Rabu, 08 Mei 2013

Novel | Wajah Kedua (Part 29)


Part 29
Kecelakaan Sepeda Kedua


Sudah seminggu ini aku tak bicara dengan Arya. Libur telah tiba dan Arya pun tidak pernah lagi meneleponku. Dan Tuti pun sepertinya masih marah padaku. Dia tak menanggapiku sama sekali. Aku dicuekin habis-habisan sama dia. Padahal aku ingin berbagi kebahagiaanku dengannya. Aku ingin bilang terima kasih telah menghiburku dan membuatku tetap bertahan. Entah apa salahku padanya. Untung saja Erni masih bersikap biasa-biasa aja padaku.
Dulu Tuti pernah bilang, kesabaranku pasti akan terbalas dan dia selalu meyakinkanku kalo Erwin pasti akan kembali padaku. Sekarang saat Erwin sudah kembali padaku, dia malah cuek. Erni yang jadi perantara antara aku dan Tuti pun sudah cerita tentang hubunganku dengan Erwin. Dan Tuti Cuma bisa membalasnya dengan mengatakan “selamat yah!” dengan nada tanpa ekspresi.
Selama masa liburan ini aku mengisinya dengan belajar untuk persiapan Ujian Nasional nanti. Aku tidak mau masalahku ini membuatku jadi patah semangat dan kehilangan gairah belajar.

Kami belum mendengar hasil laporan Nilai semester. Setelah ujian semester berakhir, sekolah langsung diliburkan dan pengumuman nilai semester akan diberitahukan setelah masuk semester baru.
Nggak terasa sudah seminggu ini aku dan Erwin kembali merajut cinta yang telah lama hilang. Yah, meski nggak tiap hari ketemu tapi aku senang bisa kembali bersamanya. Erwin mengajarkanku tentang keikhlasan dalam cinta. Dia kini telah berubah menjadi sosok yang sangat ku kagumi.
Aku duduk sambil mengagumi langit sore ini di teras rumah. Belajar udah, beresin kamar juga udah. Aku jadi bingung mau ngapain lagi. Mau nelpon Erwin tapi jam segini dia masih sibuk kerja. Jadi aku nggak boleh gangguin dia. Demi aku dia rela cuti dari kuliahnya dan tinggal di sini sampai aku lulus.
Mungkin saat aku lulus nanti, aku juga mau ngelanjutin kuliah di dekat kampusnya Erwin. Dan kalau bisa, aku juga ingin menikah dengannya. Pasti keren deh bisa mempertahankan cinta pertama sampai ke jenjang pernikahan.
Dari pada bete gini, mendingan aku lari sore aja deh. Sepertinya itu ide yang bagus.
Akhirnya persiapan dan pemanasan udah oke. Sekarang waktunya lari mengitari kompleks.
Langkah kakiku pun mantap menelusuri lorong-lorong perumahan ini. Sekitar setengah jam kakiku mulai lemas dan agak gontai. Aku pun berjalan sambil agak tertunduk untuk mengistirahatkan otot leherku.
“AWAS!”
Suara teriakan mengagetkanku dan tanpa sempat menghindar aku pun tertabrak sepeda. Tapi untung kali ini aku agak sigap jadi gak cedera seperti waktu di tabrak Arya dulu.
“Hey, main sepeda hati-hati dong dek!” Aku memberi nasehat pada si pengendara sepeda. Seorang gadis kecil yang sedang meringis kesakitan sambil memegang kakinya.
“Maaf, rem sepedanya blong!” jelasnya.
“Loh? Fani?” aku kaget setelah sosok yang menabrakku membalikkan badan. Ternyata yang menabrakku adalah Fani.
“Kak Reni kan?” Fani mencoba memastikan.
“Iyah!” jawabku.
Lagi-lagi sepeda ini yang menabrakku. Sepeda berwarna biru laut dengan keranjang silver di depannya. Sepeda milik Arya yang waktu itu juga menabrakku. Tapi kali ini pelakunya berbeda dan barang bukti tetap satu. Yaitu sepeda ini.
“Maafin Fani yah Kak!” Fani memelas sambil meringis kesakitan.
“Nggak apa-apa. Kakimu gimana?” cemasku.
“Sakit benget.” Ucap Fani yang masih terduduk di jalanan.
Lututnya berdarah namun lukanya tidak parah, hanya luka lecet karena terbentur tanah. Aku pun menuntunnya berdiri dan memapahnya untuk duduk di bangku taman yang terletak di bawah pohon, tak jauh dari sini.
“Maaf yah Kak, Fani memang ceroboh.” Sesalnya setelah duduk di bangku.
“Sudahlah, lagian aku nggak apa-apa kok. Oh ya, tunggu bentar di sini yah.” Ucapku lalu berlari menuju warung di dekat sini.
Seperti yang sudah diajarkan waktu pertandingan basket lalu, aku membungkus es batu dengan handuk kecil yang ku bawa. Setelah membersihkan luka di lututnya, aku pun menempelkan handuk tadi di lututnya untuk mengurangi rasa sakitnya. Dan sentuhan terakhirku adalah plester luka bergambar beruang yang kutempelkan di siku tangan kanannya.
Aku jadi teringat saat Arya pun melakukan hal yang sama padaku. Waktu itu dia pun menabrakku dan…
Gawat! Kenapa aku jadi ngingat kejadian itu sih. Tidak boleh Ren. Kamu gak boleh mikirin kisah-kisah romantismu dengan Arya lagi. Apalagi sekarang ada Fani. Arya itu sudah jadi miliknya Fani dan aku gak boleh merusak kebahagiaan mereka.
“Makasih Kak!” Fani tersenyum manis padaku.
Aku hanya membelai kepalanya. Aku merasa seperti punya adik perempuan saja. Adik perempuan yang cantik, imut dan menggemaskan seperti Fani. Ucapan dan tingkah lakunya pun sangat sopan. Beda banget dengan adik kandungku si Randy yang nakal itu.
Entah mengapa aku tidak bisa marah atau membenci Fani. Padahal dia udah datang dan merusak kebahagiaan serta harapanku pada Arya. Dengan hadirnya Fani, pupus sudah asa yang aku bangun untuk menjadi kekasih sejati Arya.
“Kak, kenapa yah. Fani rasa seperti sudah lama kenal Kak Reni.” Ucapnya sambil tersenyum, dua buah lesung pipinya yang merekah sangat menggodaku untuk mencubit pipinya.
“Aku juga gitu kok. Aku seperti ngerasa punya adik saat dekat dengan Fani.” Ucapku.
“Yang benar? Senangnya.” Fani girang lalu memelukku dan menyandarkan kepalanya di dadaku.
Aku membelainya dan memeluknya seperti sedang meluk boneka. “Fani tinggal dimana? Kak Reni anterin pulang deh.” Tawarku.
“Tak perlu repot Kak, Fani sudah telpon Kak Aya. Dia yang jemput. Makasih tawarannya Kak!” Tolak Fani dengan sopan.
 Arya mau ke sini? Waduh gawat. Terakhir kali aku bicara sama Arya kita saling jutek-jutekan dan judes-judesan. Di sekolah pun saling diam dan buang muka. Kali ini mungkin Arya akan langsung memarahiku karena udah buat Fani jadi kecelakaan.
Gimana yah sikapku nanti. Lagian di sini ada Fani dan aku gak mau nunjukkin muka jelekku saat marah-marah padanya.
“Oh ya, Kak Aya kalau di sekolah seperti apa?” tanya Fani.
“Hmm… Dia itu pendiam, cuek dan gak bergaul sama yang lain. Kerjaannya hanya tidur-tiduran di kelas.” jelasku.
“Oh ya? Syukurlah!” Fani tampak lega dengan jawabanku itu.
“Loh? Kok malah bersyukur sih? Dia jadi gak punya teman kan?” protesku.
“Yah, daripada Aya dimanfaatin.” Tegas Fani.
Aku jadi teringat kembali saat Arya menangis dulu. Dia cerita tentang masa lalunya yang kelam itu. Dimanfaatin oleh teman-temannya. Karena alasan itulah Arya memakai wajah barunya kini dan menyembunyikan wajah keduanya itu.
“Tapi Aya cerita ke Fani, ada satu teman akrab di sini.” Ucap Fani sehingga membuatku penasaran.
Mungkinkah itu aku? Yah, selama ini aku selalu berada di dekatnya dan mendengarkannya. Meski nggak setiap hari sih. “Oh ya? Siapa tuh?” tanyaku.
“Katanya teman setim Basketnya. Fani lupa namanya.” Jawabnya.
“Ternyata bukan aku ya.” Ucapku dengan agak kecewa.
“Tapi Aya juga pernah cerita tentang Reni.” Ucapan Fani seakan memberiku secercah harapan.
“Oh ya? Aya cerita apa ke Fani? Jangan sampai dia cerita yang jelek-jelek yah?” tanyaku penasaran.
“Bukan kok.” Jawab Fani.
“Trus?” aku masih penasaran dibuat Fani.
“Rahasia!” jawab Fani dengan senyuman usilnya.
Aku pun tak tahan lagi, aku cubit pipinya dan dia hanya tertawa sambil menghindari tanganku. “Hayo cepetan kasih tau dong?” paksaku sambil terus mencubit dan menggelitikinya.
“PIP PIP!” suara klakson mobil mengagetkanku juga Fani.
Mobil itu menghampiri kami dan  ternyata itu mobil Arya, bahkan Arya sendiri yang menyetirnya.
“Makanya, Aya kan udah bilang jangan main sepeda.” Omel Arya setelah turun dari mobil.
Fani hanya memasang tampang cemberutnya.
“Jangan langsung ngomel gitu dong Ya. Fani kan lagi kesakitan gitu.” Aku mencoba membela Fani.
“Nggak usah ikut campur deh Ren. Dan lagi-lagi kamu yang ketabrak. Pasti jogingnya sambil ngelamun lagi kan.” Aku jadi kena semprot omelan Arya.
“Ih, kok malah aku yang kena marah sih. Lagian kenapa kamu kasih pinjam sepeda antik kamu yang nggak ada rem nya ke Fani?” aku balik sewot ke Arya.
“Aku sudah larang, lagian kalo gak ada orang yang lari sore sambil ngelamun. Kejadiannya gak bakal sampai begini.” Arya pun gak kalah ngotot.
“Jadi ini salah Reni yah? Dasar Aya cowok tega.” Ucapku judes.
“Iya! Dasar Reni cewek judes.” Balas Arya.
“Ihihihihi! Kalian lucu deh.” Fani malah tertawa melihat kami berdua bertengkar.
“Loh emang kenapa?” tanyaku.
“Kalian seperti pasangan kekasih saja.” goda Fani sambil tertawa usil.
Aku dan Arya saling menatap sejenak, tiba-tiba saja wajahku memerah dan kami saling membuang muka. Aku yakin wajah Arya juga tersipu.
Kali ini Aku dan Arya kompak menatap Fani dengan tatapan sadis sehingga senyumnya pun berubah menjadi kecemasan plus tampang takut. “sori! Silahkan lanjutin bertengkarnya!” ucap Fani dengan ekspresi takutnya.
Arya menarik nafas panjang dan membuang semua emosi dalam hembusan nafasnya itu. Arya menghampiri Fani sambil jongkok memeriksa kakinya Fani. “Kakimu gak apa-apa Fani?”
“Tak Apa-apa. Untung saja ada Kak Reni yang merawat Fani.” Jelas Fani.
“Makasih yah Ren!” ucap Arya padaku.
“Iya!” ucapku.
“Nah, ayo kita pulang!” Arya langsung menggendong Fani.
Fani terlihat malu dan agak berontak saat Arya mulai menariknya. Tapi akhirnya diapun pasrah saja digendong seperti anak kecil. Fani memeluk punggung Arya dan sepertinya dia merasa nyaman.
Mereka berdua pun berjalan menuju matahari yang terbenam itu. Cahaya senja yang kemerahan menghantam mereka dan menyilaukan mataku yang hanya bisa menatap punggung mereka. Mereka berdua bagaikan siluet lukisan yang indah dengan latar belakang senja yang merah kelabu ini.
Merahnya senja ini mungkin bisa mewakili api cemburku. Namun aku berusaha tersenyum dan mengikuti langkah mereka dari belakang. Fani menoleh padaku sambil tersenyum. Wajahnya tidak terlalu jelas akibat sorotan cahaya senja namun sebuah senyuman terlihat jelas dari wajahnya itu. Sebuah senyuman yang seakan berkata, jangan cemburu Ren. Aku mengerti perasaanmu.
“Makasih yah Kak!” ucap Fani sesaat sebelum masuk ke mobil.
Yah, dan entah mengapa rasa cemburuku reda setelah melihat senyumannya. Seandainya yang digendong Arya itu wanita lain, aku pasti cemburu banget. Tapi mengapa aku merasa…bahagia.
Mungkin itulah perasaanku saat ini. Aku merasa bahagia melihat mereka berdua. Yah, aku sudah menyerah dan aku nggak mungkin menang melawan Fani. Mereka berdua begitu akrabnya dengan perdebatan kecil serta sedikit candaan. Mereka sudah dijodohkan bahkan akan resmi tunangan. Cinta dalam ikatan persetujuan orang tua memang hebat. Mereka berdua terlihat… serasi.
Aku hanya bisa melambaikan tanganku sambil menatap mobil mereka yang semakin lama semakin mengecil menjadi titik kecil di ujung senja sana.
“Hey!” sebuah suara menyapaku.
Aku menoleh. “Erwin?”
“Ngapain melamun di tengah jalan begini?” tanya Erwin.
“Nggak, aku lagi lari sore tapi agak lelah.” Jawabku.
“Trus istirahatnya di tengah jalan gitu?” ledek Erwin.
Aku mengangguk mengiyakan.
Erwin tersenyum kecil. Mungkin dalam hati dia berpikir aku ini aneh.
“Aku anterin pulang yah?” tawar Erwin.
Akupun membalasnya dengan senyuman serta anggukan. Erwin tak punya kendaraan dan biasanya hanya meminjam motor atau mobil milik Kak Ruslan.
“Sudah selesai kerjaannya?” tanyaku.
“Alhamdulillah, hari ini lancar dan lumayan banyak dapat klien.” Jawab Erwin.
“Wah, pasti capek deh. Kita nggak usah langsung pulang. Ke café yuk? Reni yang traktir deh.” ajakku.
“Aku belum mandi loh!” Ucap Erwin.
“Aku baru aja lari sore, lebih bau lagi tau! Please yah Win! Aku mau nikmati sunset nih.” Bujukku.
“Oke deh. Anything for you Ren!” Erwin pun menyanggupinya.
Yah, setidaknya bersama dengan Erwin bisa mengusir sisa-sisa cemburuku pada Arya tadi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar