Part 34
Selamat Tinggal Cinta
Pertama
Hari ini Erwin
pulang setelah seminggu keluar kota. Oleh-oleh kali ini dodol durian
kesukaanku. Tapi entah mengapa aku merasa tidak terlalu senang. Selama ini aku
dan Erwin menjalani hubungan dengan keterpaksaan dan penuh kehati-hatian. Aku
seperti gak bebas mengungkapkan ekspresiku. Aku terlalu memaksakan diri untuk
tampil manja. Aku pun menghindari perdebatan-perdebatan kecil dengannya.
Rasanya hubungan
ini semakin canggung saja. Padahal dulu sebelum kami putus, Kami sering saling
ngeledek. Berdebat untuk hal-hal kecil namun akhirnya Erwin yang ngalah. Saling marahan namun akhirnya belajar untuk
saling memaafkan. Saling kritik, saling menasihati, dan saling memperbaiki.
Hubungan seperti itu terasa lebih hidup.
Tapi sekarang,
karena hati-hati dan takut hubungan kami akan berakhir, kami jadi terlalu
menghargain. Selalu berusaha bersikap sopan dan romantis. Tak ada bentrok dan
marahan. Nggak ada saling cemburu…
Aku jadi rindu
masa-masa itu. Masa-masa cinta monyet, masa-masa mengenal cinta. Apakah Erwin
yang sekarang benar-benar bisa membuatku jatuh cinta?
Aku jadi teringat
nasehat Tuti.
Yang harus kamu lakukan hanya dua Ren. Mencintai Erwin
setulus hatimu dan bukan sebagai pelampiasan. Lupain Arya dan bangun rasa cinta
untuk Erwin. Rasa cinta itu bisa terpupuk seiring jalannya waktu Ren.
Atau putuskan Erwin sebelum hubungan yang hambar itu membuat
kalian berdua jadi gila. Jika kamu masih saja kepikiran Arya, kamu gak akan
bisa mencintai Erwin setulus hatimu.
Yah, aku harus
segera ambil sikap. Sudah hampir sebulan aku jadian sama Erwin tapi aku ngerasa
hambar. Beda dengan Arya, saat bersama dengan Arya aku bisa bebas menjadi
diriku sendiri. Tapi saat bersama Erwin aku harus jaim dan bersikap sok manis
untuk menyenangkan hatinya.
“Erwin?”
“Yah Ren?”
“Erwin cinta gak sih sama Reni?” tanyaku.
“Kok tiba-tiba tanya gitu sih?” Erwin tampak heran.
“Sudah sebulan ini Erwin nggak merasa ada yang aneh dengan
hubungan ini?”
“Nggak tuh Ren! Emang kenapa?” tanya Erwin.
“Kita nih terlalu
hati-hati. Kita nih terlalu takut saling nyakitin. Aku gak tahan begini.
Rasanya seperti gak bebas Win!” keluhku.
“Jadi?” Erwin
tampak mulai curiga.
“Entahlah Win, aku
ngerasa kita ini seperti bukan pacaran.” Ucapku.
“Apa kamu marah
karena aku tinggal selama beberapa hari ini Ren? Maaf yah kalau aku jarang
nelpon kamu.”
“Nggak kok Win.
Kamu tahu gak? Aku bahkan sama sekali nggak merasa rindu saat kamu pergi. Aku
ngerasa Cuma kamu aja yang nikmatin hubungan ini tapi aku sama sekali gak
merasa apa-apa. Aku bingung apa benar aku tuh cinta sama kamu Win.”
“Yah, aku juga
ngerasa ada yang aneh kok Ren. Kamu terlihat tidak bahagia dan saat jalan
bareng kamu lebih sering ngelamun. Apa kamu masih belum bisa maafin aku Ren?” keluh
Erwin.
“Aku sudah maafin
kamu kok. Aku bahkan sudah lupa semua itu.” Jawabku.
“Trus kamu kenapa
Ren? Apa yang terjadi sama kamu?” Erwin terlihat bingung dengan kegundahanku
ini.
Aku ingin jujur
tapi, aku tak tahu harus bilang apa. Padahal semalam aku sudah siapin mental
untuk memutuskan hubungan ini. Aku tak mau berlanjut dalam kemesraan yang palsu
ini.
“Ren?”
“Maaf yah Kak,
sebaiknya kita putus.” Ucapku lirih.
“Aku salah apa
Ren?” wajah Erwin terlihat memelas.
“Kamu nggak salah
Win. Kamu sangat baik padaku. Mungkin sebaiknya kamu jadi sosok Kakak bagiku
seperti Erni juga Tuti. Maaf yah, Reni ngambil keputusan ini.”
“Ren? Jujur lah,
aku salah apa? Aku akan memperbaikinya.” Desak Erwin.
“Kamu nggak salah
Win! Aku yang salah!” ucapku dengan tegas. Setelah itu aku masuk dan menutup
pagar.
Aku sungguh nggak
tahan melihat ini semua. Aku bingung mau gimana. Biarlah Erwin menyebutku tega,
cewek brengsek, atau apapun. Aku nggak perduli lagi. Aku cuma bisa nangis saja
seharian.
Seperti kata Aldo,
aku suka membuat orang lain berkorban untukku namun selalu saja aku malah
nyakitin mereka. Aku sudah siap terima caci maki dari Erwin.
Aku mengintip dari
balik jendela. Erwin masih berdiri di depan pagar rumahku. Tertunduk lesu dan
bahunya bergetar. Apakah Erwin menangis? Dia tak beranjak dari situ.
Maaf yah Win?
Sebenarnya yang sangat Reni suka itu Arya. Reni cuman jadiin kamu pelampiasan.
Aku terima kamu juga karena kasihan dan gak tega sama kamu. Tapi ternyata
keputusanku ini salah. Hatiku masih tertambat pada Arya.
Orang bilang cinta pertama itu tidak terlupakan, namun cinta
sejati akan membuat kita melupakannya. Terimakasih yah Kak Erwin. Demi Reni
kamu sudah banyak berkorban. Semoga kamu mendapatkan yang lebih dariku. Aku gak
bisa balas semua kebaikanmu…
Selamat tinggal
Erwin. Maafkan Reni yah…
Selamat tinggal
cinta pertamaku…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar