- 1 -
BOLA BASKET
“Sebuah pertemuan adalah sebuah takdir yang
menambah warna kehidupan kita. Setiap pertemuan pasti manis namun ada juga
sebuah pertemuan yang pahit. Yang terpenting bukan masalah pertemuan itu manis
atau pahit. Yang terpenting adalah bagaimana kelanjutan dari sebuah pertemuan
itu berbuah proses silaturahmi yang baik. Maka takdirmu pun akan tertulis
bersama proses itu.”
***
Slam
Dunk. Itu judul komik kesukaanku. Dari komik itulah aku mulai terpikat dengan
permainan bola basket. Aku jadi terobsesi dengan permainan ini dan begitu
serius menekuninya sejak kelas satu SMP dulu hingga kini kuliah.
Hari itu
pertandingan Three On Three diadakan di Kampusku. Three On Three adalah sebuah
pertandingan basket tiga orang melawan tiga orang dengan sistem setengah
lapangan. Untuk mengikuti pertandingan ini, tiap Tim harus mendaftarkan
sebanyak empat orang anggota Tim. Kebetulan teman ku kekurangan anggota karena
mereka hanya bertiga.
Namanya
Rahmat, teman kampusku sejak aku kuliah di sini. Kami sering latihan bersama
dan sudah sangat akrab. Selain di basket, dia juga sering meminta bantuanku
untuk mengerjakan tugas kuliahnya. Mau gimana lagi, aku ini kan jenius.
Hahaha…aku seperti mengutip pernyataan Hanamichi Sakuragi di komik Slamdunk
favoritku itu, yang selalu mengatakan bahwa dia jenius.
Well, akhirnya
mereka mengajakku bergabung di tim mereka. Sudah lama aku tidak latihan basket
sejak pindah kos-kosan. Sebelumnya aku kos lumayan jauh dari kampus namun
teman-teman kos ku sering bermain basket hingga aku pun ikut bermain bersama
mereka. Sudah beberapa bulan aku tidak pernah latihan. Aku kurang pede dengan
kemampuanku yang mulai menurun saat ini. Aku takut akan menjadi beban bagi
anggota tim yang lain.
Pertandingan
akan berlangsung pada hari senin. Sekarang hari sabtu, artinya persiapan kami
hanya dua hari. Tapi hari ini jadwalku padat, jadi kuputuskan mulai bergabung
bersama mereka besok. Rahmat akan menjemputku besok karena aku belum mengenal
kedua orang anggota Tim yang lain.
***
Asrul
dan Arul. Saat pertama kali mendengar nama mereka, kupikir mereka kembar.
Ternyata tidak. Bahkan sodaraan juga bukan. Asrul berbadan atletis dan tinggi
sedangkan Arul berbadan tambun dan tingginya tidak beda jauh denganku. Mereka
bahkan berasal dari dua daerah yang berbeda, Palu dan Bone.
Kami
berlatih sore ini. Seperti dugaanku, kemampuanku memang menurun. Ada beberapa
gerakan yang dulu kukuasai namun tak bisa kulakukan dengan sempurna. Dahulu aku
sangat lihai dengan gerakan back lay up
ataupun jump shoot. Namun banyak
tembakanku yang meleset.
Latihan
hari ini agak mengecewakan, Arul jadi pesimis jika kami bisa menang atau
bersaing. Apalagi kami tergabung dalam grup maut yang terdiri dari tim Inti
basket kampus. Akhirnya latihan sore ini pun kami sudahi untuk menyimpan sisa
tenaga kami. Besok pagi rutinitas kampus kembali bergulir dan sore harinya
pertandingan akan dimulai.
Kami
singgah terlebih dahulu di rumah Arul untuk mandi karena kebetulan dekat dari
lapangan basket kampus. Sekaligus melepas dahaga dan beristirahat di sana.
Rumah kos-kosan yang terdiri dari enam kamar kos itu berjarak sekitar 100
meteran dari kampus. Kebanyakan rumah disini adalah kos-kosan. Jadi wajar saja
bila banyak mahasiswa di kompleks sini.
Aku
hanya menumpang minum dan mandi setelah itu kembali ke tempat kosku. Tempat
kosku dan Arul tidak terlalu jauh. Kompleks perumahannya bersebelahan dengan
kompleks tempatku tinggal. Kompleks tempatku tinggal bernama Hartaco Permai dan
kos tempat Arul tinggal bernama Hartaco Jaya dan kedua kompleks hanya
dipisahkan oleh jalan raya besar ini. Jadi aku pulang jalan kaki saja,
sementara Rahmat, Asrul dan Arul tinggal di kamar untuk merundingkan strategi
selanjutnya.
“Ces!”
suara seorang cewek menyapaku setelah beberapa langkah dari rumah kos Arul.
Ces adalah panggilan gaul untuk seseorang di Makassar. Kira-kira
maknanya seperti “Mas!”, “Bro!”, “Men!” atau “Bang!”. Biasanya untuk memanggil
seseorang yang tidak diketahui namanya dan di Makassar orang-orang sering
menggunakannya sehingga menjadi tren bahasa gaul di sana.
“Iya!”
jawabku sambil memandangnya.
Sosok
cewek cantik, putih dengan senyuman mengembang dan mata yang menatap padaku.
Siluet senja kemerahan meremangkan wajahnya yang berdiri di balik matahari
sore. Namun mataku masih jeli dan bisa menangkap keindahan dan mengagumi
kecantikan yang terpancar olehnya. Subhanallah!
“Kak Noe kan?”
Aku
mengangguk.
“Masih
ingat aku?” tanyanya.
Aku
mencoba menerawang jauh ke dalam memori ingatanku. Siapa ya? Dalam batin ku terus bertanya-tanya.
“Dulu Aku
pernah jatuh dari sepeda dan kakak yang menolongku. Waktu masih SD dulu. Ingat
kan?” jelasnya.
Aku
ingat sekarang. Tapi aku tak ingat namanya. Aku menanggapinya dengan sebuah
senyuman. “oh! Tapi Aku lupa namamu dek. Siapa lagi namanya?”
“Aku
Shinta.” Ucapnya.
“Oh yah.
Tetangganya Risma kan?” tanyaku memastikan.
Dia
mengangguk membenarkan perkiraanku. Yah, bayangan itu kini semakin jelas
terlihat. Risma adalah teman semasa aku SD dan Shinta adalah adik kelasku. Dia
juga sama-sama mengaji denganku di Langgar
Ustad Mulyadi. Waktu itu aku masih kelas 4 SD dan jumlah santri di Langgar
sekitar 30-an santri.
Tiba-tiba
saja wajahku agak memerah membayangkan satu peristiwa di masa itu. Saat itu
sebelum magrib kami bermain permainan petak umpet. Sebuah pohon ceri
(Kresen/gersen) menjadi sarang penjagaan setan yang harus mencari kami yang
bersembunyi. Sang setan pun menutup mata dan menghitung hingga 10.
Aku pun
memutuskan bersembunyi di samping lemari yang tidak terlalu rapat ke dinding
langgar. Sarungku kuangkat hingga bisa membungkus badanku agar tidak terlihat.
Aku pun merebahkan diriku ke sudut namun aku tiba-tiba terkaget. Ternyata
Shinta sudah bersembunyi di sana terlebih dahulu dengan cara yang sama
denganku. Ia membungkus tubuhnya dengan sarung agar tidak terlihat. Karena sang
setan telah selesai menghitung. Tidak ada lagi waktu untuk mencari tempat lain
hingga aku pun harus berdempetan dengan shinta di sana.
Hey
kalian jangan berpikir yang tidak-tidak yah? Saat itu Shinta masih kelas 3 SD
dan kami pun masih lugu dan polos. Ceileh….
Tapi…
ternyata saat ini Shinta sudah tumbuh menjadi gadis dewasa yang sangat cantik.
Pasti banyak pria yang mengejarnya. Seandainya saat itu kita seumuran sekarang
dan bersembunyi di tempat itu pasti suasananya akan beda.
Astagfirullah!
Apa yang aku pikirkan sih?
“Kakak
kuliah yah?” tanya Shinta.
“Iya. Di
STMIK.“
“Anak
STMIK yah? Kalo komputerku rusak, bisa minta tolong diperbaiki dong?” ucapnya
dengan nada agak menggoda.
Aku
tersenyum dan agak tersipu meski tak dipuji. Permintaannya adalah pengakuan
atas kemampuanku meski tanpa pujian. Aku jadi agak besar kepala hingga tanganku
refleks menggaruk-garuk kepala. Hehehe, kok bisa yah?
“Boleh
kok. Oh ya, kalau kamu? Kuliah dimana?” tanyaku.
“Nda
kuliah kak. Nda tau juga mau lanjut kuliah atau begini aja kak. Sudah setahun ini
aku kerja di supermarket.” Jelasnya.
Aku
tertegun mendengar jawabannya dan merasa agak kasihan dengan nasibnya itu. “Lanjut
saja. Kan bisa kuliah sambil kerja.”
Shinta
hanya tersenyum mendengar pendapatku. Aku hanya tertunduk malu dan bingung
entah apa yang harus aku katakan selanjutnya.
“Tinggal
dimana?” tanyaku mencoba memecah keheningan sejenak ini.
Shinta
menunjuk sebuah rumah dua lantai berwarna krem dengan atap berwarna merah. “Aku
ngekos di situ Kak!”
Ternyata
rumah itu hanya berjarak beberapa meter dari tempat kos temanku. Yah, kedua
rumah itu hanya dipisahkan oleh sebuah rumah besar. Entah mengapa aku merasa
ada kesempatan besar untuk bertemu dengannya lagi, bahkan mungkin kami bisa
bertemu setiap hari secara kebetulan. Yess… Waduh kok aku jadi merasa senang
begini sih?
“Oh ya?
Rumahnya temanku di sebelah situ loh.” Tunjukku.
Shinta
hanya ber-oh sambil memperhatikan rumah kos temanku yang berdinding putih
dengan atap berwarna cokelat tua.
Suara
adzan magrib pun berkumandang memecah cakrawala. Allah seperti memberi tanda
padaku untuk segera mengakhiri percakapan ini.
“Kosku
di sebelah, di Hartaco Permai. Magrib nih, aku pulang dulu yah?” pamitku.
Shinta
tersenyum. “Iya. Hati-hati yah Kak! Kapan-kapan mampir yah?”
Aku
hanya tersenyum kecil lalu mengangguk.
***
Siang
itu suasana kampus sedang serius-seriusnya karena sedang masa-masa ujian MID
semester. Namun di lapangan basket kampus tidak kalah seriusnya dengan suasana
di dalam ruangan. Pertandingan basket “3 on 3” akhirnya digelar.
Pertandingan
pertama kami melawan para jagoan freestyler tim basket utama kampus. Teknik dan
stamina mereka sangat bagus. Mereka mahasiswa baru namun sudah mendapat
pengakuan dari para senior tim basket. Mereka sangat baik, namun karena ego dan
kurang disiplin dalam bermain, kami berhasil menaklukan tim tersebut. Mereka
bermain secara individu karena setiap anggota timnya ingin memamerkan teknik
mereka. Mereka tidak menerapkan kerja sama tim dan hanya mengandalkan keindahan
permainan. Tembakan tiga poin dari Rahmat berhasil memenangkan tim kami.
Rebound dari Asrul juga membuat pertahanan kami kuat. Aku masuk sebagai
cadangan dan bermain beberapa menit saja menggantikan Arul yang kelelahan.
Dengan tubuh gemuknya itu dia memang mudah sekali kelelahan.
Di
pertandingan berikutnya pun Arul hanya bermain beberapa menit dan kecapean.
Akhirnya aku punya banyak kesempatan bertanding. Tim kedua yang kami lawan
anggotanya berbadan besar. Asrul tidak bisa melayani permainan dalam sehingga
kami harus melakukan tembakan 3 angka. Kami kalah tipis dan tembakan tiga angka
ku sekali saja masuk. Sungguh mengecewakan.
Pertandingan
terakhir kami harus melawan pemain inti tim basket kampus yang menjadi unggulan
pertama. Tim ini terdiri dari kapten tim basket kampus kami yang memiliki
teknik tinggi. Kak Andre namanya. Sosok tinggi, ganteng dan banyak digandrungi
oleh kaum hawa. Berkat kehadirannya lah, tim basket kami selalu menembus empat
besar kejuaraan daerah. Bahkan tahun kemarin tim kampus lolos hingga ke final
namun berhasil dikalahkan tim FISIP UNHAS. Sosok berikutnya yang selalu menjadi
andalan tim basket kampus adalah Kak Ragil yang sangat enerjik dan bersemangat.
Setelah itu ada si jangkung Andi yang merupakan pemain center yang sangat
kokoh. Pemain cadangan mereka hanyalah seorang adik kelas yang berfungsi
sebagai pelengkap.
Awalnya
orang berpikir kami akan kalah dengan mudah. Namun ternyata pertandingan kami
menjadi pertandingan paling ketat dan seru saat itu. Mereka sudah mengantongi
dua kemenangan namun jika kami bisa menang besar dari tim mereka, maka kami
yang akan lolos dan mereka yang gugur di penyisihan ini.
Mataku
menangkap sesuatu dari deretan penonton yang menonton pertandingan kami. Shinta? Dia datang ke kampus ini? masa sih?
Konsentrasiku
jadi agak buyar. Karena kepikiran dengan Shinta yang datang menonton
pertandinganku. Pikiranku penuh tanda tanya dan juga entah mengapa jantungku
berdegup kencang.
“Noe
Konsentrasi, jaga Kak Andre.” Ucap Rahmat memberi komando.
Aku tidak
mungkin bisa menahan kekuatan Kak Ragil yang selalu memanfaatkan fisik untuk
menembus pertahanan kami. Karena itu Rahmat yang menjaganya meskipun badannya
lebih kecil dariku, Rahmat memiliki kekuatan dan kelincahan untuk mencuri bola.
Asrul bertarung dengan gigih di bawah ring melawan Andi. Aku boleh dibilang
memiliki ultimate defensive. Ceileh, istilah apa lagi tuh.
Bukannya
menyombongkan diri, tapi aku sangat ahli dalam menahan serangan yang
memanfaatkan skill dan kelincahan. Entah mengapa tanganku bisa refleks menebak
arah bola atau berdiri di posisi yang membuat penyerang yang lincah menjadi
mati langkah. Mungkin karena keseringan latihan bareng anak-anak street ball
yang lebih mengandalkan skill individu aku jadi seperti ini.
Aku dan
Rahmat tidak bisa memainkan permainan dalam di bawah ring karena defense mereka
hebat dan mereka pun tinggi. Hanya Asrul yang berani berhadapan dengan mereka
di bawah ring. Alhasil kami harus melakukan permainan luar dan memanfaatkan
tembakan dari jarak jauh. Beberapa kali aku melancarkan tembakan jarak jauh dan
juga tiga angka, namun Kak Andre sangat lihai bertahan sehingga tembakanku
sering meleset. Untung saja Rahmat dengan tembakan tiga angkanya berhasil
memberi perlawanan ketat.
Pada
akhirnya kami memang kalah namun permainanku cukup bagus dan menyumbang 6 poin.
Kekalahan tipis itu membuat seluruh penonton memberi aplause buat kami. Yah,
kalah menang sudah biasa dan kami harus tersingkir dari pertandingan ini. Tak
ada penyesalan karena kami sudah bermain semaksimal mungkin. Oh ya, dua tim
yang mengalahkan kami ini akhirnya lolos dan saling berhadapan kembali di babak
final.
Sesudah
pertandingan, orang-orang pun bubar dan hanya meninggalkan beberapa orang yang
berkerumun mengomentari pertandingan tadi.
“Kak Noe
ternyata hebat juga yah.”
Sebuah
suara dari balik punggungku menggema hingga membuatku mengangkat kepalaku yang
tertunduk lelah.
“Shinta?
Kamu di sini? Nonton aku yah?” godaku.
Shinta
hanya tersenyum tanpa berbicara apapun. Akupun jadi agak tersipu melihat wajah
manisnya itu.
“Sorry,
aku jadi ge-er gini.” Ucapku.
“Hehehe.
Yah, boleh dibilang gitu juga Kak. Sebenarnya aku mau menonton pacarku lagi
main.” Jelasnya.
Hah? Pacar? Yah… dia sudah ada yang memiliki. Aku
membatin dan merasa sangat kecewa, namun aku tetap memasang ekspresi senyum
padanya.
“Siapa
pacarmu? Siapa tahu aku kenal?”
“Itu!”
tunjuk Shinta.
“Hah?
Kak Andre?” tanyaku memastikan.
Shinta
pun mengangguk.
Kak Andre? Kalo gak salah pacar Kak Andre itu anak Chers yang
juga model itu.
“Memang
kapan jadiannya? Kok aku baru tahu?”
“Kira-kira
sudah sebulan ini.” Jelasnya.
Aku
hanya bisa ber-Oh. Memang sih Kak Andre terkenal agak playboy. Namun aku tidak
boleh menjelek-jelekan seniorku itu. Mungkin saja berkat Shinta, Kak Andre bisa
menetapkan tambatan hatinya. Setelah itu kami berbagi cerita tentang masa kecil
kami dulu hingga tirai merah senja pun tertutup.
***
Sore itu
aku ke kampus dan bermain basket kembali bersama tim basket kampus. Setelah
pertandingan terakhir, aku jadi termotivasi untuk mengasah kembali tembakan
jauhku. Tahun depan aku akan ikut lagi dan kali ini aku pasti bisa lolos hingga
final. Hehehe, apa iya?
Oh ya, sebenarnya
aku juga anggota tim basket kampus, sayang aku tidak mendapatkan tempat di tim
inti. Yah, memang kemampuanku saat itu tidak seberapa di banding saat ini.
setelah itu aku tidak pernah lagi mengikuti latihan rutin dan lebih sering
latihan bersama anak-anak kompleks. Mereka masih kecil dan aku mengajari mereka
basket. Upi, Chimmank dan Reza.
Yang
paling kecil adalah Upi, dia masih kelas 1 SMP. Chimmank dan Reza sudah di
kelas 3 SMP. Boleh dibilang hampir setiap hari kami bermain basket berempat. Ada
juga anak kompleks lain seumuran mereka yang juga sering bergabung. Mereka tergolong
lumayan lah dalam bermain, bahkan ada yang lebih jago dariku.
Dari
mengajar Upi, Chimmank dan Reza ini aku mendapatkan pelajaran berharga. Entah
mengapa dengan mengajar mereka bermain basket, kemampuanku jadi meningkat
pesat. Akhirnya aku sadar kalau ilmu itu bila disalurkan bukan membuat ilmu
kita berkurang, tapi membuat ilmu kita semakin bertambah.
Well,
kembali ke latihan rutin tim basket kampus yang kuikuti. Seperti biasanya, aku
masih belum mendapatkan tempat di tim inti. Dan masih dianggap anak bawang oleh
pemain lainnya. Bahkan para junior pun kurang respek dengan seniornya satu ini.
Selesai
latihan, langkah kakiku melangkah ke tempat kos Arul dan Asrul. Aku gak bawa
uang untuk membeli minuman, karena itu lebih hemat kalau numpang minum di rumah
mereka. Saat lewat depan tempat kos Shinta aku berhenti sejenak dan memandangi
rumah kos itu. Setelah itu aku melangkah beberapa meter lagi ke tempat kos
Arul. Ternyata mereka berdua tidak ada di tempat kos mereka. Terpaksa balik ke
kos deh.
“Loh
Noe?”
Sebuah
suara menyapaku. Aku pun menoleh ke arah suara itu
“Kak
Ratih? Kok di sini?”
Ternyata
yang menyapaku tadi adalah kak Ratih. Dia boleh dibilang keluarga jauhku
sekaligus tetanggaku di kampung halamanku. Sebenarnya usia kami sama namun
karena dia lebih senior makanya aku memanggilnya Kakak. Yah, sosok cewek
berjilbab besar berwarna biru tua ini boleh dibilang pengawasku di sini. Jika
sesuatu terjadi padaku, dialah yang akan memberitahukan kedua orang tuaku.
“Aku
baru pindah kos Noe. Di situ!” tunjukknya.
“Hah?”
Aku
kaget dan gak menyangka kalau tempat kos kak Ratih yang baru adalah tempat kos
Shinta. Sungguh suatu kebetulan atau entah apa namanya.
“Kenapa
kaget begitu?”
“Nggak
kaget sih, Cuma gak nyangka saja. Kalo ini tempat kos temanku loh Kak.”
Jelasku.
“Oh. Eh,
Noe sudah dekat magrib nih, pulang mandi trus sholat.”
“Oke sip
Kak! Assalamualaikum.”
“Walaikumsalam
Noe.”
To be continue…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar