dua jam berlalu sejak bubaran sekolah namun aku
masih tetap bertahan di sekolah.
Bukan Ren, tentang masa depannya. Tentang masa sekarang.
Tentang dilema yang dia hadapi. Tentang sakit hati yang dia rasakan. Dan
tentang gadis misterius yang sangat dia sukai. Yah tentang cinta pertamanya…
Kata-kata
Aldo seakan membiusku untuk mendengarkannya. Aku pun menarik nafas panjang dan
menyiapkan mental. Arya memang sering curhat padaku namun kebanyakan semuanya
tentang masa lalunya. Aku tidak tahu tentang apa yang sedang dia rasakan,
mengapa dia sangat dekat dengan Kak Wina. Masalah pertunangannya dengan Fani.
Atau apakah isi hatinya padaku?
Tapi
kali ini cinta pertama? Gadis misterius? Siapakah dia? Apa kah dia Fani. Atau
mungkin ada lagi seseorang yang belum aku ketahui. Atau jangan-jangan itu
adalah aku…
“Siapa
cinta pertama Arya? Apakah itu Fani?” tanyaku.
“Bukan,
Arya nggak pernah bilang siapa nama cewek itu. Arya cuma cerita tentang
saat-saat bahagianya dengannya. Dia itu orang pertama yang Arya jumpai di
sekolah ini saat pertama kali pindah kesini.”
Aku agak
kecewa sih dengan jawaban Aldo. Aku pikir itu aku. “Hmm… trus?”
“Diam-diam
Arya mulai memperhatikannya sejak kelas dua. Tapi dia malu untuk membuka diri
pada cewek itu.”
Aku
makin penasaran dengan cerita Aldo. Aldo berhenti sejenak untuk menarik nafas.
Sementara aku menopang dagu sambil memperhatikannya.
“Ren
kamu pernah main basket?” tanya Aldo.
“Pernah
dong saat jam penjas.”
“Ya
elah, bukan itu Ren. Gini yah Ren, cowok itu kalo sudah suka sama suatu hobi,
pasti akan ditekunin dengan serius. Kayak aku nih.” Jelas Aldo.
“Terus
hubungannya dengan cinta pertamanya Arya itu apa?” aku jadi bingung dengan
cerita Aldo. Nih anak kalo cerita emang suka keluar jalur.
“Dengar
dulu Ren. Jangan langsung comment gitu. Jadi gini, Arya itu sangat suka sama
Basket. Basket itu semacam pelariannya. Arya bilang, banyak cewek yang selalu
merhatiin dia main basket. Tapi ternyata cewek yang dijumpai Arya itu tak
pernah lagi dia jumpai. Baik di lapangan basket maupun di sekolah ini. Sekolah
ini muridnya memang sangat banyak jadi wajarlah kalo gak saling ketemu.”
“Jangan-jangan
cewek yang dijumpai Arya itu kakak kelas yang udah lulus.” Pikirku.
“Yah,
aku juga dulu berpikir gitu Ren. Tapi ternyata saat naik ke kelas tiga, dia
bertemu dengannya. Bahkan mereka berdua sekelas.”
Aku
makin penasaran dengan cerita Aldo. Aku pun mulai memperhatikan dengan serius.
“Saat
itu Arya cerita dengan bahagia saat dia belajar kelompok dengannya. Arya pun
cerita saat makan malam untuk menyambut kedatangan Kak Wina, dia pun bertemu
dengan cewek itu. Dan bahkan besoknya lagi Arya dan cewek itu saling
bertubrukan dan Arya mengantarnya dengan sepeda. Menuntunnya meski dia bilang
malu tapi sebenarnya dia sangat bahagia saat bersamanya.”
Aldo
diam sejenak seakan memberi sinyal padaku untuk menyadari siapa sosok cewek
misterius itu. Yah, aku kini tahu siapa cewek itu.
“Arya
itu main basketnya sangat jago. Banyak Universitas yang udah ngelirik dia dan
mengajak bergabung ke kampus mereka. Arya tinggal memilih kampus mana yang ia
mau dan dia akan kuliah dengan beasiswa full karena prestasi basketnya itu.
Bahkan dia diharapkan masuk Tim Nasional atau mungkin bisa menjadi satu-satunya
pemain Indonesia yang bisa bermain basket di NBA, Amerika. Sebuah kampus di
Amerika pun melirik kemampuannya itu. Tapi karena cedera, Arya jadi kehilangan
cita-citanya.”
“Tapi
kan cederanya bisa sembuh dalam setahun atau dua tahun.” Ucapku.
“Ren,
nyuruh Arya yang gila basket itu untuk nggak main basket itu sama saja seperti
membunuhnya. Lagipula kemampuan bermain basket Arya mungkin sudah hilang selama
istirahat setahun itu. Dia pasti sedih banget. Tapi, meskipun sedih Arya cerita
kalo saat dia sedih. Dia senang banget ternyata cewek itu ada untuknya bahkan
datang ke rumahnya untuk menemaninya. Apalagi saat jari kelinking mereka saling
bertaut dalam sebuah janji.”
Kami
terdiam sejenak. Aldo pun menghela nafas sejenak karena sudah bercerita dengan
menggebu-gebu.
“Lalu
Arya dan cewek itu mulai saling telepon. Arya sangat senang dan tidak berhenti
menceritakan cewek itu padaku. Dan Arya pun sangat senang setelah jalan bareng
cewek itu. Apalagi saat cewek itu menangis di punggungnya. Mereka makan es krim
dan saat itu Arya sebenarnya ingin sekali mengungkapkan isi hatinya pada cewek
itu.” Aldo pun mendesah dan menarik nafas panjang untuk menutup ceritanya itu.
“Aldo?”
aku tak tahu harus bilang apa. Antara senang cemas dan takut juga penasaran.
Perasaan ini berkecamuk dalam dadaku.
“Yah,
Ren. Sampai kemarin aku tidak tahu cewek misterius itu siapa. Dan kemarin Arya
bilang padaku untuk menemui cewek itu. Diam-diam aku mengikutinya dan ternyata
cewek itu adalah kamu Ren.” Jelas Aldo.
“Kalo
emang Arya itu suka sama aku, kenapa dia tunangan sama Fani?” protesku.
“Dulu,
perusahaan orang tuanya Arya pernah hampir bangkrut dan meninggalkan utang yang
sangat besar. Dan berkat orang tua Fani lah sehingga perusahaan milik
keluarganya Arya bisa selamat dan bangkit menjadi seperti sekarang ini. Untuk
membalas jasa sekaligus mempererat silaturahmi mereka, Arya dan Fani pun
dijodohkan sejak mereka masih kecil. Tapi Arya Cuma anggap Fani seperti adiknya
saja kok. Mereka waktu kecil sangat dekat dan Fani pun menganggap Arya seperti
kakak sendiri karena dia anak tunggal dan gak punya saudara.”
Aku jadi
sedikit tercerahkan dengan cerita Aldo ini. Satu persatu kecemasanku pun seakan
meluap dan sirna.
“Ren,
kamu tahu gak? Selama ini Arya menahan dirinya untuk tidak ngungkapin
perasaannya sama kamu karena dia menghormati orang tuanya. Saat tahu kamu
jadian sama Erwin, Arya sangat sedih. Tapi seperti biasanya dia Cuma bisa
nutupin ekspresi sedihnya itu lewat diamnya.” Jelas Aldo.
“Tapi
meskipun sekarang aku sudah tahu isi hati Arya, tetap saja dia akan bersama
dengan Fani!” keluhku.
Kami
terdiam sejenak seakan mencari solusi untuk kata-kataku tadi. Aku emang sudah
ikhlas kok Arya dengan Fani. Mereka berdua emang sangat serasi. Kalau Arya
menganggap Fani sebagai adiknya, sebenarnya itu sudah jadi modal dasar.
Tapi…
entahlah. Aku ini ikhlas atau nggak? Setiap memikirkan kebersamaan mereka, air
mataku jatuh sendiri.
“Kita
nggak tahu masa depan itu bakalan kayak gimana Ren.” Aldo berucap bijak.
Aku
merenunginya sejenak dan menenangkan hatiku. Yah, kita nggak tahu masa depan
itu seperti apa. Jadi gak boleh pesimis juga gak
boleh terlalu pede.
“Oh ya,
Arya juga belum tahu perasaanmu padanya. Arya juga takut kalau selama ini Reni
cuma anggap dia sebagai teman saja.” serunya.
“Masa
sih?”
“Arya
juga bimbang karena dia pernah mendengar kamu berteriak dan bilang kalau Arya
itu bukan tipemu.”
Aku jadi
teringat lagi saat-saat itu. Yah, waktu itu aku mengatakan itu karena jengkel
dengan ucapan sinis maupun gombalan dari teman-teman lain. Dan memang aku
gak suka dengan cowok cuek.
“Aku
suka dengan sosok yang disembunyikan Arya. Dan sosok yang ditampakkan Arya
selama ini emang bukan tipeku.” Belaku.
“Hahaha,
terus aja pertahankan egomu Ren. Kamu gak akan mendapatkan cintamu jika seperti
itu.” Ledek Aldo.
“Tapi..”
“Tenang
saja Ren, kami akan buat Arya bertekuk lutut dan mengemis cinta padamu.”
Tiba-tiba
saja Tuti muncul dari belakangku bersama dengan Erni.
“Tuti?
Erni? Sejak kapan kalian ada di sini?” tanyaku.
“Udah
cukup lama untuk ngedengar keluhmu itu Ren. Maaf yah aku sudah nuduh-nuduh kamu
gitu.” Sesal Tuti.
“Aku
yang harusnya minta maaf Ti! Maafin Reni yah?” sesalku.
Kami
berdua pun berpelukan. Erni pun ikutan memeluk kami. Erni pasti selama ini
sedih dan bingung mau mengekor di siapa atau mau mendukung siapa. Pasti dia
kecewa dengan keegoisan kita. Seharusnya aku ceritain semua ini ke mereka sejak
dulu.
“Aku
yang memanggil mereka kemari Ren.” Ucap Aldo.
Kali ini
tanpa ragu aku pun memeluk Aldo. Tak perduli trauma masa lalu gara-gara meluk
Aldo. Aku tak tahu gimana harus ngebalas segala kebaikan Aldo ini. Hanya sebuah
pelukan yang dapat kulakukan untuk meluapkan ekspresi kagum, senang, bahagiaku
padanya.
“Do!
Sekarang kamu sudah tambah tinggi yah? Padahal waktu SMP tinggimu hanya
sebahuku. Tapi sekarang malah kebalik. Aku yang setinggi bahumu.” Candaku.
Aldo
hanya bisa ketawa. Aku jadi teringat ucapan Fani tentang sahabat Arya yang
diceritakannya waktu itu. Dia anak basket juga seperti Arya. Yah, ternyata
sahabat Arya adalah Aldo. Hari ini aku bahagia banget dan aku mesti banyak
bersyukur bukannya mengeluh.
Sahabatku
Aldo telah kembali. Jika ada Imel, pasti lengkap deh gengku saat kelas satu
dulu. Berkat Aldo aku pun bisa mengetahui isi hati Arya yang sebenarnya. Tuti
dan Imel pun sudah tahu apa yang aku sembunyikan. Akhirnya mereka pun mengerti
dengan dilemaku.
Kini aku
tahu apa yang harus aku lakukan. Aku sudah tak sedih dan cemas lagi. Biarkanlah
waktu berlalu dan memperbaiki keadaan ini. Aku memang salah langkah selama ini
dan aku bersyukur sahabatku ada dan menegurku agar aku tidak terlalu jauh lagi
melangkah dalam kesalahan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar