Part 25
Senyuman Sang Pelangi
“PIIP!”
“AUCH!”
Aku jadi kaget karena bunyi klakson dan mobil yang tiba-tiba
berhenti mendadak. Jidatku dan dagu Arya saling bertubrukan karena klakson dari
Mang Jana. Aku tertunduk malu dan berpura-pura kesakitan sambil menutup wajahku
dengan tanganku. Sepertinya mukaku memerah.
“Duh, Sori Ren. Kamu gak apa-apa?” tanya Arya.
“Ia gak apa-apa kok Ya!” jawabku.
“Ini nih Den Arya. Mobil di depan gak mau minggir dari tadi.”
Jelas Mang jana.
“Ya udah, sabar aja Mang. Reni jadi kaget tuh.” Ucap Arya.
“Maaf yah Neng!” ucap Mang Jana dengan penuh sesal.
“Gak apa-apa kok!” ucapku.
“Oh ya, tadi Reni mau bilang apa?” tanya Arya.
“Itu… Reni suka…”, wajahku kembali memerah dan nyaliku
menciut lagi. “Reni suka makan es krim.” Aku kembali mengelak.
“Oh, mau makan es krim yah. Aku tahu café yang enak es
krimnya loh.” Seru Arya dengan penuh semangat.
Aku hanya mengangguk.
“Kadang-kadang kamu bisa manja dan kekanak-kanakan juga yah!”
Ledek Arya.
“Biarin!” gerutuku.
Arya hanya tertawa sambil sesekali meledek atau menggodaku.
Mirip Kak Wina deh pokoknya. Mukaku jadi memerah dan aku jadi malu. Ternyata
Arya ada bakat meledek juga. Nggak seperti Arya yang tadi pagi aku temui. Arya
yang ini benar-benar beda dan sangat-sangat berbeda dengan Arya yang
teman-teman lain kenal.



Ada sebuah café kecil yang diapit oleh toko-toko fashion.
Café ini jadi terkesan tertutupi karena di deretan ruko ini kebanyakan berupa
toko-toko. Daerah sini emang daerah pusat perbelenjaan. Lumayan jauh juga dari
sekolah dan rumahku apalagi rumah Arya. Daerah sini merupakan batas kota dan
hanya beberapa meter aja kita udah keluar kota.
Aku dan Arya turun dan masuk ke café tersebut sedangkan Mang
Jana memarkirkan mobil dan menunggu di dalam mobil.
Suara lonceng kecil yang diletakkan di balik pintu masuk café
ini berbunyi saat Arya membukanya. Seorang pelayan menyapa kami dengan senyuman
ramah. Kami pun masuk ke dalam. Arya membalas salam pelayan tadi sedangkan aku
hanya terkagum-kagum dengan suasana café ini.
Dinding café ini dibalut warna soft orange hingga membuat
kesan hangat. Beberapa gambar makanan dan minuman dari menu-menu café ini
terpajang dalam bingkai cokelat yang ditempelkan di dinding. Dan yang membuatku
senang adalah logo café ini. Tulisan WINZ café berwarna orange dipadu dengan
gambar beruang baby teddy berwarna cokelat muda yang menggenggam gelas berisi
es krim. Sangat lucu dan aku memang sangat suka dengan beruang teddy.
Karyawan café ini sepertinya hanya dua orang cewek. Yang satu
di meja kasir dan yang satunya lagi berdiri di dekat pintu untuk menyambut tamu
sekaligus mencatat pesanan kami.
Jam dinding bermotif strawberry menunjukkan pukul 14.00
tepat. Dan tak ada satu pengunjung pun yang ada di café ini. Aku dan Arya duduk
saling berhadapan di meja yang berada di dekat jendela. Dari sini pemandangan
di luar terlihat jelas. Café ini hanya memiliki dua buah jendela besar dan
hanya tiga buah meja yang diletakkan di dekat jendela.
“Mas Arya mau pesan apa?” tanya si pelayan cewek tadi.
“Loh? Udah kenal yah?” tanyaku heran sambil memandangi Arya
dan si pelayan tadi secara bergantian.
“Mas Arya ini adik pemilik café ini.” Jelas si pelayan.
“Café ini punya Kak Wina!” ucapku kaget.
Arya hanya mengangguk santai. Sedangkan si pelayan hanya
tersenyum kecil. Aku pun menenangkan diri sejenak.
“Oh ya, Reni mau sekalian makan siang?” tanya Arya.
Sebenarnya perutku lumayan lapar juga sih tapi di rumah Mama
pasti udah masak yang enak-enak. Kalo makan di sini kasian Mama, masakannya gak
di makan. Tapi Mama bilang harus ada isi perut dulu sebelum makan es krim. Jadi
sebaiknya aku makan dikit aja dulu.
“Boleh deh!” jawabku.
“Mau pesan apa?” tanya Arya sambil memberikanku daftar menu.
Aku memperhatikan daftar menunya. Kira-kira apa yah makan
siangnya yang nggak terlalu berat gitu. Ah ini dia…
“Fish burger!” ucapku.
“Wow! Aku juga sama Mba!” ucap Arya.
“Kok bilang Wow sih?” tanyaku heran.
“Entar aja aku jelasin. Nah, mau es krim apa nih Ren?” kali
ini Arya menawariku daftar menu baru yang isinya semuanya es krim.
“Chocolate Capuchino aja Mba!” pesanku.
“Kalau aku yang rasa melon!” ucap Arya.
Melon? Aku dapat satu hal baru tentang Arya. Dia suka melon.
Aku pernah membaca buku tentang karakteristik orang berdasarkan buah kesukaan.
Dan seorang penyuka melon itu terkesan mewah, agak tertutup dan slalu
disanjung. Emang buah melon ini mewakili sosok Arya.
“Aya suka melon?” tanyaku.
“Iya. Kalo Reni?” Arya bertanya balik.
“Kalau buah, Reni suka pear sama jeruk. Oh ya, tadi
pertanyaanku belum dijawab tuh.” Protesku.
“Oh, yang tadi itu yah? Fish burger itu makanan kesukaan
Kakak loh.” Jelas Arya.
“Kak Wina suka itu?” tanyaku.
Arya mengangguk sambil tersenyum. Dalam hati aku masih belum
terima penjelasan rinci dari Arya tentang anggapan diriku ini sebagai Kak Wina.
Apanya dari aku yang mirip Kak Wina sih? Apa itu akal-akalannya si Arya saja
karena sebenarnya dalam hatinya dia suka aku. Tapi karena malu makanya dia
nutupin itu dengan mengatakan kalau menganggapku seperti Kak Wina.
Aku memang belum mengenal lama Kak Wina. Hanya tiga kali aja
kami bertemu dan mengobrol. Pertama saat makan malam dengan mama. Waktu itu aku
menuduh Kak Wina pacarnya Arya tapi dia malah tertawa dan tidak marah padaku.
Dia juga tanpa ragu berbincang padaku yang baru pertama kali ditemuinya.
Pertemuan kedua dengan Kak Wina saat kakiku terkilir. Kak Wina mengantarku
pulang dan membuat mukaku merah padam kerena menggodaku dengan Arya. Dan
pertemuan terakhir ternyata adalah sebuah perpisahan. Aku tidak menyangka Kak
Wina bersikap ramah sekali saat aku ke rumah Arya. Aku gak nyangka juga kalau
Kak Wina sudah menikah.
“Kak Wina umurnya berapa sih Ya?” tanyaku.
“Dua puluh satu. Beda empat tahun denganku.” jawab Arya.
“Hebat yah, masih muda udah punya bisnis sendiri. Kenapa Kak
Wina gak tinggal aja di sini dan ngurus café ini?” Ucapku dengan penuh decak
kagum.
“Kalo bisnis sih dia punya banyak. Ada butiknya juga di
Padang dan Medan. Trus Kak Wina juga punya café seperti ini di Padang, Batam
dan di KL.” Jelas Arya.
“Wah hebat!” aku hanya bisa kagum. Entah di usia seperti Kak
Wina aku bisa punya penghasilan sendiri atau nggak yah?
Kak Wina mungkin sosok wanita yang sempurna. Cantik, ramah,
gaul, sepertinya smart dan punya usaha sendiri. Tipe-tipe wanita karir banget.
Sayang dia menikahnya cepat banget. Menurut cerita Arya Kak Wina menikah satu
setengah tahun yang lalu, artinya usianya sekitar 19 tahun. Aku jadi rindu
sosok Kak Wina itu.
Tanpa terasa pesanan kami pun datang. Lumayan cepat juga yah.
Pelayan tadi meletakkannya di atas meja dan kami pun mulai makan bersama…
MAKAN BERSAMA? BERDUA AJA BARENG ARYA????
Oh my God! Aku baru nyadar. Ini boleh dibilang seperti
kencan. Kencan bareng Arya.
Jantungku tiba-tiba berdegup kencang dan aku jadi gugup.
Apalagi melihat sosok Arya yang sedang makan dengan tubuh tegap dan super sopan
layaknya gaya makan sang pangeran atau bangsawan.
Aku jadi grogi dan bingung mau makan dengan gaya gimana.
Seandainya Erni atau Tuti melihat aku jalan berdua, makan berdua bareng Arya.
Mereka akan bilang apa yah? Semoga saja mereka gak melihatnya. Terutama para
fansklub Arya. Mereka gak boleh sampai tahu ini.
Hari ini aku senang banget deh, bisa makan berdua aja bareng
Arya. Mungkin ini kencan pertamaku bersama Arya. Horeee…
“Loh, kok nggak dimakan?” tanya Arya setelah melihatku hanya
diam aja.
Duh, jadi gak enak deh. Kebiasaan melamunku ini emang udah
kronis kali. “Hehe, berdoa dulu.” Ucapku beralasan.
Aku pun melahap burger ini dengan gayaku sendiri. Gak usah
sok-sok jaim di depan Arya. Arya saja udah membuka wajah keduanya di depanku.
Jadi aku gak boleh jaim. Lagian makan itu kan harus dinikmatin.
Kunikmati Fish burger sambil cengengesan. Arya terlihat
bingung melihatku yang senyam-senyum aneh gini. Tapi dia tetap saja melanjutkan
makannya dan hanya bisa ikutan tersenyum melihatku.
Duh, tampang Arya makin cute aja deh kalo diperhatikan dekat
gini. Reni! you are the most lucky girl in the world. Lupakan masalah sejenak
dan nikmatin saat berdua bersama Arya. Dan berbagi cerita dengannya.
“Aya, kita ini seperti sedang kencan yah?” ucapku.
“Ke-ke-kencan?” Arya terlihat panik dengar ucapanku.
Sepertinya dia jadi salah tingkah. Nah sekarang giliran dia yang memerah dan
panik.
Aku pun tertawa geli melihat tampang paniknya yang polos itu.
Arya kamu memang cute deh. Kali ini tampangnya berubah menjadi tampang kesal
karena merasa dikerjain olehku.
“Tampangmu lucu deh kalo lagi merah gitu.” Ledekku sambil
tertawa.
“Nggak lucu tau!” kesal Arya.
Aku gak perduli dengan tampang kesalnya itu. Kali ini aku hanya
menutup mulutku sambil menahan tawa. Wajah Arya masih tampak kesal. Suasana
tegang pun mulai mencair seperti es krim lembut ini yang mencair menyaksikan
aku dan Arya.
Kalau dipikir-pikir, sikap usilku yang membuat wajah Arya
memerah memang agak mirip dengan Kak Wina yah? Tapi apa wajah Arya memerah
karena digoda atau karena dia tersipu padaku?
Hujan gerimis yang turun dan langit gelap yang sejak tadi
menghiasi bumi dan juga menghiasi isi hatiku, perlahan mulai menghilang dan
memunculkan matahari yang mulai mengintip dari balik tirai awan kelabu. Dari
balik jendela cahaya matahari berpendar menembus kaca jendela café ini. Aku
melihat pelangi yang muncul di ujung cakrawala. Torehan lekungan warna yang
seakan tersenyum pada dunia seperti senyumku yang merekah hari ini. Aku tidak
akan pernah melupakan hari yang indah ini.



“Ren! Kemarin aku senang banget deh. Jalan bareng Heru trus
dibeliin boneka.” Erni langsung menyambarku dengan ceritanya saat bertemu di
depan gerbang sekolah.
“Ya ampun, pantesan aku ditinggalin. Aku jadi sembunyi karena
kemarin ada Erwin.” Keluhku.
“Oh pantesan kamu pulangnya telat. Mamamu sampai nelpon ke
rumahku tuh.” Lapor Erni.
“Iya, pulangnya aku sampai diomelin tuh.” Gerutuku.
“Oh ya, Kak Erwin juga sempat singgah ke rumahku. Dia juga
nanya kamu dan cariin kamu loh.” Ucap Erni.
“Aku masih bimbang Ni!” keluhku.
“Bimbang gimana Ren? Kamu hanya takut dengan masa lalu mu
aja. Erwin yang sekarang sudah benar-benar berubah loh Ren. Dia tuh sayang
banget sama kamu meskipun dulu dia udah nyakitin kamu.” Erni mencoba
meyakinkanku.
“Tapi…” aku menggantung kata-kataku sambil berpikir sejenak.
Tiba-tiba aku dan Erni
ikut terseret arus cewek-cewek yang menyambut kedatangan sang pangeran. Mang
Jana melesat masuk ke sekolah dengan sedan hitamnya. Gerombolan fansklub Arya
menyambutnya dan mengejar Mang Jana.
“ARYAAAA!!!” teriak mereka dengan histeris.
Sepertinya mereka orang-orang yang baru tahu kalau kemarin
Arya baru aja masuk sekolah. Dan sebagian lagi karena kemarin nggak sempat
bertemu Arya. Guru-guru gak bisa berbuat banyak untuk menenangkan mereka.
Selama dua minggu nggak melihat sosok Arya membuat para cewek-cewek ini seperti
cacing kepanasan aja.
Suasana sekolah yang histeris dengan teriakan Arya pun
dimulai lagi. Selama dua minggu sekolah kehilangan suara-suara sorakan para
fansklub Arya. Mereka seperti membisu dan kehilangan semangat. Pokoknya mirip
suasana sedang berkabung. Tapi syukurlah sekolah menjadi lebih tentram selama
dua minggu itu.
Kini keributan para fansklub Arya mulai terdengar. Dan Arya
pun mulai memasang sosok cuek, pendiam dan dingin. Aku pun harus ikut-ikutan
jaim dan tidak terlalu sok akrab dengannya selama di sekolah.
“Tapi kenapa Ren?” tanya Erni.
Ups, lagi-lagi aku ngelamun. Aku gak tahu lagi harus bilang
apa pada Erni.
“Minggu depan udah ujian Ni. Aku gak mau mikirin itu dulu.
Lebih baik aku fokus belajar daripada pacaran. Kamu juga Ni! Jangan terlalu
sering mikirin pacar. Belajar yang baik.” Nasehatku.
“ARYA KEREN DEH REN! Cute banget! Coba lihat deh” teriak Erni
dengan histeris.
Aku hanya bisa melongo. Nih anak dinasehatin bukannya
dengerin malah ketularan genitnya fansklub Arya. Oh, Heru, sembuhkanlah
sahabatku yang satu ini.
“Nyadar non!” aku mengguncang-guncang bahu Erni yang terkena
sihir pesona Arya.
“Iya! Iya!” Erni tampak kesal. “Oh ya! Tadi kamu bilang apa
yah Ren?” tanyanya.
“Ya ampun! Belajar Ni! Belajar… sekarang ini bukan saatnya
mikirin pacaran. Kita udah kelas tiga.” Ucapku menasehati. Rupanya nasehatku
tadi tak digubrisnya. Dan kalau seperti ini bawaanku selalu ingin mengomel
saja.
“Huh! Kamu Cuma sirik aja!” Ejek Erni sambil meleletkan
lidahnya seperti anak kecil yang sedang mengejek.
“Dasar nih anak sudah kena virus cinta.” Omelku.
“Biarin! Makanya Reni jadian sama Kak Erwin dong!” rayu Erni.
“Ogah!” tegasku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar