Kamis, 09 Mei 2013

Novel | Wajah Kedua (Part 31)


Part 31
Selingkuh atau…?


Seharian ini aku mau menghabiskan waktuku bersama Erwin. Yah, beberapa hari ini rasa suka dan berharap pada Arya muncul lagi. Tapi aku nggak mau hal itu terjadi lagi. Aku akan memupuk kembali hubungan dengan Erwin agar semakin kuat.
Oh ya, aku juga agak kesal dengan hasil nilai ujian semester. Yah meskipun nilaiku naik, tapi peringkatku turun. Seperti yang sudah diprediksi, Said si jenius mendapatkan peringkat pertama. Dan peringkat kedua disusul oleh Windy, ketua kelas kami. Dan yang mengambil peringkat tigaku adalah Arya.

Yah, aku kesal banget. Seharusnya waktu dia sakit dulu aku nggak usah ngasih pinjem catatanku. Aku udah bantuin dia selama dua minggu sakit dengan minjemin catatan dan ternyata malah Arya yang menggeser posisiku. Perjuanganku untuk belajar mati-matian hanya bisa menempatkanku di posisi empat.
Erni meski nilainya turun drastis dia masih tetap saja santai-santai gitu. Yah, ada pacarnya sih dan lagipula dia nggak terlalu pusing soal nilai. Yah, meskipun ada satu mata pelajarannya yang harus ikut ujian susulan selama liburan semester kemarin. Sedangkan Tuti sepertinya lolos dari 3 besar peringkat terbawah. Mungkin karena duduk di sebelah Said, makanya nilainya bisa aman dan gak harus ikut ujian susulan.
Tuti sepertinya masih marahan padaku. Entahlah apa salahku padanya. Nggak biasanya Tuti seperti ini. Akhirnya aku pun memberanikan diri bicara berdua padanya. Sebagai mantan kepala geng, Tuti emang terlihat sangar dan menyeramkan. Makanya aku agak cemas jangan sampai dia ngamuk.
“Ti! Aku mau bicara berdua aja.” Ucapku.
“Oke!” jawab Tuti.
“Kamu marah kan sama aku?” tanyaku.
“Ren, Erwin udah di depan tuh jemput.” Tuti seolah mengalihkan pembicaraan.
“Ti? Jawab dong!” desakku.
Tuti membuka tas ranselnya lalu mengeluarkan selembar foto. “Ini apa?” ucapnya sambil memberikan foto itu padaku.
Ini foto aku dan Arya saat di café milik Kak Wina. Yah, saat itu aku kencan secara tidak kebetulan dan mendadak saat hari pertama Arya masuk ke sekolah setelah hampir dua minggu ijin.
“Kamu nggak pernah cerita Ren! Kamu tuh munafik, katanya gak bakalan jatuh cinta sama si pangeran. Nyatanya kamu malah jalan diam-diam gitu.” Bentak Tuti.
“Bukan gitu Ti!” aku mencoba membela diri.
“Alah, gak usah banyak alasan deh Ren.”
“Kamu dengar dulu dong Ti!” air mataku mulai menetes. Aku gak nyangka Tuti menanggapinya dengan negatif kayak gini.
 “Kamu udah berubah Ren. Aku jadi kasihan sama Erwin.” Pandangan Tuti tajam terarah keluar jendela menuju Erwin.
Aku pun jadi jengkel dan merasa tersinggung sudah dituduh tanpa sebab gitu. “Loh kok! Jadi bawa-bawa Erwin sih? Kamu dengar dulu dong. Jangan asal sewot gitu!” aku jadi ikutan sewot.
“Kamu tahu apa kata anak-anak Pers setelah nglihat foto itu? Mereka tuh bilang, kamu tuh sok jaim. Sok suci tapi ternyata kamu diam-diam dekatin Arya. Selama ini kamu ledekin Erni yang gila sama Arya, tapi ternyata kamu tuh munafik. Untung Foto ini gak aku sebar karena aku masih hargain kamu sebagai sahabat.”
Hatiku seperti teriris. Emang sih sebagian kata-kata Tuti itu ada benarnya. Tapi setidaknya aku ingin Tuti mendengarkanku. Dan aku sangat kecewa Tuti sudah nuduh-nuduh aku begitu.
“Aku gak pacaran sama Arya. Aku juga Cuma jalan saja sama Arya. Dan aku juga bukan cewek gatal seperti yang udah kamu tuduh.” Tegasku.
“Tapi kamu suka kan sama dia?”
Pertanyaan Tuti ini membuatku tertekan. “GAK!”
“Kasihan, ternyata Erwin hanya jadi pelampiasan.” Cibir Tuti.
 Aku tak menanggapi ucapannya. Aku pun pergi meninggalkan Tuti yang masih tetap saja cuek. Mending aku ngilangin stres sama Erwin. Hari ini dia libur dan mau ngajak kencan.

  

Beberapa hari telah berlalu aku dan Tuti tetap saling cuek. Erni pun menyadari keretakan kami tapi Erni bukanlah tipe orang dewasa yang bisa mendamaikan kami. Dia malah bingung dan ikut keadaan. Sepertinya dia lebih milih aman dengan mengekor sama Tuti. Lagipula mereka berdua sebangku sedangkan teman sebangkuku adalah Arya si cowok super cuek itu.
Kali ini aku benar-benar sendirian, aku serasa hampa dan gak punya teman. Aku seperti sahabat yang terabaikan. Aku seperti sahabat yang terlupakan.
Erwin pun mulai sibuk dengan pekerjaannya dan sekarang sedang keluar kota selama beberapa hari. Aku sempat curhat dengannya soal Tuti. Tapi aku gak bisa bilang alasan Tuti marah padaku. Aku takut Erwin kecewa padaku. Saat ini aku harus menghadapi masalah ini sendirian saja. Aku harus bisa meyakinkan Tuti juga Erni yang sepertinya sudah ikutan salah paham padaku.
Sebenarnya aku juga salah sih karena gak pernah cerita ke Tuti atau Erni mengenai kedekatanku dengan Arya. Aku ingin cerita bahwa Arya nggak sedingin yang mereka kira. Aku juga lupa kalau kerjaan Tuti itu membututi Arya untuk mendapatkan foto ekslusif Arya. Coba dulu aku mencegahnya.
Dan di sampingku kini duduk penyebab utama semua masalah ini. Yah, Arya sedang tertidur pulas di atas mejanya dengan tampang polos seakan tidak bersalah apa-apa. Padahal Arya lah tersangka utama yang menyebabkan aku dicuekin gini.
Aku ingin menyapa Arya tapi takut terlihat oleh Erni dan Tuti. Nanti mereka mikir macam-macam lagi. Entah mengapa aku rasanya pingin marah. Pingin melampiaskan rasa marahku pada Arya. Kenapa harus aku yang tahu wajah keduamu Ya? Kenapa?
Oh ya aku jadi teringat kertas pesan rahasia. Aku pun menuliskan pesanku dan diam-diam aku selipkan di bukunya.
Arya aku mau bicara… sebentar sore ketemu di taman!

  

Langit tampak mendung sehingga orang-orang banyak yang mengurungkan diri untuk keluar apa lagi ke taman bermain. Angin agak kencang hingga syal berwarna orange ku ini berkibar dan seakan menyekik leherku. Sweater biru langit yang cerah ini gak selaras dengan kondisi langit yang kelabu.
Aku bersandar di tembok di dekat loket pintu masuk taman hiburan ini. Yah, Arya sudah membaca kertas pesanku dan meneleponku. Mungkin agak lancang mengajak seorang cowok yang sudah punya tunangan keluar rumah. Apalagi aku juga sudah punya pacar.
Beberapa menit kemudian Arya muncul dengan Honda Jazz berwarna biru. Dia pun turun dari mobil itu. Sosoknya begitu anggun dan membuat hatiku jadi luluh lagi. Rambutnya diterpa angin dan terlihat acak-acakan. Dandanannya sangat rapi tidak seperti Arya saat akan pergi main basket di sore hari.
“Ada apa Ren?” tanya Arya dengan tampang bingungnya.
Aku mengajaknya duduk di sebuah bangku taman agar bisa lebih rileks. Aku pun memperlihatkan foto itu pada Arya. Dia melihatnya dengan wajah serius setelah itu dia tertawa kecil.
“Apanya yang lucu sih? Aku serius nih Ya. Gara-gara foto itu aku sama Tuti ngambekan.” Ucapku kesal.
“Trus siapa yang ngambil foto ini?” tanya Arya.
“Tuti!” jawabku.
“Lah, kenapa dia marah. Kan dia sendiri yang motret!” Ucap Arya dengan polos.
“Tuti emang diam-diam ngambil foto kamu untuk di jual ke anak-anak SMP. Demi puasin fans centil mu itu. Makanya aku pun gak sengaja ikut terpotret. Trus dia malah mikir yang nggak-nggak. Dibilang munafik lah, cewek genit lah. Erni sampai ikut-ikutan mogok bicara sama aku. Mereka pasti kecewa aku sudah nutup-nutupin kedekatan aku sama kamu Ya. Aku juga begini karena kamu yang minta supaya gak ceritain jati diri kamu.” keluhku.
“Tenang Ren. Jangan negatif thinking. Mereka pasti akan mengerti kok. Sabar aja yah Ren!”
 “Tapi aku gak bisa sabar. aku ingin masalah ini cepat selesai. Jadi Aya, besok kamu harus cerita sama mereka.” Desakku.
“Ih, gak ah. Buat apa repot-repot gitu.” Jawab Arya dengan santai.
“AYA! Taga deh!”
“Biarin. Nyantai aja deh Ren! Mereka Cuma jelous aja kamu bisa dekat sama cowok idola sementara mereka nggak.” Arya malah bercanda.
“Ih! aku serius nih Ya!”
“Nggak usah ditanggepin serius gitu deh.” Ucap Arya.
Aku jadi kesal dengan sifat baru Arya ini. Kok bisa dia jadi tega gitu. Aku bingung mau bagaimana lagi. Aku pun menutup mataku dengan telapak tanganku dan menangis dengan rengekan sekencang-kencangnya.
“Waduh, jangan nangis dong Ren. Mumpung lagi di taman bermain, mending kita naik wahana yuk?” bujuk Arya.
“Gak!” aku tetap merengek.
“Aya traktir deh. Kita naik jet coaster. Yah?” Bujuk Arya lagi.
Ucapan Arya seperti ngebujuk anak kecil yang sedang merengek minta dibeliin permen. Dan akulah sosok anak kecil itu. Tapi entah kenapa yah aku menikmati suasana ini. Sebenarnya aku sangat kesal padanya dan masih gelisah memikirkan masalahku dengan Tuti. Tapi saat dekat dengan Arya, aku jadi merasa tenang.
“Gak mau! Pokoknya Aya harus tanggung jawab.” Rengekku.
“Sudahlah Ren! Jangan kayak anak kecil gitu.”
“GAK! POKOKNYA AYA HARUS TANGGUNG JAWAB!” Tanpa sadar aku jadi berteriak.
Seketika suasana jadi ramai. Beberapa orang mulai berdatangan dan memperhatikan kami. Aku agak panik juga sih. Tapi yang paling panik adalah Arya. Orang-orang mulai menatap sinis padanya seakan-akan dia adalah penjahat yang telah menjahati aku.
“Tuh Ren! Orang-orang mulai salah paham kan!” ucap Arya kesal.
“Biarin! Pokoknya Aya harus tanggung jawab. Aku gak mau tau.”
Arya terlihat makin tersudut. Seorang pria setengah baya menghampirinya dan menariknya. Sepertinya orang itu salah pengertian dengan ucapanku.
“Hey Nak, berani berbuat harus berani bertanggung jawab.” Ucap bapak tadi.
“Betul tuh, tenang aja Dek. Kami akan desak pemuda itu untuk bertanggung jawab. Bila perlu hari ini kalian kami nikahkan.” Seorang bapak ikut membela lagi.
“Anak muda jaman sekarang belum waktunya nikah sudah pada tau buat anak. Emang jaman sudah mulai edan!” seorang bapak pun ikut berkomentar.
Aku jadi bingung dan gak tahu harus ngomong apa. Mereka sudah sangat jauh mengartikan ucapanku. Tapi lucu juga lihat Arya terdesak gitu. Aku tersenyum kecil melihat tampang panik Arya menghadapi tekanan bapak-bapak ini. Yah itung-itung balas dendam karena udah buat aku repot, ngambil posisi tiga ranking kelas, buat aku berharap, dan buat hubunganku dengan Tuti jadi bentrok gini.
 “OK! Baiklah, aku janji akan menikahi Reni!” Arya tampak pasrah menghadapi tekanan orang-orang disekitarnya.
Aku malah terkekeh jahil melihatnya. Sepertinya dia kesal padaku juga yang gak ikutan menjelaskan. Tapi biarlah, emang kamu super tega, cuek, dingin. Jadi sekali-kali harus diberi pelajaran.
Ups, kok malah kejam gitu sih. Aku harus segera nolong Arya. Bukannya ikutan senang gitu. Nama baikku sebagai cewek baik-baik bisa tercoreng nih kalo mereka ikutan menyalahkanku dan mikir aku ini cewek gampangan.
“Sabar semua! Bapak-bapak ini kenapa sih! Coba dengar dulu penjelasannya.” Aku berdiri ditengah-tengah kerumunan dan memisahkan Arya dari cengkraman bapak-bapak ini.
“Kamu hamil kan dek? Trus anak muda ini gak mau bertanggung jawab.” Jelas salah seorang bapak.
“Bukan kok. Aku gak hamil. Aku minta Aya tanggung jawab karena sudah buat sahabatku jadi salah paham.” Ucapku.
“OOH!!” mereka semua kompak ber-Oh lalu membubarkan diri. Ada yang terlihat masih kesal dan ada yang hanya tertawa sambil berlalu.
Makhluk disampingku ini masih tampak kesal. Wajahnya memerah karena malu dan marah.
“Makanya…” aku menatap sinis pada Arya.
“Huh! Ini gara-gara kamu terlalu cengeng!” gerutu Arya.
Aku menggembrotkan pipi tanda kesal. “Aku janji akan menikahi Reni!” godaku sambil menirukan gaya bicaranya tadi.
Wajah Arya tampak memerah karena malu. “Eh, itu Cuma main-main saja supaya aman!” elak Arya.
“Iya tahu kok. Tapi gimana nasibku dengan Tuti nih.” Cemasku.
Sebenarnya dalam hatiku aku berharap Arya mengucapkan itu dengan serius. Tapi, cinta tak harus memiliki. Aku harus tegar dan belajar berbahagia bersama Erwin.
“Tenang aja, nanti Aya yang urus smuanya.” Ucapnya dengan pede.
“Oh ya, Aya aku pingin naik bianglala itu.” Ucapku manja.
“Oke deh. Anggap saja sebagai permintaan maaf.”
“Aya yang traktir kan?” tanyaku cemas karena hari ini aku gak bawa uang.
Arya mengangguk sambil tersenyum.
Hari ini, Aku dan Aya kencan lagi. Apa aku selingkuhin Erwin ya? Tapi kenapa yah, hatiku jadi tenang dan bahagia. Awalnya aku tidak berniat kencan dan hanya ingin curhat tentang masalahku. Tapi… semua ini terjadi tanpa perhitunganku.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar