Sabtu, 25 Mei 2013

Novel | Wajah Kedua (Part 34)

Part 34
Selamat Tinggal Cinta Pertama


Hari ini Erwin pulang setelah seminggu keluar kota. Oleh-oleh kali ini dodol durian kesukaanku. Tapi entah mengapa aku merasa tidak terlalu senang. Selama ini aku dan Erwin menjalani hubungan dengan keterpaksaan dan penuh kehati-hatian. Aku seperti gak bebas mengungkapkan ekspresiku. Aku terlalu memaksakan diri untuk tampil manja. Aku pun menghindari perdebatan-perdebatan kecil dengannya.
Rasanya hubungan ini semakin canggung saja. Padahal dulu sebelum kami putus, Kami sering saling ngeledek. Berdebat untuk hal-hal kecil namun akhirnya Erwin yang ngalah.  Saling marahan namun akhirnya belajar untuk saling memaafkan. Saling kritik, saling menasihati, dan saling memperbaiki. Hubungan seperti itu terasa lebih hidup.

Tapi sekarang, karena hati-hati dan takut hubungan kami akan berakhir, kami jadi terlalu menghargain. Selalu berusaha bersikap sopan dan romantis. Tak ada bentrok dan marahan. Nggak ada saling cemburu…
Aku jadi rindu masa-masa itu. Masa-masa cinta monyet, masa-masa mengenal cinta. Apakah Erwin yang sekarang benar-benar bisa membuatku jatuh cinta?
Aku jadi teringat nasehat Tuti.
Yang harus kamu lakukan hanya dua Ren. Mencintai Erwin setulus hatimu dan bukan sebagai pelampiasan. Lupain Arya dan bangun rasa cinta untuk Erwin. Rasa cinta itu bisa terpupuk seiring jalannya waktu Ren.
Atau putuskan Erwin sebelum hubungan yang hambar itu membuat kalian berdua jadi gila. Jika kamu masih saja kepikiran Arya, kamu gak akan bisa mencintai Erwin setulus hatimu.
Yah, aku harus segera ambil sikap. Sudah hampir sebulan aku jadian sama Erwin tapi aku ngerasa hambar. Beda dengan Arya, saat bersama dengan Arya aku bisa bebas menjadi diriku sendiri. Tapi saat bersama Erwin aku harus jaim dan bersikap sok manis untuk menyenangkan hatinya.
“Erwin?”
“Yah Ren?”
“Erwin cinta gak sih sama Reni?” tanyaku.
“Kok tiba-tiba tanya gitu sih?” Erwin tampak heran.
“Sudah sebulan ini Erwin nggak merasa ada yang aneh dengan hubungan ini?”
“Nggak tuh Ren! Emang kenapa?” tanya Erwin.
“Kita nih terlalu hati-hati. Kita nih terlalu takut saling nyakitin. Aku gak tahan begini. Rasanya seperti gak bebas Win!” keluhku.
“Jadi?” Erwin tampak mulai curiga.
“Entahlah Win, aku ngerasa kita ini seperti bukan pacaran.” Ucapku.
“Apa kamu marah karena aku tinggal selama beberapa hari ini Ren? Maaf yah kalau aku jarang nelpon kamu.”
“Nggak kok Win. Kamu tahu gak? Aku bahkan sama sekali nggak merasa rindu saat kamu pergi. Aku ngerasa Cuma kamu aja yang nikmatin hubungan ini tapi aku sama sekali gak merasa apa-apa. Aku bingung apa benar aku tuh cinta sama kamu Win.”
“Yah, aku juga ngerasa ada yang aneh kok Ren. Kamu terlihat tidak bahagia dan saat jalan bareng kamu lebih sering ngelamun. Apa kamu masih belum bisa maafin aku Ren?” keluh Erwin.
“Aku sudah maafin kamu kok. Aku bahkan sudah lupa semua itu.” Jawabku.
“Trus kamu kenapa Ren? Apa yang terjadi sama kamu?” Erwin terlihat bingung dengan kegundahanku ini.
Aku ingin jujur tapi, aku tak tahu harus bilang apa. Padahal semalam aku sudah siapin mental untuk memutuskan hubungan ini. Aku tak mau berlanjut dalam kemesraan yang palsu ini.
“Ren?”
“Maaf yah Kak, sebaiknya kita putus.” Ucapku lirih.
“Aku salah apa Ren?” wajah Erwin terlihat memelas.
“Kamu nggak salah Win. Kamu sangat baik padaku. Mungkin sebaiknya kamu jadi sosok Kakak bagiku seperti Erni juga Tuti. Maaf yah, Reni ngambil keputusan ini.”
“Ren? Jujur lah, aku salah apa? Aku akan memperbaikinya.” Desak Erwin.
“Kamu nggak salah Win! Aku yang salah!” ucapku dengan tegas. Setelah itu aku masuk dan menutup pagar.
Aku sungguh nggak tahan melihat ini semua. Aku bingung mau gimana. Biarlah Erwin menyebutku tega, cewek brengsek, atau apapun. Aku nggak perduli lagi. Aku cuma bisa nangis saja seharian.
Seperti kata Aldo, aku suka membuat orang lain berkorban untukku namun selalu saja aku malah nyakitin mereka. Aku sudah siap terima caci maki dari Erwin.
Aku mengintip dari balik jendela. Erwin masih berdiri di depan pagar rumahku. Tertunduk lesu dan bahunya bergetar. Apakah Erwin menangis? Dia tak beranjak dari situ.
Maaf yah Win? Sebenarnya yang sangat Reni suka itu Arya. Reni cuman jadiin kamu pelampiasan. Aku terima kamu juga karena kasihan dan gak tega sama kamu. Tapi ternyata keputusanku ini salah. Hatiku masih tertambat pada Arya.
Orang bilang cinta pertama itu tidak terlupakan, namun cinta sejati akan membuat kita melupakannya. Terimakasih yah Kak Erwin. Demi Reni kamu sudah banyak berkorban. Semoga kamu mendapatkan yang lebih dariku. Aku gak bisa balas semua kebaikanmu…
Selamat tinggal Erwin. Maafkan Reni yah…

Selamat tinggal cinta pertamaku…

Tidak ada komentar:

Posting Komentar