Rabu, 15 Mei 2013

Novel | Bintang, Bulan dan Matahari - Chapter 1


- 1 -
BOLA BASKET

Sebuah pertemuan adalah sebuah takdir yang menambah warna kehidupan kita. Setiap pertemuan pasti manis namun ada juga sebuah pertemuan yang pahit. Yang terpenting bukan masalah pertemuan itu manis atau pahit. Yang terpenting adalah bagaimana kelanjutan dari sebuah pertemuan itu berbuah proses silaturahmi yang baik. Maka takdirmu pun akan tertulis bersama proses itu.”

***

Slam Dunk. Itu judul komik kesukaanku. Dari komik itulah aku mulai terpikat dengan permainan bola basket. Aku jadi terobsesi dengan permainan ini dan begitu serius menekuninya sejak kelas satu SMP dulu hingga kini kuliah.
Hari itu pertandingan Three On Three diadakan di Kampusku. Three On Three adalah sebuah pertandingan basket tiga orang melawan tiga orang dengan sistem setengah lapangan. Untuk mengikuti pertandingan ini, tiap Tim harus mendaftarkan sebanyak empat orang anggota Tim. Kebetulan teman ku kekurangan anggota karena mereka hanya bertiga.

Namanya Rahmat, teman kampusku sejak aku kuliah di sini. Kami sering latihan bersama dan sudah sangat akrab. Selain di basket, dia juga sering meminta bantuanku untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Mau gimana lagi, aku ini kan jenius. Hahaha…aku seperti mengutip pernyataan Hanamichi Sakuragi di komik Slamdunk favoritku itu, yang selalu mengatakan bahwa dia jenius.
Well, akhirnya mereka mengajakku bergabung di tim mereka. Sudah lama aku tidak latihan basket sejak pindah kos-kosan. Sebelumnya aku kos lumayan jauh dari kampus namun teman-teman kos ku sering bermain basket hingga aku pun ikut bermain bersama mereka. Sudah beberapa bulan aku tidak pernah latihan. Aku kurang pede dengan kemampuanku yang mulai menurun saat ini. Aku takut akan menjadi beban bagi anggota tim yang lain.
Pertandingan akan berlangsung pada hari senin. Sekarang hari sabtu, artinya persiapan kami hanya dua hari. Tapi hari ini jadwalku padat, jadi kuputuskan mulai bergabung bersama mereka besok. Rahmat akan menjemputku besok karena aku belum mengenal kedua orang anggota Tim yang lain.

***

Asrul dan Arul. Saat pertama kali mendengar nama mereka, kupikir mereka kembar. Ternyata tidak. Bahkan sodaraan juga bukan. Asrul berbadan atletis dan tinggi sedangkan Arul berbadan tambun dan tingginya tidak beda jauh denganku. Mereka bahkan berasal dari dua daerah yang berbeda, Palu dan Bone.
Kami berlatih sore ini. Seperti dugaanku, kemampuanku memang menurun. Ada beberapa gerakan yang dulu kukuasai namun tak bisa kulakukan dengan sempurna. Dahulu aku sangat lihai dengan gerakan back lay up ataupun jump shoot. Namun banyak tembakanku yang meleset.
Latihan hari ini agak mengecewakan, Arul jadi pesimis jika kami bisa menang atau bersaing. Apalagi kami tergabung dalam grup maut yang terdiri dari tim Inti basket kampus. Akhirnya latihan sore ini pun kami sudahi untuk menyimpan sisa tenaga kami. Besok pagi rutinitas kampus kembali bergulir dan sore harinya pertandingan akan dimulai.
Kami singgah terlebih dahulu di rumah Arul untuk mandi karena kebetulan dekat dari lapangan basket kampus. Sekaligus melepas dahaga dan beristirahat di sana. Rumah kos-kosan yang terdiri dari enam kamar kos itu berjarak sekitar 100 meteran dari kampus. Kebanyakan rumah disini adalah kos-kosan. Jadi wajar saja bila banyak mahasiswa di kompleks sini.
Aku hanya menumpang minum dan mandi setelah itu kembali ke tempat kosku. Tempat kosku dan Arul tidak terlalu jauh. Kompleks perumahannya bersebelahan dengan kompleks tempatku tinggal. Kompleks tempatku tinggal bernama Hartaco Permai dan kos tempat Arul tinggal bernama Hartaco Jaya dan kedua kompleks hanya dipisahkan oleh jalan raya besar ini. Jadi aku pulang jalan kaki saja, sementara Rahmat, Asrul dan Arul tinggal di kamar untuk merundingkan strategi selanjutnya.
“Ces!” suara seorang cewek menyapaku setelah beberapa langkah dari rumah kos Arul.
Ces adalah panggilan gaul untuk seseorang di Makassar. Kira-kira maknanya seperti “Mas!”, “Bro!”, “Men!” atau “Bang!”. Biasanya untuk memanggil seseorang yang tidak diketahui namanya dan di Makassar orang-orang sering menggunakannya sehingga menjadi tren bahasa gaul di sana.
“Iya!” jawabku sambil memandangnya.
Sosok cewek cantik, putih dengan senyuman mengembang dan mata yang menatap padaku. Siluet senja kemerahan meremangkan wajahnya yang berdiri di balik matahari sore. Namun mataku masih jeli dan bisa menangkap keindahan dan mengagumi kecantikan yang terpancar olehnya. Subhanallah!
 “Kak Noe kan?”
Aku mengangguk.
“Masih ingat aku?” tanyanya.
Aku mencoba menerawang jauh ke dalam memori ingatanku. Siapa ya? Dalam batin ku terus bertanya-tanya.
“Dulu Aku pernah jatuh dari sepeda dan kakak yang menolongku. Waktu masih SD dulu. Ingat kan?” jelasnya.
Aku ingat sekarang. Tapi aku tak ingat namanya. Aku menanggapinya dengan sebuah senyuman. “oh! Tapi Aku lupa namamu dek. Siapa lagi namanya?”
“Aku Shinta.” Ucapnya.
“Oh yah. Tetangganya Risma kan?” tanyaku memastikan.
Dia mengangguk membenarkan perkiraanku. Yah, bayangan itu kini semakin jelas terlihat. Risma adalah teman semasa aku SD dan Shinta adalah adik kelasku. Dia juga sama-sama mengaji denganku di Langgar Ustad Mulyadi. Waktu itu aku masih kelas 4 SD dan jumlah santri di Langgar sekitar 30-an santri.
Tiba-tiba saja wajahku agak memerah membayangkan satu peristiwa di masa itu. Saat itu sebelum magrib kami bermain permainan petak umpet. Sebuah pohon ceri (Kresen/gersen) menjadi sarang penjagaan setan yang harus mencari kami yang bersembunyi. Sang setan pun menutup mata dan menghitung hingga 10.
Aku pun memutuskan bersembunyi di samping lemari yang tidak terlalu rapat ke dinding langgar. Sarungku kuangkat hingga bisa membungkus badanku agar tidak terlihat. Aku pun merebahkan diriku ke sudut namun aku tiba-tiba terkaget. Ternyata Shinta sudah bersembunyi di sana terlebih dahulu dengan cara yang sama denganku. Ia membungkus tubuhnya dengan sarung agar tidak terlihat. Karena sang setan telah selesai menghitung. Tidak ada lagi waktu untuk mencari tempat lain hingga aku pun harus berdempetan dengan shinta di sana.
Hey kalian jangan berpikir yang tidak-tidak yah? Saat itu Shinta masih kelas 3 SD dan kami pun masih lugu dan polos. Ceileh….
Tapi… ternyata saat ini Shinta sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik. Pasti banyak pria yang mengejarnya. Seandainya saat itu kita seumuran sekarang dan bersembunyi di tempat itu pasti suasananya akan beda.
Astagfirullah! Apa yang aku pikirkan sih?
“Kakak kuliah yah?” tanya Shinta.
“Iya. Di STMIK.“
“Anak STMIK yah? Kalo komputerku rusak, bisa minta tolong diperbaiki dong?” ucapnya dengan nada agak menggoda.
Aku tersenyum dan agak tersipu meski tak dipuji. Permintaannya adalah pengakuan atas kemampuanku meski tanpa pujian. Aku jadi agak besar kepala hingga tanganku refleks menggaruk-garuk kepala. Hehehe, kok bisa yah?
“Boleh kok. Oh ya, kalau kamu? Kuliah dimana?” tanyaku.
“Nda kuliah kak. Nda tau juga mau lanjut kuliah atau begini aja kak. Sudah setahun ini aku kerja di supermarket.” Jelasnya.
Aku tertegun mendengar jawabannya dan merasa agak kasihan dengan nasibnya itu. “Lanjut saja. Kan bisa kuliah sambil kerja.”
Shinta hanya tersenyum mendengar pendapatku. Aku hanya tertunduk malu dan bingung entah apa yang harus aku katakan selanjutnya.
“Tinggal dimana?” tanyaku mencoba memecah keheningan sejenak ini.
Shinta menunjuk sebuah rumah dua lantai berwarna krem dengan atap berwarna merah. “Aku ngekos di situ Kak!”
Ternyata rumah itu hanya berjarak beberapa meter dari tempat kos temanku. Yah, kedua rumah itu hanya dipisahkan oleh sebuah rumah besar. Entah mengapa aku merasa ada kesempatan besar untuk bertemu dengannya lagi, bahkan mungkin kami bisa bertemu setiap hari secara kebetulan. Yess… Waduh kok aku jadi merasa senang begini sih?
“Oh ya? Rumahnya temanku di sebelah situ loh.” Tunjukku.
Shinta hanya ber-oh sambil memperhatikan rumah kos temanku yang berdinding putih dengan atap berwarna cokelat tua.
Suara adzan magrib pun berkumandang memecah cakrawala. Allah seperti memberi tanda padaku untuk segera mengakhiri percakapan ini.
“Kosku di sebelah, di Hartaco Permai. Magrib nih, aku pulang dulu yah?” pamitku.
Shinta tersenyum. “Iya. Hati-hati yah Kak! Kapan-kapan mampir yah?”
Aku hanya tersenyum kecil lalu mengangguk.

***

Siang itu suasana kampus sedang serius-seriusnya karena sedang masa-masa ujian MID semester. Namun di lapangan basket kampus tidak kalah seriusnya dengan suasana di dalam ruangan. Pertandingan basket “3 on 3” akhirnya digelar.
Pertandingan pertama kami melawan para jagoan freestyler tim basket utama kampus. Teknik dan stamina mereka sangat bagus. Mereka mahasiswa baru namun sudah mendapat pengakuan dari para senior tim basket. Mereka sangat baik, namun karena ego dan kurang disiplin dalam bermain, kami berhasil menaklukan tim tersebut. Mereka bermain secara individu karena setiap anggota timnya ingin memamerkan teknik mereka. Mereka tidak menerapkan kerja sama tim dan hanya mengandalkan keindahan permainan. Tembakan tiga poin dari Rahmat berhasil memenangkan tim kami. Rebound dari Asrul juga membuat pertahanan kami kuat. Aku masuk sebagai cadangan dan bermain beberapa menit saja menggantikan Arul yang kelelahan. Dengan tubuh gemuknya itu dia memang mudah sekali kelelahan.
Di pertandingan berikutnya pun Arul hanya bermain beberapa menit dan kecapean. Akhirnya aku punya banyak kesempatan bertanding. Tim kedua yang kami lawan anggotanya berbadan besar. Asrul tidak bisa melayani permainan dalam sehingga kami harus melakukan tembakan 3 angka. Kami kalah tipis dan tembakan tiga angka ku sekali saja masuk. Sungguh mengecewakan.
Pertandingan terakhir kami harus melawan pemain inti tim basket kampus yang menjadi unggulan pertama. Tim ini terdiri dari kapten tim basket kampus kami yang memiliki teknik tinggi. Kak Andre namanya. Sosok tinggi, ganteng dan banyak digandrungi oleh kaum hawa. Berkat kehadirannya lah, tim basket kami selalu menembus empat besar kejuaraan daerah. Bahkan tahun kemarin tim kampus lolos hingga ke final namun berhasil dikalahkan tim FISIP UNHAS. Sosok berikutnya yang selalu menjadi andalan tim basket kampus adalah Kak Ragil yang sangat enerjik dan bersemangat. Setelah itu ada si jangkung Andi yang merupakan pemain center yang sangat kokoh. Pemain cadangan mereka hanyalah seorang adik kelas yang berfungsi sebagai pelengkap.
Awalnya orang berpikir kami akan kalah dengan mudah. Namun ternyata pertandingan kami menjadi pertandingan paling ketat dan seru saat itu. Mereka sudah mengantongi dua kemenangan namun jika kami bisa menang besar dari tim mereka, maka kami yang akan lolos dan mereka yang gugur di penyisihan ini.
Mataku menangkap sesuatu dari deretan penonton yang menonton pertandingan kami. Shinta? Dia datang ke kampus ini? masa sih?
Konsentrasiku jadi agak buyar. Karena kepikiran dengan Shinta yang datang menonton pertandinganku. Pikiranku penuh tanda tanya dan juga entah mengapa jantungku berdegup kencang.
“Noe Konsentrasi, jaga Kak Andre.” Ucap Rahmat memberi komando.
Aku tidak mungkin bisa menahan kekuatan Kak Ragil yang selalu memanfaatkan fisik untuk menembus pertahanan kami. Karena itu Rahmat yang menjaganya meskipun badannya lebih kecil dariku, Rahmat memiliki kekuatan dan kelincahan untuk mencuri bola. Asrul bertarung dengan gigih di bawah ring melawan Andi. Aku boleh dibilang memiliki ultimate defensive. Ceileh, istilah apa lagi tuh.
Bukannya menyombongkan diri, tapi aku sangat ahli dalam menahan serangan yang memanfaatkan skill dan kelincahan. Entah mengapa tanganku bisa refleks menebak arah bola atau berdiri di posisi yang membuat penyerang yang lincah menjadi mati langkah. Mungkin karena keseringan latihan bareng anak-anak street ball yang lebih mengandalkan skill individu aku jadi seperti ini.
Aku dan Rahmat tidak bisa memainkan permainan dalam di bawah ring karena defense mereka hebat dan mereka pun tinggi. Hanya Asrul yang berani berhadapan dengan mereka di bawah ring. Alhasil kami harus melakukan permainan luar dan memanfaatkan tembakan dari jarak jauh. Beberapa kali aku melancarkan tembakan jarak jauh dan juga tiga angka, namun Kak Andre sangat lihai bertahan sehingga tembakanku sering meleset. Untung saja Rahmat dengan tembakan tiga angkanya berhasil memberi perlawanan ketat.
Pada akhirnya kami memang kalah namun permainanku cukup bagus dan menyumbang 6 poin. Kekalahan tipis itu membuat seluruh penonton memberi aplause buat kami. Yah, kalah menang sudah biasa dan kami harus tersingkir dari pertandingan ini. Tak ada penyesalan karena kami sudah bermain semaksimal mungkin. Oh ya, dua tim yang mengalahkan kami ini akhirnya lolos dan saling berhadapan kembali di babak final.
Sesudah pertandingan, orang-orang pun bubar dan hanya meninggalkan beberapa orang yang berkerumun mengomentari pertandingan tadi.
“Kak Noe ternyata hebat juga yah.”
Sebuah suara dari balik punggungku menggema hingga membuatku mengangkat kepalaku yang tertunduk lelah.
“Shinta? Kamu di sini? Nonton aku yah?” godaku.
Shinta hanya tersenyum tanpa berbicara apapun. Akupun jadi agak tersipu melihat wajah manisnya itu.
“Sorry, aku jadi ge-er gini.” Ucapku.
“Hehehe. Yah, boleh dibilang gitu juga Kak. Sebenarnya aku mau menonton pacarku lagi main.” Jelasnya.
Hah? Pacar? Yah… dia sudah ada yang memiliki. Aku membatin dan merasa sangat kecewa, namun aku tetap memasang ekspresi senyum padanya.
“Siapa pacarmu? Siapa tahu aku kenal?”
“Itu!” tunjuk Shinta.
“Hah? Kak Andre?” tanyaku memastikan.
Shinta pun mengangguk.
Kak Andre? Kalo gak salah pacar Kak Andre itu anak Chers yang juga model itu.
“Memang kapan jadiannya? Kok aku baru tahu?”
“Kira-kira sudah sebulan ini.” Jelasnya.
Aku hanya bisa ber-Oh. Memang sih Kak Andre terkenal agak playboy. Namun aku tidak boleh menjelek-jelekan seniorku itu. Mungkin saja berkat Shinta, Kak Andre bisa menetapkan tambatan hatinya. Setelah itu kami berbagi cerita tentang masa kecil kami dulu hingga tirai merah senja pun tertutup.

***

Sore itu aku ke kampus dan bermain basket kembali bersama tim basket kampus. Setelah pertandingan terakhir, aku jadi termotivasi untuk mengasah kembali tembakan jauhku. Tahun depan aku akan ikut lagi dan kali ini aku pasti bisa lolos hingga final. Hehehe, apa iya?
Oh ya, sebenarnya aku juga anggota tim basket kampus, sayang aku tidak mendapatkan tempat di tim inti. Yah, memang kemampuanku saat itu tidak seberapa di banding saat ini. setelah itu aku tidak pernah lagi mengikuti latihan rutin dan lebih sering latihan bersama anak-anak kompleks. Mereka masih kecil dan aku mengajari mereka basket. Upi, Chimmank dan Reza.
Yang paling kecil adalah Upi, dia masih kelas 1 SMP. Chimmank dan Reza sudah di kelas 3 SMP. Boleh dibilang hampir setiap hari kami bermain basket berempat. Ada juga anak kompleks lain seumuran mereka yang juga sering bergabung. Mereka tergolong lumayan lah dalam bermain, bahkan ada yang lebih jago dariku.
Dari mengajar Upi, Chimmank dan Reza ini aku mendapatkan pelajaran berharga. Entah mengapa dengan mengajar mereka bermain basket, kemampuanku jadi meningkat pesat. Akhirnya aku sadar kalau ilmu itu bila disalurkan bukan membuat ilmu kita berkurang, tapi membuat ilmu kita semakin bertambah.
Well, kembali ke latihan rutin tim basket kampus yang kuikuti. Seperti biasanya, aku masih belum mendapatkan tempat di tim inti. Dan masih dianggap anak bawang oleh pemain lainnya. Bahkan para junior pun kurang respek dengan seniornya satu ini.
Selesai latihan, langkah kakiku melangkah ke tempat kos Arul dan Asrul. Aku gak bawa uang untuk membeli minuman, karena itu lebih hemat kalau numpang minum di rumah mereka. Saat lewat depan tempat kos Shinta aku berhenti sejenak dan memandangi rumah kos itu. Setelah itu aku melangkah beberapa meter lagi ke tempat kos Arul. Ternyata mereka berdua tidak ada di tempat kos mereka. Terpaksa balik ke kos deh.
“Loh Noe?”
Sebuah suara menyapaku. Aku pun menoleh ke arah suara itu
“Kak Ratih? Kok di sini?”
Ternyata yang menyapaku tadi adalah kak Ratih. Dia boleh dibilang keluarga jauhku sekaligus tetanggaku di kampung halamanku. Sebenarnya usia kami sama namun karena dia lebih senior makanya aku memanggilnya Kakak. Yah, sosok cewek berjilbab besar berwarna biru tua ini boleh dibilang pengawasku di sini. Jika sesuatu terjadi padaku, dialah yang akan memberitahukan kedua orang tuaku.
“Aku baru pindah kos Noe. Di situ!” tunjukknya.
“Hah?”
Aku kaget dan gak menyangka kalau tempat kos kak Ratih yang baru adalah tempat kos Shinta. Sungguh suatu kebetulan atau entah apa namanya.
“Kenapa kaget begitu?”
“Nggak kaget sih, Cuma gak nyangka saja. Kalo ini tempat kos temanku loh Kak.” Jelasku.
“Oh. Eh, Noe sudah dekat magrib nih, pulang mandi trus sholat.”
“Oke sip Kak! Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam Noe.”


To be continue…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar