Part 29
Kecelakaan Sepeda Kedua
Sudah seminggu ini aku tak bicara dengan Arya. Libur telah
tiba dan Arya pun tidak pernah lagi meneleponku. Dan Tuti pun sepertinya masih
marah padaku. Dia tak menanggapiku sama sekali. Aku dicuekin habis-habisan sama
dia. Padahal aku ingin berbagi kebahagiaanku dengannya. Aku ingin bilang terima
kasih telah menghiburku dan membuatku tetap bertahan. Entah apa salahku padanya.
Untung saja Erni masih bersikap biasa-biasa aja padaku.
Dulu Tuti pernah bilang, kesabaranku pasti akan terbalas dan
dia selalu meyakinkanku kalo Erwin pasti akan kembali padaku. Sekarang saat
Erwin sudah kembali padaku, dia malah cuek. Erni yang jadi perantara antara aku
dan Tuti pun sudah cerita tentang hubunganku dengan Erwin. Dan Tuti Cuma bisa
membalasnya dengan mengatakan “selamat yah!” dengan nada tanpa ekspresi.
Selama masa liburan ini aku mengisinya dengan belajar untuk
persiapan Ujian Nasional nanti. Aku tidak mau masalahku ini membuatku jadi
patah semangat dan kehilangan gairah belajar.
Kami belum mendengar hasil laporan Nilai semester. Setelah
ujian semester berakhir, sekolah langsung diliburkan dan pengumuman nilai
semester akan diberitahukan setelah masuk semester baru.
Nggak terasa sudah seminggu ini aku dan Erwin kembali merajut
cinta yang telah lama hilang. Yah, meski nggak tiap hari ketemu tapi aku senang
bisa kembali bersamanya. Erwin mengajarkanku tentang keikhlasan dalam cinta.
Dia kini telah berubah menjadi sosok yang sangat ku kagumi.
Aku duduk sambil mengagumi langit sore ini di teras rumah.
Belajar udah, beresin kamar juga udah. Aku jadi bingung mau ngapain lagi. Mau
nelpon Erwin tapi jam segini dia masih sibuk kerja. Jadi aku nggak boleh
gangguin dia. Demi aku dia rela cuti dari kuliahnya dan tinggal di sini sampai
aku lulus.
Mungkin saat aku lulus nanti, aku juga mau ngelanjutin kuliah
di dekat kampusnya Erwin. Dan kalau bisa, aku juga ingin menikah dengannya.
Pasti keren deh bisa mempertahankan cinta pertama sampai ke jenjang pernikahan.
Dari pada bete gini, mendingan aku lari sore aja deh.
Sepertinya itu ide yang bagus.
Akhirnya persiapan dan pemanasan udah oke. Sekarang waktunya
lari mengitari kompleks.
Langkah kakiku pun mantap menelusuri lorong-lorong perumahan
ini. Sekitar setengah jam kakiku mulai lemas dan agak gontai. Aku pun berjalan
sambil agak tertunduk untuk mengistirahatkan otot leherku.
“AWAS!”
Suara teriakan mengagetkanku dan tanpa sempat menghindar aku
pun tertabrak sepeda. Tapi untung kali ini aku agak sigap jadi gak cedera
seperti waktu di tabrak Arya dulu.
“Hey, main sepeda hati-hati dong dek!” Aku memberi nasehat
pada si pengendara sepeda. Seorang gadis kecil yang sedang meringis kesakitan
sambil memegang kakinya.
“Maaf, rem sepedanya blong!” jelasnya.
“Loh? Fani?” aku kaget setelah sosok yang menabrakku
membalikkan badan. Ternyata yang menabrakku adalah Fani.
“Kak Reni kan?” Fani mencoba memastikan.
“Iyah!” jawabku.
Lagi-lagi sepeda ini yang menabrakku. Sepeda berwarna biru
laut dengan keranjang silver di depannya. Sepeda milik Arya yang waktu itu juga
menabrakku. Tapi kali ini pelakunya berbeda dan barang bukti tetap satu. Yaitu
sepeda ini.
“Maafin Fani yah Kak!” Fani memelas sambil meringis
kesakitan.
“Nggak apa-apa. Kakimu gimana?” cemasku.
“Sakit benget.” Ucap Fani yang masih terduduk di jalanan.
Lututnya berdarah namun lukanya tidak parah, hanya luka lecet
karena terbentur tanah. Aku pun menuntunnya berdiri dan memapahnya untuk duduk
di bangku taman yang terletak di bawah pohon, tak jauh dari sini.
“Maaf yah Kak, Fani memang ceroboh.” Sesalnya setelah duduk
di bangku.
“Sudahlah, lagian aku nggak apa-apa kok. Oh ya, tunggu bentar
di sini yah.” Ucapku lalu berlari menuju warung di dekat sini.
Seperti yang sudah diajarkan waktu pertandingan basket lalu,
aku membungkus es batu dengan handuk kecil yang ku bawa. Setelah membersihkan
luka di lututnya, aku pun menempelkan handuk tadi di lututnya untuk mengurangi
rasa sakitnya. Dan sentuhan terakhirku adalah plester luka bergambar beruang
yang kutempelkan di siku tangan kanannya.
Aku jadi teringat
saat Arya pun melakukan hal yang sama padaku. Waktu itu dia pun menabrakku dan…
Gawat! Kenapa aku
jadi ngingat kejadian itu sih. Tidak boleh Ren. Kamu gak boleh mikirin
kisah-kisah romantismu dengan Arya lagi. Apalagi sekarang ada Fani. Arya itu
sudah jadi miliknya Fani dan aku gak boleh merusak kebahagiaan mereka.
“Makasih Kak!” Fani
tersenyum manis padaku.
Aku hanya membelai
kepalanya. Aku merasa seperti punya adik perempuan saja. Adik perempuan yang
cantik, imut dan menggemaskan seperti Fani. Ucapan dan tingkah lakunya pun
sangat sopan. Beda banget dengan adik kandungku si Randy yang nakal itu.
Entah mengapa aku
tidak bisa marah atau membenci Fani. Padahal dia udah datang dan merusak
kebahagiaan serta harapanku pada Arya. Dengan hadirnya Fani, pupus sudah asa
yang aku bangun untuk menjadi kekasih sejati Arya.
“Kak, kenapa yah.
Fani rasa seperti sudah lama kenal Kak Reni.” Ucapnya sambil tersenyum, dua
buah lesung pipinya yang merekah sangat menggodaku untuk mencubit pipinya.
“Aku juga gitu kok.
Aku seperti ngerasa punya adik saat dekat dengan Fani.” Ucapku.
“Yang benar?
Senangnya.” Fani girang lalu memelukku dan menyandarkan kepalanya di dadaku.
Aku membelainya dan
memeluknya seperti sedang meluk boneka. “Fani tinggal dimana? Kak Reni anterin
pulang deh.” Tawarku.
“Tak perlu repot
Kak, Fani sudah telpon Kak Aya. Dia yang jemput. Makasih tawarannya Kak!” Tolak
Fani dengan sopan.
Arya mau ke sini? Waduh gawat. Terakhir kali
aku bicara sama Arya kita saling jutek-jutekan dan judes-judesan. Di sekolah
pun saling diam dan buang muka. Kali ini mungkin Arya akan langsung memarahiku
karena udah buat Fani jadi kecelakaan.
Gimana yah sikapku
nanti. Lagian di sini ada Fani dan aku gak mau nunjukkin muka jelekku saat
marah-marah padanya.
“Oh ya, Kak Aya
kalau di sekolah seperti apa?” tanya Fani.
“Hmm… Dia itu
pendiam, cuek dan gak bergaul sama yang lain. Kerjaannya hanya tidur-tiduran di
kelas.” jelasku.
“Oh ya? Syukurlah!”
Fani tampak lega dengan jawabanku itu.
“Loh? Kok malah
bersyukur sih? Dia jadi gak punya teman kan?” protesku.
“Yah, daripada Aya
dimanfaatin.” Tegas Fani.
Aku jadi teringat
kembali saat Arya menangis dulu. Dia cerita tentang masa lalunya yang kelam
itu. Dimanfaatin oleh teman-temannya. Karena alasan itulah Arya memakai wajah
barunya kini dan menyembunyikan wajah keduanya itu.
“Tapi Aya cerita ke
Fani, ada satu teman akrab di sini.” Ucap Fani sehingga membuatku penasaran.
Mungkinkah itu aku?
Yah, selama ini aku selalu berada di dekatnya dan mendengarkannya. Meski nggak
setiap hari sih. “Oh ya? Siapa tuh?” tanyaku.
“Katanya teman
setim Basketnya. Fani lupa namanya.” Jawabnya.
“Ternyata bukan aku
ya.” Ucapku dengan agak kecewa.
“Tapi Aya juga pernah
cerita tentang Reni.” Ucapan Fani seakan memberiku secercah harapan.
“Oh ya? Aya cerita
apa ke Fani? Jangan sampai dia cerita yang jelek-jelek yah?” tanyaku penasaran.
“Bukan kok.” Jawab
Fani.
“Trus?” aku masih
penasaran dibuat Fani.
“Rahasia!” jawab
Fani dengan senyuman usilnya.
Aku pun tak tahan
lagi, aku cubit pipinya dan dia hanya tertawa sambil menghindari tanganku.
“Hayo cepetan kasih tau dong?” paksaku sambil terus mencubit dan
menggelitikinya.
“PIP PIP!” suara
klakson mobil mengagetkanku juga Fani.
Mobil itu
menghampiri kami dan ternyata itu mobil
Arya, bahkan Arya sendiri yang menyetirnya.
“Makanya, Aya kan
udah bilang jangan main sepeda.” Omel Arya setelah turun dari mobil.
Fani hanya memasang
tampang cemberutnya.
“Jangan langsung
ngomel gitu dong Ya. Fani kan lagi kesakitan gitu.” Aku mencoba membela Fani.
“Nggak usah ikut
campur deh Ren. Dan lagi-lagi kamu yang ketabrak. Pasti jogingnya sambil
ngelamun lagi kan.” Aku jadi kena semprot omelan Arya.
“Ih, kok malah aku
yang kena marah sih. Lagian kenapa kamu kasih pinjam sepeda antik kamu yang
nggak ada rem nya ke Fani?” aku balik sewot ke Arya.
“Aku sudah larang,
lagian kalo gak ada orang yang lari sore sambil ngelamun. Kejadiannya gak bakal
sampai begini.” Arya pun gak kalah ngotot.
“Jadi ini salah
Reni yah? Dasar Aya cowok tega.” Ucapku judes.
“Iya! Dasar Reni
cewek judes.” Balas Arya.
“Ihihihihi! Kalian
lucu deh.” Fani malah tertawa melihat kami berdua bertengkar.
“Loh emang kenapa?”
tanyaku.
“Kalian seperti
pasangan kekasih saja.” goda Fani sambil tertawa usil.
Aku dan Arya saling
menatap sejenak, tiba-tiba saja wajahku memerah dan kami saling membuang muka.
Aku yakin wajah Arya juga tersipu.
Kali ini Aku dan
Arya kompak menatap Fani dengan tatapan sadis sehingga senyumnya pun berubah
menjadi kecemasan plus tampang takut. “sori! Silahkan lanjutin bertengkarnya!”
ucap Fani dengan ekspresi takutnya.
Arya menarik nafas
panjang dan membuang semua emosi dalam hembusan nafasnya itu. Arya menghampiri
Fani sambil jongkok memeriksa kakinya Fani. “Kakimu gak apa-apa Fani?”
“Tak Apa-apa.
Untung saja ada Kak Reni yang merawat Fani.” Jelas Fani.
“Makasih yah Ren!”
ucap Arya padaku.
“Iya!” ucapku.
“Nah, ayo kita
pulang!” Arya langsung menggendong Fani.
Fani terlihat malu
dan agak berontak saat Arya mulai menariknya. Tapi akhirnya diapun pasrah saja
digendong seperti anak kecil. Fani memeluk punggung Arya dan sepertinya dia
merasa nyaman.
Mereka berdua pun
berjalan menuju matahari yang terbenam itu. Cahaya senja yang kemerahan
menghantam mereka dan menyilaukan mataku yang hanya bisa menatap punggung
mereka. Mereka berdua bagaikan siluet lukisan yang indah dengan latar belakang
senja yang merah kelabu ini.
Merahnya senja ini
mungkin bisa mewakili api cemburku. Namun aku berusaha tersenyum dan mengikuti
langkah mereka dari belakang. Fani menoleh padaku sambil tersenyum. Wajahnya
tidak terlalu jelas akibat sorotan cahaya senja namun sebuah senyuman terlihat
jelas dari wajahnya itu. Sebuah senyuman yang seakan berkata, jangan cemburu
Ren. Aku mengerti perasaanmu.
“Makasih yah Kak!”
ucap Fani sesaat sebelum masuk ke mobil.
Yah, dan entah
mengapa rasa cemburuku reda setelah melihat senyumannya. Seandainya yang
digendong Arya itu wanita lain, aku pasti cemburu banget. Tapi mengapa aku
merasa…bahagia.
Mungkin itulah
perasaanku saat ini. Aku merasa bahagia melihat mereka berdua. Yah, aku sudah
menyerah dan aku nggak mungkin menang melawan Fani. Mereka berdua begitu
akrabnya dengan perdebatan kecil serta sedikit candaan. Mereka sudah dijodohkan
bahkan akan resmi tunangan. Cinta dalam ikatan persetujuan orang tua memang
hebat. Mereka berdua terlihat… serasi.
Aku hanya bisa
melambaikan tanganku sambil menatap mobil mereka yang semakin lama semakin
mengecil menjadi titik kecil di ujung senja sana.
“Hey!” sebuah suara
menyapaku.
Aku menoleh.
“Erwin?”
“Ngapain melamun di
tengah jalan begini?” tanya Erwin.
“Nggak, aku lagi
lari sore tapi agak lelah.” Jawabku.
“Trus istirahatnya
di tengah jalan gitu?” ledek Erwin.
Aku mengangguk
mengiyakan.
Erwin tersenyum
kecil. Mungkin dalam hati dia berpikir aku ini aneh.
“Aku anterin pulang
yah?” tawar Erwin.
Akupun membalasnya
dengan senyuman serta anggukan. Erwin tak punya kendaraan dan biasanya hanya
meminjam motor atau mobil milik Kak Ruslan.
“Sudah selesai
kerjaannya?” tanyaku.
“Alhamdulillah,
hari ini lancar dan lumayan banyak dapat klien.” Jawab Erwin.
“Wah, pasti capek
deh. Kita nggak usah langsung pulang. Ke café yuk? Reni yang traktir deh.”
ajakku.
“Aku belum mandi
loh!” Ucap Erwin.
“Aku baru aja lari
sore, lebih bau lagi tau! Please yah Win! Aku mau nikmati sunset nih.” Bujukku.
“Oke deh. Anything
for you Ren!” Erwin pun menyanggupinya.
Yah, setidaknya
bersama dengan Erwin bisa mengusir sisa-sisa cemburuku pada Arya tadi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar