Kamis, 09 Mei 2013

Novel | Wajah Kedua (part 30)


Part 30
Kejutan Dari Tanah Melayu


Hari ini hari pertama semester kedua dimulai. Sebuah sedan Honda City berwarna silver parkir di depan sekolah saat pulang sekolah. Sepertinya mobil itu menunggu seseorang.
Saat aku pulang sekolah, drama penculikanku pun dimulai. Seorang wanita menculikku dan memisahkanku dari teman-temanku. Aku pun di bawah masuk ke dalam mobil ini tanpa bisa berbuat apa-apa.
Alhasil kini aku terjebak di sebuah café yang dulu pernah aku kunjungi bersama Arya. Winz café, café milik kak Wina.

Yah, sebenarnya aku nggak diculik. Kak Wina yang membawaku sendiri dan semua ini terjadi begitu cepat. Jadi sekalian aja aku ngelamunin kalo aku nih sedang diculik. Hihihi!
Aku bahkan tak sempat mengabari orang rumah dan Erni pun tadi terlihat heran dan bingung. Aku masih mengenakan seragam putih abu-abu dengan rok panjang yang bawahannya sudah mulai kotor akibat adegan penculikan tadi. Tapi tak apalah, aku senang banget bisa bertemu kembali dengan Kak Wina.
“Kak Wina kapan datang?” tanyaku dengan penuh semangat.
“Baru aja kok. Oh ya ada seseorang yang ingin ketemu denganmu. Dikit lagi dia datang.” Ucap Kak Wina.
“Siapa?” tanyaku penasaran.
“Liat aja deh!” Kak Wina lagi-lagi membuatku penasaran.
“Kak Wina mau bikin kejutan yah?” tebakku.
Kak wina hanya tertawa saja menanggapi pernyataanku tadi. “lihat saja deh!” Dengan sebuah gelekan dan senyuman ekspresi wajahnya membuatku semakin penasaran menanti kejutan.
Aku pun menunggu dengan sabar dan menahan rasa penasaranku ini. Segelas es krim cokelat traktiran Kak Wina ini menemaniku menanti sosok yang akan datang. Hebatnya lagi es krim ini spesial banget karena Kak Wina sendiri yang buatin.
Aku sendiri mencoba menebak, mungkin Kak Wina mau memperkenalkan Fani. Tapi sepertinya Kak Wina tahu perasaanku ke Arya. Dia gak mungkin setega itu padaku. Atau mungkin yang datang nanti malah Arya sendiri. Wah, itu sih bukan kejutan namanya. Siapa yah kira-kira?
“Ren, bentar kalo orang itu datang, bersikaplah yang manis yah?” pesan Kak Wina.
Aku memandangnya dengan heran aku jadi cemas dengan nasibku di sini. Siapa yah orang yang mau menemuiku itu?
“Atau… Rina jadi diri sendiri aja.” Ucap Kak Wina setelah terlihat ragu dengan nasehat pertamanya tadi.
“Iya kak!” ucapku pasrah.
“Nah, itu dia udah datang.” Kak wina menunjuk sebuah mobil sedan putih yang parkir di depan cafenya.
Sosok wanita cantik turun dari mobil itu. Kecantikannya nggak kalah daripada Kak Wina maupun Fani. Hanya saja, dia terlihat lebih tua dan dewasa dibanding Kak Wina. Mungkin Umurnya sekitar 30-an gitu.
Aku makin berdebar-debar saat wanita itu mulai masuk ke dalam café. Dengan balutan jilbab berwarna hijau tua, wanita itu terlihat sangat anggun. Kak Wina menyambutnya dengan sebuah salam dan kecupan. Wanita itu pun tersenyum dan berbincang sejenak dengan Kak Wina.
Akhirnya dia menatapku sambil tersenyum. Aku hanya bisa menatapnya dengan senyum pula. Yah, mau gimana lagi. Tadi kak Wina menyuruhku untuk bersikap manis. Tapi aku malah berantakan begini. Badan bau keringat matahari. Mulut belepotan es krim. Aku jadi malu sendiri deh.
Wanita itu menyapa ku dan duduk di hadapanku.
“Oh ya Ren, kenalin ini Ummi. Mama ku juga mamanya Aya.” Ucap Kak Wina.
APA? Aku jadi kaget, Ini Mamanya Arya. Duh, muda banget. Aku hanya bisa tersenyum kaku padanya.
Entah mengapa badanku jadi terasa beku, apa karena es krim yang kumakan ini? Aku jadi bingung mau bagaimana di hadapan Mamanya Arya. Trus aku manggilnya apa? Mama? Tante? Bu’ de? Bu’ le? Ummi? Ibu? Bibi? Nyonya? Mertua?
Argh! Aku jadi kesal deh sama Kak Wina. Coba bilang dong dari tadi kalau yang datang itu Mama kalian. Aku jadi salah tingkah gini deh. Oh Tuhan, Tolonglah hamba… aku ingin segera menghilang dari sini.
“Nama kamu Reni yah?” tanya Mamanya Arya dengan logat melayu kental.
Yah, seminggu ini aku mendapatkan dua buah kejutan dari Tanah Melayu. Yang pertama Fani, tunangan Arya dan yang kedua adalah Mamanya Arya.
“I-I-Iya!” jawabku dengan agak terbata-bata.
Dia pun tersenyum. Entah apa arti senyumannya itu aku gak mau perduli. Aku ingin segera pergi dari sini sebelum aku jadi salah tingkah karena tegang.
“Ummi mau pesan apa?” tanya Kak Wina yang terlihat mencoba mencairkan suasana dan menenangkan keteganganku ini.
“Tak usahlah repot. Lepas nih saya nak balik ke Batam.” Ucapnya dengan logat melayunya.
Dia pun mendekat padaku sambil membelai kepalaku. Aku jadi luluh dan kekakuanku tadi agak reda. “Belajarlah yang rajin. Kapan-kapan kita kan berjumpa lagi.” Ucapnya lalu berlalu.
Aku dan Kak Wina menatap kepergiannya tanpa kata-kata. Aku juga masih bingung dengan ucapannya tadi.
“Reni pasti heran kan kenapa Ummi mau ketemu Reni?” Kak Wina seakan bisa membaca pikiranku saja.
Aku pun mengangguk mengiyakan.
“Waktu Aya masuk di rumah sakit, saat kondisinya kritis Ummi menemani Aya. Dan saat tak sadarkan diri itulah, Aya terus aja memanggil namamu ‘Reni’. Setelah Ummi cerita, aku jadi tahu kalo Reni yang disebut Aya itu kamu. Makanya Ummi penasaran ingin ketemu kamu.” jelas Kak Wina.
“Apa?”
Entah aku mau berkata apa. Antara bimbang, senang dan kecewa bercampur aduk di batin ini.
“Kak aku mau pulang!” ucapku dengan nada datar.
“Biar supirku anterin deh.” Tawar Kak Wina.
“Nggak usah Kak, Makasih! Tapi Reni naik bis aja. Kebetulan tempat kerja pacar Reni dekat dari sini.” Aku beralasan.
Kak Wina terlihat agak kaget. Entah mengapa aku juga sengaja menyebut-nyebut nama Erwin. Yah, karena Arya sudah punya Fani dan aku sudah punya Erwin. Aku tak mau merusak hubungan siapa-siapa. Aku tidak mau lagi berharap pada Arya.
Aku tahu Kak Wina senang bila aku jadian sama Arya, tapi jalan takdir kita sudah berbeda.
“Ya sudah, hati-hati yah Ren!” ucap Kak Wina.
“Oh ya Kak, Makasih traktirannya yah!” ucapku sekali lagi.
Kak Wina hanya tersenyum menanggapiku. Aku pun membalas senyuman Kak Wina. Aku tahu dibalik senyumnya itu ada nada kecewa.
Sepertinya Kak Wina tahu isi hatiku yang kecewa dengan keberadaan Fani. Mungkin maksud kak Wina mempertemukanku dengan Ibunya supaya membuatku berharap. Bahwa pertunangan itu masih bisa dibatalkan dengan restu ibunya.
Aku pun pergi meninggalkan Café ini dengan Bis. Aku masih syok dengan kejutan ini. Satu persatu keluarga Arya dari Tanah Melayu sana datang membawa harapan dan juga kebimbangan. Aku benar-benar bingung… Tapi aku nggak mau menyesali keputusanku untuk kembali pada Erwin. Aku yakin ini hanya ujian yang menguji hubungan ku dan Erwin. Aku tak boleh lemah dan semudah itu berpindah hati.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar