Part 35
I’m Sory…
“Ren?”
Aku menoleh ke arah
suara yang memanggilku. “Iya Ni!”
“Akhir-akhir ini
kamu jadi murung. Emang kenapa sih? Aku jadi kasihan lihatnya.” Ucap Erni.
“Nggak apa-apa kok!”
elakku.
“Nggak usah ngeles
gitu Ren. Kamu kenapa say?” desak Erni.
Aku hanya tertunduk
murung.
“Ren?” kali ini
Tuti pun ikutan iba padaku.
“Entahlah!”
jawabku.
“Trus gimana
hubunganmu dengan Erwin?” tanya Tuti.
Aku tak dapat
menjawabnya. Aku ingin menangis tapi ini masih di dalam kelas. Aku malu
menangis di sini. Aku hanya tertunduk diam dan murung. Tiga hari berlalu sejak
aku memutuskan Erwin. Sampai sekarang Erwin tak pernah lagi menghubungiku
maupun menjemputku di sekolah.
Aku merasa kasihan
padanya. Ini semua karena keegoisanku yang membuat orang-orang yang ku sayang
selalu menderita. Rasa bersalah ini membuatku ingin mati saja. aku tak sanggup
menghadapi rasa bersalah ini. Ingin rasanya menghukum diri ini. Aku memang gak
pantas mendapatkan kebahagiaan karena aku terlalu banyak nyakitin hati orang
lain.
Tuti pun tak
melanjutkan pertanyaannya lagi. Sepertinya dia sudah mengerti situasiku.
“Ikut kami Ren.”
Tuti manarikku keluar kelas.
Erni pun mengekor
hingga sampailah di sebuah tempat yang lumayan agak sunyi. Beranda lantai tiga
yang terletak disudut gedung sekolah. Hanya beberapa orang saja yang
berlalu-lalang melintas tanpa menghiraukan kami.
“Cerita deh Ren!”
ucap Erni.
Dan akupun
menceritakan kejadian tiga hari yang lalu itu. Saat aku dengan kejam dan tega
mutusin hubungan ini. Tuti pasti bakalan marah padaku karena sudah buat Erwin
jadi kecewa. Jika Imel juga ada, mungkin dia juga kecewa karena Erwin adalah
sepupunya.
Aku pun
menceritakan perasaanku ini. Rasa bersalah karena udah buat dia kecewa. Tapi
aku nggak mau terus menjalin hubungan yang palsu itu. Tidak akan bisa selama
aku masih duduk di samping Arya. Aku gak akan bisa mencintai Erwin dengan
tulus.
“Tenang aja Ren,
kami mengerti perasaanmu kok. Kami janji akan jelasin ke Erwin.” Erni mencoba
menenangkanku. “Iya kan Ti?”
“Iya, kita kan
selalu kompak. Dan akan kubuat si pangeran bertekuk lutut di depanmu.” Ucap
Tuti dengan nada mengancam.
“Huh! Sebenarnya
aku masih sebel dan kesal karena Arya dan Reni ternyata saling jatuh cinta.
Tapi, demi kamu Ren. Erni ikhlas kok melepas Arya. Menurutku kalian memang
cocok.” Hibur Erni dengan gaya centilnya.
“Makasih yah!
Kalian memang sahabat terbaik yang kupunya.” Aku jadi terharu.
“Lagipula aku bisa
motret dia secara terang-terangan kalo Reni jadian sama Arya.” Khayal Tuti.
“Kalian ini…
bersenang-senang di atas penderitaanku.” Keluhku.
Kedua sahabatku ini
hanya bisa nyengir sambil memperlihatkan wajah tiada dosa.
“Menurutku lebih
baik kamu bicara saja langsung sama Erwin.” Tiba-tiba saja Aldo muncul.
“Tapi…” aku masih
ragu.
“Kalau dia tidak
mau bicara sama kamu, nanti kami bantu deh.” Aldo sekali lagi meyakinkanku.
“Aldo kan playboy. Udah biasa dengar
penolakan. Kak Erwin tuh beda loh. Gimana kalo Kak Erwin ngamuk dan nyerang
Reni?” ledek Erni.
“Ya elah bocah.
Siapa yang playboy Ni. Mereka yang ngejar-ngejar aku kok.” Aldo ngeles.
“Erni benar juga
tuh Do!” ucap Tuti.
“Dasar cewek.
Selalu aja negative thinking sama cowok.” Gerutu Aldo. Sepertinya dia terdesak
karena hanya dia sendirian yang cowok.
“Aku bukan
ngebenarin ucapan Erni tentang kamu yang playboy. Tapi gimana kalo Kak Erwin
nggak terima jawaban Reni?” Tuti tampak mencemaskanku.
“Makanya aku bilang
apa. Kalian tuh slalu aja negative thinking.”
“Kita negatip
thinking karena cowok tuh play boy, suka mainin perasaan cewek.” Erni masih
bersikukuh dengan pendapatnya.
“Artinya Heru juga
playboy yah?” ledek Aldo.
“Iya, jangan
sebut-sebut namanya deh. Aku lagi males dengar namanya.” Ucap Erni dengan nada
ngambek.
“Loh, kalian lagi
berantem yah?” tanyaku.
“Kemarin pas lagi
jalan aku liat dia jalan sama cewek. Pas aku kejar, eh malah gak keburu.
Makanya seharian ini aku cuekin dia.”
“Wah, Erni cemburu
nih.” Ledek Aldo.
“Ih, biarin.” Ucap
Erni dengan cuek.
“Tenang aja Ni, aku
yakin dia bukan siapa-siapa kok. Karena yang Heru suka itu Cuma kamu aja Ni.”
Ucapku.
Erni terdiam
sejenak. Semua pun ikut terdiam. Wajah ngambek Erni terlihat mulai memudar dan
memancarkan kembali senyum manisnya.
“Loh, kita kan
sedang ngebahas nasib Reni. Erni gak apa-apa kok. Paling besok si Heru
ngemis-ngemis dan manja-manja lagi denganku.” Erni tampak membuat dirinya
tegar.
“So Sweet banget!
Manja-manajaan niy ye.” Aldo mulai menggoda. Namun nada suaranya terkesan
ngeledek.
“Ih, Do! Kamu sirik
kan sama aku. Makanya jangan suka gonta-ganti pacar deh.” Ledek Erni.
“Dasar nih bocah.
Aku laporin Om Teo loh kalo Erni sekarang udah tau pacaran.” Ancam Aldo.
“Coba aja laporin
ke Papa. Aku hajar kamu habis-habisan.” Erni balik ngancam.
“Gak takut.” Ledek
Aldo.
“Hey kalian ini.
Dikit lagi sudah lulus SMA tapi kelakuan masih kayak di SMP aja.” Ucapku.
Kalo liat mereka
berdua, jadi ingat masa-masa SMP dulu. Meski Erni terlihat kesal. Tapi aku tahu
dalam hatinya dia sangat senang Aldo sudah akrab lagi sama kita.
“Sorry Ren. Tapi
lebih baik kamu yang bilang ke Erwin. Biar lebih jelas dan jika memang dia gak
terima dan berbuat yang tidak-tidak. Artinya kamu nggak perlu alasan untuk
kasihan lagi padanya kan?” nasehat Aldo.
Menurutku Aldo ada
benarnya juga tuh. Aku gak boleh lari dan gak boleh sembunyi darinya. Aku gak
mau pengorbanan Erwin padaku aku sia-siakan. Bukan dengan jalan menjadikannya
pacar. Tapi dengan tetap bersahabat dan menjelaskan isi hatiku yang sebenarnya.



Erwin tampak duduk
menunggu di sebuah café. Hari ini aku janjian bertemu dengannya. Aku mau
jelasin semuanya termasuk tentang Arya.
“Maaf yah Kak, lama
menunggu?”
“Oh nggak apa-apa
Ren!” Terlihat nada kecewa di wajahnya.
Mungkin karena aku
kembali memanggilnya Kakak. Seperti saat pertama kali bertemu. Aku
menghormatinya dan gak mau membuatnya jadi berharap karena panggilan manjaku.
“Reni juga minta
maaf sudah mutusin Kakak. Dan Kakak pasti bingung dengan keputusan Reni yang
tiba-tiba gini kan? Karena itu Reni mau jelasin semuanya Kak!” ucapku.
Erwin hanya diam
sambil berpikir sejenak. Secangkir capuchino di hadapannya diaduk-aduk dengan
sendok seakan ingin bertanya pada sang cangkir. Apa yang harus aku lakukan.
Aku paham
kebimbangan Erwin. Mungkin dia gak siap diputusin atau mendengar berita buruk
atau pengorbanannya disia-siakan. Dan setelah semenit lebih terdiam, Erwin pun
mengangguk.
“Dulu Reni sangat
sayang banget sama kamu kak. Reni sedih sekali saat kita berpisah. Selama dua
tahun ini Reni bahkan gak pacaran sama siapapun karena yakin suatu saat Kak
Erwin pasti akan balik. Reni buang jauh harapan untuk mencintai orang yang baru
dan Reni tetap menanti Kak Erwin. Tapi… ternyata ada seseorang yang bisa
menghapus rasa cinta itu Kak. Dan menggantinya dengan rasa cinta yang baru.”
Aku menraik nafas
sejenak. Erwin masih diam dan memperhatikanku. Kebetulan secangkir jus Melon
datang dan meredakan lelahku sejenak. Jus melon…. Kalau dengar kata melon. Aku
jadi teringat Arya.
“Ya, Kak. Sebelum
Kak Erwin datang kemari, Reni sudah jatuh cinta pada orang lain. Reni gak
pernah cerita ke Tuti atau Erni kalo Reni suka sama dia. Reni egois Kak.”
“Trus kenapa terima
aku?” tanya Erwin.
“Karena… Kak Erwin
sangat baik. Karena Reni ingin mengubur rasa cinta Reni pada dia. Makanya Reni
pikir mungkin dengan jadian dengan Kak Erwin, rasa itu bisa hilang. Tapi…”
“Tapi, ternyata
tidak bisa kan Ren? Selama sebulan ini aku khawatir Ren. Kamu seperti
menyembunyikan sesuatu. Kamu pasti sakit jalanin semua ini dengan terpaksa.”
Kak Erwin menyambung ucapanku.
“Maaf yah, Reni
udah jadiin Kakak pelampiasan.” Sesalku.
“Ren, asal kamu
bahagia. Aku juga bahagia. Aku juga minta maaf udah buat kamu jadi bingun dan
udah maksain kamu Ren.”
“Kak Erwin gak
perlu minta maaf. Memang Reni yang salah. Reni yang egois dan terlalu jaim. Kak
Erwin udah sangat baik. Udah banyak berkorban demi Reni tapi Reni malah…”
Ucapku.
“Nggak usah salahin
kamu sendiri Ren. Masih ingat tidak dulu aku pernah bilang apa?”
“Apatuh?” tanyaku.
“Cinta adalah
keikhlasan Ren. Masih ingat kan? Segala pengorbanan itu gak akan terasa berat
dan menyakitkan jika didasari cinta. Seperti itulah aku Ren. Dan jika kamu bisa
bahagia dengan dia. Aku pun senang” Erwin mencoba menenangkanku.
“Win? Makasih yah
udah mengerti aku.” Ucapku lirih.
“Panggil aja Kakak,
seperti Erni dan Tuti. Sepertinya punya adik tegar sepertimu sangat
menyenangkan.” Canda Erwin.
“Makasih Kak!”
ucapku dengan penuh kekaguman dan kebahagiaan.
Satu dilema
berhasil kulalui. Namun… masih ada kesedihan di depanku yang akan menungguku
dan menghadangku. Aku harus tegar dan siap menghadapinya.
Erwin menatapku
dengan senyuman. Akupun menatapnya dengan senyuman. Ini perpisahan yang
melegakan. Lega rasanya saat kita termaafkan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar