Part 31
Selingkuh atau…?
Seharian ini aku
mau menghabiskan waktuku bersama Erwin. Yah, beberapa hari ini rasa suka dan
berharap pada Arya muncul lagi. Tapi aku nggak mau hal itu terjadi lagi. Aku
akan memupuk kembali hubungan dengan Erwin agar semakin kuat.
Oh ya, aku juga
agak kesal dengan hasil nilai ujian semester. Yah meskipun nilaiku naik, tapi
peringkatku turun. Seperti yang sudah diprediksi, Said si jenius mendapatkan
peringkat pertama. Dan peringkat kedua disusul oleh Windy, ketua kelas kami.
Dan yang mengambil peringkat tigaku adalah Arya.
Yah, aku kesal
banget. Seharusnya waktu dia sakit dulu aku nggak usah ngasih pinjem catatanku.
Aku udah bantuin dia selama dua minggu sakit dengan minjemin catatan dan
ternyata malah Arya yang menggeser posisiku. Perjuanganku untuk belajar
mati-matian hanya bisa menempatkanku di posisi empat.
Erni meski nilainya
turun drastis dia masih tetap saja santai-santai gitu. Yah, ada pacarnya sih
dan lagipula dia nggak terlalu pusing soal nilai. Yah, meskipun ada satu mata
pelajarannya yang harus ikut ujian susulan selama liburan semester kemarin.
Sedangkan Tuti sepertinya lolos dari 3 besar peringkat terbawah. Mungkin karena
duduk di sebelah Said, makanya nilainya bisa aman dan gak harus ikut ujian
susulan.
Tuti sepertinya
masih marahan padaku. Entahlah apa salahku padanya. Nggak biasanya Tuti seperti
ini. Akhirnya aku pun memberanikan diri bicara berdua padanya. Sebagai mantan
kepala geng, Tuti emang terlihat sangar dan menyeramkan. Makanya aku agak cemas
jangan sampai dia ngamuk.
“Ti! Aku mau bicara
berdua aja.” Ucapku.
“Oke!” jawab Tuti.
“Kamu marah kan
sama aku?” tanyaku.
“Ren, Erwin udah di
depan tuh jemput.” Tuti seolah mengalihkan pembicaraan.
“Ti? Jawab dong!”
desakku.
Tuti membuka tas
ranselnya lalu mengeluarkan selembar foto. “Ini apa?” ucapnya sambil memberikan
foto itu padaku.
Ini foto aku dan
Arya saat di café milik Kak Wina. Yah, saat itu aku kencan secara tidak
kebetulan dan mendadak saat hari pertama Arya masuk ke sekolah setelah hampir
dua minggu ijin.
“Kamu nggak pernah
cerita Ren! Kamu tuh munafik, katanya gak bakalan jatuh cinta sama si pangeran.
Nyatanya kamu malah jalan diam-diam gitu.” Bentak Tuti.
“Bukan gitu Ti!”
aku mencoba membela diri.
“Alah, gak usah banyak
alasan deh Ren.”
“Kamu dengar dulu
dong Ti!” air mataku mulai menetes. Aku gak nyangka Tuti menanggapinya dengan
negatif kayak gini.
“Kamu udah berubah Ren. Aku jadi kasihan sama
Erwin.” Pandangan Tuti tajam terarah keluar jendela menuju Erwin.
Aku pun jadi
jengkel dan merasa tersinggung sudah dituduh tanpa sebab gitu. “Loh kok! Jadi
bawa-bawa Erwin sih? Kamu dengar dulu dong. Jangan asal sewot gitu!” aku jadi
ikutan sewot.
“Kamu tahu apa kata
anak-anak Pers setelah nglihat foto itu? Mereka tuh bilang, kamu tuh sok jaim.
Sok suci tapi ternyata kamu diam-diam dekatin Arya. Selama ini kamu ledekin
Erni yang gila sama Arya, tapi ternyata kamu tuh munafik. Untung Foto ini gak
aku sebar karena aku masih hargain kamu sebagai sahabat.”
Hatiku seperti
teriris. Emang sih sebagian kata-kata Tuti itu ada benarnya. Tapi setidaknya
aku ingin Tuti mendengarkanku. Dan aku sangat kecewa Tuti sudah nuduh-nuduh aku
begitu.
“Aku gak pacaran
sama Arya. Aku juga Cuma jalan saja sama Arya. Dan aku juga bukan cewek gatal seperti
yang udah kamu tuduh.” Tegasku.
“Tapi kamu suka kan
sama dia?”
Pertanyaan Tuti ini
membuatku tertekan. “GAK!”
“Kasihan, ternyata
Erwin hanya jadi pelampiasan.” Cibir Tuti.
Aku tak menanggapi ucapannya. Aku pun pergi
meninggalkan Tuti yang masih tetap saja cuek. Mending aku ngilangin stres sama
Erwin. Hari ini dia libur dan mau ngajak kencan.



Beberapa hari telah
berlalu aku dan Tuti tetap saling cuek. Erni pun menyadari keretakan kami tapi
Erni bukanlah tipe orang dewasa yang bisa mendamaikan kami. Dia malah bingung
dan ikut keadaan. Sepertinya dia lebih milih aman dengan mengekor sama Tuti.
Lagipula mereka berdua sebangku sedangkan teman sebangkuku adalah Arya si cowok
super cuek itu.
Kali ini aku
benar-benar sendirian, aku serasa hampa dan gak punya teman. Aku seperti
sahabat yang terabaikan. Aku seperti sahabat yang terlupakan.
Erwin pun mulai
sibuk dengan pekerjaannya dan sekarang sedang keluar kota selama beberapa hari.
Aku sempat curhat dengannya soal Tuti. Tapi aku gak bisa bilang alasan Tuti
marah padaku. Aku takut Erwin kecewa padaku. Saat ini aku harus menghadapi
masalah ini sendirian saja. Aku harus bisa meyakinkan Tuti juga Erni yang
sepertinya sudah ikutan salah paham padaku.
Sebenarnya aku juga
salah sih karena gak pernah cerita ke Tuti atau Erni mengenai kedekatanku
dengan Arya. Aku ingin cerita bahwa Arya nggak sedingin yang mereka kira. Aku
juga lupa kalau kerjaan Tuti itu membututi Arya untuk mendapatkan foto ekslusif
Arya. Coba dulu aku mencegahnya.
Dan di sampingku
kini duduk penyebab utama semua masalah ini. Yah, Arya sedang tertidur pulas di
atas mejanya dengan tampang polos seakan tidak bersalah apa-apa. Padahal Arya
lah tersangka utama yang menyebabkan aku dicuekin gini.
Aku ingin menyapa
Arya tapi takut terlihat oleh Erni dan Tuti. Nanti mereka mikir macam-macam
lagi. Entah mengapa aku rasanya pingin marah. Pingin melampiaskan rasa marahku
pada Arya. Kenapa harus aku yang tahu wajah keduamu Ya? Kenapa?
Oh ya aku jadi
teringat kertas pesan rahasia. Aku pun menuliskan pesanku dan diam-diam aku
selipkan di bukunya.
Arya aku mau bicara… sebentar sore ketemu di taman!



Langit tampak
mendung sehingga orang-orang banyak yang mengurungkan diri untuk keluar apa
lagi ke taman bermain. Angin agak kencang hingga syal berwarna orange ku ini
berkibar dan seakan menyekik leherku. Sweater biru langit yang cerah ini gak
selaras dengan kondisi langit yang kelabu.
Aku bersandar di
tembok di dekat loket pintu masuk taman hiburan ini. Yah, Arya sudah membaca
kertas pesanku dan meneleponku. Mungkin agak lancang mengajak seorang cowok
yang sudah punya tunangan keluar rumah. Apalagi aku juga sudah punya pacar.
Beberapa menit
kemudian Arya muncul dengan Honda Jazz berwarna biru. Dia pun turun dari mobil
itu. Sosoknya begitu anggun dan membuat hatiku jadi luluh lagi. Rambutnya
diterpa angin dan terlihat acak-acakan. Dandanannya sangat rapi tidak seperti
Arya saat akan pergi main basket di sore hari.
“Ada apa Ren?”
tanya Arya dengan tampang bingungnya.
Aku mengajaknya
duduk di sebuah bangku taman agar bisa lebih rileks. Aku pun memperlihatkan
foto itu pada Arya. Dia melihatnya dengan wajah serius setelah itu dia tertawa
kecil.
“Apanya yang lucu
sih? Aku serius nih Ya. Gara-gara foto itu aku sama Tuti ngambekan.” Ucapku
kesal.
“Trus siapa yang
ngambil foto ini?” tanya Arya.
“Tuti!” jawabku.
“Lah, kenapa dia
marah. Kan dia sendiri yang motret!” Ucap Arya dengan polos.
“Tuti emang
diam-diam ngambil foto kamu untuk di jual ke anak-anak SMP. Demi puasin fans
centil mu itu. Makanya aku pun gak sengaja ikut terpotret. Trus dia malah mikir
yang nggak-nggak. Dibilang munafik lah, cewek genit lah. Erni sampai
ikut-ikutan mogok bicara sama aku. Mereka pasti kecewa aku sudah nutup-nutupin
kedekatan aku sama kamu Ya. Aku juga begini karena kamu yang minta supaya gak
ceritain jati diri kamu.” keluhku.
“Tenang Ren. Jangan
negatif thinking. Mereka pasti akan mengerti kok. Sabar aja yah Ren!”
“Tapi aku gak bisa sabar. aku ingin masalah
ini cepat selesai. Jadi Aya, besok kamu harus cerita sama mereka.” Desakku.
“Ih, gak ah. Buat
apa repot-repot gitu.” Jawab Arya dengan santai.
“AYA! Taga deh!”
“Biarin. Nyantai
aja deh Ren! Mereka Cuma jelous aja kamu bisa dekat sama cowok idola sementara
mereka nggak.” Arya malah bercanda.
“Ih! aku serius nih
Ya!”
“Nggak usah ditanggepin
serius gitu deh.” Ucap Arya.
Aku jadi kesal
dengan sifat baru Arya ini. Kok bisa dia jadi tega gitu. Aku bingung mau
bagaimana lagi. Aku pun menutup mataku dengan telapak tanganku dan menangis
dengan rengekan sekencang-kencangnya.
“Waduh, jangan
nangis dong Ren. Mumpung lagi di taman bermain, mending kita naik wahana yuk?”
bujuk Arya.
“Gak!” aku tetap
merengek.
“Aya traktir deh.
Kita naik jet coaster. Yah?” Bujuk Arya lagi.
Ucapan Arya seperti
ngebujuk anak kecil yang sedang merengek minta dibeliin permen. Dan akulah
sosok anak kecil itu. Tapi entah kenapa yah aku menikmati suasana ini.
Sebenarnya aku sangat kesal padanya dan masih gelisah memikirkan masalahku
dengan Tuti. Tapi saat dekat dengan Arya, aku jadi merasa tenang.
“Gak mau! Pokoknya
Aya harus tanggung jawab.” Rengekku.
“Sudahlah Ren!
Jangan kayak anak kecil gitu.”
“GAK! POKOKNYA AYA
HARUS TANGGUNG JAWAB!” Tanpa sadar aku jadi berteriak.
Seketika suasana
jadi ramai. Beberapa orang mulai berdatangan dan memperhatikan kami. Aku agak
panik juga sih. Tapi yang paling panik adalah Arya. Orang-orang mulai menatap
sinis padanya seakan-akan dia adalah penjahat yang telah menjahati aku.
“Tuh Ren!
Orang-orang mulai salah paham kan!” ucap Arya kesal.
“Biarin! Pokoknya
Aya harus tanggung jawab. Aku gak mau tau.”
Arya terlihat makin
tersudut. Seorang pria setengah baya menghampirinya dan menariknya. Sepertinya
orang itu salah pengertian dengan ucapanku.
“Hey Nak, berani
berbuat harus berani bertanggung jawab.” Ucap bapak tadi.
“Betul tuh, tenang
aja Dek. Kami akan desak pemuda itu untuk bertanggung jawab. Bila perlu hari
ini kalian kami nikahkan.” Seorang bapak ikut membela lagi.
“Anak muda jaman
sekarang belum waktunya nikah sudah pada tau buat anak. Emang jaman sudah mulai
edan!” seorang bapak pun ikut berkomentar.
Aku jadi bingung
dan gak tahu harus ngomong apa. Mereka sudah sangat jauh mengartikan ucapanku.
Tapi lucu juga lihat Arya terdesak gitu. Aku tersenyum kecil melihat tampang
panik Arya menghadapi tekanan bapak-bapak ini. Yah itung-itung balas dendam
karena udah buat aku repot, ngambil posisi tiga ranking kelas, buat aku
berharap, dan buat hubunganku dengan Tuti jadi bentrok gini.
“OK! Baiklah, aku janji akan menikahi Reni!”
Arya tampak pasrah menghadapi tekanan orang-orang disekitarnya.
Aku malah terkekeh
jahil melihatnya. Sepertinya dia kesal padaku juga yang gak ikutan menjelaskan.
Tapi biarlah, emang kamu super tega, cuek, dingin. Jadi sekali-kali harus
diberi pelajaran.
Ups, kok malah
kejam gitu sih. Aku harus segera nolong Arya. Bukannya ikutan senang gitu. Nama
baikku sebagai cewek baik-baik bisa tercoreng nih kalo mereka ikutan
menyalahkanku dan mikir aku ini cewek gampangan.
“Sabar semua!
Bapak-bapak ini kenapa sih! Coba dengar dulu penjelasannya.” Aku berdiri
ditengah-tengah kerumunan dan memisahkan Arya dari cengkraman bapak-bapak ini.
“Kamu hamil kan
dek? Trus anak muda ini gak mau bertanggung jawab.” Jelas salah seorang bapak.
“Bukan kok. Aku gak
hamil. Aku minta Aya tanggung jawab karena sudah buat sahabatku jadi salah
paham.” Ucapku.
“OOH!!” mereka
semua kompak ber-Oh lalu membubarkan diri. Ada yang terlihat masih kesal dan
ada yang hanya tertawa sambil berlalu.
Makhluk disampingku
ini masih tampak kesal. Wajahnya memerah karena malu dan marah.
“Makanya…” aku
menatap sinis pada Arya.
“Huh! Ini gara-gara
kamu terlalu cengeng!” gerutu Arya.
Aku menggembrotkan
pipi tanda kesal. “Aku janji akan menikahi Reni!” godaku sambil menirukan gaya
bicaranya tadi.
Wajah Arya tampak
memerah karena malu. “Eh, itu Cuma main-main saja supaya aman!” elak Arya.
“Iya tahu kok. Tapi
gimana nasibku dengan Tuti nih.” Cemasku.
Sebenarnya dalam
hatiku aku berharap Arya mengucapkan itu dengan serius. Tapi, cinta tak harus
memiliki. Aku harus tegar dan belajar berbahagia bersama Erwin.
“Tenang aja, nanti
Aya yang urus smuanya.” Ucapnya dengan pede.
“Oh ya, Aya aku
pingin naik bianglala itu.” Ucapku manja.
“Oke deh. Anggap
saja sebagai permintaan maaf.”
“Aya yang traktir
kan?” tanyaku cemas karena hari ini aku gak bawa uang.
Arya mengangguk
sambil tersenyum.
Hari ini, Aku dan
Aya kencan lagi. Apa aku selingkuhin Erwin ya? Tapi kenapa yah, hatiku jadi
tenang dan bahagia. Awalnya aku tidak berniat kencan dan hanya ingin curhat
tentang masalahku. Tapi… semua ini terjadi tanpa perhitunganku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar