Rabu, 08 Mei 2013

Novel | Wajah Kedua (Part 28)


Part 28
Cinta Adalah Keikhlasan


Cinta adalah keikhlasan. Yah, bukankah sebelumnya aku rela menjadi apapun bagi Arya? Tapi air mata ini mengapa tak mau berhenti? I need someone…
Tiba-tiba saja HPku berbunyi dan ternyata dari Arya. Oh My God, bukan kamu Ya yang ingin kuajak bicara malam ini. Tapi aku harus mengangkatnya.
“Assalamualaikum Ren!” sapa Arya.
“Walaikumsalam!” balasku.
“Lagi ngapain nih?” tanyanya.
“Lagi kencan sama Erwin.” Jawabku dengan nada agak judes.
“Oh, maaf yah mengganggu!” Arya pun tampak bernada judes.
“Memang mau bicara apa sih?” tanyaku.
“Gak ada! Udah dulu yah!”

Arya pun menutup teleponnya. Sepertinya dia agak tersinggung dengan nada judesku tadi. Tapi whatever lah, aku gak mau peduli lagi. Sebaiknya aku nelpon Tuti aja. Dia lebih bisa mengerti kondisiku.
Aku pun menghubungi Tuti ke nomor telepon rumahnya.
“Hallo Ti?” sapaku.
“Ya Ren!” jawabnya.
“Hmm, kalian sengaja yah kerjain aku supaya bisa jalan berdua aja dengan Erwin kan?” ucapku.
“Loh? Maksudnya apa nih? Kok jadi nuduh-nuduh gitu sih Ren?” Tuti tampak kesal dan salah mengerti tentang penjelasanku.
“Bukannya nuduh. Aku tahu kalian pingin aku balikan sama Erwin. Aku hargain niat kalian.” Aku mencoba menjelaskan kembali.
“Eh, Ren! Denger yah, aku gak pernah ada niat ikut campur urusanmu. Maaf yah aku lagi sibuk!” Tuti langsung memutuskan pembicaraan.
“Loh? Tunggu dulu Ti? Tuti?” aku mencoba memanggilnya namun teleponnya sudah terputus.
Aku menghubunginya lagi tapi ternyata Ibunya yang mengangkatnya dan bilang kalo Tuti lagi gak pingin diganggu. Aku jadi heran padanya. Apa sih salahku sama dia sampai dia emosian dan jutek gitu.
Aku nggak tahu harus gimana. Gerimis pun turun menerpaku dan perlahan-lahan mulai membasahi tubuhku. Aku hanya diam tak bergeming. Rintik-rintik hujan ini seakan menusukku hingga ke hati.
Air mata di pipiku tersamarkan oleh hujan. Suara isak dan getaran tubuh ini tersamarkan oleh suara desingan hujan. Oh, hujan… kau sungguh menolongku malam ini. Aku menutup mataku dan meresapi hujan yang membalut kekakuan tubuhku.
Tiba-tiba saja tetesan air itu berhenti namun suara rintik masih terdengar. Sebuah kehangatan terasa di dekatku.
“Kamu kenapa Ren?”
Aku menoleh dan ternyata Erwin datang dan memayungiku. Mungkin dia baru saja membeli payung ini. Aku nggak menanggapi pertanyaannya dan hanya diam dengan tatapan kosong.
“Aku cariin dari tadi loh. Kamu nggak mau pulang?” tanya Erwin.
Aku masih tetap diam membisu.
“Kalo masih mau duduk di sini aku temenin deh.” tawarnya.
Aku tak menanggapinya. Pikiranku kosong dan hampa entah apa yang harus aku lakukan.  Sementara itu Erwin terus memayungiku. Dan kali ini dia menyelimutiku dengan sweaternya.
“Kak?”
“Yah?” sahut Erwin.
“Apa Kak Erwin masih cinta sama Reni? Kakak gak ilfeel Reni cuekin gitu.” Ucapku.
“Cinta itu keikhlasan. Kalau semua dilakukan dengan dasar cinta dan keikhlasan. Kita nggak akan pernah merasa sakit hati Ren. Yah, agak sakit hati juga sih tapi… entahlah Ren. Namanya cinta emang kayak gini. Gak bisa dijelasin dengan logika dan kata-kata.” Erwin berucap bijak.
Aku sedikit tertegun dan terkesima dengan ucapannya. Yah, akupun beranggapan seperti itu. Cinta adalah keikhlasan. Jika kita mencintai seseorang, kita akan rela berbuat apa aja untuk dia. Kita akan rela menjadi sosok apa aja yang dia inginkan. Itulah tingkatan cinta yang paling tinggi… kerelaan. Keikhlasan karena cinta. Karena kita ingin orang yang kita cintai itu bahagia meskipun kita yang tersakiti.
Seperti perasaanku pada Arya. Memang dia pantas bersanding dengan Fani. Aku akan mengikhlaskanmu Ya! Cinta adalah keikhlasan…
“Win!” ucapku pelan.
“Yah?” jawab Erwin.
“Emang benar kata Erni. Kamu udah agak berubah.” Aku agak sedikit tersenyum.
“Oh ya? Berubah gimana maksudnya nih?” Erwin tampak bingung.
“Oh Maaf. Maksud Reni, Erwin sekarang udah gak seegois dulu lagi. Erwin sekarang sudah benar-benar dewasa. Aku seperti bertemu orang baru aja.” Jelasku.
“Jadi, Reni lebih suka Erwin yang dulu?” tanya Erwin dengan hati-hati.
“Bukan itu, Reni suka kok Erwin yang sekarang. Malah lebih suka Erwin yang sekarang.” Ucapku.
“Jadi, Reni mau gak jadian lagi sama Erwin?” pintanya.
Aku tertunduk berpikir dan terdiam sekali lagi. Setiap diberi pertanyaan seperti ini slalu membuatku murung.
“Maaf Ren. Gak usah dipikirin. Kalo gak mau aku nggak maksa kok. Seperti yang sudah aku bilang tadi kan? Aku ikhlas jadi apa aja.” Ucap Erwin.
“Besok Erwin balik ke Medan yah?” tanyaku.
Erwin tersenyum sambil mengangguk.
“Reni selalu takut dan trauma. Kalo seseorang yang Reni sayang. Sudah terlanjur sayang banget tiba-tiba aja menghilang tanpa ada kabar.” Keluhku.
“Aku gak akan menghilang lagi kok.” Ucap Erwin.
“Tapi besok Erwin kan balik lagi ke Medan.” Kata-kataku seakan gak rela dengan kepergiannya.
“Ya sudah, Aku gak balik ke Medan besok deh. Aku baliknya 5 bulan lagi. Saat Reni lulus SMA.” Hiburnya.
“Loh? Trus kuliah mu?” tanyaku.
“Aku mau cuti satu semester. Lagian Ruslan juga butuh jasaku untuk usahanya. Tapi aku menolak sih karena mau selesaikan kuliah dulu.” Jelasnya.
“Oh…” aku hanya ber oh. Lalu terdiam sejenak sambil berpikir.
Segitu relanya Erwin ngelakuin apa aja demi aku. Dia rela dan ikhlas kedinginan di bawah guyuran gerimis tanpa sweater asal aku menjadi lebih hangat. Dia rela nungguin aku pulang sekolah di depan sekolah meski aku terus menghindarinya. Aku memang sungguh jahat.
“Win?” seru ku lirih.
“Yah?” balasnya.
“Aku mau pulang.” Pintaku.
“Oke deh.” Ucap Erwin.

  

Hujan masih saja gerimis di sertai suara gemuruh. Sore ini terlihat seperti malam saja dan langit penuh dengan kekalutan.
Erwin berdiri terdiam di depan pagar rumahku menatapku yang sepertinya enggan masuk ke rumah. Yah aku masih memikirkan soal pernyataan Erwin.
Aku menatapnya dan mencoba mengingat kembali kenangan tentangnya. Cinta pertamaku… Erwin. Orang bilang, lebih baik kita memilih orang yang mencintai kita daripada memilih orang yang kita cintai namun tak terbalaskan.
Arya Ozman… Terima kasih telah membangkitkan kembali harapan dan juga perasaan cinta yang telah lama terhapus. Aku bersyukur bisa mengenal wajah kedua mu. Aku bangga karena hanya kepadaku saja kamu memperlihatkan wajah keduamu itu. Aku mencintaimu. Sungguh sangat mencintaimu. Dan aku ikhlas dengan takdirmu juga takdirku. Dunia kita memang berbeda dan sepertinya kita nggak mungkin bersatu.
Air mataku kembali jatuh. Erwin pun langsung memelukku dan mencoba menenangkan hatiku.
“Ren… Aku pasti bahagia banget jika hubungan kita bisa kembali seperti dulu lagi. Aku akan lakuin apa aja Ren asal bisa mendapatkan kembali kebahagiaan yang aku sia-siakan dulu.” Ucap Erwin lirih.
Aku terdiam sejenak sambil mencerna setiap ucapannya. Tiba-tiba saja hatiku jadi tentram. “Reni juga ingin seperti dulu.” Ucapku.
“Jadi kita…” Erwin mulai menebak sambil berharap.
Aku mengangguk. Aku tahu apa yang ingin Erwin katakan padaku. Dia tampak senang. Erwin menatapku dan menghapus air mataku dengan kedua tangannya. Dia membelaiku dengan lembut.
Erwin pun mengecup keningku. Entah mengapa perasaanku jadi lega. Aku masuk ke rumah dan Erwin masih tetap berdiri di depan pagar menatapku dengan senyuman.
Yah, aku akan kembali pada cinta pertamaku. Bersama Erwin, aku mungkin bisa mengikhlaskan cintaku pada Arya. Orang-orang bilang cinta pertama itu selalu berkesan dan tak akan pernah terlupakan. Dan Aku bersyukur bisa kembali merasakannya dan sebisa mungkin mempertahankannya.
Akhirnya akupun ikut bersama Kak Ruslan dan Kak Desi. Mereka berdua jalan sambil bergantengan tangan dan tertawa ceria. Sedangkan aku dan Erwin mengekor dibelakang mereka. Meski jalan bersanding dengan Erwin, aku tetap menjaga jarak darinya sambil diam. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar