Part 24
Yang Reni suka itu…
“Ren!”
“Aya!”
Kami saling menatap sejenak lalu tertawa. Aku dan Arya kompak
bicara dan saling nyapa. Aku jadi malu tapi karena bingung, kami hanya tertawa
namun agak salah tingkah juga. Kayak orang yang lagi PDKT aja.
“Aya mau bilang apa?” tanyaku.
“Hmm!” Arya terdiam sejenak sambil berpikir. “Itu… eng… Reni
pulang aja duluan. Aku gak apa-apa kok nunggu sendirian.” Ucap Arya.
“Jadi ngusir nih!” ucapku dengan agak judes.
“Nggak kok. Aku takut nanti Mama Papa kamu kahawatir loh.”
Jelas Arya.
“Oh, tenang aja. Mama ku orangnya pengertian kok.” Jelasku.
“Gitu ya. Trus tadi Reni mau bilang apa?” tanya Arya.
Duh, tadi aku mau bilang
apa yah? Hmm…thinking Ren!
“Aya suka basket yah?” tanyaku.
Sebenarnya itu bukan pertanyaanku yang sebenarnya. Aku ingin
sekali memastikan apakah Arya suka sama aku? Aku ingin nembak duluan tapi aku
gengsi. Semalam saat Arya bilang dia hanya menganggapku sebagai kakak aku udah
illfeel duluan dan gak berpikir jernih.
Tapi semalam aku malah memimpikan Arya. Aku mimpi Arya jalan
berdua denganku. Aku mimpi kami berdua duduk di dalam mobil dan di antar sama
Mang Jana. Dan Arya membawaku ke tempat-tempat yang indah dan romantis. Tapi
aku nggak bisa bicara jujur pada Arya.
“he-em!” jawab Arya sambil tetap memain-mainkan bola dengan
tangannya.
“Oh, trus gimana ceritanya sampai bisa suka basket?” tanyaku
lagi.
Arya tertunduk sejenak sambil mengenang masa-masa lalunya.
“Entahlah, suka saja.” jawabnya simpel.
“PIIP!”
Suara klakson mobil terdengar. Yah, aku mengenal suara
klakson dan gaya membunyikan klakson seperti ini. Mang Jana datang menjemput
Arya. Dia memarkir mobilnya di halaman sekolah.
“Mang Jana udah datang tuh Ya!” ucapku.
Arya berdiri dengan agak tertatih, aku membantunya berdiri
dan menuntunnya berjalan.
“Nggak usah Ren. Aku bisa jalan sendiri kok.” Tolak Arya.
Aku pun membiarkannya berjalan sendiri. Tapi aku berdiri di
dekatnya agar bisa memegangnya saat terjatuh nanti.
Dari kejauhan aku melihat Erwin masih saja nunggu di depan
gerbang. Rupanya dia tahu kalo aku masih di dalam. Aku pun menghentikan
langkahku.
“Aya! Duluan aja deh. Aku blum mau pulang.” Ucapku.
“Kenapa?” tanya Arya.
“Gak apa-apa! Cuman pingin menyendiri dulu di sekolah.” Aku
beralasan.
Arya hanya ber-Oh kemudian berlalu. Ia berjalan dengan agak
pincang. Aku ingin membantunya jalan ke tempat parkiran mobil tapi aku takut
terlihat oleh Erwin.
Hmm… sendirian deh. Dari sini aku melihat Mang Jana
membungkukkan badan. Sepertinya Mang Jana minta maaf karena telat. Dan Arya
menaiki mobilnya. Mang Jana pun keluar dari parkiran.
Kenapa Erwin belum pulang juga sih? Apa aku harus bertemu
dengannya? Apa aku harus bicara padanya?
Tapi aku belum siap menjalin kembali hubungan dengan Erwin.
Harapanku pada Arya memang telah putus meskipun aku masih belum menerima
kenyataan ini. Yah, Arya hanya menunjukkan wajah keduanya pada Kak Wina. Dan
jika dia menunjukannya padaku, bukan berarti aku orang spesial di hatinya. Aku
hanya dianggap sebagai kakak. Sebagai pengganti Kak Wina bagi Arya. Dia tak
menganggapku sebagai sosok wanita yang ingin dicintai.
Agak sakit hati juga sih karena aku terlalu berharap padanya.
Sebenarnya hatiku saat ini lebih memilih Arya daripada Erwin. Aku ingin Aryalah
yang mengemis cinta padaku bukannya Erwin. Tapi, sekali lagi Erwin selalu
meluluhkan aku. Aku jadi kasihan padanya. Oh Tuhan… aku ingin curhat. Dengan
seseorang yang mengerti keadaanku.
Jika aku curhat sama Tuti, artinya aku harus membongkar
rahasia Arya. Karena Tuti pasti akan curiga jika aku jatuh cinta pada Arya
tanpa alasan yang jelas. Arya… seandainya kamu merasakan apa yang aku rasa.
Pasti aku gak akan dilema kayak gini.
Tiba-tiba aja HPku bergetar. Arya lagi-lagi meneleponku.
Ya Allah… apa Arya memang jodohku? Kenapa setiap kali aku
memikirkannya dia slalu saja meneleponku.
Aku menghela napasku sebelum mengangkat telepon itu. Kuseka
air mataku yang sempat menetes tadi. Apa yang harus aku katakan padamu Arya?
“Kenapa Ya?” tanyaku.
“Masih di sekolah ya Ren?” Arya balik nanya.
“Iya nih.” Jawabku.
“Sepertinya kamu menghindari cowok di depan gerbang itu kan?”
Arya mencoba memastikan.
Wah, Arya kok tahu sih? Duh, gimana dia bisa tahu? Apa Aya
punya indera keenam atau semacam kekuatan super? Duh, gak mungkin deh otakku
terlalu ngeres nih.
“Iya!” Jawabku. “Aya tahu dari mana?” tanyaku penasaran.
“Tadi waktu keluar dia tanya, dan nyari kamu.” jelas Arya.
“Oh, trus Aya bilang kalo aku ada di dalam?” aku jadi panik,
jangan sampai Arya bilang aku masih di dalam dan Erwin terus menunggu.
“Nggak kok Ren. Aku bilangnya gak tahu. Memang dia siapa
sih?” Jelas Arya.
“Mantanku. Dia mau minta balik.” Ucapku.
“Oh ya? Trus?” tanya Arya.
“Hmm! Aku bingung mau terima atau gak.” Jawabku.
“Hey Ren, aku udah masuk di sekolah nih. Kamu nyelinap aja
dari lapangan basket, Mang Jana parkir di ujung tuh.” Ucap Arya.
“Hah? Maksudnya?” tanyaku bingung.
“Yah, aku anterin pulang deh. Kalo di dalam mobil kamu pasti
gak ketahuan.” jelas Arya.
“Tapi…”
“Gak usah tapi-tapian deh. Nih udah di tempat parkir. Cepet
kesini!” perintah Arya lalu menutup teleponnya.
Aku melihat mobil Arya telah kembali lagi ke sekolah dan
berhenti di ujung gedung. Aku pun ke tempat parkiran ke tempat Arya. Sambil
mengendap-ngendap kayak maling.
Arya membukakan pintu dan aku pun masuk ke dalam mobil. Mang
Jana duduk di depan kemudi sedangkan aku dan Arya duduk di belakang.
Mang Jana pun menjalankan mobilnya keluar dari sekolah aku
sempat gugup saat melewati gerbang sekolah dan melihat Erwin yang tampak
gelisah. Entah kenapa aku nggak ingin menemuinya dulu. Padahal aku sudah siap
menjalin kembali perasaan ini padanya.
Tiba-tiba saja langit yang sejak tadi memang agak mendung
mulai meneteskan titik-titik hujan. Erwin terlihat berlari ke dalam sekolah dan
berteduh di dekat pos penjaga sekolah. Aku jadi kasihan padanya…
Aku ini memang cewek jahat. Membiarkan orang yang sangat
mencintaiku seperti itu. Aku ini kenapa sih? Kenapa nggak menemuinya tadi? Apa
yang aku takutin dari Erwin?
Rasa bersalahku ini menekanku. Lagi-lagi aku menangis tanpa
perduli tempatnya. Arya sampai kaget melihatku menangis.
“Ren? Kamu kenapa?” tanya Arya.
Aku hanya terisak sambil menahan mulutku agar suara tangisku
tak terlalu terdengar. Aku heran dengan
diriku ini. Sebenarnya apa sih maunya hati ini. Dan kali ini aku menangis dan
menyembunyikan mukaku di punggung Arya. Aku malu Arya dan Mang Jana melihatku
menangis.
“Ren?” tanya Arya cemas dan mencoba membalikkan badannya.
“Aya jangan balik.” Pintaku.
“Reni?”
“Reni boleh pinjam punggung Aya?” ucapku sambil tetap menutup
muka dibalik punggungnya.
Arya menghela nafas panjang. Suara desahan nafasnya terdengar
jelas. Suara debaran jantungnya pun terdengar. Sedikit kehangatannya
menghangatkan wajahku. Aku ingin menangis dalam pelukan Arya tapi itu kurang
sopan dan orang-orang diluar mobil pasti akan berpikir macam-macam bila
melihatnya. Cukup punggungmu aja Aya… cukup itu aja yang Reni minta untuk
sesaat ini.
“Iya boleh.” Ucap Arya.
Entah berapa menit aku bersedih. Dua hari ini aku sedih
melulu. Kemana yah Reni yang tegar dan sabar. Aku rindu diriku yang dulu…
Akhirnya air mataku terhenti. Batinku mulai sadar dan hatiku
mulai tenang. Emosiku pun sudah mulai kukendalikan. Aku menyeka sisa air mataku
sambil memperbaiki penampilanku.
“Reni kenapa? Gara-gara cowok itu yah?” tanya Arya.
“Bukan. Tapi karena Aya jahat.” Ucapku dengan tampang
cemberut.
“Loh. Emang Aya kenapa?” Arya tampak bingung.
Karena ada Arya makanya Reni susah nerima Erwin kembali.
Karena yang Reni suk sekarang adalah Arya. Tapi Arya malah nganggap Reni
sebagai Kakak. Padahal lebih muda Reni daripada Arya. Aku hanya bisa bergumam
dalam hati. Itulah alasan kenapa Aya jahat.
Aku gak menjawab pertanyaan Arya. Aku hanya diam sambil
memasang tampang cemberutku. Arya tampak bingung dan berpikir mencari-cari
kesalahannya.
“Aya gak tau salah apa. Tapi kalo memang Aya jahat Aya minta
maaf deh Ren.” Bujuk Arya.
Aku tertunduk diam. Aku bingung mau ngomong apa. Aku
benar-benar bingung mau ngomong apa. Maaf yah Arya, aku gak bermaksud buat kamu
bingung gitu. Seandainya kamu tahu isi hatiku yang sebenarnya Arya…
“Hmm! Sebagai permintaan maaf, hari ini Aya akan anterin Reni
kemana aja Reni mau. Kalo langsung pulang orang-orang rumahmu bisa heran liat
mata mu yang bengkak tuh. Aya akan buat Reni tersenyum lagi.”
Ucapan Arya menggetarkan hatiku. Aku menatapnya dengan
tatapan takjub. Dan Arya membalasnya dengan sebuah senyuman.
“Bener nih? Aya mau ngantar Reni ke manapun Reni mau?”
tanyaku.
Aya tersenyum dan mengangguk. “Reni mau kemana?” tanya Arya.
Ya Allah… mimpiku semalam menjadi kenyataan. Arya…
mengantarku kemanapun aku mau. Dan aku duduk berdua bersamanya di dalam mobil
ini. Apakah ini suatu pertanda bahwa Arya lah cinta sejatiku? Atau apakah aku
masih bermimpi?
Aku menggigit bibirku dan terasa sakit. Ini bukan mimpi. Ini
kenyataan… aku takjub, aku luluh dan rasa sukaku pada Arya semakin meluap. I
Love you Arya…
Yah, aku akan bilang sekarang disini. Saat ini juga gak
peduli ada Mang Jana. Gak peduli gengsiku sebagai cewek. Aku akan bilang
perasaanku pada Arya.
“Aya!” ucapku pelan.
“Ya Ren?” Aya mendekatkan kepalanya agar bisa mendengar suara
parauku yang mengecil ini.
“Reni suka…hmmm!” aku agak tersipu.
Aku menghela nafas dan mengumpulkan segenap kekuatanku.
“Sebenarnya Reni tuh suka sama…”
Tidak ada komentar:
Posting Komentar